Saturday, December 27, 2008

Mencari menantu



Di pertengahan tahun sembilan puluhan saya ketemu dengan seorang teman dan kerabat dekat. Dia guru besar di salah satu lembaga pendidikan tinggi ternama di Indonesia. Juga seorang akademisi ulung. Hampir tiap bulan ke luar negeri, memberikan kuliah atau ceramah ilmiah. Saya bertemu waktu itu di i Los Angeles, dalam perjalanan pulang ke Indonesia dengan pesawat Garuda. Tak ada yang aneh. Semua biasa saja. Kami ngobrol akrab seperti biasanya. Perhatian saya tertuju ke barang bawaannya. Dia membeli tongkat pemukul baseball. Bagus sekali. Tak habis pikir saya. Dia tak suka olah raga. Sewaktu kecil kalau main kasti di sekolah, kalau dikejar lawan yang membawa bola, dia malah nggak mau lari. Hanya menutup muka dan kepalanya takut kalau di kayang dengan bola kasti itu. Dia menghindar menjawab ketika saya tanya " kok beli tongkat baseball?"

Guru besar tadi punya dua anak gadis yang menginjak remaja. Yang nomer satu sangat cerdas, sudah duduk di universitas. Index prestasing selalu dapat A sejak semester satu. Waktu itu dia sudah duduk di semester empat. Adiknya masih duduk di SMA waktu itu. Juga termasuk pelajar pandai dan aktif. Keduanya mempunyai tingkat intelektualitas tinggi seperti bapaknya. Apalagi selalu digembleng oleh sang ayah agar selalu rajin menekuni mata pelajaran.. Anak yang pertama kuliah di ekonomi. Begitu ketatnya sang ayah mendisiplinkan, jika akhir pekan kedua gadis itu akan keluar selalu diantar oleh ayah ibunya. Tak pernah dilepas sendirian. Apalagi sama cowok, meskipun itu teman sekuliah. Bapaknya begitu disiplin dan posesif sama kedua putrinya. Kadang dalam gurauan, dia sering berujar soal disiplin ini. " Iya kalau ketemu kawan yang baik dan disiplin. Kalau temannya seperti KI ini kan gawat. Bablas nanti" Gila orang ini, dikiranya apa saya ini. Nggak pernah melarikan anak orang saya jaman muda dulu. Tabu.

Kadang2 beberapa teman cowok ada yang ingin bertandang ke rumah mereka di akhir pekan karena sang gadis memang belum pacaran. Tetapi semuanya padha ngacir dan mundur teratur. Sang Bapak selalu disiplin mengawasi. Mulai jam enam sore sudah siap pakai sarung, duduk di ruang depan, minum teh sambil baca koran. Itu semua masih normal normal saja. Yang nggak normal, tongkat baseballnya selalu diletakkan di samping meja. Keponakan saya yang kebetulan memberanikan diri mau menyambangi sang gadis di akhir pekan ikut mundur teratur. "Ngeri oom. Bapaknya selalu siap dengan tongkat baseballnya di kamar tamu. Belum tentu dapat nggaet, resiko kepala pecah"

Ya walaupun si gadis begitu cantik dan menarik untuk diapeli, siapa berani datang? Lebih baik cari anak pondokan, mungkin standard nggak kualitas prima, tetapi nggak ada yang ngawasi. Kalau jadi pacar tetap, dipermak sedikit dengan make up juga bisa cantik. Jarang anak pondokan nampak anggun, kecuali kalau sudah punya pacar tetap. Tak perlu kecil hati. Kemajuan kosmetikologi sangat pesat. Wanita itu cantiknya wantek (nggak gampang luntur) kalau tetap nampak cantik saat bangun tidur. Atau tetap nampak anggun walau ngrokoti jagung bakar yang besar besar, dan harus buka mulut lebar lebar. Kalau cantiknya hanya pas pesta, sorry meck, belum tentu sustainable.

Saat pulang akhir tahun ini, saya ketemu lagi sama teman kerabay saya tadi di bandara Sukarno Hatta. Kembali kami terlibat dalam pembicaraan yang akrab. "Ki rambutmu memutih semua, sudah punya cucu berapa?" Sapanya selalu sambil berkelakar.
"Saya sudah punya cucu empat. Aryo anaknya dua, Wisnu juga dua. Rambut putih, punya cucu itu sudah jadi wise old man Bung. Berapa cucumu?" Tanpa tendensi apa apa, saya menanyakan apakah dia sudah punya cucu. Saya merasa kecewa mengajukan pertanyaan tersebut setelah mendengar jawabannya.
"Saya belum mantu. Pengin sih pengin momong cucu. Tapi anak anak kok masih tenang tenang saja. Nggak bisa mendesak desak saya".

Dia cerita jika kedua anak gadisnya sudah bekerja. Kariernya menanjak lancar. Dua duanya eksekutif muda masa kini. Tetapi yang membuat was was orang tuanya kok belum ada gejala serius membina hubungan asmara dengan pria. "Saya sudah mau pension, pengin punya cucu juga. Ada calon enggak Ki. Ponakanmu ada yang masih nganggur? Saya menjawab sambil bergurau "Ponakan ponakan saya begitu lulus langsung padha kawin. Selalu disuruh minum jamu sama ibunya. Susu madu telor sama jahe, biar agak agresip. Beberapa teman anak saya sih masih ada yang prei walau sudah mapan".

Salah seorang teman anak saya sering datang ke rumah, sejak masih mahasiswa. Sekarang usaha swasta di bidang teknologi informasi. Kliennya tersebar di seluruh Indonesia. Businesnya nampak berkembang pesat di era desentralisasi. Dia mengembangkan software computer untuk instansi2 pemerintah kabupaten. Hobinya koleksi mobil antik. Suka keliling Indonesia, demi pekerjaan dan hobi. "Punya hobi mahal gitu, apa enak dinikmati sendiri Mas" tanya saya bergurau. "Wah susah Oom, belum dapat juga sudah cari di mana mana. Carikan dhong Oom". Edan anak ini, punya hobi mahal gitu kok nggak bisa cari isteri. Jaman saya dulu cuma modal sepedha onthel saja masih berani bersaing. Ini anak, tampangnya gantheng, wajahnya tampan, kayak Tora Sudira. Cuma agak pemalu saja. Mana ada calon mertua nggak tergiur.

Malam itu saya tilpon teman saya sang professor tadi. " Hei Bung, saya ada pejantan ampuh. Nggantheng, sederhana, sangat mapan. Hobi koleksi mobil antik. Dari keluarga tradisional, well reputed" . Dia nggak komentar apa apa. Esok malamnya, tilpon ke saya. "Tolong dikirim fotonya lewat email". Wah dari pada ikut pusing, saya minta email sang gadis, saya berikan alamat email si pria. Biar padha kontak sendiri. Jaman sudah gampang. Kalau malu bicara dan ketemu langsung, kenapa nggak lewat email saja? Jauh lebih mudah dibanding jaman saya dulu. Kalau malu ketemu, harus tulis surat. Salah salah jatuh ke orang lain. Nggak mau terlibat langsung saya dalam negosiasi perkenalan. Malah bikin pengin, bisa diamuk NYI. Moga moga mereka saling cocok. Gitu aja kok repot ya?

Salam untuk anak anak muda. Mohon maaf tak ada maksud melecehkan siapapun. Gaya omongan dan gurauan saya dengan teman kerabat tadi sudah sejak muda dulu.
Ki Ageng Similikithi

Wednesday, December 24, 2008

Ah pura pura tidak kenal

Ini cerita dari pertengahan sembilan puluhan. Sore sore saya bersama NYI dan anak saya almarhum Moko, mau beli sesuatu di mall Malioboro. Kami naik lift dari ruang parkir. Ada beberapa pengunjung yang bersama dalam lift. Saya tak begitu memperhatikan. Tiba tiba saja saya menyadari kalau satu di antara yang berada di lift adalah teman sejawat, Mr. X, yang pernah duduk bersama bertahun tahun dalam salah satu komisi di kampus. Saya menyapanya dengan ramah dan hangat. Saya ajak dia bersalaman. Agak terkejut melihat reaksinya. Dingin seolah belum pernah kenal. Saya tak memikirkannya. It is not a big deal.

Baru kemudian NYI cerita setelah keluar dari lift, kalau Mr. X sudah melihat saya sejak kami masuk lift. Dia tak menyapa, hanya menatap sepintas, walau kami telah kenal baik bertahun tahun. Beberapa hari kemudian, dalam perjalanan ke Jakarta, kami bertemu tak sengaja di bandara. Dia menjawab sapaan saya dengan dingin seolah belum kenal. Dan kemudian menghindar menemui temannya yang lain. Mr.X memang sudah beberapa tahun berdomisili di Jakarta. Pejabat tinggi di pemerintahan, dekat dengan RI 1. Tak mungkin dia tak mengenal saya oleh karena kami bekerja bersama selama bertahun tahun. Tetapi nggak tahulah, mungkin jabatan barunya di Jakarta membuatnya lupa koleganya. Atau dipikirnya saya akan meminta fasilitas ini itu. Tak ada dalam kamus saya boo. Tak pernah terpikir memanfaatkan teman dan persahabatan.

Di akhir tahun delapan puluhan. Di stasiun Ambarawa, saya bersama anak anak di hari Minggu melihat lokomotif pensiunan. Saya melihat seorang kolega muda, asisten ahli di rumah sakit pendidikan, Mr Y. Kebetulan beberapa minggu sebelumnya datang ke kantor saya, konsultasi penelitian. Saya sediakan waktu khusus ok kebetulan saya juga memberikan mata kuliah itu. Saya sapa dengan ramah ok saya pikir dia baru saja konsultasi sama saya. Anehnya dia seolah nggak kenal sama sekali. "Anda siapa ya? Kenal saya di mana?" jawabannya mengejutkan. Agak tersipu saya ok pertemuan di muka umum. Anak anak saya pada bilang " Bapak sok akrab sih". Beberapa hari kemudian, sekretaris saya memberitahu kalau Mr. Y yang dulu konsultasi barusan lulus pendidikan spesialisnya. Cepat benar berubah, hanya beberapa minggu ganti predikat sudah seolah "lupa". Begitu berbeda sewaktu dia datang minta konsultasi.

Kelupaan memang kadang datang menghinggapi tanpa kita sadari. Tak selamanya kita akan ingat siapa siapa yang pernah kita jumpai sebelumnya. Ini alamiah belaka. Saya juga sering kelupaan. Terutama mereka yang sudah lama nggak ketemu. Biasanya sikap kita menjadi agak kikuk jika tak bisa mengingat siapa yang menyapa kita. Rasanya malu karena kita kehilangan daya ingat. Juga ada rasa bersalah seolah kita menganggap remeh orang yang sebenarnya kenal sama kita. Kadang untuk menutup rasa kikuk kita berusaha mengalihkan pokok bicara seolah kita kenal betul. Dua tahun lalu dalam sebuah negosiasi antar negara, salah seorang pimpinan delegasi dari Butan menyapa dengan ramah " Ki how are you. Long time no see". Saya agak terkejut, sama sekali lupa siapa dia dan saya belum tahu kalau dia ketua delegasi dari Butan. Mencoba menutupu rasa kikuk saya menjawab sekenanya " Yes the last time we met, a few years ago in Delhi". Lebih terkejut lagi sewaktu dia menjawab spontan " Ki, we are getting old. We met in Yogya, 15 years ago. I am Sonam from Bhutan".

Baru sadar saya dia adalah kenalan lama yang datang ke Yogya 15 tahun lalu. Jelas saya masih ingat benar. Saya selalu menyampaikan salam lewat kolega2 juniornya jika ketemu dalam forum internasional. Lima belas tahun berlalu, banyak perubahan baik fisik maupun profesi. Lima belas tahun lalu, dia masih muda, sangat tampan seperti aktor Bollywood. Sekarang dengan cambang lebat, muka berwibawa, dia menjadi menteri di pemerintahannya. "I must apologize for not recognizing you. You look great, my friend". Saya terang terangan minta maaf. Model cambangnya banyak merubah konstelasi roman mukanya. Cambangnya sangat bagus, seperti cambang Burisrawa gandrung dalam cerita wayang orang.

Selain kelupaan yang bersifat alamiah fisiologis, banyak kebiasaan kelupaan atau pura pura lupa karena faktor jabatan dan martabat. Kadang orang lupa karena jabatan baru yang dipegangnya, atau karena kekayaan yang diraihnya. Tidak otomatis sebagai syarat untuk kenaikan pangkat. Tak semua orang akan berperilaku demikian. Hanya yang saya pengin tahu secara kualitatif, bagaimana rasa dibalik pura pura lupa tidak kenal itu ya? Jika kita kebetulan lupa sama orang yang pernah kita kenal yang menyapa kita, rasanya kok kikuk dan merasa bersalah. Tetapi bagaimana rasanya mereka yang pura pura tidak kenal teman karena jabatan barunya. Nggak tahulah. Tak bisa saya menjelaskannya. Hanya pesan singkat "Aja kagetan. Aja gumunan. Aja dumeh".

Salam aja dumeh
Ki Ageng Similikithi

http://community.kompas.com/read/artikel/1926

Saturday, December 13, 2008

Nunggak semi


Mas Parto begitu gundah ketika isterinya memberi tahu bahwa anak lelaki satu satunya, Supardi kok ikut main band di sekolah. Nama lengkapnya Suparto, pekerjaannya sejak muda jadi sopir. Sopir bis jarak jauh, Wonogiri Lampung. Profesi ini sudah digeluti lebih dari dua puluh lima tahun. Sejak dia belum kawin. Dia meneruskan profesi orang tuanya almarhum yang juga sopir, supir truk gandeng. Bagi Mas Parto menjadi sopir bis bukan sekedar mata pencaharian. Tetapi profesi yang sangat dibanggakannya. Mendapat kepercayaan umum, mengantar orang yang bepergian ke tujuan dengan aman dan selamat. Juga ada kepercayaan diri yang besar, merasa menjadi raja di jalan. Bisnya besar keren, warna merah kuning sangat meriah. Lain dengan sopir truk, profesinya sering terkait dengan warung remang remang sepanjang jalan. Menjadi sopir bis sudah merupakan loncatan profesi antar generasi dibanding dengan ayahnya yang hanya sopir truk gandeng, yang kalau naik tanjakan sering mesinnya ngos ngosan setengah mati. Dia mencoba memendam rasa gundah. Memang pembawaannya agak pendiam. Sopir bis jarak jauh pantang cengengesan seperti sopir truk atau angkot. Namun dia tambah rusuh ketika mendengar Supardi mau mewakili sekolah dalam perlombaan band sekotamadya. Edan. Ini bukan main main lagi. Harus ada tindakan. Memang sejak dua tahun ini anaknya, Supardi selalu tekun belajar musik dan ikut main band. Dulu sih mulanya hanya sering membantu angkut angkut kalau orkes keroncong di kampungnya naik panggung.

Singkat cerita band sekolah Supardi dapat juara satu. Supardi jadi bintang karena dia pemain melodi. Kadang ikut nyanyi. Dalam acara final pak walikota ikut menyaksikan. Bahkan ikut foto dengan band sekolah Supardi ketika mereka menang. Begitu gembira Supardi cepat cepat pulang memberi tahu bapak ibunya. Ini peristiwa istimewa. Bayangannya dia akan bisa rekaman. Namanya nanti tenar masuk TV entah KISS, entah Kasak Kusuk, apalah. Yang ptning nggak masuk berita kriminal Waspadalah. Bahkan dia pikir nama Supardi nggak begitu afdol sebagai pemain band masa kini. Dia akan ganti dengan nama baru Sarminto Tahalele. Keren boo. Dengan riang dia lapor bapaknya kalau barusan menang perlombaan band. Berapi api dia ceritakan kalau dia akan menekuni musik supaya tenar bisa masuk TV. Juga minta ijin dan doa restu mengganti nama nantinya jadi Tahalele. Mas Parto geram mendengar cerita anaknya dan membentak keras. "Main band negklekmu bejat. Kita ini turun temurun profesinya sopir. Mbahmu sopir truk. Aku sopir bis. Tak bisa kau melanggar garis profesi keluarga. Junjunglah martabat keluarga. Nunggak semi. Apa lagi ganti nama, laknat itu. Bukan jamannya lagi". Supardi lemas dan kecewa berat. Tak menyangka jika ayahnya tak akan menyetujui pikirannya. Namun tak berani dia membantah. Tak mampu dia membayangkan jadi sopir ketika angan angannya terbang dirubung fans gadis gadis cantik, foto foto, diwawancarai TV. Oooh sopir paling paling bisanya cubit cubitan sama penumpang genit. Gengsi.

Cerita diatas sekedar ilustrasi betapa orang tua banyak yang mendambakan anaknya nunggak semi profesi orang tua. Kalau bapaknya jadi Gubernur, anaknya ya jadi gubernur. Bapaknya jadi anggota DPR, anaknya ya harus jadi anggota DPR. Bapaknya Presiden, anaknya minimal harus jadi Wapres. Bapaknya Kabag (Kepala Bagian), anaknya harus jadi Kabid ( Kepala Bidang). Banyak contoh. Bahkan kadang dengan segala cara. "Dengan segala cara" ini yang sering merugikan. Bukan cuma sang anak, tetapi juga masyarakat umum. Orang tua memang selalu harus mendorong anak punya masa depan gemilang, tetapi tak harus selalu dengan nunggak semi. Biarlah nunggak semi itu berjalan alamiah seperti pohon sonokeling yang rimbun. Nggak perlu dipaksakan, apa lagi dengan segala cara

Friday, December 5, 2008

Kampus pedesaan masuk urutan dunia


Sewaktu membaca publikasi survei "The Times Higher Education – World Universities Rankings", saya terkesima bangga. Untuk bidang biologi dan kedokteran, Universitas Gadjah Mada menduduki urutan ke 106 di dunia. Bahkan di tahun 2006, pernah menduduki peringkat ke 72. Untuk tahun 2008 yang masuk peringkat dibawah seratus dari Asia tidak banyak, hanya beberapa universitas ternama di China, Jepang, Korea, India, dan Singapura.

Dapat peringkat 106 dunia tetap merupakan urutan terhormat. Apalagi dalam suasana krisis berkepanjangan seperti saat ini, masyarakat global masih menganggap UGM sebagai lembaga pendidikan tinggi yang bisa dipercaya, bidang kedoteran dan biologi. Apalagi jika diingat sejarah berdirinya pendidikan tinggi kedokteran & biologi di Universitas Gadjah Mada, kita bisa berbangga dengan pencapaian ini. Enam puluh tahun lebih sesudah dirintis dan didirikan oleh Prof. Dr. Sardjito. Mulai dengan Perguruan Tinggi Kedokteran Klaten. Sebearnya bukan di Klatennya. Tetapi di salah satu desa di selatan kota Klaten, dimana laboratorium Mikrobiologinya menyumbang produksi vaksin untuk Republik semasa di blockade Belanda. Karya karya penelitian bidang mikrobiologi Prof. Dr. Sardjito dikenal dalam dunia internasional waktu itu.

Mereka yang pernah mengalami pendidikan di tahun tahun awal perkembangan, tak bisa membayangkan kalau nantinya lembaga pendidikan tinggi kedokteran ini akan masuk dalam urutan dunia. Sarana pendidikan dan penelitian begitu sederhana. Di tahun tujuh puluhan tempatnya masih nebeng di kompleks Mangkubumen. Sedikit demi sedikit pindah ke Sekip, Bulaksumur di akhir tujuh puluhan. Saya hanya bisa terharu membayangkan bagaimana lembaga pendidikan dengan sarana yang begitu sederhana bisa berkembang masuk dalam urutan dunia. Saya masih ingat di akhir tahun tujuh puluhan, sewaktu mengirim salah satu naskah penelitian di majalah Tropical and Geographical Medicines di negeri Belanda, di dalam surat balasan redaksi ada tulisan tangan, sebagian dengan kata kata Indonesia campur Jawa, yang mengatakan senang sekali menerima naskah dari Gadjah Mada. Beliau adalah Prof. Dr. Kloke, alumnus UGM, disertasi doktor tahun 1950 (?) di Yogya dengan penelitian mengenai frambusia di Tjawas (Klaten?).

Hanya rasa haru dan bangga yang saya rasakan sesaat membaca publikasi Times tadi. Sepuluh tahun lalu ketika meninggalkan kampus, ada rasa kecewa dalam hati. Enam belas tahun tidak pernah naik pangkat. Namun kekecewaan itu hanya berlangsung sesaat. Rasanya apa yang saya lakukan semasa jadi tenaga pengajar di sana selama 23 tahun tak bisa dibandingkan dengan jasa dan kerja keras para perintis lembaga pendidikan kedokteran ini di masa lalu. Saya juga berbangga bisa ikut menyumbangkan Pusat Studi Farmakologi Klinik di sana jadi WHO Collaborating Centre dan masuk dunia global waktu itu.

Sewaktu ketemu di Yogya bulan lalu dengan dekan Fakultas Kedokteran, Prof Dr. Hardyanto, kami bicara2 singkat tentang kemajuan2 di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Salam dan selamat untu para pimpinan, pengajar, alumni dan mahasiswa.

Saturday, November 22, 2008

John Travolta (Grease, 1978)


John Travolta adalah lambang budaya kotemporer antara tahun tujuh puluhan dan delapan puluhan. Kharismanya dalam dunia musik dan film menggema di kalangan anak muda di seantero jagad. Saya tak banyak mengikuti gegap gempita musik John Travolta waktu itu. Hanya suatu saat di tahun 1977, dalam acara TV, Bambang Gentholet dari grup Srimulat bergaya seperti John Travolta. Ditanya lawan mainnya waktu itu "Bagaimana kabar di luar negeri mas John Travolta?". Jawabannya kocak " Wah kabarnya rame. Rame rame potong padi". Sesudah itu tak banyak terpapar dengan musik atau film film John Travolta. Terlalu "agitating" buat saya yang menggemari musik musik lembut.
Dua minggu lalu ada kejutan tak terduga. Terkena undian mewakili Divisi kami untuk ikut dalam perlombaan video klip dengan tema musik tahun tujuh puluhan. Dalam rangka acara tutup tahun. Saya harus memperagakan, gaya dan tarian John Travolta dalam film Grease, bersama Olivia Newton Jone. Edan kalau suruh yang lain seperti Rock n Roll, masih lumayan paham. Boss saya dapat pilihan Saturday Night Fever. Dia menunjukkan kualitasnya generasi muda tahun tujuh puluhan. Saya terpaksa harus melihat videonya berulang kali.

Pasangan main kami memang ukuran besar pembom B29 and B25. Saya beratnya 90 kg, dia beratnya hampir 70 kg. Rambut putih saya harus di spray supaya bisa berdiri kaku. Pakai jaket kulit dengan kerah berdiri. Hanya berlangsung beberapa menit. Saya mulai dengan teriak "Sandy". Nggak hapal terusnya. Termasuk copot jaket, putar putar sebentar lalu dilempar ke udara. Kemudian bersama Olivia B25, memperagakan gerakan gerakan pasangan John Travolta dan Olivia Newton Jone asli.
Entah ini perlombaan yang ke berapa kalinya. Beberapa tahun lalu saya sempat ikut menari Asereje. Pertandingan antar delegasi dalam pertemuan antar Menteri Kesehatan di Asia Pasifik Barat. Gegap gempita. Lumayan menang. Setelah tak banyak ikut acara acara ginian, kecuali ball room pribadi. Sayang staf muda kebanyakan nggak berminat acara acara beginian. Orang2 yang menjelang pension seperti saya pun masih harus ikut berlomba. Sekedar ikut meramaikan. Tut Wuri Handayani bo.

Semalam sama NYI nonton pergelaran musik ABBA. Sebagian besar penonton umur setengah baya. Selama pertunjukan mereka semuanya terbawa asyik menari bersama musik ABBA. Termasuk NYI. Saya hanya diam terpukau dengan lagu2nya yang dinamis dan mengentak. The Dancing Queen, Fernando, Super Trouper, Mama Mia dll. Suasana begitu tertib, asyik dan enak dinikmati. Agak beda dengan suasana nonton bioskop di gedung bioskop Garuda atau Madjoe di Ambarawa tahun enampuluhan. Saya mesti sangu oncor dari batang bambu waktu itu. Selain untuk obor kalau pulang, juga untuk alat pertahanan diri jika rebutan kursi, walau karcisnya telah ada nomer kursi masing masing. Jika lampu mulai mati waktu itu (pertanda film akan mulai), riuh sorak sorai penonton, suit suit. Kadang ada yang nglempar sarung ke udara. Terutama penonton di kelas 3 yang selalu riuh. Makanya kelas ini sering dikatakan kelas kambing, karena sepanjang pertunjukan film selalu ramai bersuara.

Musik dan gerakan tari adalah irama jiwa. Sekedar ingin lepas dari beban masalah sehari hari. Irama jiwa mejelang perjalanan menuju ke ufuk Barat.
Ki Ageng Similikithi

Friday, October 31, 2008

Namaku Rosa

Di penghujung tahun 1970. Bram dalam perjalanan dari Yogya ke Bandung. Naik bis malam Bandung Express. Nama lengkapnya Bramantyo. Raden Mas Bramantyo Kusumo. Suara bis terdengar mengerang melewati tanjakan bukit Plelen, sesudah lewat Weleri. Belum tua benar sebenarnya bis itu. Tetapi selalu saja mengerang setiap mendaki tanjakan. Seolah keletihan. Seperti dirinya. Letih menatap karier yang tak juga nampak ujungnya. Sebentar lagi dia lulus. Jurusan Hubungan Internasional di kampus Pagelaran. Kampus Univeritas Gadjah Mada yang numpang di pendopo keraton Yogyakarta. Dia sudah selesai tahun ke empat. Belum punya arah mau ke mana. Kegiatan mahasiswa diluar kampus yang begitu hiruk pikuk tak juga memberi arah jelas baginya. Kadang2 merasa takut, mau kemana masa depannya.

Sudah lama dia tak mengunjungi pakdhenya di Bandung. Beliau sekeluarga tinggal di Bandung setelah pension. Pensiunan duta besar RI di Hongaria, pakde Dewanto. Ingin petuah dari pakdenya yang kaya pengalaman. Dia selalu takjub mendengar petuah petuah pakdenya sejak kecil. "Datanglah ke Budapest anak muda. Kamu bisa banyak belajar di sana". Ayah dan ibunya selalu berharap dia akan menjadi pejabat tinggi pemerintahan. Ayahnya adalah petinggi di kantor pemerintahan Kepatihan. Bram putra semata wayang. Ibunya begitu sayang dan lembut padanya. Seperti halnya wanita2 ningrat Jawa, anggun dan berwibawa. Bram sering membayangkan punya pasangan hidup yang sabar dan anggun seperti ibunya. Ibunya juga wanita ningrat, keluarga berdarah biru. Kakek moyangnya adalah salah satu tokoh dalam perang Diponegoro seabad yang silam.

Menjelang masuk Pekalongan bis berhenti di rumah makan. Penumpang sebelahnya, seorang wanita muda, menggeliat berdiri. Mungkin kecapaian duduk. "Enak bisa turun sebentar", katanya ramah. Terkesima Bram menerima sapaan mendadak itu. Sejak berangkat dari Yogya dia diam seribu bahasa. Tak ambil pusing siapa yang duduk di sebelahnya. Pikirannya melayang kemana mana. "Saya Bram. Bramantyo", Bram cepat memperkenalkan diri. "Namaku Rosa. Pipit Rosalina". Turun dari bis, mereka berdua duduk semeja menikmati makan malam. Bram pesan makanan kesukaannya, nasi rawon. Dulu tak banyak nasi rawon di Jawa Tengah. Ini masakan asli Jawa Timur atau Madura yang telah masuk kasanah makanan nasional.

Rosa teman bicara yang mengasyikkan. Suaranya segar dan merdu. Cerita banyak tentang dirinya. Tentang usahanya. Tak banyak tentang keluarganya. "Saya juga kuliah dulu. Fakultas Ekonomi sampai tahun kedua. Putus dua tahun lalu". Rosa tinggal di Bandung. Di daerah Sangkuriang. Dia pengusaha pakaian. Sering bolak balik ke Yogya karena usahanya. Selesai makan, bis berangkat kembali. Jam telah menunjukkan lewat jam sepuluh malam. Angin malam dingin mulai terasa menusuk. "Bagaimana saya harus memanggil? Tante Rosa? Kak Rosa" Bram agak kikuk memanggil nama Rosa secara langsung. "Panggil saya Rosa. Lebih enak dan akrab khan".

Mereka sempat meneruskan obrolan sepanjang perjalanan. Bram memang tak banyak bisa cerita. Pembawaannya pendiam dan serius. Dia tak bisa berbasa basi, walau konon jadi tokoh mahasiswa di kampusnya. Ah tokoh kan hanya selama perploncoan saja. Tokoh dari mana? Banyak orang kadang suka menokohkan diri sendiri. Kadang lingkunganlah yang memitoskan seseorang. Bram tak suka itu. Dia merasa bukan tokoh bukan apa. Persetan dengan segala mitos tokoh mahasiswa itu. Berhadapan dengan Rosa, dia merasa hangat, ingin cerita banyak. Tentang Yogya. Tentang universitas. Tentang keraton. Tak berani tentang impian impiannya. Rosa banyak bercerita tentang Bandung yang indah. Tentang anak anak Bandung yang suka dansa. Tentang bunga bunga. Seolah mereka sudah lama berteman. Baru dua jam berlalu semenjak berhenti makan di rumah makan tadi.

Kadang angin malam masuk lewat lubang di jendela. Rambut panjang Rosa melambai terterpa angin menyentuh muka Bram. Bau harum melati kadang menyapu ringan. Dia mulai berpikir. Rosa berpenampilan menarik, tingggi semampai, berkulit bersih. Giginya putih berseri, tersusun rapi diantara bibir yang seksi. Mulut indah itu selalu menyungging senyum ramah. Senyum yang menawan. "Bram. Gila kamu. Baru kenal dua jam lalu, pikiranmu jangan kemana mana ". Dia coba mengingatkan dirinya. Ini pikiran gila. Godaan setan. Wajah teman wanitanya, Reni di Yogya kadang datang sekilas. Belum pacaran, hanya kadang suka ngobrol semata. Reni juga cantik dan menarik.Dia calon dokter. Ibu Bram selalu memuji Reni luar biasa.

Tetapi Rosa ini lain rasanya. Ada semangat, ada kekuatan luar biasa dibalik rona cantik dan ramah itu. Dia tadi begitu berapi api cerita tentang usahanya. Tentang kesukaaannya. Tentang bunga bunganya. Dia sekarang tertidur tenang di sebelahnya. Tenang dan damai. Sementara bau melati kadang menyentuh ringan. Tak sadar kepala Rosa bersandar di pundak Bram. Aaah rasanya pengin Bram memeluknya, menjaganya agar tak terantuk. Biarpun bis berkelok ke sana kemari mengikuti jalan yang tak pernah lurus. Bram bertanya dalam hati mengapa para arsitek jalan raya selalu merancang jalan berkelok kelok. Mengapa tak dibuat lurus saja. Semuanya jadi gampang langsung ke tujuan?

Bis masih saja mengerang setiap mendaki tanjakan. Menjelang fajar bis memasuki dataran tinggi Bandung. Rosa terbangun. "Anda tak tidur?" tanyanya. "Saya tak biasa tidur dalam perjalanan". Bram memang tak bisa tidur setiap naik bis malam atau kereta. Pikirannya selalu melayang ke luar jendela, merayapi kegelapan malam. Dia selalu menikmati lamunannya. Tak sadar Rosa masih saja bersandar di pundak Bram. Dia sudah terjaga. Bram menawarkan permen lembut kesukaannya. Mereka kadang meneruskan omongan omongan ringan. Rosa menggeliat ringan ketika tangan Bram membetulkan posisi agar tubuhnya tak terjatuh. Tangan kanan Bram telah melingkari leher Rosa. Aman, tak perlu takut terantuk, walau bis oleng ke kiri atau ke kanan. Napas napas mereka terdengar teratur berirama diantara bau melati. Tak sadar jari jemari mereka telah saling menggenggam. Saling membelai dan meremas. Jari jemari mereka bermain lembut di antara desiran angin malam dan rintihan mesin itu. Tak ada yang bicara. Tak ada yang tertawa. Hanya kadang napas mendesah ringan. Dunia milik mereka berdua. Bis Bandung Express seolah menjadi tumpangan mereka mengarungi malam.

Lamunan lamunan Bram yang menerawang jauh di kegelapan malam, telah kembali ke bumi. Ke wanita cantik bernama Rosa yang bersandar disampingnya. Tangannya memeluk teguh seolah tak akan melepas Rosa darinya. Seolah ingin wanita ini aman dalam pelukannya. Sementara jari jemari mereka menari nari bersama irama napas yang kadang berdesah berkepanjangan. Saling meremas dan bergerak bersama ke daerah rahasia yang memberikan sensasi luar biasa. Jantung berdesir indah. Tak berdetak tanpa aturan. Hanya berdesir bersama lamunan. Jari jemari Bram terus menari menyusur daerah rahasia di paha Rosa yang indah itu. Paha yang begitu lembut dan halus seperti pualam. Kadang Rosa menggeliat dengan desah napas ringan. Sementara kayalan dan impian membubung tinggi bersama tarian jari jemari Bram. Rasa damai melayang bersama desiran jantung yang membawa rasa bahagia yang dalam. Ketika rasa itu semakin membubung, terasa kejang dan nikmat luar biasa. Kedamaian dan kebahagiaan yang dalam. Aaaaah, tarikan napas eskprirasi Rosa terdengar memanjang, dan dia mendarat ke bumi kembali. Ke pelukan Bram teman baru yang dikenal beberapa jam lalu. Rosa seolah menemukan kedamaian dan kebahagiaan disana.

Tangan Bram tetap saja melingkari tubuh Rosa. Seolah berkata " Anda dalam pelukan saya. Dalam lindungan saya. Istirahatlah sayang". Rosa tertidur kembali. Bram terlelap sebentar menjelang masuk Bandung. Bis telah sampai di pemberhentian. Mereka terbangun ketika suara penumpang mulai ramai. " Maafkan apa yang terjadi" kata Bram merasa bersalah. " Tak perlu maaf. Kita lakukan bersama sesadarnya". Bram mencoba menukas kembali "Kita lupakan semuanya ya. Maaf sekali lagi". Rosa tak menghiraukan. Dia memberikan kartu namanya. "Datanglah ke rumah sebelum pulang ke Yogya". Semua penumpang turun, diantar ke alamat masing masing. Adik Rosa telah menunggu dan menjemputnya pergi. Rosa menghilang dalam keheningan kabut pagi. Bramantyo tertegun seperti habis mimpi. Dia baca berkali kali kartu nama indah itu. "Pipit Rosalina" . Nama yang indah. Penuh gairah dan pesona.

Pembaca yang budiman. Sepotong kisah dalam bis malam ini sudah puluhan tahun berlalu. Saya tak sampai hati memberi judul naskah ini "Sex di bis malam". Bukan sex sesaat. Bukan one nite stand. Bukan impian semusim. Sepotong kisah ini adalah awal cerita cinta yang berlangsung puluhan tahun. Saya akan coba bercerita. Tentang Bram dan Rosa. Tentang banyak tokoh. Banyak peristiwa terukir dalam cerita ini. Cerita tentang cinta antara dua anak manusia. Bukan hanya dalam impian dan lamunan. Hidup memang bukan semata impian sesaat. Bukan nikmat sesaat. Untuk orang yang bercinta , hidup adalah perjalanan bersama. Mengarungi dunia mendaki impian.

Salam cinta dan selamat bercinta anak muda.

Sunday, October 26, 2008

Mbak NDHUNG



Tahun 1972. Sore hari, saya naik sepeda lewat jalan Ngabean Yogyakarta. Mau berangkat kursus bahasa Belanda di Karta Pustaka. Dekat daerah Kota Baru di Utara. Jalan sepi, bersih, tak berdebu. Pelan pelan saya mengayuh sepeda torpedo tua. Di muka kantor pemerintahan kota madya, tiba tiba saya menatap dua sejoli yang saya kenal benar. Mbak Ndhung sama pacarnya mas Pari naik becak dari arah berlawanan. Dia teman akrab Emsa, pacar saya (belum tetap) waktu itu. Mas Pari, saya tahu mahasiswa teknik. Mereka ke arah Barat. Ketika dekat, saya melambaikan tangan, memberi salam. Mbak Ndhung mengangkat tangannya. Saya pikir akan membalas lambaian tangan saya. Ternyata malah nyablek paha sang pacar. Kemudian menutup muka dengan kedua belah tangannya. Dia menangis nampaknya. Niat saya mengikuti mereka saya urungkan. Biasa orang kalau dirundung cinta pasti tengkar. Ujung ujungnya sang gadis akan menangis. Walaupun sebenarnya nggak ingin menangis. Seolah sudah menjadi bagian resmi ritual jatuh cinta. Kalau nggak pakai nangis rasanya nggak mendalam cintanya. Ungkapan "Gemes aku" layak jadi ungkapan cinta.

Esok paginya saya bilang ke Emsa, kalau saya ketemu mbak Ndhung. Dikasih salam kok malah menutup muka. Sedang menangis. Jawabnya juga enteng " Biasa panas panasnya pacaran. Sok pengin nangis. Gemes ". Kami tak berdiskusi lebih lanjut tentang peristiwa menutup muka itu. Waktu tersita untuk kuliah dan untuk acara kami berdua. Kami di tingkat empat waktu itu. Saya juga sibuk mengurusi majalah mahasiswa Hygieia. Hubungan saya dengan Emsa kandas di akhir tahun 1972. Kisah menyakitkan. Tak ada yang menangis. Apa lagi nyablek campur gemes. It is not in my vocabulary. Semua berlalu dengan tenang. Tak perlu sedu sedan itu. Tak perlu cablek menyablek itu. Saya ini orang pondokan yang terbuang. Emsa ternyata kawin sama mantan pacarnya.

Praktis sangat jarang ketemu mbak Ndhung. Sampai lulus dokter jarang bertemu dengannya. Kedekatan kami waktu itu karena dia teman akrab Emsa. Hubungan saya putus dengan Emsa. Nggak ada kesempatan ketemu mBak Ndhung. Waktu berjalan terus. Kadang saya membaca berita tentangnya. Pernah membaca dia mendapat penghargaan Asian Young Investigator Award penyakit jantung di tahun delapan puluhan karena penelitiannya tentang minyak ikan lemuru. Di pertengahan 90an pernah mengunjungi pusat studi yang saya pimpin di Yogya. Sekedar tukar pengalaman. Dia menjabat sebagai Kepala Lembaga Penelitian RS Harapan Kita, jabatan bergensi.

Tiga puluh enam tahun kemudian. Tahun 2008 kami bertemu secara tak sengaja di bandara Changi. Mbak Ndung alias Prof DR Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI yang terkenal energetik dan dinamis. Saya dalam perjalanan dari Yogya dengan NYI sehabis lebaran. NYI memberi isyarat, ada Menkes di ruang eksekutif itu. Berdua Dr Fadilah bersama dengan Dr Husniah, Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI. Mereka dalam perjalanan pulang menghadiri pertemuan antar menteri kesehatan negara negara ASEAN. Kaget ketika saya sapa secara formal. Kami kemudian terlibat pembicaraan ramai. "Ki dulu setahun dibawah saya. Pacarnya teman akrab saya" ujarnya ke NYI. Nyi hanya bisa tersenyum. Dia sudah lama paham kisah saya dengan Emsa. Tak lama pertemuan tak sengaja itu. Mungkin tak ada setengah jam. Saya cerita baru saja menghadiri lokakarya yang kami sponsori di Yogya tentang Improving Medicines Supply in Decentralized Environment. Juga saya ungkapkan keberhasilan Sleman dalam desentralisasi kesehatan. Investasi dari anggaran belanja pemerintah untuk sektor kesehatan sampai 8 – 10 % (angka nasional tak mencapai 3 %, angka ideal internasional sebaiknya lebih dari 5 %) . Angka kematian anak dan ibu bisa ditekan rendah, angka harapan hidup meningkat sampai 76 tahun (wanita). Tak kalah dengan negara negara makmur di dunia. Dia cerita tentang tantangan desentralisasi di daerah2 lain. Keterikatan (commitment) pemerintah daerah untuk kesehatan masih harus digenjot. Namun angka kematian ibu telah ditekan turun selama tahun tahun terakhir. Pemerintah akan mengupayakan maksimal agar angka kematian ibu bisa ditekan lebih rendah lagi. Indonesia masih masuk tinggi di Asia untuk angka kematian ibu.

Pembicaraan beralih. Saya ingatkan peristiwa di jalan Ngabean itu. Dia masih ingat. "Saya kok nggak ingat ketemu kamu Ki. Tapi Emsa cerita sama saya". Gimana mau tahu wong sedang pacaran. "Mas Pari masih tetap langsing seperti dulu. Kamu kok gemuk sekali Ki". Saya berseloroh ringan " Jangan jangan beliau makan hati ya". "Wah opo iyo yo. Sing jelas kan luwih sehat ?" Berat badan saya memang lebih 90 kg kini. Dulu sewaktu masih lajang hanya 50 – 55 kg.

Petugas protokol mengingatkan kalau harus ke ruang keberangkatan. Pesawat boarding. Kami berpisah. Tiga puluh enam tahun semenjak saya ketemu dia menutup muka di dalam becak itu, saya belum sempat mengatakan kepadanya. Pertemuan tak sengaja. Hanya beberapa menit. Tetapi saya masih sempat mengingatkan peristiwa papasan saya dengan dia di jalan Ngabean itu. Kini dia menjabat Menteri Kesehatan. Energetik dan dinamis. Banyak mengkritik negara negara adidaya dalam menguasai sumberdaya kesehatan, terutama vaksin dan obat obatan. Juga mengkritik peran organisasi dimana saya bertugas. Bukunya banyak disitir dan diterjemahkan di dunia internasional (http://www.goodreads.com/author/show/1414329.DR_Dr_Siti_Fadilah_Supari_Sp_Jp_K_) . Suaranya lantang berapi api dalam forum forum resmi maupun di televisi. Kekhawatiran saya kalau dia sedang pas berapi api itu, akan nyablek lawan bicaranya. Boleh nyablek sih, asal sama pacar atau suami sendiri.

Pesan untuk anak anak muda yang bercinta. Boleh nyablek pacar. Boleh nangis. Boleh menutup muka. Boleh gemes. Tetapi jangan sekali sekali nylentik sang burung. Bisa kuwalat.

Salam damai untuk Mbak Ndhung. Untuk kokiers dan anak anak muda yang bercinta

Ki Ageng Similikithi

Saturday, October 25, 2008

Pelukan dua hati

Pertengahan tahun 1974. Saya masih tugas di rumah sakit bersalin Mangkubumen. Rumah sakit kecil dengan kira2 30 tempat tidur, di sebelah kompleks Mangkubumen. Bersih dan tenang. Jam dua siang selesai tugas pagi. Kami berdua tugas jaga, dengan Santo. Kamar ko ass di ruang belakang yang sunyi. Hari itu suasana tenang. Tak ada operasi. Tak ada gawat darurat. Tiba tiba saja pengin ketemu MUR. Kebetulan Toni mau mengganti saya tugas jaga sore itu. Hanya sampai jam 700 petang. Dia ada janji sama calon bini. Saya janjikan dia untuk menterjemahkan artikel yang ditugaskan kepadanya.

Dengan ringan saya bergegas naik becak ke Benteng Kulon. Hanya beberapa ratus meter dari Mangkubumen. Mencegat bis jurusan Magelang di jalan Wahid Hasyim. MUR beberapa minggu ini tinggal bersama kakaknya di Magelang. Di kampung Boton. Hubungan sudah serius. Pacar tetap. Surat menyurat mengalir lancar. Dengan alamat penerima yang sama, MUR. Sekali dua kadang kadang ada surat ke penerima yang berbeda. Tetapi itu hanya surat biasa, tanpa ikatan emosi. Tak apa, toh belum terikat resmi dengannya. Kesepakatan hati semata mata, belum ada ikatan legal. Bis Mustika jurusan Semarang Yogya lancar melaju. Kadang2 balapan menaikkan penumpang sepanjang jalan. Masuk kota Magelang dengan rasa riang. Pemandangan agak terganggu di pintu masuk kota. Setiap kali masuk Magelang, terlihat banyak orang mandi di saluran air di kiri jalan waktu itu. Sekarang sudah jarang. Jam empat kurang sedikit saya telah mengetok pintu di Boton.

MUR terkejut senang melihat saya di muka pintu. "Ada tugas di Magelang?". Dia tersenyum ceria dan memeluk mesra. Ciumannya datang bertubi. "Bukan tugas. Pengin ketemu saja". Berpelukan nggak begitu penting saya rasa. Ciuman, bolehlah. Boleh tahan. Laki laki harus selalu tahan diri. Jangan bertampang murahan. Apalagi minta ini minta itu. Diberi matur nuwun. Nggak diberi ya terima saja. Laki laki yang suka minta minta wajahnya nampak lucu. Jangan memaksa. Pantangan seumur hidup. Ketemu dia dan lihat senyumnya yang berseri sudah lebih dari cukup. Saya bilang kalau hanya ada waktu sejam, sedang jaga."Saya baru mau mandi tadi". Kami duduk di ruang tamu berdua. Bergegas dia membawa dua cangkir teh hangat. Dia sendirian di rumah. Kakaknya berdua baru ke luar kota, mungkin pulang sampai malam. Tak tenang perasaan saya. Waktu sangat sempit. Tetapi lega bisa menjumpainya. Walau waktu sangat terbatas. Kami bicara bicara singkat. Nggak ingat apa yang kami bicarakan. Tak ada agenda penting yang perlu dibahas khusus. Saya ingat bawa pakaian ganti dalam tas saya. Badan terasa lekat. Pengin mandi air yang segar. Air mandi di Magelang dan Ambarawa selalu terasa dingin dan segar.

Saya minta ijin ke kamar mandi sebentar. Ada handuk bersih dan pakaian MUR di sana. Memang dia sedang mau mandi ketika saya datang. Ada pakaiannya di kamar mandi. Dan pikiran saya melayang kemana mana. Ingat legenda cinta Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan. Nawangwulan adalah bidadari kayangan yang sering turun mandi ke telaga di dekat kediaman Jaka Tarub, setiap malam Anggoro Kasih ( Selasa Kliwon). Satu saat Jaka Tarub ngintip dan mencuri pakaian Nawang Wulan, sehingga dia tak mampu terbang kembali ke kayangan. Jaka Tarub kemudian pura pura datang menolong bidadari yang sedang kebingungan itu dan memberikan pakaian yang lain. Secara singkat Dewi Nawang Wulan akhirnya mau jadi isterinya. Ceritanya panjang. Di lain kesempatan akan saya ceritakan. Saya langsung saja mandi. Terasa segar dan dingin. Tak terpikir mau mencuri pakaian MUR. Apa untungnya ? Dia toh sudah mau jadi pacar tetap. Tak perlu curi mencuri pakaian dalam. Ini sih realita. Bukan legenda. Bukan ketoprak.

Tiba tiba pintu terbuka. "Saya ikut mandi". Kaget luar biasa. Tak sempat mengiyakan dan menolaknya. Langsung saja dia buka pakaian dan ikut mandi. Pikiran saya was was jika ada orang yang datang. Apalagi kalau HANSIP. Saya pernah melihat pasangan mahasiswa digelandang ke kantor RK di Suronatan Yogya karena duduk berdempetan di ruang pondokan. Duduk berdempetan asal tangan nggak kemana mana sih masih legal hukumnya. Nggak tahulah. Semua toh bisa berubah cepat.

Selesai mandi cepat cepat ambil handuk mengeringkan badan. MUR nampaknya juga cepat selesai. Dia mendekat pelan dan memeluk saya. Berpelukan erat. Pelukan sangat mesra. Hati saya mendesir. Perasaan terbang melayang.. Tak ada napas memburu. Tak ada napas tersengal karena birahi. Hanya rasa sayang dan damai yang dalam. Kesejukan yang menenangkan. Sekilas teringat kisah Jaka Tarub dan Nawang Wulan. Saya rasakan kebahagiaan Jaka Tarub menerima Nawang Wulan dalam pelukannya. Boo, bukan bidadari yang bersandar di pelukan saya. Bukan Dewi Nawang Wulan. Dia MUR mahasiswi asal Pekalongan itu. Pacar tetap. Tak apalah. Tak harus mencuri pakaiannya. Pakaian2 itu masih utuh bergantung di pintu. Tak harus menipu dan merayu, apalagi memaksa. Saya berdoa waktu itu semoga pelukan itu berlangsung sepanjang waktu. Bukan impian sesaat. Pelukan dua hati. Dua insan dalam cinta.

Ah peristiwa sesaat itu tak pernah terlupakan selamanya. Sampai dia menjadi NYI dia tetap setia memeluk saya. Setiap habis mandi. Setiap mau pergi. Setiap datang. Walau prahara kadang datang dan pergi, pelukan itu tetap saja datang kembali. Pelukan antara dua hati. Pelukan sehidup semati sampai akhir perjalanan waktu.

Salam untuk anak anak muda yang bercinta. Peluklah kekasihmu dengan cinta, dengan damai. Bukan semata karena birahi asmara. Dan jangan suka ngintip dia mandi.

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber 25 Oktober 2008

http://community.kompas.com/read/artikel/1403

Monday, October 13, 2008

Di ambang nikmat surgawi

Irama musik waltz mengalun lembut. Nada tanpa syair lagu I Love You Because. Malam indah bertabur bintang. Lupa kapan persisnya, kira kira di semester kedua tahun 1969. Baru seminggu sebelumnya selesai ujian.. Ulang tahun ENY, gadis sekelas yang pernah saya ceritakan Di Bawah Keremangan Pohon Jambu. Malam itu beberapa bulan sesudah peristiwa di bawah pohon jambu itu. Kami berenam merayakan ulang tahun ENY di rumahnya. Kebetulan esok hari libur. Saya berdansa ringan dengan ENY di ruang tamu. Dua sejoli yang lain asyik masing masing di ruang sebelah. Suara bisikan dan tawa ringan kadang terdengar samar samar. Aroma romantis bergema di antara bisik bisik mesra mereka. Tak ada sorak sorai. Orang bermesraan jarang bersorak sorai. Hanya kucing yang menjerit jerit saat bermain cinta.

Ketika musik berganti ke irama blues, tangan ENY semakin erat bergantung. Bergerak ringan sekitar ruang. Kepalanya bersandar di dada kiri saya. Lingkaran erat lengan saya coba mempertahankan keseimbangan. Ketat dan mesra. Tak sadar seolah ingin menjaganya. Jangan sampai jatuh terhempas. Bergerak ringan. Melayang di antara alunan musik lembut menghanyutkan. Suatu saat dia berbisik mesra. "Ki, kamu seneng punya isteri dokter ?". Pertanyaan formalitas. Nggak perlu dijawab. Tak ada jawaban ya dan tidak. " Ah tak usah dipikir, perjalanan masih jauh" Baru tingkat satu habis ujian semester saja belum tentu masuk semua kok mikir macam macam. Dia juga nggak perlu jawaban. Omongannya ringan "Kalau nggak jadi dokter, ya lumayan jadi isteri dokter". Sesaat kemudian dia teriak " Hai pada ngapain ya?" Dua pasangan lain memang sudah resmi pacaran. Mungkin pas panas panasnya. Mungkin demikian juga dengan kami. Semua serba indah. Penuh rayuan indah. Semua pernah mengalami. Kadang rayuan berlebih, bertabur dan berserakan seperti gombal. Menjelang tengah malam kami pulang. "Besok pagi datang ya Ki. I will miss you. Jangan lewat jam 10 "

Esok paginya saya datang lagi. Menjelang pukul sepuluh. Naik becak dari Ngasem. Nggak enak pakai sepeda. Selalu ketahuan anak anak dan pemuda tetangga. Mereka lantas ramai kumpul di depan rumah. Tak menghiraukan hak azasi pasangan yang asyik pacaran. Tak ada perhimpunan muda mudi pacaran, yang bisa memperjuangkan hak hak azasi mereka. Terutama melawan pemuda kampung, anak anak tetangga atau bahkan HANSIP. Kebetulan rumah sepi. Semua bepergian. Sepupunya pergi keluar kota. Kakeknya tugas di keraton. Enggak tahu apa pangkatnya. Tahu saya ya abdi dalem. Nenek dan budenya ke pasar. ENY tinggak bersama kakek dan nenek dan sepupunya.

"Ki saya bangun kesiangan. Barusan mandi". Wajahnya segar berseri. Tertutup make up ringan. Tak menyolok. Roknya warna lila. Sedikit longgar, tetapi tak dapat menutup bentuk tubuhnya yang indah dan seksi. Bahasa popnya sintal. Dalam cinta semua ungkapan bahasa diperindah. Gemuk jadi montok seksi. Kurus jadi langsing gemulai. Kami bicara ringan di ruang belakang. Sambil baca majalah. Sementara dia duduk bersandar manja di bahu saya, di kursi panjang. Kursi itu bersih, tak ada penghuni liar bangsat (Jawa: tinggi), seperti di kebanyakan rumah pondokan, yang selalu ada tingginya. Mungkin sengaja dipelihara sama yang punya kost. Supaya yang bertamu nggak betah. "Saya punya musik baru Ki. Duke Ellington". Hadiah ulang tahun dari papa dan mama" Mama dan papa ENY berdomisili di luar Jawa. Papanya seorang perwira tinggi. Nggak berani main main. Pacaran harus tertib. Harus berperangai disiplin, sapta setia pemuda.

Kemudian beranjak ke kamar belajar ENY, ruangan bersih tertata rapi. Ada bunga gladiola di mejanya. Di seberang meja, tempat tidurnya tertata apik dengan taburan bunga melati. Kami menikmati musik sambil bicara pelan. Kadang berkembang ke bisikan bisikan mesra. Bersama alunan musik. Melayang di awang awang dengan jantung berdesir indah. Belaian tangannya lembut membuai. Terasa kedamaian dan kemesraan yang dalam. Seolah menari bersama bersama irama terompet indah itu. Di antara desah napas yang semakin memburu. Tangannya erat bergantung di leher saya. Bersandar mesra di bahu. Dia selalu bilang senang bahu dan leher beruang. Tetapi saya bukan beruang. Saya hanya binatang jalang yang terbuang. Saya peluk erat seolah tak akan berpisah lagi. Belum sehidup semati. Mana ada orang pacaran mikir mau mati. Sementara bibir indahnya menari nari bersama desah napas memburu teratur, di wajah dan leher saya. Berciuman diantara pelukan dan belaian mesra. Kadang harus berhenti sejenak mengatur napas.

Bergeser kami duduk di tepi ranjang. Matanya terpejam. Bibirnya merekah indah. Dia bersandar di pangkuan saya. Belaian belaian mesra semakin menggelora. Berseling dengan rintihan rintihan lirih. Diluar terdengar hujan renyai. Hawa sejuk menyelinap lewat jendela dengan gordyn warna hijau muda. Kadang angin angin kecil masuk lewat jendela itu. Seolah mengingatkan kami yang sedang terbuai dalam asmara. Tak sadar apa yang terjadi, dia sudah telentang di ranjang yang berbau wangi. Tanpa selembar benangpun menutupi tubuh yang indah itu. Saya terdiam terpana. Saya takjub melihatnya. Birahi asmara bertransformasi mendadak. Terpesona akan keindahan tubuh tiada tara. Rasa kagum luar biasa. Lekuk liku tubuhnya demikian indah. Mahkota wanitanya nampak anggun memukau. Seolah berucap selamat datang. Rasa sayang menyelinap kalbu yang dalam. Tak sampai hati merusak dan menodai tubuh indah itu. "Ki ……" Bisik lirihnya terdengar menghentak kesunyian. Bersama tarikan tangan mesra. Mengajak menyelesaikan ritual asmara yang belum tuntas. Saya kecup bibir indahnya. Saya kecup wajahnya. Saya peluk tubuhnya. Saya bisikkan kata kata mesra. "Perjalanan masih jauh. Mungkin belum saatnya. Saya tak sampai hati melakukannya"

Sejenak kemudian kami berbenah. Kembali ke ruang tengah. Buah jambu air menemani percakapan ringan kami. "Gila Ki". Saya menukas sekenanya. " Bukan gila. Kita mencoba berenang di laut asmara" Sial baru tersadar kalau tarikan tangannya telah melepas beberapa benik baju saya. Untung pakai kaos dalam. Sejak lulus SMA saya jarang pakai baju dalam. Jam setengah dua, neneknya datang. "Terima kasih ENY ditemani". Saya pulang sesaat kemudian. "Jangan nyesal ya Ki". Tak ada yang perlu disesalkan. Homo sapiens bertindak atas instink dan akal sehat. Sampai di rumah pondokan, mak Yem pembantu bertanya heran. "Gus kok benik baju copot semua?". "Sial kesrempet becak di Ngasem". Tak saya hiraukan komentarnya. Nggak juga tahu maksudnya. "Becak jaman sekarang, nyrempet juga pilih pilih". Saya masuk kamar menikmati tidur siang yang damai. Penuh kenangan indah. Biarlah komentar komentar itu. Emangnya saya pikirin?

Hari berganti hari. Bulan beranti bulan. Hubungan saya dengan ENY stabil. Kadang ada sedikit penyesalan. Kok tak bereaksi dengan tarikan tangan itu. Kesempatan itu memang tak pernah datang lagi. Kesempatan itu tak datang dua kali. Tetapi saya tak pernah menyesali. Saya mengingat ENY dengan penuh penghargaan pribadi. Walau hubungan kami tak berlanjut, kami tetap berteman platonis. Saling menghargai di jalan masing masing.

Belasan tahun kemudian saya sudah beranak isteri. NYI tahu hubungan saya dengan ENY. Tak sedetail yang terungkap di sini. Beberapa kali bertemu dengan ENY karena dia bertugas sebagai dokter di Puskesmas di dekat kediaman kami. NYI sering membawa anak anak ke sana. Suatu saat dia cerita. "Saya melihat wajah ENY dari dekat sekali. Wajahnya lembut. Bibir dan lehernya begitu indah. Wah edaaan Ki". Saya pura pura tak mendengar, walau hati berdesir ingat peristiwa peristiwa itu. Aaah masa lalu. Biarlah masa berlalu dengan damai. Demi kebahagiaaan masing masing. Moga moga ENY tak baca tulisan ini. Suaminya dokter THT, biasa operasi orang tercekik. Tetapi mungkin juga ahli mencekik. Anaknya dokter bedah ortopedi. Biasa operasi motong kaki. Jika dia membaca, mohon maaf ENY. Sesudah tiga puluh tahun, file rahasia bisa dibuka. Ini kesepakatan internasional.

Salam indah untuk anak anak muda. Homo sapiens tak hanya mengandalkan instink.

Ki Ageng Similikithi

Wednesday, September 24, 2008

Ungkapan cinta dari masa ke masa

Menjelang akhir tahun 1975. Kami seangkatan hampir lulus dokter. Beberapa teman sudah mengikat resmi pasangan masing masing. Ada yang sekedar bertunangan. Ada yang langsung kawin. Semua sadar jika lulus nanti akan tugas INPRES. Umumnya di daerah terpencil. Mungkin susah cari pasangan hidup. Pilihan lebih terbatas. Paling tidak di Yogya, bursa pasangan hidup lebih marak. Bursa lewat pilihan pendengar RRI atau radio swasta. Juga dari pada kawin paksa oleh HANSIP, lebih baik cepat cepat resmi. Ada berita simpang siur, seorang dokter baru beberapa angkatan di atas saya, dipaksa kawin karena sering kemalaman apel di daerah pulau terpencil. Tetapi untung dia memang cinta kepayang sama si gadis. Anak kepala suku lagi. Jauh lebih cantik dari target idaman semasa mahasiswa. Di Yogya selalu kalah bersaing dengan para karbol, yang kalau apel gadis idaman pasti lebih gagah, pakai seragam resmi. Teman tadi mau ngajak gadis manis, putrinya penjual bakmi di Mangkubumen, nonton Sekaten pun nggak pernah kesampaian. Nggak pernah kesampaian mau jadi menantunya priyayi Yogya.

Status hubungan saya dan NYI sudah dalam tahap serius. Pacar tetap. Belum sampai ke orang tua secara resmi. Masih sabar. Gunung lari tak perlu dikejar. Petang hari saya sering kumpul di tempat pondokan teman teman. Hanya ngobrol. Toh nanti tak akan sempat lagi, jika sudah lulus. Berpencar masing masing ke segala penjuru tanah air. Saya sedang bertamu ke salah satu pondokan teman, Tono, di Mangkubumen. Dia cerita kalau salah satu teman kami, Toro, baru patah hati. Toro asli Yogya, rumahnya di ujung jalan di Mangkubumen. Tono asal Boyolali ke Timur Laut 20 km.. Orangnya pendiam, tapi kalau ngomong ceplas ceplos, seenaknya. Seperti hari hari sebelumnya, jam 0730 Toro datang. Kami ngobrol ramai. Dia nampak agak diam nggak seperti biasanya. Tono sama Toro terlibat pembicaraan asyik. Sementara saya mendengar dagelan Mataram dari RRI sambil tiduran.

"Piye Ro, sida patah hati?" .
"Bukan masalah patah hati Bung. Ini masalah kehormatan. Sudah saya kenalkan orang tua, tahunya malah mau tunangan sama orang lain".
" Siapa lakinya. Bicara saja empat mata. Sama sama jantan ?"
" Anak teknik, sudah hampir lulus"
"Saingan sama insinyur kok ngacir sampeyan Ro. Ceritanya gimana sih? Sudah ada janji sehidup semati belum sama sampeyan ? Sudah resmi mengatakan cinta ?'
"Ngomong resmi sih belum. Tapi kami selalu saling meremas jari tangan dengan mesra jika duduk berdua".
"Saling remas jari tangan bukan pernyataan cinta Bung. Copet di Malioboro juga latihan meremas jari tangan 3 bulan penuh. Sudah kamu sosor (cium)?
" Ciuman enggak berani sebelum resmi tunangan. Ya kadang kadang kalau berdampingan, napas memburu, deg degan. Hanya hembusan napas menerpa wajah wajah kami".
" Wuah cilaka. Hanya kambing bandot kalau berahi, ngambus ambus ( hembus hembusan). Itupun biasanya hanya di pantat. Homo sapiens tak begitu".

Dalam hati saya tertawa dengar komentar Tono. Orangnya angin anginan, senaknya. Suka berteori kalau di kelas, sampai dikenal sebagai teorator. Sudah punya pacar tetap mahasiswi IKIP. Bangga sekali dia cerita bagaimana menaklukkan pacarnya. Walaupun awalnya diacuhin, dia nggak peduli. Tempel terus asal muka sedikit tebal katanya. Wanita pasti mengalah akhirnya. Sebaliknya Toro, asli Yogya, keturunan ningrat. Selalu disiplin dengan tata cara. Tidak grusa grusu. Semua juga terencana. Termasuk acara ngapelin gadis dan berciuman.

Ungkapan cinta memang sangat beragam dari orang ke orang. Dari generasi ke generasi. Dari waktu ke waktu. Juga berbeda dalam berbagai kultur. Setiap orang punya cara berbeda untuk mengungkap rasa cintanya. Di masa sekarang media komunikasi sudah sangat beragam. Orang bisa mengungkapkan rasa cinta lewat pesan singkat, lewat tilpon atau cara cara lain lewat dunia maya. Di masa lalu di mana alternatif media komunikasi masih terbatas, mungkin pilihannya hanya dua, secara langsung tatap muka dengan ungkapan kata cinta, atau secara tak langsung lewat surat.

Di masa lalu, keindahan untaian kata dalam surat dipakai sebagai cara mengungkapkan gelora asmara seseorang. Ingat kan surat surat cinta Bung Karno ? Juga surat surat dalam cerita roman Siti Nurbaya. Kadang orang bahkan sedikit bercanda mengatakan cara cinta jaman Siti Nurbaya, jika mengomentari orang bercinta dengan cara klasik. Di tahun enam puluhan, entah karena imbas dari gerakan kebebasan anak2 muda di Barat, nampak dengan munculnya generasi hippie dan musik rock , banyak terjadi perubahan besar dalam tata cara mengungkapkan rasa cinta. Tak lagi bertele dengan berbagai ungkapan ritual dan formalitas. Semua serba gampang. Katakan apa adanya kalau anda cinta. Pelukan dan ciuman cinta tak lagi dianggap tabu. Kalau perlu dimuka umum. Jika tabu di muka umum, sembunyi di kebun tebu. Dimana saja kapan saja. Asal sama sama cinta, sama sama suka, sama sama mau. Salah satu tetangga saya sukanya pacaran di kebun tebu. Kebetulan ayahnya seorang sinder tebu. Aman nggak ada yang berani ngintip, apalagi nggropyok.

Di tahun tujuh puluhan tata cara cinta atau pacaran relatif gampang. Tak banyak bicara bertele tele. Langsung to the point. Kalau sudah sama sama suka langsung cium. Istilah popnya waktu itu langsung 'cepok' atau 'sosor". Ungkapan kata baik langsung atau lewat surat diurus belakangan. Kadang kadang berbulan bulan pacaran pun belum tentu keluar proklamasi cinta. Kata kata cinta akan muncul kemudian dengan sendirinya. Dengan EN, yang pernah saya ceritakan di bawah keremangan pohon jambu, belum pernah bertukar kata kata cinta.. Walaupun hubungan dalam intensitas tinggi, dalam keremangan lampu listrik 110 volt.. Dengan EMS intensitas psikologis asmara juga sangat tinggi. Penuh dengan puisi puisi cinta yang begitu romantis. Tetapi belum pernah berpikir atau bicara akan sehidup semati. Terlalu bertele dan masih jauh. Nggak perlu bicara sehidup semati. Bisa memperpendek umur. Jalan masih panjang. Yang penting action dari pada janji dan kata kata. Namun toh ketika kesempatan datang, ketika pintu terbuka lebar di antara desah suara napas yang memburu, saya tak berani berbuat lebih lanjut. Mungkin dipikir pengecut. Tetapi ya memang saya merasa belum mantap. Belum mantap terikat sehidup semati. Hanya kemudian sering teringat, kok kesempatan nggak datang kedua kali. Kok tarikan tangan yang mesra memburu itu tak datang lagi ya?

Sampai beberapa bulan sebelum nikah, saya belum pernah memberitahu orang tua mengenai hubungan saya dengan pacar terakhir NYI. Ibu saya selalu bertanya, apakah saya sudah punya calon ? Mengapa nggak pernah dikenalkan orang tua dan diajak ke Ambarawa? Hubungan saya dengan NYI sudah dalam tahap sangat mantap, dan dalam hati saya berjanji akan mendampinginya seumur hidup. Tetapi untuk menyampaikan ke orang tua kok enggan. Bukan apa apa, bukan karena saya enggak mantap sama dia. Tetapi belum punya pegangan hidup kok sudah memproklamirkan ke orang tua. Ibu saya ketemu dengan NYI secara tak sengaja di rumah sakit sewaktu NYI menengok adik saya di rawat di RS Pugeran. Ibu saya langsung bilang ke saya " Apakah ada hubungan istimewa antara kamu sama gadis itu?. Pandangannya nggak biasa. Jika jadi isterimu,dia pasti sangat menyayangimu". Saya masih belum memastikan, sampai adik saya bilang kalau kami memang sudah lama pacaran. " Ajaklah ke Ambarawa, kenalkan sama bapak ibumu". Gimana mau ngajak pulang, saya sendiri belum memperkenalkan diri secara resmi ke orang tuanya ?

Ungkapan cinta secara verbal lebih sering kami lakukan setelah kawin. Setelah anak anak lahir . Juga setelah anak anak dewasa sampai sekarang. Ketika anak anak kami mulai pacaran, baru beberapa bulan kenal sama pacarnya ( sekarang isterinya), saya terheran heran kok mereka antusias memberi tahu ibunya (NYI) dan mau memperkenalkannya ke kami cepat cepat. "Baru berapa bulan kenal, ngapain dikenalkan orang tua? Apa sudah pasti dan mantap ?". NYI yang kemudian membelan " Jaman sudah berubah. Jangan kayak kita, main belakang bertahun tahun". Kadang saya berpikir, mungkin juga benar dia. Dulu bapak ibu saya almarhum mungkin selalu bertanya tanya, dengan siapa saya berhubungan, walau nggak pernah diungkapkan terang terangan. Bagi saya, hanya jika benar benar mantap, baru diperkenalkan ke orang tua. 

Anak muda. Jika anda sudah mantap mengapa ragu ragu bertindak ? Tak usah menunggu kata kata indah tentang cinta. Tak semua mampu mengungkapkan. Bahasa cinta tak sekedar dari kata kata. Bulan pakai payung

Salam damai. Salam untuk Kokiers yang sedang dirundung cinta.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat dalam Kolom Kita KOmpas Cyber Community 22 September 2008)

http://community.kompas.com/read/artikel/1270

Sunday, September 21, 2008

Bulan pakai payung

Siang itu terasa gerah dan panas. Baru saja selesai tugas di poliklinik. Akhir musim hujan di tahun 1974. Saya sedang tugas di rumah sakit Tegalyoso Klaten waktu itu. Perasaan selalu gelisah semenjak kematian pasien emboli paru beberapa hari lalu. Ceritanya pernah saya ungkapkan di Koki (27 September 2007). Mengingatkan saya akan tingginya angka kematian ibu di Indonesia. Tertinggi di antara negara2 tetangga dan termasuk urutan tinggi di Asia. Sebagian karena penyakit kehamilan dan gangguan melahirkan. Tragis menyedihkan.

Ingatan saya melayang ke gadis MUR yang saya kenal beberapa waktu lalu. Perkenalannya begitu tak terduga. Tiba tiba saja dia muncul dari balik pintu ketika saya mengantar kakaknya ke rumah pondokan. Saya begitu terpana dan selalu mengenangnya. Pernah saya ceritakan di kolom ini juga. Sejak itu saya rajin menulis surat dan menemuinya. Belum ada ikatan apa apa. Baru tahap pendekatan (PDKT) atau lebihnya ya pacar belum tetap. Baru sampai tahap pegang pegang jari tangan. Namun hati sudah selalu bergetar. Kontak fisik belum merambah ke atas maupun ke bawah. Demarkasi jelas. Hanya hati yang berdesir dengan perasaan melayang layang.

Sejak kematian pasien karena emboli paru beberapa hari lalu, ingatan saya tak pernah lepas dari gadis itu. Ingin menemuinya. Seolah takut sesuatu terjadi padanya. Seolah takut kehilangan dia. Ingin rasanya menepis pikiran saya. GR toh belum ada hubungan apa apa. Belum terucap kata kata cinta. Status hubungan belum tetap. Seperti pegawai negeri, selalu harus mulai dengan status tidak tetap atau honorer. Kalau perlu ber tahun tahun, dengan keharusan kesetiaan melebihi pegawai yang sudah tetap. Getaran getaran hati ini layaknya ungkapan kesetiaan. Tetapi lain dengan kesetiaan pegawai tidak tetap. Pacaran belum resmi, jalan ke sana masih remang remang. Baru pegangan jari. Pegang pegang jari dan tangan bukan jaminan pacaran.

Tak ada tugas lagi sesudah poliklinik tutup. Ada ko as lain yang tugas jaga. Singkat kata kemudian saya sudah sudah berada dalam bis menuju Yogyakarta. Lupa nama bisnya. Tetapi masih ingat karcisnya jurusan Yogya, Solo, Karangpandan. Waktu menunjukkan jam satu siang hari. Hawa panas tak terasa lagi. Tertutup hati yang berdesir membara. Rasa melayang akan ketemu dia. Gadis manis dari balik pintu. Ingin menatap wajahnya yang redup. Senyumnya yang lepas menghanyutkan. Seandainya bisa menggapainya. Membelainya. Memeluknya. Aaaaah lamunan melayang kemana mana. "Bausasran mas. Bausasran. Turun cepat" Tiba tiba si kenek berteriak parau. Nggak tahu mengapa dia harus berteriak menghabiskan suaranya. Mengeringkan pita suaranya. Tak perlu sebenarnya. Kenek malang itu mungkin juga nggak tahu kenapa harus berteriak. Bagian dari kebiasaan saja. "Pimpinan partai boleh teriak. Pejabat bisa pidato lantang. Mengapa saya nggak boleh teriak. Saya ini penguasa nomor dua dalam bis tua ini". Mungkin saja kenek itu berpikir demikian, melihat saya nggak senang dengan teriakannya.

Saya bergegas turun dari bis tua yang suaranya mengaum karena mesin yang memanas.. Waktu menunjukkan jam dua kurang. Panas sedikit berkurang. Naik becak ke jalan Tanjung, dua puluh lima rupiah. Tak ada tawar menawar. Mau jumpa gadis idaman, pantang tawar menawar dengan pak becak. Saya ini mahasiswa. Tas berisi beberapa catatan dan pakaian dalam saya gantungkan di pundak. Pohon jambu di rumah pondokan MUR nampak hijau rimbun. Teringat beberapa minggu lalu, kami selalu duduk di bawah pohon itu berdua setiap akhir pekan. Hanya berbisik dan bercerita ringan.

"Wah nak, MUR belum pulang sejak pagi. Katanya kuliah sampai sore. Ngebut mau ujian" . Ibu kost yang sabar dan baik hati menyambutku ramah. "Ditunggu di dalam saja Nak". "Terima kasih Bu, saya tunggu di luar saja". Kecewa sekali rasanya. Bukan salah dia, bukan salah saya. Keadaanlah yang menyebabkan. Tak bisa kontak tilpun sebelumnya. Saya menunggu di kerindangan pohon itu. Di bangku kayu di mana kami berdua selalu duduk berdampingan di akhir pekan dalam bulan bulan terakhir.. Pikiran saya melayang membayangkannya. Jika dia datang akan kubelai tangannya. Jika dia tersenyum, akan saya sentuh pipinya. Duduk sendirian di bawah pohon jambu. Angin semilir ringan. Rasa katuk kadang datang menyelinap.

Sesaat nampak di kejauhan. Seorang gadis muncul dari persimpangan jalan. Berjalan pelan memakai payung warna merah merona. Matahari condong ke Barat. Angin bertiup pelan. Rambutnya berderai terterpa angin. Rok panjangnya ikut melambai berirama. Dengan langkah langkah ringan. Debu pasir ikut terbang menari bersama angin. Yogya memang berdebu di musim kering. Debu berpasir dari Gunung Merapi. Wajah ayu dibawah payung merah itu. Mungkin dia sudah melihat kalau saya menunggunya. Senyumnya lepas memukau. Saya berdiri memandangnya terpana dari balik pagar. Di bawah pohon jambu.

Kusambut tas kuliahnya, saya letakkan di bangku. Sejenak tak sempat berucap apa apa. "Hai". "Sudah lama KI ? Maaf ya saya kuliah sampai siang. Pulang sama Mica tadi". Tak mampu berkata, saya tertegun memandang wajahnya. Cantik mempesona. Pipinya memerah tertimpa panas. Indah bagai rembulan purnama. Beberapa saat saya hanya memandangnya. Tak sanggup membelai tangannya. Tak mampu menyentuh pipinya. Wajahnya begitu bersih penuh pesona. Bagai rembulan. Rembulan di siang hari. Dalam panas mata hari. Bulan pakai payung. Betapa bahagianya jika saya diberi kesempatan menemani dalam perjalanan perjalanan di panas siang hari. Dalam kesejukan kesejukan malam yang indah. Dalam taburan bulan purnama.

Ah lamunan sekilas tiga puluh lima tahun lalu selalu saja datang. Menyampaikan salam. Mengantarkan senyuman. Senyum yang abadi dalam kenangan. Bulan pakai payung.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community 10 Sept 2008)
http://community.kompas.com/read/artikel/1195

Wednesday, September 10, 2008

Mas Joko & Jeng Nunik

Desah napas putus asa. Terkulai lemah mas Joko di antara lutut sang isteri tercinta Nunik. Mereka baru saja menikah beberapa hari lalu. Saat saat yang diimpikan dan dipersiapkan secara cermat sejak lama buyar belaka. Keperkasaan mas Joko hancur dalam hitungan detik di dalam buaian kemesraan cinta yang menggelora. Tak mampu dia membawa isterinya ke langit ketujuh. Terkulai lemah sebelum sempat mengajak Nunik dalam tarian cinta erotis yang mereka impikan. Malu dan terhina. Ini bertentangan dengan prinsip kepemimpinan dan keperkasaan maskulin yang selama ini menjadi prinsip hidupnya. Sebaliknya Nunik menerimanya dengan iklas. "Nggak perlu tergesa Mas. Masih banyak kesempatan. Saya nggak kecewa kok".

Acara pernikahan mereka meriah dan membahagiakan. Mas Joko telah merancang jauh jauh acara malam pertama. Tak perlu tergesa gesa. Harus dilakukan secara taktis dan terencana. Tidak asal tembak seperti gaya hidup kotemporer masa kini. Bukan tembak dulu urusan belakang. Tak bisa itu. Tak bertanggung jawab. Tak ada dalam kamus. "Saya ini generasi muda masa kini. Bertanggung jawab. Bukan sopir truk jarak jauh". Pacaran juga cuma sekali sama Nunik, yang berakhir sampai ke pelaminan. Pacaran nggak macam macam. Ciuman hanya sebatas pipi sama dahi. Membelai tangan sama kaki (paha) Nunik, benar2 dia batasi. Sengaja selalu menandai demarkasi daerah yang tak boleh dibelai setiap malam Minggu dengan spidol merah. Sedikit di atas lutut dan siku. Nunik pun bahagia. Bagaimana enggak, mas Joko orangnya ngganteng, lurus, jujur, puritan, nggak mata keranjang. Pokoknya Joko thing thing.

Malam pertama terencana. Hari pertama sesudah nikah istilahnya Siaga Tiga tahap persiapan fisik. Hari kedua Siaga Dua, tahap persiapan mental. Hari ketiga Siaga Satu, siap tempur. Berbagai jamu dan latihan olahraga telah dilakukan secara cermat sejak dua bulan sebelumnya. Termasuk senam seksual pria. Bahkan latihan dengan bandul untuk meningkatkan keampuhan tempur perangkat keperkasaan lelakinya. Daya ungkitnya luar biasa dalam latihan. Bandul seberat setengah kilo dengan gampang diangkat berputar ke segala penjuru angin. Rencana siaga satu sampai tiga dibahas rinci dengan Nunik. Sejak kecil mas Joko sudah digembleng dengan disiplin tinggi. Waktu kecil sering nyanyi "Saya seorang kapitein. Mempunyai bedil panjang. Kalau berjalan prok prok prok. Saya seorang kapitain".

Benar benar terpukul mas Joko dengan kegagalan malam pertama. Tak pernah dia bayangkan tragedi yang begitu menghantam harga diri dan martabat kelelakiannya. "Tugas lelaki membawa isteri dalam perjalanan ke sorga asmara. Akan saya buat Nunik takluk melayang di awang awang". Tak akan ada lagi tanda spidol merah untuk demarkasi petting malam Minggu. Selamat tinggal spidol merah. Nunik memang penurut. Khas wanita Jawa, menjalani dan menuruti kehendak suami, sampai di tempat tidur. Malam berikutnya, dengan segala persiapan fisik dan mental, kedua pasangan itu mencoba kembali memadu cintanya. Mas Joko khusuk berkosentrasi. "Saya akan buat Nunik melayang terkulai dalam kenikmatan laut asmara".

Semua teori buku yang dibacanya kental mengendap dalam ingatan. Dia memang belum pernah sekalipun melakukan hubungan fisik pria wanita. Kali ini sedikit membaik. Namun dia tetap saja keburu jatuh ke bumi. Jatih ke kasur sebenarnya. Terkulai dalam pelukan mesra Nunik. Khayalan terbang melayang bersama Nunik tak juga kesampaian. Sementara Nunik hanya mendesah ringan. Tak sempat melayang. Tak sempat menari di awang awang. Perjalanan masih jauh. Dia menerima. Malam malam berikutnya tak banyak berbeda. Selalu kandas di kasur sebelum terbang melayang. Hanya sedikit lebih baik. Pada awal awalnya, mas Joko terkulai di antara lutut , sampai Nunik harus membimbingnya untuk berbaring di sampingnya. Malam malam berikut dia sedikit membaik, terkulai lemah disamping pelukan sang isteri.

Dengan sayang Nunik selalu memeluk dan membelainya. Memberi semangat, tak perlu kecil hati, walau dalam hati keinginan Nunik juga begitu membara. Semua akal sudah diterapkan Semua buku dan ajaran sudah diendapkan dalam benaknya. Bahkan senjata ampuhnya selama kini selama berhadapan dengan lawan bicara juga dicobanya. Mas Joko selalu batuk kecil (bhs Jawa dehem) sebelum bicara. "Eeeeeeem eeeeeeeem" . Lawan bicara selalu akan terpesona dan mengiyakan apa yang dikatakan. Meskipun kadang hanya bualan semata. Batuk batuk kecilnyapun sudah dicoba sebelum memulai bermain asmara dengan Nunik. Tetapi nampaknya tak mempan juga.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Akhirnya Nunik menyarankan agar periksa ke dokter. Atau memakai Viagra yang sering diiklankan lewat internet. Mas Joko hanya mengangguk. Batinnya memberontak. "Persetan dengan dokter. Persetan dengan Viagra. Nunik, tak perlu sedu sedan itu. Saya ini pria tangguh masa kini. Jika sampai waktuku, kubawa kau terbang di awang awang". Akhirnya mas Joko baca berbagai iklan di surat kabar. Begitu vulgar dan memikat. Ini dia, banyak iklan tentang lemah syahwat. Menawarkan berbagai cara meningkatkan keperkasaan lelaki. Mas Joko tertarik satu iklan kecil. "Melayani konsultasi langsung. Ahli totok jalan darah untuk lemah syahwat". Dalam dunia kangouw (silat) selama ini tak ada cerita totok jalan darah untuk meningkatkan syahwat. Kontraindikasi totok jalan darah daerah sekitar burung. Angker.

Singkat cerita mas Joko membuat perjanjian untuk konsultasi dengan ahli lemah syahwat, mBak Riri. Tokoh satu ini hampir tiap minggu namanya terpancang di koran, menawarkan pengobatan mujarab lemah syahwat. Dia buka praktek di berbagai kota. Lewat jam sembilan malam, dengan berdebar debar mas Joko datang ke tempat praktek mbak Riri di sudut kota. Kamar prakteknya tertata rapi, bersih, penuh aroma. Hanya ada beberapa pasien yang menunggu. Kesemuanya lelaki setengah baya ke atas. Mungkin semuanya menjelang atau sudah pension. Rata rata pria genit usia lanjut. Mas Joko termuda di antara mereka.

"Dimas, saya tahu masalahmu sejak awal. Jangan khawatir. Semua bisa diatasi". Mas Joko terhenyak mendengar sapaan lembut mBak Riri. Perlu terapi khusus. "Aliran darah panjenengan nggak lancar Dimas. Perlu sedikit totokan". Walau hatinya setengah nggak percaya dia toh manut saja. Dia dibawa masuk ke kamar periksa khusus. Tenang dan sejuk. Suara mBak Riri begitu lembut membaca mantera mantera, seperti menyanyi pelan pelan. Dia terbawa alunan suara yang begitu indah. Tak menyangka tokoh spiritual lemah syahwat ini masih begitu muda. Hanya beberapa tahun di atas mas Joko. Tak tahu dia apa yang dilakukan Mbak Riri. Perasaannya melayang jauh. Pelan pelan tapi pasti perangkat kelelakiannya berangkat tegak kembali. Seperti dalam latihan latihan fisik sebelumnya. Tegak lurus, disiplin seperti dalam posisi baris sempurna. Sementara suara lembut mBak Riri semakin membuai. Tangannya halus membelai daerah daerah sensitifnya, yang seharusnya jadi demarkasi. Tetapi tak sempat lagi dia berpikir tentang spidol merah. Manut saja, ketika bisikan mesra itu mampir ke telinganya. Terbersit harapan lebih dari sekedar bisikan mesra itu. Telentang larut dalam lamunan mesra. Aaah begitu membuai. Sadar sesadar sadarnya, mBak Riri telah duduk di atasnya menari nari pelan dan lembut. Dia ikut menari dengan irama erotis yang menghanyutkan. Dia melayang di awang awang dalam bimbingan Mbak Riri. Perasaan yang diimpikan selama ini. Selesai tarian sorga dia kembali ke bumi bersama desah napas serentak berkepanjangan. Inilah klimaks dari semuanya.

Mas Joko terpana dalam kepuasan fisik dan emosi yang dalam. Hatinya gagap. Rasa penyesalan menyelinap. Ini pengkhiatan. Akhrinya dia menukas sendiri. Bukan pengkhiatan. Bukan perselingkuhan. Ini pengorbanan. Untuk kebahagian bersama Nunik tercinta. Malam malam berikut, tak ada lagi ambisi menaklukan Nunik. Membimbing dan membawa Nunik melayang ke awang awang. Yang ada dia selalu ikut menari, ketika Nunik duduk diatasnya. Menari bersama. Melayang bersama. Menikmati bersama. Dia sadar sesadar sadarnya, kepuasan dan kenikmatan adalah kebersamaan bersama Nunik yang dicitainya. Bukan menaklukan, bukan membimbing. Bukan tentang keperkasaan. Bukan tentang siapa yang pegang komando. Tetapi tentang dia dan Nunik, sang isteri yang sangat dicintai. Tentang cinta dan kebersamaan.

Salam damai untuk para penganten baru

Ki Ageng Similikithi


Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, 10 September 2008
(http://community.kompas.com/read/artikel/1135)

Friday, August 29, 2008

Jalan ke Barat

Januari 1980. Dalam perjalanan ke bandara Halim Perdana Kusuma. Diantar NYI sama anak anak Aryo sama Nunu. Juga kakak sekeluarga bersama ponakan ponakan. Tiga hari terakhir nginap di tempat kakak sulung di Jakarta, bersama NYI dan anak anak. NYI hamil tua anak ke tiga. Dia nampak diam menahan perasaan. Demikian juga saya. Pikiran saya galau akan pisah dengan istri dan anak anak.. Aryo sudah tahu kalau saya mau pergi jauh. Sejak semalam dia sudah diam saja. Umurnya belum genap 4 tahun. Nunu belum tahu apa apa, umurnya baru dua tahun kurang. Selalu sibuk main main. Saya nggak tahu berapa lama akan pisah. Saya akan mengambil program doktor di University Newcastle upon Tyne (UK). Mestinya berangkat bulan Oktober, tiga bulan lalu. Tetapi saya minta diundur oleh karena masih harus menyelesaikan banyak penelitian, juga laporan dari pertemuan Asia Pasifik yang baru saja terselenggara bulan Juni '79.

Keberangkatan ini sebenarnya sudah saya nantikan lama, namun tak menyangka betapa berat pisah dengan isteri dan anak anak. Kebetulan mereka pas sedang aktif aktifnya dan lengket sekali sama saya. Tak begitu lancar awalnya menembus ijin atasan oleh karena ada kebijakan tak resmi harus urut jika mau ke luar negeri. Untung akhirnya Dekan menyetujui. Rockefeller Foundation setuju memberikan beasiswa. Juga ada persetujuan penerimaan dari University of Newcastle Upon Tyne, yang mau menampung topik penelitian saya tentang pengaruh genetik dan gizi dalam kemampuan metabolisme obat.

Sejak dua tahun sebelumnya saya memang giat melakukan konsultasi dan menawarkan topik penelitian saya ke berbagai lembaga di Eropa Barat dan Amerika. Ada beberapa pilihan. Di Karolinska Institutet Swedia, gelar doktor bisa dicapai dengan melakukan penelitian penuh waktu dan publikasi minimal 5 karya penelitian. Biasanya dapat diselesaikan antara 4 – 5 tahun. Di salah satu universitas terkemuka di US, program PhD terdiri atas course work selama dua tahun lalu disambung dengan penelitian selama dua tahun. Minimal empat tahun. Sewaktu menjadi sekretaris penyelenggara pertemuan Asia Pasifik di Yogya, saya konsultasi dengan beberapa tokoh dari Australia dan dianjurkan untuk menulis ke Newcastle UK. Beberapa bulan konsultasi dan kemudian melengkapi syarat2 pendaftaran, akhirnya Wolfson Unit menerima saya untuk program doktor. Bisa diselesaikan dalam waktu tiga tahun, jika penelitian berjalan lancar.

Dalam perjalan ke bandara, lamunan saya melayang ke belakang, ke masa masa kecil saya. Sejak SMP saya selalu memimpikan untuk dapat kesempatan belajar di Eropa Barat. Saya selalu mengikuti membaca majalah majalah dari Uni Soviet waktu itu. Namun ada keraguan untuk mengambil program paska sarjana di sana. Saya nggak tahu sebabnya. Teman bapak saya pernah menjadi duta besar di Hongaria di awal tahun enam puluhan. Beliau pernah berkata " Anak muda, datanglah ke Budapest. Di sanalah banyak yang bisa dipelajari". Saya selalu membayangkan lembaga lembaga pendidikan di Eropa yang mapan dan maju. Saya mengagumi tokoh2 politik dari Uni Soviet, seperti Nikita Kruschev dan Andrei Gromyko, yang begitu lantang bersuara dalam debat diplomatic dengan negara Barat. Namun keinginan untuk belajar dari negara Eropa Timur tak kunjung muncul.

Tahun 1963 kakak sulung saya berangkat program paska sarjana ke Amerika, di Purdue University. Selalu mengirim foto berwarna mengenai Amerika. Belum ada foto berwarna waktu itu di Indonesia. Beberapa foto yang dikirim menunjukkan gambarnya dengan beberapa burung betet hinggap di pundak dan lengannya. Nggak tahu diambil dari mana. Kami lihat foto itu ramai ramai di kelas. Saya masih kelas satu SMP. Teman teman berkomentar macam macam. "Edan di Amerika, burung bisa lengket sama manusia".
"Di Indonesia orang juga lengket sama burungnya sendiri".

Sampai di bandara menjelang petang. Duduk sebentar di ruang tunggu. Nunu asyik main bola di lantai. Tak tahu apa apa. Aryo mulai merengek dan lengket sama saya terus. Tahu jika saya akan pergi jauh. Kemudian menyelesaikan check in sebentar. Nggak ada masalah. Pesawat Garuda masih bisa menghubungkan jalur Jakarta London dengan berhenti di beberapa bandara di Asia dan Timur Tengah. Selesai check in kembali menemui NYI sama anak anak dan saudara2. Aryo nampak girang kembali dikira saya nggak jadi berangkat. Hati saya semakin bergetar. NYI matanya memerah. Kok ya nggak gampang ya pergi jauh pisah sama anak isteri ? Tak pernah terpikir sebelumnya.

Sewaktu kelas tiga Sekolah Rakyat kami pernah membaca cerita berjudul "Dateng Negari Walandi". Mencerikan kisah perjalanan seorang anak muda dari Solo yang mau benagkat belajar ke negeri Belanda. Naik kapal laut dari pelabuhan Semarang. Perjalanan akan berlangsung selama lebih tiga minggu. Dia membawa dua kopor dari logam. Diantar bapak ibu dan saudara saudaranya. Ceritanya sebenarnya mungkin terjadi di jaman penjajahan sebelum perang, lupa nama sang tokoh cerita. Tetapi dia digambarkan begitu gembira di saat keberangkatan. Bayangan saya waktu itu keberangkatan ke luar negeri pasti sangat membahagiakan. Saya harus angon sapi tiap sore pulang sekolah. Belajar ke negeri Belanda, nggak ada kamus angon sapi pulang sekolah.

Aryo menangis berat ketika saya pamit berangkat. Nunu minta dibelikan bola. NYI memeluk saya sambil menangis. Matahari hampir tenggelam, langit memerah di ufuk barat, ketika saya berjalan di tarmac menuju pesawat. Ke arah mata hari tenggelam di ufuk Barat. Keberangkatan ini adalah impian sejak kecil, impian impian saat angon sapi, berangkat belajar ke Eropa. Seperti halnya anak muda dari Solo dalam kisah 'Dateng Negari Walandi".

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, 29 Agustus 2008

Tuesday, August 19, 2008

Aaaaaaaah Sang Dukun

Napasnya berdesah. Dada terasa sesak. Jantung berdebar keras. Pikirannya galau. Sumi tak mampu berpikir jernih. Seumur hidup baru kali ini berdua dengan pria selain Herman suaminya. Berdua sendirian di kamar hotel. Dengan dukun yang sangat dipercayainya. Hatinya di persimpangan jalan. Sementara tatapan mata sang dukun begitu tajam menatapnya. Menembus sanubari, menawarkan keindahan dan kemesraan yang telah lama hilang dari dunianya. Dunia bersama suaminya Herman. " Tak perlu takut Jeng. Pertama kali biasanya merasa takut. Tak apa apa. Ini demi kebahagiaan dan masa depanmu". Sang dukun memegang lembut jari jari tangannya. "Ya demi kebahagiaan saya. Demi keutuhan rumah tangga. Bukan petualangan. Bukan perselingkuhan.". Sumi mencoba mencari kebenaran. Bayangan Herman yang dia cintai mampir sesaat. "Tak akan saya lepaskan dia. Saya mencintainya. Biar perempuan itu merana karenanya. Demi dia saya lakukan ini semua". Namun tak sanggup dia keluar dari impian baur. Antara rasa dosa, takut dan kenikmatan yang memikat.

Sumi dan Herman telah tujuh tahun mengarungi perkawinan. Penuh kebahagiaan mulanya, apa lagi mereka telah dikaruniai dua putrid mungil, Mira 6 tahun dan Tita 4 tahun. Mereka berkenalan di kampus semasa kuliah. Umur mereka hanya terpaut dua tahun. Beda jurusan walau masih satu kampus. Begitu Sumi lulus, mereka langsung mengikat tali perkawinan. Sangat membahagiakan. Herman bekerja di salah satu perusahaan besar di bagian pemasaran. Sedang Sumi memilih karier impiannya sejak muda, menjadi guru. Perjalanan karier mereka lancar, ekonomi stabil untuk ukuran keluarga muda. Sayang perjalanan hidup tak seperti yang selalu yang di inginkan. Seiring dengan meningkatnya karier dan kesejahteraan, prahara rumah tangga perlahan datang tanpa disadari. Herman begitu sibuk dengan kegiatan perusahaan yang berkembang pesat. Sementara Sumi juga sering sibuk sebagai seorang guru yang sedang menanjak bintangnya. Entah yang namanya lokakarya, semiloka, penataran, pelatihan, lomba guru teladan, sebutlah apa saja nggak ada yang ketinggalan. Tak ada masalah, karena ada pembantu yang mengurus Mira sama Tita. Jika Sumi dan Herman sering harus menginap di luar kota, sendiri sendiri tentunya, maka anak anak bisa ke rumah neneknya yang tinggal dekat dengan mereka.

Tak terasa kesibukan masing masing telah menjauhkan jarak di antara mereka. Hanya kecintaan dan kedekatan mereka dengan kedua anaknya yang masih membimbimg mereka untuk tetap hidup bersama. Kadang Sumi terpikir dan merindukan masa masa indah yang pernah dia nikmati bersama dulu. Tetapi gengsi dan malu untuk mengutarakannya. Hanya kebisuan yang meyeret mereka terpisah dalam dunia masing masing. Bulan bulan terakhir Herman mulai jarang pulang ke rumah. Sumi juga tak peduli. "Toh saya bisa berdiri sendiri". Akhirnya seorang teman akrabnya semasa kuliah, Tini, mengingatkannya. " Ada wanita idaman lain. Apakah akan kaubiarkan suamimu terbuai dalam pelukan perempuan lain? Pertahankan dia, jika kau mencintainya. Dia milikmu". Sumi tersadar dari kebisuan. Dia berketetatpan akan mendapatkan kembali kemesraan miliknya. Bukan untuk wanita jalang itu.

Lewat Tini dia berkenalan dengan tokoh spiritual ternama itu. Para selebritis dan anggota DPR konon banyak tergarap oleh tangan dingin dan sesaji sang tokoh. Mana yang keserimpet penyalahgunaan dana APBN, entah yang pengin naik pangkat, entah yang ditinggal pergi kekasih, entah yang mempertahankan jatidiri sebagai pria metropolitan masa kini dan lain sebagainya. Sudah beberapa kali dia konsultasi dengan sang dukun. Namanya terkenal Ki Demang Genthalogedhi. Nama aslinya dulu Satimin. Biasanya ketemu di tempat praktek di Jakarta Selatan. Sumi sangat percaya kemampuan spiritual Ki Demang. Tatapan matanya begitu sejuk dan dalam. Seolah membelah apa yang ada dalam sanubari. Semua nasehat ki Demang sudah dijalani. Puasa mutih tujuh hari tujuh malam. Menyembelih sepasang ayam putih. Telanjang dan kungkum air dingin tengah malam. Hanya satu yang belum terjalani. Berbicara langsung dengan Sang Danyang yang menguasai hal ihwal cinta antar manusia. Harus dilakukan tengah malam di atas bukit yang tinggi. Agar dekat dengan kayangan para Danyang. Ki Demang akan menjadi penghubung spiritualnya. Dalam bahasa Jawa, prewangan. Bahasa kotemporernya mediator spiritual.

Malam Selasa Kiwon itu mereka berencana lelaku di puncak gunung. Selasa Kliwon atau Anggoro Kasih, malam yang tepat untuk menyepi atau mereguk cinta. Berdua naik mobil dengan Ki Demang menelusuri jalan jalan kecil di lereng bukit. Baru setengah perjalanan tiba hujan deras bercampur petir. "Jeng ini alamat tidak baik untuk lelaku. Kita cari saja tempat aman. Nggak perlu dibawah langit terbuka". Sumi diam saja, tak menolak, tak mengiyakan. Apapun kata Ki Demang, itulah yang paling bijak. Apalagi kalau bicara didahului dengan batuk batuk kecil. Eeeeeem. Mereka akhirnya menginap di salah satu hotel melati di sekitar tempat peristirahatan. Kebetulan juga sedang sepi. Tempat peristirahatan tidak menjadi halangan untuk lelaku atau nyepi. Ini jaman modern, lelaku atau nyepi nggak harus ditempat sepi. Di keramaian pun, bahkan di karaoke, bisa saja nyepi. Yang penting niatnya. Mau nyepi sambil karaoke.

Tengah malam Ki Demang member isyarat untuk datang ke kamarnya. Ada sedikit uopacara yang harus dilakukan sebelum wawancara dengan Sang Danyang lewat mediasi Ki Demang. Bau kemeyan menebar suasana mistis dan sedikit membuat Sumi agak pusing. Dia mantap melihat Ki Demang mulai membaca mantera mantera tentang cinta. Napas mereka berdua terdengar teratur berdesah. Sesuai dengan nasehat Ki Demang, Sumi hanya memakai kain sebatas dada (kembenan).

Tiba tiba saja Ki Demang bicara dengan suara beda. "Cucuku anakmas Timin, tanpa pertanda apa apa, kenapa sampeyan datang disaat prahara begini?".
"Nama saya bukan Timin eyang. Saya ini Ki Demang Genthalogedhi". Ki Demang menyahut dengan suara asli. " Saya mengantar Jeng Sumi. Mohon berkah Eyang. Masalah rumah tangga".
" Cucuku dulu sampeyan kan hanya si gembala sapi. Karena lelaku tapabrata kau dapat wahyu. Wahyu untuk membahagiakan banyak orang. Terutama wanita. Bawa kemari Sumi".
" Cucuku cah ayu. Mari dekat ke sini". Saya tahu apa masalahmu. Jangan kecil hati. Semua akan teratasi". Ki Demang bersuara aneh, agak celat.
Walau berdebar takut, Sumi mantap mencermati nasehat Sang Danyang. Kebekuan terasa hangat mengalir. Hatinya berdesir desir seolah melayang di awang awing.
"Turuti semua nasehat dan petunjukku cah ayu. Tidak apa apa. Bukan dosa, bukan apa apa. Ini adalah pengorbanan demi kebahagiaan dan masa depanmu". Tangan Ki Demang yang sedang kerasukan Sang Danyang, dengan halus terus meremas jari jari dan meraba raba bagian bagian tubuhnya. Sumi pasrah. Bercampur rasa berkorban, pasrah dan kenikmatan. Sementara Ki Demang Genthalogedhi, begitu lembut menari nari di dalam kawah wanitanya. Menuntunnya melayang di awang awang. Gerak gerak lembut yang tak pernah dirasakannya. Menghantarnya ke kepuasan tak terhingga.

Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Sumi tetap rajin konsultasi spiritual dengan Ki Demang. Herman juga tetap sibuk dengan dunianya. Hanya bedanya Sumi merasakan kehangatan tak terhingga. Kegiatannya dengan Ki Demang, tak hanya untuk lelaku atau nyepi. Tak perlu lagi lewat mediasi. Sang Danyang. Mereka sudah sama sama tahu. Tak perlu mediasi danyang siapapun. Asyiik booo. Toh Ki Demang juga manusia biasa. Jamane jaman edan.

Salam kasih dan damai. Jangan percaya mulut manis, magis, mistis semata mata.

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community. 19 Agustus 2008

(http://community.kompas.com/read/artikel/978)

Friday, July 25, 2008

Belum tahu saya ya ?

Musim kemarau 1972. Saya makan siang di warung dekat kost di Patangpuluhan Yogyakarta. Warung Ngapak. Yang punya asal Purwokerto, nggak bisa bilang "opo", bilangnya "ngapak". Makanan sederhana, nasi sama sayur tempe pedas. Tambah kerupuk. Saya biasa makan sama krupuk, seperti orang Jawa pada umumnya. Nggak tahu benar apa manfaatnya. Mungkin sekedar untuk membuat suara mulut riuh saat mengunyah kerupuk. Siang itu panas benar. Pulang kuliah jalan kaki dari Mangkubumen.. Di bangku di hadapan saya duduk seorang pemuda sebaya. Wajahnya tampan, acuh dan tenang sekali menikmati makan siangnya tanpa kerupuk. Perawakannya langsing tak sampai kurus. Rambutnya terurai sampai pundak. Beberapa kali saya lihat dia makan di warung ini.

" Rumahnya di mana mas "? Tanya saya basa basi memecah kebekuan. " Wah sampeyan belum tahu saya ya? Saya kan kost di gang sebelah. Saya anggota bengkel teater" Jawabnya lugas dan seolah agak terkejut menyadari bahwa saya nggak tahu siapa dia. Saya juga terhenyak mendengar jawabannya yang di luar dugaan. Saya pikir akan nada basa basi perkenalan pertama. Mungkin saya yang keliru. Mengharap percakapan yang santun penuh basa basi seperti di ketoprak.

" Bagaimana kabar sampeyan ?Saya sering lihat anda di warung ini.". Pertanyaannya menyusul balik. Saya ganti gaya bicara. Ini bicara dengan seniman. Nggak bisa formal formalan. "Kabar saya selalu ramai. Ramai ramai potong padi". Saya nggak ingat Ramai Ramai Potong Padi adalah judul lagu. Sengaja saya bicara sekenanya dan angin anginan. Dia malah serius menangggapi. "Sampeyan anak petani? Dari desa?". Sewaktu dia tahu saya dari Ambarawa, ayah saya guru dan kami punya lahan pertanian dan peternakan, dia makin antusias dan kami terlibat dalam pembicaraan akrab. Ringkas cerita, dia anak seorang jendral di Jakarta. Bergabung bersama kelompok teater terkenal di Yogya. " Saya bosan dengan kehidupan borjuis di Jakarta. Saya tidak suka kemapanan. Saya ingin terlibat dalam kehidupan rakyat sehari hari. Melalui teater saya bebas menyuarakan suara hati saya".

Saya mengagumi rasa percaya dirinya yang besar. Bilang tanpa ragu siapa dia. "Saya orang bebas. Saya seniman. Langit di luar adalah atap rumah saya". Saya selalu menukas angina anginan " Saya ini hanya si gembala sapi Bung". Waktu waktu berikutnya sering ketemu di warung yang sama. Atau di warung saingan Ngapak di seberang jalan. Lupa siapa namanya, yang punya asal Gunung Kidul, katanya bekas komandan gerilya. Tiap hari selalu mengeluh tak ada balas jasa dari pemerintah. Dan Hans akan selalu menukas. "Pahlawan tak pernah mengharap balas jasa Bung. Sampeyan tak berjiwa pahlawan". Saya hanya sering tertawa mendengar debat mereka "Saya seorang kapitain. Tanpa pedang panjang. Makan sayur tempe sama kerupuk". Bah, Hans selalu menganggap saya sebagai bagian dari kemapanan dan borjuisme, karena saya sekolah di kedokteran. Batin saya mengumpat " Pakanane jangan tempe warung Ngapak, kok borjuis. Gamblis".

Suatu hari saya melihat latihan teater kelompoknya Hans. Saya terpukau kagum melihat betapa dia menghayati watak yang harus diperankan. Lupa judulnya. Dia memerankan tokoh pahlawan yang dikianati teman dan dijebak dalam intrik kotor pembunuhan. Dia nyaring berteriak. "Saya Simusasava. Saya tidak takut mati. Tidak akan mati. Saya akan gugur demi kehormatan anak anak negeri ". Saya tertegun, berdesir hati saya.Nampak benar betapa dia menjiwai dan mencintai perannya.

Saya selalu mengagumi rasa percaya dirinya. Walau tidak bersahabat dekat. Beberapa tahun kemudian saya sering membaca namanya tertulis di berbagai surat kabar karena permainan teaternya. Sayang tak berkepanjangan dan tak sampai menjadi idola masa. Tetapi saya tetap ingat wajahnya yang tenang dan acuh penuh percaya diri itu. Rasa percaya diri adalah modal besar untuk berhasil. Banyak kegagalan karena kekurangan kepercayaan akan kemampuan diri sendiri. Tetapi kadang kala juga ada rasa percaya diri yang kelebihan dosis.

Dalam tahun tahun akhir ini, saya sering terlibat dalam wawancara seleksi tenaga profesional yang akan menduduki jabatan jabatan strategis di organisasi. Biasanya dari ratusan pelamar hanya 3 – 5 orang yang masuk short list untuk wawancara. Dari berbagai latar belakang etnis dan geografis. Banyak calon dengan keahlian teknis prima dan pengalaman panjang, kadang gagal seleksi karena kurang percaya diri sewaktu wawancara. Calon calon ini tak bisa memaparkan kemampuan dan pengalaman dirinya. Apa yang bisa anda sumbangkan dengan keahlian dan pengalaman anda, jika anda diterima ? Apa prestasi ada selama ini ? Calon calon dari Asia Tenggara dan Timur begitu mengendalikan diri ketika harus menceritakan prestasinya, keahlian dan pengalamannya. Mungkin juga bukan semata mata karena kurang percaya diri. Ada kebiasaan kultural yang membiasakan mereka tak ingin memamerkan kemampuannya.

Aaah saya ingat kenalan saya Hans. Teriakannya terngiang kembali "Saya ini anti borjuisme. Anti kemapanan. Saya tidak takut mati. Saya tidak akan mati. Saya akan gugur demi kehormatan anak anak negeri" Penuh percaya diri walau kami hanya makan dengan sayur tempe di warung Ngapak.

Hai anak muda, jangan ragu ungkapkan kemampuanmu dan impianmu.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, 22 Juli 2008
(http://community.kompas.com/read/artikel/767)

Wednesday, July 16, 2008

Ngintip aaah

enghujung tahun 1971. Saya tinggal di salah satu losmen di jalan Pajeksan Yogyakarta.. . Masih duduk di tingkat tiga, nyambi kerja untuk menutup ongkos kuliah.. Lumayan dapat honor sekalian dapat fasilitas satu kamar tidur. Lebih baik dari kamar pondokan saya sebelumnya. Hampir setahun saya tinggal di losmen itu. Banyak ragam permasalahan saya hadapi. Masalah manusia sehari hari. Suatu malam lewat jam sebelas, saya sudah siap siap tidur, ketika ada suara gaduh. . "Kur Zikur nyebut Kur. Kepriye dhonge raaa? Disebul wae . Disebul wae." Saya bergegas ke ruang belakang Ada dua puluh kamar di sisi kanan kiri lorong utama. Sinar listrik 110 volt menerangi samar samar. Seorang penghuni pria nampak di papah teman temannya. Setengah sadar sambil sambil mengeluarkan suara khas mau muntah. Saya lakukan pemeriksaan kilat, dan ukur tekanan darahnya. Sangat tinggi dan riskan. . Lebih 200 mm Hg sistolis.Umur relatip masih muda. Baru menjelang kepala empat. Cepat cepat pasien dilarikan ke RS Pugeran, naik becak

Zikur adalah penghuni langganan. Dia pedagang batik dari Pekalongan. Ada dua kamar di belakang yang selalu disewa ramai ramai oleh kelompok pedagang batik dari Pekalongan. Rupanya malam itu Zikur dan beberapa temannya sedang asyik ngintip dua orang turis penghuni kamar depan, pasangan asal Perancis. Mereka berdua sudah beberapa hari tinggal di sana. Suka menyulut obat nyamuk jika tidur. Karena tak tahan bau obat nyamuk, jendela dibiarkan terbuka. Sorenya si turis putrid tanya saya apakah aman kalau jendela di biarkan terbuka malam hari. Saya jamin aman karena ada empat penjaga malam. Tak berpikir kalau akan diintip orang. Juga nggak terpikir kalau orang kulit putih selalu telanjang kalau tidur. Desah napas memburu dan bunyi tempat tidur menderit derit berirama, mengundang para pria dari Pekalongan itu ngintip. Ya mereka memang sudah beberapa minggu pisah isteri. Tetapi rupanya Zikir tak sadar kalau ngintip itu berresiko.tinggi. Bukan timbilen, tetapi krisis hipertensi. Untung dia esok paginya sudah boleh pulang dari rumah sakit. Obat jalan sekaligus nasehat. Jangan suka ngintip raaaa. Saya tidak punya kesan negatip terhadap orang Pekalongan karena insiden itu. NYI juga asal Pekalongan.

Banyak orang punya kebiasaan ngintip. Pengertian ngintip adalah melihat atau mengamati orang lain lewat lubang kecil atau dari tempat tersembunyi, sehingga orang yang diintip tidak tahu apa lagi menyetujui kalau dia sedang diamati orang lain. Sasaran perbuatan ngintip bisa orang yang sedang mandi, orang ganti pakaian, orang bermain asmara dan lain sebagainya. Jarang orang ngintip orang yang sedang buang air besar. Manusia yang sedang buang air besar bisa mengeluarkan aroma khas untuk mengusir para pengintip seperti cerpelai mengusir binatang musuhnya. Wanita mungkin lebih banyak menjadi sasaran pengintipan. Sejak kecil saya dididik keras tidak boleh ngintip. Hukumannya berat disabet pakai rotan oleh ayah saya. Belum lagi katanya dosanya dibawa ke akhirat. Oleh karena ngintip pada dasarnya ingin mengetahui dan melihat perilaku orang lain yang sebenarnya tak boleh dilihat atau diketahui.

Guru budi pekerti saya juga memasukkan perbuatan ngintip sebagai perbuatan tercela. Tidak dianjurkan untuk anak muda harapan bangsa. Pengalaman ngintip saya hanya sekali sewaktu kelas satu SMP di Ambarawa. Teman satu kelas namanya Wandi rumahnya di belakang gedung bioskop. Ada dua gedung bioskop di Ambarawa, gedung Garuda atau Madjoe. Selalu penuh terutama di akhir pekan. Banyak orang dari kawasan sekitar yang jturun ke kota lihat bioskop. Saya selalu ramai2 bawa obor kalau lihat bioskop. Belum ada listrik masuk desa. Suatu hari Wandi bilang, kalau mau nonton bioskop gratis lewat dia, bisa diatur. Asal bawa makanan, kacang kek atau rempeyek. Lumayan dari pada bayar karcis. Petang itu saya sudah siap di rumah Wandi. Orang sudah mulai sorak ramai di dalam gedung, tetapi dia kok masih tenang2 saja. Begitu sorak sudah reda, kami bertiga menyelinap di samping gedung. Ternyata dia tidak membawa kami ke dalam, tetapi memanjat dinding bioskop dan mengintip lewat lubang yang telah disiapkan. Halaman samping itu dekat WC, baunya pesing nggak ketulungan. Mana tahan mau makan kacang atau rempeyek. Saya duduk dibawah dalam kegelapan sambil menunggu. Eeh tahunya banyak penonton yang juga buang air kecil semaunya sekitar dinding tua itu. Belum ada setengah jam saya pamit. "Saya nggak biasa ngintip Ndi, mau pulang saja". Sial bo. Saya nggak berani cerita di rumah. Judul filmya Sungai Ular. Besoknya saya pamit kembali nonton dengan adik saya. Saya bilang pengin nonton sekali lagi.

Di kelas satu SMA di Solo awalnya saya mondok di Sambeng. Di tempat Bu Basuki. Ada beberapa anak laki2 yang mondok disitu, sebagian besar dari Madiun atau Ponorogo. Di depan rumah ada dua pohon jambu yang rimbun dan lebat. Saya suka tiduran di bangku di bawah pohon jambu yang rindang itu. Ada kost putri di sebelah rumah kami. Suatu sore ketika ibu kost sedang tidur, beberapa anak putri rumah sebelah datang mendekati saya yang sedang tiduran di bangku. " Dik nggak usah bilang bilang ya. Kami mau ambil jambu". Mau mengiyakan saya nggak ada hak, mau memanjatkan juga merasa nggak berwenang. Saya biarkan mereka manjat sendiri.. "Jangan ngintip ya dhik". Saya hanya diam saja.. Terserahlah. Hanya ingat pidato Bung Karno, "Pandanglah ke atas. Bintang bintang bertabur di langit. Raihlah cita citamu setinggi langit". Saya lihat ke atas nggak ada bintang. Hanya ada celana dalam warna warni. Ini bukanlah mengintip menurut definisi di atas. Tidak mencuri pandang lewat lubang kecil, tetapi melihat lewat langit yang maha luas. Sasaran juga sepenuhnya tahu. Saya pada dasarnya rendah hati, nggak bisa lihat bawah. Menyepelekan orang yang dilihat. Selalu melihat ke atas demi cita cita. Apalagi jika ada celana warna warni di atas sana, di antara ranting jambu, di antara tungkai yang indah dan sehat seperti tungkai Miss Universe. Tak ada bekas koreng. Bukan ngintip bo.

Di tahun kedua di Solo saya tinggak bersama kakak sekeluarga di Badran, Kota Barat. Kami bertetangga dengan tante Lin, seorang ibu muda umurnya pertengahan tiga puluhan, Putranya empat suka main ke rumah. Tante Lin jelita seperti Tintin Sumani. Suaminya bekerja di Jakarta kabarnya. Hubungan kami sekeluarga dengan keluarga Tante Lin biasa biasa saja. Ibu Tante Lin sangat galak, sering dibilang kayak Calon Arang. Tante Lin punya kebiasaan aneh. Setiap petang menjelang malam Jum'at, selalu mandi dengan kembang setaman di halaman depan rumahnya. Tidak di dalam kamar mandi. Tetapi di luar di dekat sumur. Tak banyak tetangga oleh karena rumahnya di ujung gang. Tetapi kami bisa melihat dengan jelas dari ruang depan, hanya dua puluh meter jaraknya. Dia nggak merasa risih walaupun kami sedang duduk duduk di ruang depan dengan jendela terbuka. Pemandangan yang mengasyikkan. Beberapa tetangga termasuk almarhum mas Tarno yang sudah berputra lima, sering2 bertandang ke rumah saya dan iingintip dari lubang kecil di kamar saya. Mereka tak mau duduk di ruang depan, memandang dari jendela terbuka. Saya tak juga berminat ikut mengintip lewat luang kecil itu. Ini masalah prinsip. Toh bisa melihat dengan jelas dari ruang depan. Tante Lin pun nggak pernah marah. Malah kadang2 melambaikan tanggannya. Beberapa waktu berlalu, pemandangan itu seolah biasa, bagian dari potret alam dunia. Tak ada minat mengintip. Buat apa ?

Pengalaman kasus ngintip di Yogya lain lagi. Di tahun awal tujuh puluhan, ada seorang tokoh senior di kampus yang suka ngintip dan buka buka celana di muka asrama putri di Mangkubumen. Biasanya menjelang petang dan para penghuni asrama yang sudah hapal, akan bersuara gaduh melihat pemandangan aneh itu. Mungkin tokoh ini menderita kelainan psikologis. Teman baik saya Baedi yang kenal dekat dengan sang tokoh tadi suatu saat mencoba mengingatkan. Dia orangnya sangat alim dan religius. Tidak baik kebiasaan itu. Apa kata sang tokoh ? " Ini burung burung burung saya sendiri, sampeyan mau apa ? Mentang mentang sampeyan orang Hadramaut, burungnya besar mau nyombong ya ? " Baedi yang memang kebetulan berdarah Arab bercerita sambil mengeluh ke saya " Pak Anu itu keterlaluan, saya ingatkan baik baik kok malah marah. Berbau apartheid lagi". Saya tertawa, urusan penyakit ngintip dan masalah burung, apa hubungannya dengan apartheid? Apartheid dulu ada di Afrika Selatan, dan tak ada hubungannya dengan intip mengintip dan buka buka celana di muka asrama putri, apalagi dengan masalah ukuran burung..

Jangan suka ngintip. Jamannya jaman keterbukaan. Glasnots dan perestroika. Mau ngintip ? Nyeeet.

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community 16 Juli 2008

(http://community.kompas.com/read/artikel/694)