Saturday, December 13, 2008

Nunggak semi


Mas Parto begitu gundah ketika isterinya memberi tahu bahwa anak lelaki satu satunya, Supardi kok ikut main band di sekolah. Nama lengkapnya Suparto, pekerjaannya sejak muda jadi sopir. Sopir bis jarak jauh, Wonogiri Lampung. Profesi ini sudah digeluti lebih dari dua puluh lima tahun. Sejak dia belum kawin. Dia meneruskan profesi orang tuanya almarhum yang juga sopir, supir truk gandeng. Bagi Mas Parto menjadi sopir bis bukan sekedar mata pencaharian. Tetapi profesi yang sangat dibanggakannya. Mendapat kepercayaan umum, mengantar orang yang bepergian ke tujuan dengan aman dan selamat. Juga ada kepercayaan diri yang besar, merasa menjadi raja di jalan. Bisnya besar keren, warna merah kuning sangat meriah. Lain dengan sopir truk, profesinya sering terkait dengan warung remang remang sepanjang jalan. Menjadi sopir bis sudah merupakan loncatan profesi antar generasi dibanding dengan ayahnya yang hanya sopir truk gandeng, yang kalau naik tanjakan sering mesinnya ngos ngosan setengah mati. Dia mencoba memendam rasa gundah. Memang pembawaannya agak pendiam. Sopir bis jarak jauh pantang cengengesan seperti sopir truk atau angkot. Namun dia tambah rusuh ketika mendengar Supardi mau mewakili sekolah dalam perlombaan band sekotamadya. Edan. Ini bukan main main lagi. Harus ada tindakan. Memang sejak dua tahun ini anaknya, Supardi selalu tekun belajar musik dan ikut main band. Dulu sih mulanya hanya sering membantu angkut angkut kalau orkes keroncong di kampungnya naik panggung.

Singkat cerita band sekolah Supardi dapat juara satu. Supardi jadi bintang karena dia pemain melodi. Kadang ikut nyanyi. Dalam acara final pak walikota ikut menyaksikan. Bahkan ikut foto dengan band sekolah Supardi ketika mereka menang. Begitu gembira Supardi cepat cepat pulang memberi tahu bapak ibunya. Ini peristiwa istimewa. Bayangannya dia akan bisa rekaman. Namanya nanti tenar masuk TV entah KISS, entah Kasak Kusuk, apalah. Yang ptning nggak masuk berita kriminal Waspadalah. Bahkan dia pikir nama Supardi nggak begitu afdol sebagai pemain band masa kini. Dia akan ganti dengan nama baru Sarminto Tahalele. Keren boo. Dengan riang dia lapor bapaknya kalau barusan menang perlombaan band. Berapi api dia ceritakan kalau dia akan menekuni musik supaya tenar bisa masuk TV. Juga minta ijin dan doa restu mengganti nama nantinya jadi Tahalele. Mas Parto geram mendengar cerita anaknya dan membentak keras. "Main band negklekmu bejat. Kita ini turun temurun profesinya sopir. Mbahmu sopir truk. Aku sopir bis. Tak bisa kau melanggar garis profesi keluarga. Junjunglah martabat keluarga. Nunggak semi. Apa lagi ganti nama, laknat itu. Bukan jamannya lagi". Supardi lemas dan kecewa berat. Tak menyangka jika ayahnya tak akan menyetujui pikirannya. Namun tak berani dia membantah. Tak mampu dia membayangkan jadi sopir ketika angan angannya terbang dirubung fans gadis gadis cantik, foto foto, diwawancarai TV. Oooh sopir paling paling bisanya cubit cubitan sama penumpang genit. Gengsi.

Cerita diatas sekedar ilustrasi betapa orang tua banyak yang mendambakan anaknya nunggak semi profesi orang tua. Kalau bapaknya jadi Gubernur, anaknya ya jadi gubernur. Bapaknya jadi anggota DPR, anaknya ya harus jadi anggota DPR. Bapaknya Presiden, anaknya minimal harus jadi Wapres. Bapaknya Kabag (Kepala Bagian), anaknya harus jadi Kabid ( Kepala Bidang). Banyak contoh. Bahkan kadang dengan segala cara. "Dengan segala cara" ini yang sering merugikan. Bukan cuma sang anak, tetapi juga masyarakat umum. Orang tua memang selalu harus mendorong anak punya masa depan gemilang, tetapi tak harus selalu dengan nunggak semi. Biarlah nunggak semi itu berjalan alamiah seperti pohon sonokeling yang rimbun. Nggak perlu dipaksakan, apa lagi dengan segala cara

4 comments:

Indro Saswanto said...

Nunggak semi saya setuju2 saja Ki. Kalau ortunya dokter anak cucunya jadi dokter oke2 saja.. tapi kalau jadi gelandangan morfinis.... wah itu yang gawat.
Lha kalau ortunya morfinis nunggak semi? yo wis 'ngunduh wohing pakerti' mau apa lagi.

Ki Ageng Similikithi said...

Salam Bung Indro? Ya asal alamiah dan tak dipaksakan. Minat, bakat dan martabat harus pas.

Anonymous said...

Minat dan bakat memang selaras. Masalahnya ki,banyak masyrakat yang melihat layak tidaknya martabat seseorang sewaktu menjalankan sebuah profesi kadang - kadang dilihat juga dari martabat keluarga.

Ki Ageng Similikithi said...

Bung Murid
Terima kasih. Pandangan umum tersebut tak bisa dihindari dalam masyarakat yang punya adat kelas sosial. "Ora drajat ora semat" hakekatnya kan bicara martabat. Ken Arok yang ora drajat ora semat, ttp punya kekuasaan, meninggalkan konflik berdarah selama 7 turunan.