Friday, April 20, 2007

Saya ini intel lho

Banyak saran dan nasehat saya terima mengenai rencana saya untuk jadi dukun jika pensiun nanti. Saya menerima semua saran tersebut dengan senang hati. Saya sadar memang nggak ada bakat jadi dukun. Saya tak punya karisma ataupun aura yang bisa menghinopsis orang. Tetapi hidup adalah pilihan. Kita menentukan tujuan dan memilih jalan yang akan kita tempuh dalam hidup ini.
Banyak merenung memikirkan saran tersebut. Sebagian besar menganjurkan lebih baik gunakan waktu untuk menemani cucu. Jelas ini fungsi normatif seorang kakek. Tetapi hidup kadang harus inovatif, walau sudah pensiun. Ini prinsip. Harus tetap mencari alternatif, tidak sekedar business as usual.

Entah mengapa saya tiba tiba terpikir, bagaimana kalau jadi INTEL ? Mungkin saja ada lowongan, walau jaman Orde Baru sudah lewat. Anda semua tahu kan di jaman kemarin, betapa kuatnya wibawa seorang intel? Mereka dengan gesit dan kadang licik mengamati semua segi kehidupan, sejak bangun sampai kita tidur. Hanya dengan satu perintah, amankan stabilitas nasional.

Jika perlu mimpi pun dimonitor, jangan jangan mimpi seseorang bisa mengganggu stabilitas nasional. Bayangkan, seorang pemuda linglung di Jawa Tengah, diseret ke meja hijau dan di vonis 20 hari kurungan karena bermimpi jadi seorang presiden. Dia cerita mengenai mimpinya di rapat kampung, dan ada tetangga yang tak senang lalu lapor Koramil. Ini kisah nyata semata di pertengahan delapan puluhan.

Begitu kuatnya pengaruh intel, menurut kolumnis terkenal almarhum Mahbub Junaedi, sehingga ada keluarga miskin yang menginginkan anaknya supaya kelak jadi orang yang berkuasa dan disegani, kemudian menamakan anaknya yang baru lahir, dengan nama Mat Intel. Tidak seperti bayi kebanyakan yang kalau malam nangis, bayi Mat Intel in kalau malam malah ketawa terbahak bahak, sehingga orang tuanya nggak bisa tidur. Bayi umur enam bulan mungkin baru diberi makanan tambahan pisang atau bubur halus. Tetapi bayi Mat Intel ini justru sudah bisa makan jambu kluthuk. Jika bayi pada umumnya kencing selalu ngompol, maka bayi Mat Intel ini kencingnya bisa nyemprot puluhan meter hingga mengganggu stabilitas para tetangga.

Intel bukan hanya perangkat kekuasaan. Intel adalah lambang keperkasaan dalam masyarakat kita. Jika anda pas antri karcis di stasiun kereta api, dan langsung ke depan loket lalu bilang " Mas saya ini Intel lho", anda akan dilayani dengan sangat hormat. Intel bung, mana ada yang berani main main.

Saya masih ingat ketika akan pulang ke Yogya dri Kupang di pertengahan tahun delapan puluhan. Tiket saya sudah OK. Pada waktu check in diberitahu bahwa saya tak bisa berangkat karena ada rombongan penting yang harus diberangkatkan. Saya protes tidak bisa terima. Saya berdebat dengan seseorang yang mengaku intel dan bertanggung jawab mengatur perjalanan rombongan tadi. Insiden tak berlanjut. Dia tahu saya bukan soft target operasi khusus (opsus). Apa yang terjadi ? Satu keluarga dengan dua orang anak bersedia ditunda keberangkatannya. Itupun masih ada yang sempat nyelethuk. Masih untung dturunkan sebelum terbang, kalau diturunkan sesudah terbang maut kan .

Di awal sembilan pululan dalam perjalanan dri Bukit Tinggi ke Padang, taxi yang saya tumpangi dihentikan di satu pos polisi. Saya panik ok takut ketinggalan pesawat, Padang Jakarta. Saya bilang sopir, katakan kalau saya intel dalam rangka operasi khusus. Kebetulan saya pakai jaket hitam, topi dan kaca mata juga hitam. Polisi muda itu tak ambil pusing. Saya angkat sedikit topi saya, saya buka sedikit kaca mata hitam saya, dan saya lambaikan tangan dri dalam mobil. Nampaknya berhasil, kami dibiarkan terus padahal banyak mobil harus menunggu. Ada pejabat tinggi republik yang akan lewat. Mitos intel begitu kuat hinggap di masyarakat. Begitu menakutkan makhluk yang namanya intel bagi sebagian besar anggota masyarakat.

Di masa lalu doktrin perintelan sangat jelas. Hanya satu perintah, amankan stabilitas nasional. Apapun jika dianggap mengganggu stabilitas orang bisa di litsus dan diamankan. Jika perlu orang yang rambutnya awut-awutan pun bisa di litsus karena mengganggu stabilitas, mengganggu pandangan banyak orang. Ibu ibu atau gadis yang tak berdandan, kalau perlu dilitsus karena bisa mengganggu stabilitas nasional. Para lelaki tak bergairah lagi lirik sana sini. Ini bisa bahaya untuk pembangunan jangka panjang Indonesia. Stabilitas bisa goncang.

Saya masih ingat sewaktu anak anak masih kecil dan harus mengantar mereka ke sekolah tiap pagi. Jika ketemu ibu ibu yang juga ngantar anak ke sekolah, mereka habis bangun tidur, belum sempat mandi, masih acak acakan, rasanya kok risih gitu. Daya imaginasi kabur sesaat. Untung saya bermental baja, dan bisa mengerti situasi. Polusi pandangan seperti ini tak sampai mempengaruhi daya imaginasi dan kreatifitas saya. Bayangkan jika para profesional sampai kehilangan daya imaginasi dan kreatifitas karena polusi pengliatan yang sebenarnya bida dihindari. Stabilitas nasional goncang. Perlu operasi khusus intelijen. Kasih nama sandi operasi Wedhak Gincu Pagi Hari. Ini sama penting dengan operasi2 lain seperti operasi Mandala, operasi Serodja, operasi Ketupat Bangkahulu, operasi pasar Bulog. Kalau perlu orang yang kentut di tempat umum pun bisa diamankan demi stabilitas nasional.

Tantangan intel sekarang lain. Siapa yang dianggap musuh atau target operasi? Teroris? Nanti dulu. Beberapa waktu lalu penguasa kedua di republik ini selalu bilang ‘Di Indonesia tak ada teroris”. Padahal saat itu bom hampir tiap saat meledak. Siapa yang melakukan? Mungkin saja syaiton. Lebih baik kawin lagi terus saja bung dari pada mikir teroris.

Hanya sesudah kejadian bom Bali, dan badan intelijen negara Kanguru ikut turun, barulah para teroris itu ditangkapi. Kadang kadang memang yang namanya dari Australia memang lebih siip. Jika di jaman Orde Baru kita impor sapi pemacek dengan program Banpres (bantuan presiden), sekarang kita juga harus impor intelijen. Apa ya perlu impor pejabat ya biar negara nggak kacau terus terusan?

Kembali ke minat saya ingin jadi intel. Mungkin dengan menjadi intel, karena pengaruh aura, vitalitas fisik saya bisa kembali seperti waktu masih muda dulu? Sakit sendi yang kadang2 datang bisa hilang. Senyum saya bisa menawan. Suara deham saya (orang Jawa bilang dhehem) bisa mempengaruhi nyali lawan bicara. Kalau ada orang ‘ngeyel” (membantah), langsung bisa saya litsus (penelitian khusus) entah di Kodim atau Polres. Imaginasi saya bisa menebak alam pikiran warga yang aneh aneh.

Tak usah membayangkan intel seperti James Bond dengan partner cantik. Itu kan hanya dalam filem. Intel sejati tidak selalu harus berpartner, tetapi kalau ada ya syokur. Tetapi saya pasrah saja. Dikasih partner ya sokur alhamdulalilah. Terlebih kalau yang agak bahenol. Tidak ya tidak apa apa. Yang penting dapat tanda pengenal, yang mengatakan “Saya ini intel lho”. Ini dapat saya tunjukkan tanpa banyak bicara.

Saya akan cerita ke cucu cucu saya kalau saya ini intel. Rio, Laras dan Karin, cucu cucu saya mungkin bangga embahnya seorang intel. Tetapi mereka tentu akan cerita ke teman temannya dan gurunya juga, ‘’Embah saya intel lho”. Ini bisa merusak rencana operasi.

Tetapi saya punya set back serius. Intel di republik ini harus berkumis lebat. Saya pernah jadi pembicara seminar bersama dengan seorang kepala dinas intelijen. Kumisnya begitu angker, menambah aura. Setiap kali matanya menatap saya, otomatis saya bicara sambil membungkuk " Saya orang baik baik lho Pak ".

Saya tak pernah punya kumis. Tetapi ini tak masalah. Kantor intel di manapun selalu menyediakan kumis palsu yang bisa disewa jika akan operasi. Seperti dalam pertunjukan wayang orang atau ketoprak.

Jika anda tahu ada lowongan intel tolong kasih tahu saya ya. Siapa tahu nasib orang. Di pasang sebagai intel di kabinet bayangan ya mau. Dikasih partner sokur, tidak ya nggak apa apa. Pasrah saja, pokoknya intel.

Salam untuk semua. Hati hati, saya ini intel lho!

Ki Ageng Similikithi (bs2751950@yahoo.com)

(Telah dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber Community, 22 Mei 2007)

Tuesday, April 17, 2007

Lulus SMA



Dalam perjalanan ke Kairo, lewat Dubai. Saya menulis kisah ini di bandara Dubai. Kisah singkat mengenai saat saat lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) di Solo.Tidak sekedar mengenai kenangan saat lulus SMA, tetapi juga menyangkut hubungan batin saya dengan kota Solo. Kota penuh romantisme anak muda. Semua pernah mengalami, saat saat bahagia lulus SMA. Gembira melewati tahap sekolah lanjutan, sebentar lagi akan menyandang predikat mahasiswa/i, bukan lagi siswa/i.

Jaman telah berubah banyak. Kini saat lulus selalu penuh hiruk pikuk kegembiraan, meriah dan penuh warna warni. Kalau perlu baju dicat dengan pilok. Kadang dengan berkendaraan ramai ramai di jalan raya. Lain dengan suasana di jaman saya lulus hampir empat puluh tahun lalu. Pada satu pagi yang cerah di penghujung tahun 1968, di hari pengumuman ujian, saya bersama teman karib, Sunoko, boncengan naik sepeda ke sekolah. SMA St Josef, di tepi barat kota Solo kea rah bandara Adisumarmo. Beberapa teman lain sudah datang duluan, tidak banyak.Singkat saja, nama kami berdua tertulis di papan pengumuman, lulus jurusan ilmu Pengetahuan Alam (PAL). Saling memberi ucapan selamat, dengan penuh kegembiraan. Tak ada hiruk pikuk, tak ada warna warni, baju di cat pilok.

Saya lulus dengan nilai tertinggi di sekolah untuk jurusan PAL dan urutan ke dua untuk SMA di kota Solo. Kemudian saya tahu bahwa nilai tertinggi diraih oleh siswa SMA Margoyudan, bernama Muhamad Munawar. Kalau nggak salah nilai rata rata 9.2, sedangkan saya hanya 8.8. Urutan ketiga diduduki oleh Hwie Swan (Susie Widjayanti) dri SMA Warga. Saya kenal baik ok kami selalu belajar bersama, dengan Souw Tjien (Daniel Budi Nursentono), teman akrab dri St Josef.

Jurusan ilmu pasti (PAS), umumnya angka lebih tinggi. Urutan pertama untuk Solo diraih oleh siswi yang namanya Wiras, juga dari SMA Margoyudan. Nilai rata ratanya kalau nggak salah lebih dri 9.5. Saat itu pengin kenalan sebenarnya, pengin lihat orangnya seperti apa dengan nilai rata2 mencapai hampir sepuluh itu. Maksud tersebut tak pernah kesampaian, hanya saya dengar dia melanjutkan ke ITB. Sampai sekarang saya belum pernah berkenalan dan bertemu muka dengan dia.

Setelah pengumuman itu, saya bersama dengan Noko, putar putar kota Solo. Mampir sebentar di warung kecil di tepi lapangan dekat STM, makan mie. Nikmat sekali. Ingin mampir melihat suasana di SMA Margoyudan. Namur tak jadi, hanya lewat. Kami sekedar ingin mengucapkan selamat tinggal untuk kota Solo. Sebentar lagi harus mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi. Berlaga lagi, pacuan belum selesai.

Bagi saya pribadi lulus SMA, seperti terlepas dari himpitan beban selama lebih dari 3 tahun. Saya datang di Solo tahun 1965, dengan bekal ijazah SMP Taman Siswa di Ambarawa. Datang ke Solo dengan impian, dengan harapan, cita cita dan antusiasme tinggi untuk bejuang dan belajar. Nilai saya rata rata 8 dari SMP. Dengan bekal nilai tersebut saya ingin berlaga di Solo. Saya banyak membaca sejarah Romawi, dan semboyan veni, vedi, vici, membayangi benak saya. Datang, melihat dan menang. Giat belajar, akan saya kalahkan kota Solo yang cantik ini.

Tapi apa lacur, begitu datang di Solo, kenyataan jadi lain. Tidak bersahabat. Semua SMA negeri di Solo, apalagi yang favorit, tidak menganggap ijazah dan nilai SMP saya. Semua sekolah yang saya datangi tak mau dan tak mungkin menerima saya dengan berbagai alasan, entah rayonisasi atau alasan lain. Bahkan ijazah saya pun nggak dilihat sama sekali setiap kali berbincang. Terpukul, tersia sia dan , merasa kecil tak berarti. Solo yang cantik ternyata tak seramah yang saya impikan.

Di SMA St Josef saya diterima dengan hangat. Gedungnya baru dan megah, baru pertama kali dipakai tahun ajaran itu. Seolah mengucap hangat. Selamat datang anak muda. Kemarilah, disini kamu relajar, disini kamu berlaga, di sini kamu berpacu. Saya tahu persis waktu itu sekolah ini termasuk sekolah andalan, setarap dengan De Brito di Yogya dan Loyola di Semarang. Rasa percaya diri saya pulih kembali. Saya akan lakukan yang terbaik, saya akan capai yang terbaik, sesuai kemampuan saya.

Rasa percaya diri ini tak bertahan lama. Kuartal pertama harapan saya hancur. Saya mendapatkan nilai 5 dalam dua mata pelajaran ilmu pasti, salah satunya strereometri. Terpukul lagi. Belum pernah mendapat angka merah di rapor. Ulangan saya memang tak lancar benar, tetapi saya pikir tak akan sejelek itu. Pikir saya, saya harus bangkit, harus perbaiki. Something is going wrong. Saya juga mencoba bertanya ke pak Guru. yang mengajar stereo.. Beliau hanya diam, menggelengkan kepala, dan melihat langit langit. Saya masih ingat, sewaktu saya meninggalkan ruangan, beliau tersenyum sendirian. Afterall, he is a good teacher.

Di kuartal ketiga benar benar saya genjot. Saya seolah menemukan impian saya. Nilai saya untuk kedua ilmu pasti tersebut melonjak jadi 9. Kemudian saya memilih jurusan ilmu pengetahuan alam di tahun kedua. Seterusnya di tahun ke dua dan ketiga, semua berjalan normal. Kami sering belajar bersama dalam kelompok. Bersahabat erat tetapi bersaing dan berpacu ketat. Hidup adalah belajar, berjuang dan berpacu. Sampai akhirnya saya lulus di tahun 1968. Kami diajar dan dididik oleh guru guru terbaik di Solo, excellent teachers, wonderful persons. Terutama guru kimia, bapak Sutarso, guru físika Bapak Mudjono. Masih banyak yang lain.

Tak banyak waktu untuk hura hura sehabis lulus SMA. Pacuan belum selesai. Harus mempersiapkan dan menghadapi ujian masuk pergutuan tinggi. Kami berdua bersama teman Sunoko mendaftar di empat universitas, di UGM, UNDIP, ITB dan IPB. Kami diterima di empat empatnya. Pilihan terakhir masuk Facultas Kedokteran UGM.. Muhamad Munawar ternyata juga memilih ke Fakultas Kedokteran UGM. Saya meninggalkan Solo di tahun 1969 dengan dada lapang dan perasaan ringan. Tak ada rasa kecil hati lagi. Bukan ranking satu, tetaapi saya selesai dengan gemilang. Misión accomplished.

Tetapi nampaknya saya selalu saja mendapat pengalaman yang membuat kecil hati di Solo. Seolah kota ini tak pernah mau ramah sama saya. Juga dalam kehidupan pribadi saya. Di tahun 1974 saya menjalani tugas ko-asistensi atau internship di RS Kadipolo untuk Ilmu Penyakit Dalam. Harus tinggal di rumah sakit ini selama beberapa bulan.

Pada waktu itu saya berkenalan dengan seorang gadis Solo. Cantik khas putri Solo. Dia mahasiswi salah satu sekolah seni di Solo, sebut saja namanya Aniek. Selalu datang berkunjung ke asrama di RS tiap akhir pekan. Dia selalu datang dengan membawa payung. Sangat serasi seperti yang digambarkan dalam lagu Siapa Dia. Belum berpacaran. Hanya berteman, mungkin PDKT (pendekatan).Suatu kali dia minta saya datang ke rumahnya. Di akhir pekan, dengan segala persiapan saya datang ke rumahnya. Nasib memang tidak baik untuk saya. Dia juga didatangi seseorang, dengan mobil, walau mobilnya plat merah dari ayahnya. Katanya sih teman baik. Tetapi cukup membuat saya terbanting. Mundur teratur. Dalam strategi militer namanya 'tactically withdraw". Saya selalu merasa kecil di kota ini.

Kadang ada kisah menyeramkan di rumah sakit. Para ko as tinggal di ruang paling belakang. Ada lapangan luas di belakang dan diujung selatan dibawah pohon ada satu makam, entah makam siapa. Dipisahkan oleh tembok tinggi di luar kompleks ada asrama siswa perawat. Satu malam lewat jam 1100, saya tidak jaga. Duduk duduk di muka kamar saya menghadap ke lapangan. Ada tiga siswi perawat putri berjalan ditengah lapangan ke arah selatan menuju ke asrama. Biasanya mereka pulang lewat depan memutar lewat kampung. Ini agak aneh.

Ada pikiran jelek untuk menakuti mereka. Saya berputar lewat belakang gudang2 tua, dan akan saya sapa mereka sesudah lewat gedung itu. Mereka pasti akan ketakutan. Saya berjalan dengan yakin, saya tunggu di sebelah selatan gedung tua itu. Apa yang terjadi ? Lorong itu kosong, lapangan juga kosong. Mereka tak muncul dan tak terlihat. Hati saya bergetar takut. Kisah kisah seram itu bukan hanya cerita kosong rupanya. Cepat lari kembali kekamar. Makhluk halus, demit pun kok nggak mau ramah sama saya di kota yang cantik ini. Demit itu ponakannya gendruwo.

Saat lulus dari UGM, kebetulan waktu itu di Solo dibuka Universitas Sebelas Maret. Saya mencoba mendaftar. Saya buat lamaran dan datang ke kampus sementara UNS di kraton menyampaikan lamaran tersebut. Saya datang di ruang administrasi, ruang besar dengan puluhan mesin ketik. Suara mesin ketik itu begitu ramai, serentak bersamaan seperti ada dirigen yang memimpin. Suara ketukan spasi itu selalu terdengar bersamaan. Memekakkan dan saya nggak tahu apa yang diketik dengan mesin sebanyak itu. Mungkin daftar nama seluruh penduduk Solo. Di luar suasana bising, latihan menari untuk pembukaan resmi yang akan dihadiri presiden beberapa hari lagi.

Saya terabaikan dalam suasana hiruk pikuk itu. Diminta menunggu untuk menyerahkan berkas lamaran. Staf yang menangani baru ada kesibukan di tempat lain. Sesudah menunggu lebih dua jam, seorang staff nampak ramah mendekati saya. Saya pikir dia ini yang akan menerima berkas saya. Ternyata dia datang ke saya hanya pinjam korek api, mau merokok. . Kesal. Kemudian saya tinggalkan berkas lamaran ke salah satu pegawai yang ada. Saya tak banyak mengharap dan memang tak pernah mendapat jawaban dari lamaran tadi. Tak apa memang banyak hal yang sering tak terjawab dalam hidup ini. Selalu saja saya merasa terbanting telak di kota ini.

Hampir empat puluh tahun berlalu dari waktu pengumuman ujian itu. Solo tetap cantiik menawan. Tetap romantis, saya ingin selalu mengenangnya. Saya tetap ingin kembali ke Solo, dengan kenangan yang indah. Saya tetap bersahabat akrab dengan teman teman dari SMA dulu. Tak semua bisa saya sebutkan. Dr Sunoko sekarang di Yogya, dia ahli bedah pembuluh darah. Dr Munawar ahli jantung di Jakarta. Daniel di Jakarta memimpin salah satu perusahaan multi nasional. Budi Andrianto teman baik sejak kelas satu, menjadi pengusaha swasta yang sukses dan kaya. Tak ada lagi istilah berpacu. Pacuan itu sudah lama selesai, puluhan tahun lalu. Kini hanya menikmati sisa waktu.

Terima kasih Solo. Terima kasih St Josef. Dari merekalah saya mendapat bekal untuk berjuang dalam hidup ini.

Ki Ageng Similikithi (bs2751950@yahoo.com)

NB

"Pacuan belum selesai" adalah kata2 yang diucapkan oleh Mésalla saat kalah berpacu kuda dengan Ben Hur dalam filem Ben Hur
.

Saturday, April 14, 2007

Lorong gelap jalur hukum di Indonesia


Hari hari ini beberapa media mengabarkan tentang pemeriksaan dan penahanan beberapa tersangka yang dituduh terlibat dalam kematian Munir. Munir adalah salah seorang aktivis yang vokal dan banyak mengkritik kebijakan pemerintah, terutama pemerintahan orde baru dan kelompok militer.

Saya tidak mempunyai pengetahuan, apalagi keahlian, di bidang hukum dan kriminologi. Tetapi setiap kali mendengar berita mengenai kasus pembunuhan Munir, dan kasus kasus kekerasan lain yang menghilangkan nyawa orang, selalu mendapat kesan mendalam betapa tidak lurusnya jalur hukum di Indonesia. Tidak bisa dipercaya, tidak independen, tidak memihak kepada korban. Selalu samar samar dan tak pernah tuntas. Banyak kasus serupa bisa dijadikan contoh dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia, jika itu tercatat baik.

Para aparat hukum selalu mengatakan bahwa orang yang tidak punya keahlian di bidang hukum, tidak perlu bicara masalah hukum. Ini adalah retorika normatif. Hasil akir suatu proses hukum adalah keadilan. Setiap warga masyarakat berhak bicara mengenai keadilan, meskipun dia tak tahu masalah pelik liku liku hukum. Keadilanlah yang dirasakan oleh masyarakat umum.

Orang yang tak punya keahlian di bidang hukum, memang seharusnya tak boleh ikut campur dalam proses hukum. Untuk itulah di banyak negara yang menghormati hak azasi dan demokrasi, proses hukum selalu dibuat transparan dan independen. Anggota masyarakat bisa mengikuti, mengetahui dan menerima. Tetapi kita disini semua selaku warganegara seolah diminta percaya begitu saja, suatu proses hukum yang sama sekali tak transparan, tak independen, dan hasil akhirnya tak mencerminkan keadilan.

Faktanya Munir meninggal karena diracun. Tempat kejadian bisa dilokalisir secara pasti, yakni di dalam pesawat Garuda, dalam perjalanan Jakarta, Singapur dan negeri Belanda. Begitu terbelakangkah kemampuan para kriminolog yang ada di republik ini, sampai tak mampu mengungkap kasus ini secara tuntas ? Ataukah memang ketidak bebasan itu yang membuat hasil penyelidikan selalu kontroversial ? Bisa dua duanya, dan semuanya hanya menambah jelek pamor hukum Indonesia di dunia internasional, menambah ketidakpercayaan masyarakat akan kemampuan dan kemandirian penegak hukum kita.

Sebagian besar aparat penegak hukum selalu berargumentasi, semua prosedur pemeriksaan telah dijalankan dengan benar. Semua dalil hukum telah diterapkan untuk menjaring pelaku. Tetapi nyatanya pelaku tak pernah terjerat hukum. Tetapi faktanya kan sang korban telah meninggal. Lantas siapa yang membunuh ? Apakah setan ? Jalur hukum di republik lebih banyak sifat dogmatisnya dalam mengikuti semua prosedur normatif, tetapi sering bertentangan dengan logika akal sehat dan keadilan.

Prosedur tinggal prosedur, ketentuan hukum tinggal ketentuan hukum, yang lebih penting siapa yang menerapkan. Para aparat hukum yang bertugas menerapkan segala tetek bengek prosedur dan ketentuan hukum tersebut, nyatanya tidak punya kemampuan professional yang diperlukan atau tidak mempunyai kemandirian yang dipersyaratkan. Semua lentur bisa di negosiasi. Sayang, sebagai penegak hukum, mereka tidak punya kebanggaan profesi dengan menjaga kemandirian. Hanya bangga terhadap predikat dan otoritasnya.

Kasus Munir bukan satu satunya contoh terisolir. Lihatlah beberapa kasus lain yag tak pernah terungkap dan tertangani tuntas secara hukum. Kematian tokoh buruh Marsinah, yang nyata nyata tewas dibunuh. Kematian wartawan Udin di Bantul. Kasus perkosaan yang menimpa Sum Kuning, di Yogya di tahun tujuh puluhan. Kasus yang menimpa Sengkon dan Karta di Jawa Barat yang divonis dalam kasus pembunuhan, tetapi yang dikatakan korbannya ternyata hidup sehat wal afiat. Kasus tertembaknya mahasiswa mahasiswa di Semanggi. Kasus penculikan dan penghilangan tokoh tokoh kritis di jaman Orde Baru. Pembunuhan sistematik orang orang yang diangap sebagai dukun santet.

Selama kita tak mampu mengatasi masalah hukum yang selalu melilit ini, mustahil kita akan keluar dari krisis dan melangkah menuju masarakat yang adil dan makmur. Oleh karena hukum dapat menjadi alat bagi yang punya kewenangan atau kekuasaan untuk melegitimasi setiap keputusan, walau itu bertentangan dengan keadilan dan kesejahteraan warga masyarakat

Thursday, April 12, 2007

Kiriman puisi dri teman maya

Seorang pembaca dengan nama samaran Diana, tinggal di Jawa Barat, mengirimkan beberapa puisi. Penuh perasaan. Bisa ditebak dari rangkaian kata yang indah dan dalam.

NYANYIAN LIRIH

Aku rindu kamu, Rangga
Cinta ini membuatku tak berdaya
Hingga aku sadari
Suratan takdir ini menyakitkan hati

Seandainya aku tahu
Cinta ini tak semestinya terjadi
Tak ada luka dihati
Tak ada air mata dipipi

Aku rindu kamu, Rangga
Walau kini aku sadari
Kau tlah lama pergi

Seandainya rindu ini masih milikmu
Kutunggu kamu diberanda ini

Im, 6 April 2007
========================


SIAPA AKU

Aku ini hanya sebuah jasad
terbungkus jiwa yang mengembara
di alam maya

bertemu kamu, bertemu dia
tanpa harus nyata bertatap mata
saling menyapa, saling cerita
gundah hati menjadi bunga hati
siapa yang tahu sedalam apa batin disini

bertemu kamu didunia maya
serasa nyaman mengawang di awan
kamu yang disana, menatap sebingkai kaca
berandai-andai aku seindah nirwana
secantik purnama raya

Aku ini siapa?
aku bukan siapa-siapa
hanyalah selintas sunyi dipadang yang sepi

Im, 12 April 2007

Wednesday, April 11, 2007

Budaya kekerasan, perploncoan dan premanisme


Kematian mahasiswa IPDN karena kekerasan di dalam kampus kembali terjadi untuk kesekian kalinya. Kembali menggoncang perasaan warga masyarakat yang cinta damai. Sesaat berita ini menjadi pokok berita banyak media masa dan sorotan tokoh masyarakat. Entah itu tokoh politik yang memang murni tergerak untuk memberi kritik atau sekedar mencari popularitas.

Dikabarkan bahwa selama 14 tahun terakhir telah terjadi tiga puluh lima kematian mahasiswa karena kekerasan di kampus. Saya tidak tahu apa itu yang namanya IPDN. Lembaga ini jelas bertugas mencetak dan mendidik para pamong praja seperti camat, lurah dan lainnya. Lulusan lembaga ini sebenarnya yang harus menjadi ujung terdepan sistem pelayanan publik di Republik ini.
Semestinya lembaga ini membekali anak didik dengan paradigma pelayanan masyarakat. Melayani masyarakat dengan disiplin dan kasih sayang untuk ketertiban dan kesejahteraan. Nampaknya paradigma kesejahteraan dan ketertiban masyarakat ini tak banyak menyentuh hati mereka. Mereka lebih banyak dibekali dengan dogma, indoktrinasi doktrin politik untuk mengendalikan dan menguasai masyarakat. Walaupun dengan nama Pancasila dan UUD 45 sekalipun.

Mereka dididik dengan doktrin untuk menjadi penguasa, bukan melayani dan memimpin masyarakat. Retorikanya memang begitu indah. Abdi masyarakat. Abdi Negara. Bahkan di Yogya ada yang secara berkelakar menambah, abdi dalem. Apapun istilahnya tak penting. Yang penting adalah paradigma pendidikannya. Mau dirancang dan dididik menjadi pamong praja yang melayani atau akan dididik menjadi penguasa.

Para pengelola lembaga pendidikan IPDN jelas banyak mengeluarkan jurus bela diri. Kejadian fatal seperti ini dianggap hanya kasus terisolir. Hanya sekian per sen dari jumlah seluruh mahasiswa IPDN. Bahwa pelakunya memang mempunyai kelainan psikologi dan sebagainya. Perlu dicatat bahwa berapapun angkanya secara statistik, kejadian ini adalah kejadian fatal yang menimpa warganegara. Kejadian ini bisa dicegah.

Kejadian ini terjadi karena budaya kekerasan yang dibiarkan berkembang dalam lembaga pendidikan. Entah itu melalui kebiasaan perploncoan atau melalui kebiasaan atau tradisi sehari hari yang diterapkan. Hak melakukan perploncoan oleh kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah, secara syah diberikan oleh lembaga yang bersangkutan. Apapun yang dikatakan bahwa perploncoan sudah diberi pengarahan. Ini hanya silat lidah. Selama hak melakukan perploncoan itu diberikan secara legal selama itu pula penyalahgunaan akan terjadi.

Tata sosial politik kita memang penuh dengan budaya kekerasan. Lihatlah maraknya apa yang disebut kelompok kawula muda. Entah itu dalam bentuk angkatan muda partai politik, kelompok agama, supporter sepak bola dan lain sebagainya. Mereka sarat dengan budaya kekerasan dan ingin menang sendiri. Kalau merasa kalah dalam permainan yang telah disepakati aturan mainnya, mereka ngamuk di jalan raya. Inilah gambaran tingkat disiplin yang ada dalam masyarakat. Belum lagi jika kita lihat tawuran pelajar, tawuran antar warga yang sering makan banyak korban.

Dengan pamong praja yang memang dirancang untuk menguasai dan mengendalikan dengan doktrin kekerasan, ya semua sudah klop. Budaya kekerasanlah yang akan terus dominan. Bukan disiplin dan ketertiban. Premanisme yang berkembang. Hanya pemimpin yang bisa mengendalikan, atau yang bersahabat dengan para preman ini yang mempunyai kans untuk terpilih, entah sebagai gubernur atau bupati.

IPDN sebagai lembaga pendidikan pencetak pamong yang melayani masyarakat dalam sistem publik telah gagal. Jika dibiarkan terus maka korban korban berikutnya akan terus berjatuhan. lebih baik dicari lembaga alternatif.

Sunday, April 8, 2007

Pesan pesan di dunia maya


Perkembangan teknologi dunia maya telah membuka cakrawala baru hubungan antar manusia. Komunikasi tak lagi dibatasi oleh ruang dan jarak. Manusia bisa berkomunikasi secara bebas lewat dunia maya.

Manusia adalah makluk sosial yang tak bisa hidup menyendiri seperti makhluk soliter. Manusia butuh kontak dengan sesamanya. Kontak dengan lingkungannya. Dalam perkembangan modernisme, tata pergaulan masyarakat bergerak kearah individualisme. Kebebasan individu menjadi segalanya sehingga kadang orang sedikit kehilangan kontak sosialnya.

Perkembangan teknologi dunia maya memberikan pilihan alternatif. Pilihan kontak sosial dalam tata masyarakat yang individualistis. Dalam keheningan dunia maya manusia bisa berkomunikasi dengan bebas, saling bertukar perasaan dan pengalaman, saling memberi salam dan kesejukan.

Dalam kesendirian saya yang hening, saya tak pernah merasa kesepian. Pesan pesan sejuk dari dunia maya selalu datang. Pesan dari teman yang belum pernah bertemu dan bertatap muka. Mungkin tidak akan pernah bertemu. Terpisah oleh laut dan benua, tetapi dunia maya memberi kesempatan kepada anak anak manusia untuk saling bertegur sapa. Lihatlah betapa beragamnya pesan dari dunia maya yang saya terima dalam kurun waktu akhir akhir ini.

Tulisan tulisan saya mengenai anak saya almarhum, Moko, dimuat di Kompas Cybermedia, yakni yang berjudul Rumah Di Atas Bukit (7 Maret 2007) dan Ceritaku Lewat Rembulan (10 Maret 2007). (
http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.koki). Setelah itu saya banyak menerima pesan dari dunia maya. Ada yang menyatakan simpati dengan pesan yang menyejukkan, ada yang ingin mengungkapkan perasaan ok kehilangan seseorang yang dicintai seperti yang saya alami

Ini adalah petikan pesan Fanny, tinggal di US, yang kehilangan abangnya karena kecelakaan mobil di Jayapura di tahun 1997, bersamaan tahun dengan kepergian Moko.

Saya begitu merindukan abang saya.
rindu seandainya dia ada, bisa melihat keponakan-keponakannya;
rindu seandainya dia ada, bisa melihat upacara pernikahan saya;
rindu seandainya dia ada, bisa melihat saya saat diwisuda;
rindu seandainya dia ada.....

Persis seperti puisi bapak, setiap saat saya melihat rembulan selalu membawa angan saya padanya. Saya baru saja menyelesaikan cerita pendek yang sebenarnya adalah cerita kejadian itu.

Sedangkan Ana, tinggal di Jakarta yang kehilangan suami tercinta pada bulan Desember 2006, menulis sebagai berikut


Saya Ana di Jakarta. Saya sangat tersentuh dengan puisi “Rindu Yang Abadi” di edisi community Kompas kemarin. Sangat menyentuh bagi saya yang baru kehilangan suami Desember kemarin karena kecelakaan. Kami pasangan muda yang esok hari sebelum dia meninggal akan memperingati hari ukang tahun kedua perkawinan. Entahlah sampai sekarang saya belum bisa menerima dan percaya dia sudah tidak ada.

Saya masih termenung dan menangis setiap hari. Rasanya dunia berhenti, apalagi saya hrs memulai kerja lagi di Jakarta. Sebelumnya kami tinggal di KL.. Bagaimana Bapak melalui masa2 sulit kehilangan anak tercinta? Saya sangat paham sekali hal terberat adalah bagi yang ditinggal orang2 yang dicintainya. Rasanya saya putus asa dengan hidup saya sendiri. Bagaimana ya Pak untuk melalui hari hari yang terasa berhenti ini?


Ini adalah cerita dari Hastari di Cirebon

Saya Hastari yang mengikuti kisah kisah dan tulisan bapak. Bapak mengatakan bahwa ada teman yang bertanya kenapa kisah sedih harus ditulis, Saya sebagai seorang pembaca, yang saya rasakan saat membaca bahwa saya tidak membaca sebuah kisah sedih, namun saya "mendengarkan" suara hati dan kasih seorang bapak kepada anaknya...

Saya dapat menangkap suatu kasih, cinta yang begitu besar dan mendalam dari seorang ayah terhadap anaknya. Bagi saya itu hal yg sangat indah pak, di tengah tengah banyak anak-anak yang tidak mengenal kasih seorang bapak sehingga kehilangan figur dan gambaran akan seorang ayah. Saya temukan figur seorang "ayah" dalam diri bapak.

Saya dapat memahami dan turut merasakan apa yang bapak rasakan, namun kisah saya berbeda...Saya harus berpisah untuk sementara dengan bapak saya yang dipanggil Tuhan tahun 1997 saat saya sma kelas satu, enam hari menjelang saya ulang tahun, tepatnya tanggal 19 Nov 97.

Bapak dipanggil Tuhan saat dalam perjalanan menuju Jakarta bersama rombongan guru smp. Bis yang dinaiki bapak saya masuk jurang di daerah Majenang. Bapak tidak meninggal di lokasi. Saat bis masuk jurang bapak masih sadar bahkan bapak saya naik turun jurang dan mengendong rekan rekannya yang ibu ibu naik ke atas. Bapak saya ikut rombongan terakhir menuju rumah sakit. Saat di rumah sakit bapak tidak diperiksa karena bapak hanya lecet lecet, namun dinihari bapak saya jatuh koma kemudian dipanggil Tuhan. Ternyata bapak saya menderita pendarahan dalam dan tidak terdeteksi....

Masih banyak pesan serupa yang saya terima dari berbagai pelosok dunia. Tak dapat saya ungkapkan satu persatu. Namun semuanya mengungkapkan solidaritas dan kesetiakawanan menghadapi kesedihan dan kehilangan. Bukankah manusia suatu saat akan kehilangan seseorang yang dicintai jika waktu itu telah datang. Saya sangat menghargai dan berterima kasih akan ungkapan dan pesan pesan tersebut. Kepada siapa saja dan dimana saja mereka berada.

Tidak semuanya mengenai kesedihan. Banyak pesan tersurat yang menggambarkan harapan, kegembiraan dan kebahagiaan. Inilah keanekaragaman manusia. Keragaman yang juga terungkap di dunia maya.

Ada pesan indah dari Diana yang tinggal di Jawa Barat, mengomentari cerita saya yang berjudul “Jambalaya, Cintaku di Kampus Biru dan Pesan Perdamaian”. Dimuat tanggal 30 Maret 2007 (
http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.koki).

Baru kali ini punya teman maya. Bayangkan aku seperti gadis cantik berbaju merah dan bercelana putih sedang bernyanyi Jambalaya di kampus biru Bulaksumur 35 tahun yang lalu.

Saya ini bukan siapa2. Jangan berlebihan memuji karena sebuah puisi. terus terang sudah bertahun-tahun saya tidak lagi membuat puisi. Tapi dorongan kuat yang tiba2 ada menjadikan saya berani menuangkan lagi dalam sebuah puisi.

Kebahagiaan itu ada didalam diri kita sendiri, bukan karena yang lainnya. Saya jadi merasa mungkin inilah saat dimana saya merasa bahagia karena saya bisa mengekspresikan diri sesuai dorongan hati.

Diana mengirim beberapa puisi indah. Kami sepakat tak akan bertemu. Tetapi sepakat bekerja sama untuk menerbitkan buku kumpulan puisi. Ini hanya mungkin karena kemajuan teknologi maya. Inilah puisi yang dia tulis itu

TENTANG BINTANG

Ada bintang dilangit kelam
Ada warna indah dibalik temaram

Aku tunggu kamu pulang
Ribuan mil terhalang jauh
Dalam jeda waktu terhalang
Tuk menunggu kamu datang
Agar cerita tentang bintang
Kamu dengarkan dengan tenang

Aku tunggu kamu pulang
Tuk cerita tentang bintang
Walau hanya sebatas angan
Terbatas dalam ruang dan waktu
========================
AKU INGIN,

Aku ingin kamu menjadi apa saja yang kumau,
Dalam angan, dalam mimpi2ku
Perhatian tulus yang membuat bunga hatiku

Aku ingin kamu menjadi apa saja yang kumau,
Karna aku merasa tak terbelenggu
Dalam anganku yang berandai-andai

Aku ingin kamu menjadi apa saja yang kumau,
Karna aku ingin dihargai, ingin dimengerti
Sebagai wanita sejati

Aku ingin kamu menjadi apa saja yang kumau,
Tuk dengarkan ceritaku tentang bintang itu

Kala senja hadir, tataplah langit temaran
Dalam pijarnya bintang
Serasa aku ada disana, menatapmu
Karna kamu tahu, akulah Bintang itu!’


Pesan pesan dari dunia maya senantiasa akan datang seiring berkembangnya teknologi, dan mengiringi, keinginan dan harapan manusia dalam perjalanan masing masing. Di akhir tulisan ini saya hanya ingin mengatakan bahwa manfaatkanlah kemajuan teknologi ini memperluas hubungan persahabatan antar manusia. Kita hidup di satu bumi.

Saturday, April 7, 2007

Menunggu waktu

Puisi ini saya tulis hampir sepuluh tahun lalu, dalam rangka memperingati seratus hari kepergian anak bungsu saya Moko. Tahun tahun telah berlalu, tetapi penantian itu tak akan berhenti. Memang akhirnya hanya waktu yang dapat kutunggu. Tak ada yang lain.

MENUNGGU WAKTU

Di kala senja membayang
Matahari menyaput hilang
Burung derkuku berdendang pulang ke sarang
Dan azan maghribpun berkumandang
Engkau selalu pulang
Nyanyianmu terngiang
Bisikanmu menabur kedamaian.

Di kala malam meremang
Langit berhias bulan dan bintang
Engkau akan pulang
Dengan tawa riang
Dengan gurauan
Dan wajahmu penuh keyakinan
Aku menyambutmu sayang.

Ah seandainya engkau benar pulang
Datang dengan senyuman
Dengan harapan dan keinginan
Hidupku damai
Kini hanya khayal yang menerawang
Hanya mimpi yang abadi.

Aku menunggu tanpa tahu
Aku menunggu tanpa tentu
Tanpa batas waktu
Kedatanganmu hanya masa lalu
Hatiku menangis pilu
Perasaanku teriris sembilu.

Aku tetap akan menunggu
Menunggu untuk menggapai dan mencumbumu
Walau tanpa batas waktu
Ya Allah aku pasrah menunggu waktuku
Waktu untuk kembali bersama anakku.

(Untuk Saworo Tino Triatmo
Dari Bapak yang selalu menunggumu)

Perjalanan waktu

Dalam hidup ini manusia menelusuri perjalanan panjang menurut waktu masing masing. Walau semua tahu kapan perjalanan itu dimulai, tetapi semua tidak akan tahu kapan perjalanan itu akan berakhir. Waktu berjalan terus untuk masing masing anak manusia.

Waktu tak pernah akan bisa berhenti atau berputar ulang. Di akhir perjalanan itu, penguasa waktu telah menunggu, Sang Kala atau Batara Kala. Dialah yang mempunyai catatan kapan perjalanan waktu harus berakhir bagi masing masing anak manusia.

Dalam perjalanan yang panjang ini kita bertemu banyak orang. Mungkin hanya sesaat, mungkin berjalan bersama untuk beberapa lama, atau bahkan berjalan bersama selamanya sampai ke akhir masa. Dalam perjalanan inilah kita saling bersapa, saling bertukar pikiran dan saling mengisi.

Dunia maya telah mengubah tata hubungan komunikasi antar manusia. Kita menelusuri dunia maya dan bertemu dengan teman baru. Bertegur sesaat dan berpisah kembali, terus berjalan sesuai dengan arah dan tujuan masing masing.

Saya memulai tulisan ini untuk menggambarkan perjalanan waktu saya. Tidak semuanya. Hanya yang sempat terekam dalam benak dan kenangan saya. Pengembaraan saya dalam dunia maya juga ingin mencari , ingin bercerita, seolah bercerita ke anak saya yang telah tiada, Saworo Tino Triatmo.

Dia memang telah tiada, 13 Desember 1997. Tetapi bagi saya dia mungkin masih ingin mendengar cerita cerita saya. Cerita tentang perjalanan, tentang manusia, tentang waktu dan seterusnya.

Saya ingin bercerita padanya tentang perjalanan perjalanan saya. Sambil menunggu waktu yang sebentar akan tiba, waktu di mana saya akan bertemu kembali dengannya.

Salam untuk semua.