Sunday, November 8, 2009

Sandiwara penegakan hukum

Wajahnya tak memberikan kesan wibawa sama sekali. Sebatang rokok terpasang di sudut mulut, bergerak gerak setiap dia bicara. Pria itu terus saja bicara dengan gaya menggurui. Seolah kami bertiga hanyalah manusia manusia kecil tak berdaya. Paling tidak di hadapannya. Matanya kadang berputar menyapu ruangan. jarang menatap kami langsung. Wajahnya bulat. Berbadan kekar, sedikit agak gemuk. Tinggi di atas rata rata. Menjelang akhir 1975, kami bertiga, kakak ipar saya dan paklik saya, kebetulan keduanya bernama sama, Subroto, sedang berada di kejaksaan Ambarawa. Lupa nama dan jabatan sang penegak hukum itu. Mungkin Kasipidus. Kepala Seksi Pidana Khusus. Ada urusan. Ayah saya sudah lebih dua bulan mendekam dalam tahanan. Tanpa berkas tuduhan apapun.
" Saya ini abdi negara. Di sumpah untuk melindungi masyarakat. Saya benar benar merasa kasihan melihat bapak sampeyan. Saya pengin urusan ini cepat diselesaikan."
" Kami juga pengin urusan ini segera selesai ", paklik saya menyahut.
" Bapak saya pesan kalau dia ingin berkasnya segera ke pengadilan dan disidangkan". Saya menyela pembicaraan.
" Lha ini cara anak muda menyelesaikan masalah. Sok pahlawan. Pengadilan dianggap barang entheng. Sampeyan terlibat dalam organisapi mahasiwa ya?.

Pertanyaanya ditujukan ke saya. Saya masih ingat persis beberapa kali dia memplesetkan kata organisapi dengan gaya yang sangat sinis. Pertanyaannya tendensius. Seolah organisasi mahasiswa ini barang haram. Saya masih menunggu sumpah dokter waktu itu. Semua ujian sudah selesai.
" Jika anda percaya sama saya, urusan ini lebih baik diselesaikan di luar pengadilan", sambung sang penegak hukum.
" Apa maksud pak jaksa ?". Paklik saya mencoba bertanya.
" Jangan berlagak pilon. Saya akan berkoordinasi dengan kepolisian dan pengadilan dalam menangani kasus ini. Kasusnya akan kami deponir. Tetapi terus terang saja, saya perlu cash agar mereka mereka mau menutup kasus ini. Jaman sudah gila. Aparat hukum pada doyan duwit".

Nampaknya orang ini sudah begitu terlatih menggiring orang untuk mau menyelesaikan masalah dengan jalan damai. Omongannya selalu sok bersih, seolah dia bertugas membersihkan sistem yang rusak. Padahal dia juga yang berperan kotor dan ikut merusak sistem itu. Bayangkan saja berita akhir akhir ini, seorang petinggi penegak hukum, ketahuan sedang masturbasi dengan seorang caddy wanita muda di kamar hotel. Apa yang dia bilang ke suami siri sang wanita saat ketahuan ? "Saya ini sedang mengemban misi memperbaiki negara yang sudah bobrok". Gila memperbaiki negara kok dengan masturbasi dengan caddy wanita di kamar hotel, Kembali ke cerita semula. Sang jaksa kemudian dengan sedikit senyum menyebutkan angka jumlah uang yang diperlukan. Saya lupa persisnya. Jika tak keliru sekitar dua setengah juta rupiah.
"Jangan dinilai dari segi jumlahnya. Pandanglah dari inisiatif baik dibelakangnya. Saya bermaksud menolong bapak sampeyan. Jika tak bersedia tidak apa apa. Saya perlu memberi sesuatu kepada mereka yang doyan duwit itu". Sekali lagi dia melempar tanggung jawab perilaku jelek itu ke pihak lain. Kepolisian dan pengadilan. Padahal setali tiga uang. Orang Jawa bilang rase sama kuwuk, sama saja suka mencuri ayam.
" Apakah ada jaminan jika uang kami serahkan Bapak saya akan dikeluarkan?, kakak ipar saya bertanya.
"Jangan menantang ya. Kata kata saya tadi keluar dari mulut seorang penegak hukum. Bisa saja Bapak sampeyan saya jerat dengan tuduhan subversi. Tak ada batas waktu penahanan. Saya pernah menjebloskan orang dengan hukuman 15 tahun karena subversi di Jawa Timur dulu. Ati ati sampeyan ngomong".

Balasannya ketus dengan nada mengancam. Sang jaksa begitu tersinggung dengan pertanyaan kakak ipar saya.. Mungkin dalam benaknya tidak layak pertanyaan itu diajukan ke sang penegak hukum. Apapun yang dikatakan sang jaksa ya bersifat mengikat secara hukum. Sapda pendhito ratu. Kami bertiga minta diri keluar ruangan. Akan berpikir dan berbicara dulu. Di luar saya melihat para pegawai duduk bergerombol di ruang depan. Ruang terbuka menghadap halaman dan jalan raya. Kepala kejaksaan juga berdiri disana, merokok. Tak tahu apa yang diperhatikan di sana. Suasana itu memberikan kesan kuat akan etos kerja yang buruk. Mereka semua berseragam abu abu. Tiba tiba seseorang mendekati saya dan mengajak salaman.
' Ingat saya Ki?
' Dim, gimana kabarnya ? Anda kerja di sini sekarang?
Dia teman saya sewaktu SMP dulu. Juga murid bapak saya.
" Ki terus terang saya pengin bicara. Kasihan bapakmu. Diselesaikan saja di luar pengadilan. Tadi kan sudah ketemu pak Kasipidus ?. Berat kalau masuk kasus subversi'.

Saya tak begitu minat untuk bicara lebih banyak. Saya dan kakak ipar saya langsung pulang. Paklik saya kembali ke tempat tugasnya di Lembaga Pemasyarakatan Ambarawa Malam itu kami janji akan bertemu di rumah. Membicarakan tawaran sang jaksa tadi.

Ceritanya, kira kira sepuluh minggu sebelumnya, rumah kami digerebeg polisi. Bapak saya suka kumpul kumpul sama banyak orang, terutama mereka yang mengikuti aliran kebatinan. Lima belas tahun sebelumnya dia ikut masuk salah satu aliran kebatinan yang bernama Manunggal, yang dipimpin oleh Romo Herucakra di Banyumas. Banyak sekali pengikutnya waktu itu. Saya hanya sempat melihat pagelaran wayang kulit di Wedhi Klaten tahun 1965, dengan dalang terkenal yang juga penulis kondang sastra Jawa. Jika tak salah satu karangannya adalah Api di Bukit Menoreh.. Ternyata banyak pengikut dari kalangan atas, termasuk kalangan Chinese business . Salah satu murid senior perguruan kebatinan ini seorang Jerman yang desersi dari tentara Belanda waktu perang kemerdekaan dan telah masuk WNI. Namanya Hoebers. Dia sering nginap di rumah kami ber minggu minggu. Saya benar2 kagum akan kemampuan bahasanya. Dia menguasai 33 bahasa. Juga ahli matematika. Saya tidak mengikuti aliran tersebut. Hanya dengar cerita dari Bapak saya. Di awal tahun tujuh puluhan aliran ini dilarang pemerintah.

Para pengikut aliran Manunggal yang tinggal di sekitar Ambarawa sering kumpul kumpul di rumah pada hari hari tertentu, kalau nggak salah Selasa Kliwon. Terutama setelah Romo Herucokro meninggal. Lupa kapan persisnya. Saya sering mengingatkan ayah saya oleh karena setiap pulang ke Ambarawa sering banyak orang kumpul di rumah. Umur ayah saya waktu itu pertengahan enam puluhan, pensiunan. Banyak orang kumpul mungkin juga hiburan buatnya. Apalagi jika diskusi mengenai aliran yang dipercayai bersama. Pada saat penggeledahan ketemu beberapa materi cetak perguruan manunggal dan beberapa kopi majalah Echte Warheid. Majalah ini aslinya terbit di USA. Saya minta kopi bahasa Belanda nya untuk bahan bacaan Bapak saya. Tak ada kaitannya dengan subversi. Diterbitkan oleh salah satu sekte agama di Amerika. Hanya karena berbahasa Belanda dan gratis, maka saya minta majalah itu dikirm rutin ke alamat Bapak saya.

Bapak saya di tahan di kepolisian Ambarawa kira kira dua minggu, kemudian dipindah di Salatiga beberapa minggu, sebelum akhirnya dialihkan ke penjara tua di Ambarawa. Saya sempat menemuinya beberapa kali saat di Ambarawa dan Salatiga. Sekali bersama Nyi. Masih pacaran tetapi sudah tahap serius. Kami baru akan kawin bulan Desember nanti. Bapak saya tetap berkeras hati merasa tidak menyalahi aturan apa pun. Dia minta agar berkas pemeriksaan segera diajukan ke pengadilan. Di jaman Belanda memang pernah mendekam di Nusakambangan karena ikut gerakan bawah tanah melawan pemerintah Belanda di tahun empat puluhan. Jadi ditahan polisi dia tak merasa kecil hati sama sekali. Saat di tahan di kepolisian, walau tempatnya sangat sederhana, dia tak banyak mengalami masalah. Banyak bekas muridnya yang selalu menengoknya. Saya begitu khawatir saat itu oleh karena kami sedang berencana akan menikah. Memang akhirnya saat pernikahan kami, bapak mendapat ijin khusus untuk menghadiri. Diberi libur dari tahanan selama 3 hari. Ikut ke Pekalongan menyaksikan acara nikah kami.

Malam harinya sesudah menghadap sang jaksa tadi, kami bicara di rumah dengan kakak kakak saya dan paklik. Akhirnya disepakati saja untuk memenuhi permintaan sang jaksa. Dua setengah juta rupiah. Saya lupa siapa yang menyerahkan ke kejaksaan. Kakak ipar saya atau paklik saya. Ternyata benar, walaupun uang sudah diserahkan, sampai lebih seminggu Bapak belum juga dibebaskan. Kemudian kakak ipar saya menemui lagi sang jaksa tadi. Saya tidak ikut oleh karena sudah mulai bertugas sebagai asisten. Ternyata sang jaksa masih minta komisi lagi. Minta tambahan untuk dia. Satu juta rupiah. Saat uang komisi itu diserahkan dengan tenang katanya dia berkata " Orang kan bisanya cuma tolong menolong. Take and give".

Ini salah satu kisah hitam pengalaman saya berhadapan dengan penegak hukum. Bapak saya sebagai pihak yang dituduh waktu itu. Di tahun 1997, ada pengalaman getir yang lain. Anak saya Moko meninggal karena ditabrak mobil yang dikendarai secara sangat sembrono. Kami sebagai pihak korban. Tetapi saat persidangan di pengadilan, juga harus mengeluarkan uang untuk jaksa dan hakim agar si penabrak masuk penjara. Penabrak itu memang akhirnya di vonis 11 bulan, tetapi nggak tahu berapa lama dia mendekam di dalam. Semua toh bisa tawar menawar.

Jadi ketika saat ini ada rame rame antar elit penegak hukum di atas sana, saya tidak kaget dan tidak gumun. Orang Jawa bilang, rase sama kuwuk sama sama suka mencuri ayam. Hanya ingat cerita saat Indonesia krisis pejantan sapi, maka waktu itu cepat2 pemerintah mengimpor sapi pemacek dari Australia. Krisis sapi teratasi. Kalau krisis hukum apa ya bisa impor ? Apanya yang mau diimpor? Yang penting aja gumunan, aja kagetan. Kita semua melihat sandiwara besar.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

Monday, November 2, 2009

Siapakah aku ini

Hidup adalah perjalanan panjang. Menempuh arah dan menuju tujuan masing masing. Dalam perjalanan panjang itu pasti bertemu banyak orang. Dengan segala corak dan tujuan hidup masing. Juga bertemu banyak teman. Teman sesaat atau selamanya.. Juga teman hidup yang dicintai. Yang menemani perjalanan sampai waktu berakhir. Bertemu dengan banyak corak manusia, pertanyaan kadang menerpa. Siapakah mereka? Apa yang mereka lakukan. Siapakah aku? Apa yang saya tuju dalam hidup ini? Pertanyaan yang sering datang bersama lamunan.

Pertanyaan sederhana ini datang ke benak saya , pertama setelah membaca sajak Chairil Anwar , di tahun 1964. Setelah pelajaran bahasa Indonesia. Mungkin tak lengkap. Hanya ingat sepatah sepatah " Aku ini binatang jalang. Dari kumpulannya yang terbuang. Tak perlu sedu sedan itu. Biar peluru menembus kulitku. Aku tak kan peduli. Berlari Berlari, hingga hilang pedih peri" Saya tak tahu persis apa yang emosi dan pikiran Chairil dibalik puisi itu. Nampak begitu bergelora. Membara penuh semangat hidup.

Musim bunga di tahun 1964. Bunga kopi, bunga mawar semerbak di kebun kami. Hanya beberapa minggu setelah kami menerima pelajaran tentang puisi Chairil Anwar tadi. Di hari Minggu itu kami siswa siswi Taman Siswa jalan jalan ke Gunung Kendali Sodo, di sebelah Timur Laut kota. Bahasa sekarang mungkin outbond. Dulu waktu sekolah dasar, istilahnya gerak jalan. Berjalan kaki sepanjang kurang lebbih tujuh kilometer. Dari desa kami total mungkin 12 kilometer. Dipimpin guru olah raga, namanya pak Beny. Badannya kuat, suka cerita, kadang sampai membual. Katanya pernah dikeroyok perampok lima orang. Satu persatu KO kena ketupat Bangka Hulu. Perjalanan mengasyikkan. Tak terasa lelah walau jalan mendaki sepanjang perbukitan,setelah melewati desa Doplang. Hawa belum panas benar. Awal musim hujan. Udara Ambarawa masih sejuk kala itu. Pak Beny selalu cerita ke sana kemari. Kadang2 teriak memberi semangat sepanjang jalan.

Kami tiba di puncak Gunung Kendalisodo kira kira hampir jam sebelas siang. Dari puncak bukit itu terlihat pemandangan lembah terhampar luas. Lembah Ambarawa di sebelah Barat, dan dataran rendah menuju Semarang ke arah Timur Laut. Begitu menakjubkan. Asri dan damai sekali waktu itu. Saya merasa begitu kecil berdiri di puncak bukit itu. Kami hanya duduk duduk dibawah pohon pohon rindang.Kadang kadang nyanyi bersama. Lupa lagu apa saja yang kami nyanyikan saat itu. Satu yang tak terlupakan. Lagu indah Taman Siswa kami kumandangkan di atas bukit . "Taman Siswa perguruanku. Hiduplahmu semerdekanya. Taman Siswa jantung hatiku. Bersinarlah semulianya. Dari Barat sampai ke Timur. Pulau pulau Indonesia. Nama kamu sangatlah masyhur. Diliputi merah danputih".

Habis nyanyi nyanyi hanya duduk duduk menggerombol. Masing masing asyik ngobrol dan makan bingkisan makanan dengan kelompok masing masing. Pak Beny cerita di kelilingi siswi siswi putri. Hanya seorang siswa laki laki yang ikut dalam kelompok pak Beny, namanya Kadar si kacamata. Dia takut jauh jauh. Tebing begitu tinggi dan terjal. Takut kalau terpeleset. Saya lihat Santi dan mbak Marni di seberang lereng bukit. Santi nampak begitu menawan. Dengan baju hijau muda. Pipinya memerah terkena panas mata hari. Kadang2 dia terpekik ceria. Tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tiba tiba saja saya ingat puisi Chairil Anwar itu. Aku. Pertanyaan menerpa ringan di antara lamunan menikmati pemandangan alam yang menakjubkan. Siapakah aku ini? Apa yang akan saya gapai dalam hidup ini? Lamunan saya melayang di antara langit dan awan. Menelusur lembah dan bukit yang begitu indah. Pemandangan lembah yang begitu indah terhampar luas di bawah sana. Saya ingin terbang menembus cakrawala itu. Menembus langit itu. Bersama awan. Bersama Santi, kalau bisa. Dengan baju hijau muda dan syal warna lembut. Dia sering memakai syal warna kuning lembut. Untuk mengusir hawa dingin pagi hari waktu itu. Syal itu pasti akan melambai lambai di langit jika dia terbang. Terbang di langit tak bertepi. Dalam lamunan tak berbatas. Edaaan ah. Lamunan keterlaluan. Tetapi melamun sih bisa saja. Tak ada larangan untuk melamun.

Siapakah aku ? Apa yang saya gapai? Saya ingin pergi ke luar dari lembah indah itu. Belajar dan berjuang ke masa depan. Saya ingin belajar di luar sana. Di balik cakrawala. Di seberang dunia. Di luar Indonesia. Ingatan saya melayang ke kakak saya tertua yang saat itu sedang tugas belajar di West Lafayette, USA. Moga moga saya bisa seperti dia. Namanya Hadiwaratama. Lulus ITB tahun 1963, terus tugas belajar ke Amerika.
Sekarang sudah pensiun dari ITB.

Keinginan saya untuk pergi begitu bergelora. Bercampur lamunan lamunan indah.. Hidup memang begitu keras saat itu. Saya harus bangun setiap pagi jam empat. Memerah susu. Kemudian jam enam pagi sudah harus berangkat sekolah jalan kaki. Pulang sekolah juga harus mengurus sapi sapi itu kembali. Masih ada banyak binatang piaraan yang lain, kambing, kuda, ayam dan burung. Meskipun ada pekerja, tetapi kami bersaudara selalu harus terjun mengawasi. Kami punya perusahaan pemerahan susu di desa. Tak pernah memelihara kerbau. Nggak tahu kesan terhadap kerbau selalu negatip. Di antara kerasnya hidup sehari hari, hanya lamunan itulah pelarian yang indah dan mengasyikkan. Dengan pertanyaan, siapakah aku dan apa yang ingin saya gapai dalam hidup ini.

Beberapa tahun kemudian, pertanyaan serupa juga sering hinggap di benak saat kuliah di fakultas Kedokteran, di Mangkubumen Yogyakarta. Kebetulan seorang guru besar yang kami banggakan juga suka cerita. Kadang membual. Ceritanya selalu dimulai dengan kata kata "Saya ini". Setiap pulang dari luar negeri selalu cerita. "Saya ini minggu kemarin ke Hawai. Ada konperensi". Pernah saya ceritakan, adik kelas saya Narko pernah disuruh keluar dari kelas. Baru sang guru besar mulai bicara "Saya ini", Narko teriak dari belakang "Si Gembala Sapi". Berang benar guru besar itu. "Keluar kamu, anak kampung. Sana pergi ke Sentolo saja". Kesulitan kesulitan semasa kuliah selalu menghantui. Tetapi mendengar cerita sang guru besar tadi, selalu membesarkan hati. Siapakah aku ini? Apa yang akan saya gapai dalam hidup ini? Kami selalu terpukau mendengar ceritanya. Walau beberapa mungkin sedikit membual. Tetapi itulah yang memompa semangat saya. Mencari apa yangakan saya gapai dalam hidup ini.

Di tahun delapan puluh saya mendapat kesempatan tugas belajar di Newcastle, UK dengan beaya Rockefeller Foundation. Menyelesaikan program doktor. Kembali ke Indonesia tahun 1983, dan bertugas sebagai dosen. Merambat dari bawah. Beberapa kali saya sempat berbincang dengan sang guru besar senior tadi. Gaya bicaranya tak pernah berubah. Selalu menggugah semangat anak muda untuk berpacu ke depan. Di akhir tahun delapan puluhan, saya masih ingat pembicaraan terakhir ketika beliau dirawat di rumah sakit. Beberapa minggu sebelum meninggal. "Ki saya sudah tua. Pengin istirahat dan hidup tenang. Saya sudah melakukan apa yang seharusnya saya lakukan dalam hidup ini. Saya merasa tenang jika orang mengingatnya."

Ketika menjadi dosen senior, terutama saat terlibat dalam program doktor, saya banyak belajar tentang pertanyaan Siapakah aku ini?. Apa yang saya tuju dalam hidup ini ? Tak jarang mereka mereka yang diberi kewenangan akademis begitu besar untuk menentukan lulus atau tidaknya seorang calon, begitu terbuai dengan ungkapan Siapakah Aku ? Ini lho aku yang berkewenangan besar. Menentukan nasib anda. Menentukan lulus atau tidak. Menentukan perjalanan karier anda di masa depan. Jika ada calon yang menjawab keliru dalam ujian lisan, tidak hanya disanggah, kalau perlu di cerca sampai terjatuh terbirit birit. Mungkin manusiawi. Orang kadang kadang begitu mengagumi diri sendiri. Siapa aku ini?
Sampai almarhum Gepeng almarhum, tokoh komedi Srimulat itu, terkenal dengan kata sindiran "Untung Ada Saya".

Dalam kewenangan dan kekuasaan luar biasa orang gampang terlupa "Siapakah aku ini"?. Banyak contoh di sekitar kita. Ada anggota DPR lupa, siapa dia. Harusnya menggodok undang undang kok malah buat foto mesum. Memangnya bintang film porno?. Guru yang seharusnya mendidik dan melindungi muridnya kok malah mencabuli siswi yang masih di bawah umur. Lupa siapa sebenarnya dia. Ada pejabat publik yang top di Republik ini, lupa diri siapa dia, malah colek mencolek dengan caddy cantik di kamar hotel. Edan ya memang enak sih colek mencolek. Apalagi kalau bukan sama nyonya. Nyolek isteri sendiri kadang kadang malah bisa digampar pakai bantal. Jangan ganggu orang tidur. Siapa salah mencolek caddy. Alasan sih bisa dibuat. Operasi intelijen. Intelijen kok malah nyoleki wanita caddy. Enak dhong.

Siapakah aku ini ? Dalam masa masa tua ini, jika pertanyaan itu datang dalam lamunan, saya hanya menjawab pasrah. Sederhana sekali. Saya bukan siapa siapa. Hanya pelanglang dunia maya. Menjelajah dunia tak bertepi, tak berbatas. Menembus langit melanglang dunia. Menyapa siapa saja yang bertemu dalam perjalanan maya itu. Mungkin meninggalkan catatan kecil. Asal terbaca oleh mereka yang berkelana. Jika masih ada waktu suatu saat mungkin membuat catatan tentang sesuatu. Tentang makna hidup dan perjalanan hidup. Tentang cinta dan kedamaian.

Ki Ageng Similikithi.

Saturday, August 29, 2009

Sepatu dari kulit rusa

Sepatu dari kulit rusa – bulan madu sampai mati

Lirik lagu Sepatu Dari Kulit Rusa terdengar mengalun indah. Malam yang hening. Lupa kapan persis tahunnya. Mungkin tahun tujuh puluh.. Juga nama pasangan suami isteri yang menyanyikannya. Minggu malam itu, ada acara latihan musik di rumah pak Darwis Brahim almarhum di kampung Suronatan, Yogyakarta. Saya mondok di rumah pak Darwis sejak tahun 1969 sampai 1972. Keponakan beliau, pasangan muda suami isteri itu menyanyikan lagu dengan kompak dan rukun. Perasaan saya hanyut terbawa oleh lagu itu.

Kubelikan sepatumu
Dari kulit rusa
Kunyanyikan lagu untukmu
Lagu tentang cinta.

Tak hapal sepenuhnya lirik lagu itu. Hanya di akhir lagu ada pesan mendalam "Bulan madi sampai mati". Lagu itu begitu indah dan membawa pesan yang dalam. Pesan tentang cinta yang langgeng sampai mati. Saya terkesima malam itu karena lagu itu dan pasangan rukun yang menyanyikannya. Sang isteri berparas anggun, seorang pengusaha batik yang ulet, melambangkan ciri wanita Yogya dan Solo yang suka bekerja keras. Sang suami berwajah menarik dan gantheng, pengusaha hotel dan biro perjalanan Natrabu. Dia suka memakai baju merah dan berpakaian necis. Saya selalu merasa iri dan kagum. Wanita Yogya dan Solo selalu memanjakan dan begitu memperhatikan (care) sang suami, kesan saya waktu itu. .. Itu juga yang saya lihat dari pasangan yang menyanyi malam itu. Kami kebetulan bertetangga dekat. Almarhum pak Darwis yang saya pondoki, adalah ketua Rukun Kampung di Suronatan, dan juga ketua kelompok orkes keronsong di sana. Putra pertamanya, mas Bursman, jadi pengusaha di Jakarta dan penah beristerikan penyanyi kondang Ivo Nila Krisna. Kabarnya dia juga suka menyanyi, tetapi belum pernah saya melihat mas Bursman menyanyi. Tak pernah luntur dari ingatan saya pesan dari lagu itu. Bulan madu sampai mati. Walaupun pengalaman pacaran dengan gadis Solo atau Yogya selalu berakhir kandas tanpa kata kata. Hanya hilang menguap begitu gampang di langit. Sublimasi semata. Pernah saya ceritakan di Koki Kompas.. Tetap saja ada kenangan yang indah.

Malam ini saya mencoba membuka buku harian lama. Ada pesan menarik tertanggal dua puluh tujuh Mei 1972. EMSA, gadis Solo menulis di bukur harian tersebut. Kami berpacaran selama kurang lebih dua tahun waktu itu.

Ki sayang ,
22 tahun telah datang padamu
Dan kau miliki penuh
Tapi aku tak pernah tahu apa apa.

Hanya ketika datang 27 Mei 1972
Sepenuhnya aku akan mengerti
Tentang hari ini.
Karena hari ini adalah harimu
Karena aku menyayangimu.

Dan apabila seseorang menyayangimu,
Maka ia akan menyayangi seluruh hari harimu
Setiap damba dan cita citamu
Segala kehidupanmu
Dan semua yang ada padamu.
Kemudian ia akan berdoa kepada Tuhan untuk kebahagianmu.
Kasih dan sayangmu EMSA.

Tak sedalam pesan dari lagu Sepatu Dari kulit Rusa. Tetapi saya mendapat kesan pesan cinta yang dalam, yang romantis, walau akhirnya kandas. Tak ada yang perlu disesali. Perjalanan memang selalu tak terduga. NYI juga membaca buku harian ini kemudian ketika kami sudah bersuami isteri. Tak ada pengaruh sama sekali. Pesan mendalam Sepatu dari Kulit Rusa lebih dominan bagi kami, bulan madu sampai mati. Pesan cinta selalu didominasi oleh perasaan, oleh romantisme. Jarang tercampur dengan rasa napsu dan seksualitas. Bandingkan dengan pesan pesan yang dikirim oleh Gubernur Sanford kepada kekasih gelapnya (WIL), wanita Argentina itu. Dalam tayangan TV, jika tidak salah ada ungkapan yang menyatakan " keindahan lekuk liku tubuh dan dua buah gunung di tubuhmu". Sulit mengatakan ungkapan tersebut karena rasa cinta dan romantisme semata. Ada napsu, ada seksualitas disana. Lebih pas untuk hubungan WIL dan PIL. Mungkin bukan semata karena cinta yang menggebu. Hati hati jika terima syair syair dari kekasih yang penuh napsu dan seksualitas lho. Jangan jangan malah berakhir PIL atau WIL. Indahnya PIL dan WIL lebih banyak di sisi napsu dan seksualitas.

Bulan Juni 2009. Saya bersama NYI ke Washington DC. Tidak khusus bulan madu.. Hanya pengin jalan jalan setelah lima belas tahun tak menginjak tanah Amerika. Kami tinggal di satu hotel di Pensylvania Avenue. Saya menghadiri pertemuan sejak jam sembilan pagi sampai jam lima sore. Berhari hari NYI mengeluh tak bisa menemukan mall. Mau beli tas di sana. Tak bisa menemukan tempat belanja yang pas katanya. Paling gampang mestinya pergi ke mall. Tetapi berkali kali putar putar down town Washington, tak juga menemukan mall.

Sampai di hari ke empat, saya pulang pertemuan lewat kampus George Washington University, ada papan penunjuk ke arah National Mall. Sampai hotel cepat cepat saya memberitahu NYI, ada mall dekat sini, hanya setengah jam jalan. Kami bergegas ganti pakaian dan turun ke jalan. Resepsionis hotel memberi tahu kalau mall itu buka dua puluh empat jam. Kami berjalan bergegas sesuai arah petunjuk. Beberapa kali bertanya penjalan kaki, selalu ditunjuk ke taman besar dengan hutan lebat di tengah kota. Merasa bloon benar, ternyata memang National Mall bukan shopping mall yang saya bayangkan. Kelelahan kami duduk di tepi jalan. Selang dua puluh menit ada taksi yang mau berhenti. Ketika saya minta diantar ke shopping mall terdekat, bukan National Mall, dia malah tertawa terkekeh mengerti kekeliruan kami.

Akhirnya kami diantar ke Pentagon City mall. Tak terlalu besar dibanding dengan Mall of Asia di Manila. Tetapi lumayan banyak ragam toko di sana. Moga moga cepat selesai belanja, doa saya. Di Manila kami juga jarang belanja di mall sama sama. Mengantar isteri belanja perlu kesabaran khusus. Setelah berputar putar, akhirnya NYI beli pasangan tas, sepatu dan kaca mata. Satu merk. Tak tahu saya apa istimewanya. Saya hampir tidak pernah beli barang bermerk. Sepuluh tahun terakhir selalu sepatu buatan lokal Filipina, yang juga nampak modis. Saya hanya beli topi saja, untuk kenangan. . NYI nampak riang sekali. Dalam perjalanan pulang ke hotel saya lebih banyak berdiam diri. Masih dongkol pengalaman lari lari cari National Mall tadi.

Saya ingat lagu Sepatu dari Kulit Rusa. Dalam taksi saya lantunkan lagu indah itu.

Kubelikan sepatumu
Dari kulit kerbau,
Kunyanyian lagu untukmu
Lagu tentang cinta.

Tak seindah lamunan dalam Sepatu dari Kulit Rusa. Apalagi telah kesasar sasar lari lari ke National Mall, taman belukar di tengah kota Washington. Juga tidak beli sepatu dari kulit rusa. Mungkin kulit lembu, atau bahkan kulit kerbau atau kambing. Tetapi moga moga pesan akhir lagu itu tetap terhayati, bulan madu sampai mati..

Ki Ageng Similikithi (Manila)

Wednesday, June 24, 2009

Taruna itu bernama Prabowo

Ada catatan dalam buku harian saya, hari Senin tanggal 6 September 1971. Tentang kunjungan kami, rombongan mahasiswa kedokteran UGM, ke markas pendidikan akademi militer di Magelang, sehari sebelumnya. Ketika membaca baris baris dalam catatan lama tersebut, ingatan saya melanglang ke masa lalu. Namun lebih didominasi oleh pertemuan dan wawancara saya dengan jendral Sarwo Eddhie. Khususnya tentang penembakan pesawat yang ditumpanginya di bandara Wamena beberapa bukan sebelumnya sewaktu masih menjadi panglima Komando Daerah Militer di Irian Barat, oleh Gerakan Papua Merdeka. Pembicaraan berlanjut sekitar gerakan separatis di Irian dan perilaku para pejabat republik di propinsi ujung timur itu. Saya masih duduk di tingkat tiga Fakultas Kedokteran, dan pemimpin redaksi majalah mahasiswa Hygieia almarhum. Tiga puluh delapan tahun telah berlalu. Buku harian saya kebetulan kena embargo NYI karena didalamnya ternyata banyak tertulis kisah romantis jaman dulu, yang juga sudah saya pernah ceritakan di Koki. Khususnya dengan Eny dan Emsa. Cinta monyet, cinta masa lalu, modal permen karet, sana sini lengket.

Ada sesuatu yang mungkin perlu diceritakan dari peristiwa kunjungan itu. Pertemuan singkat dan perkenalan saya dengan seorang taruna. Prabowo Subianto Djojohadikusumo. Sementara teman teman lain waktu itu sudah terlibat dengan berbagai acara pertandingan olah raga, sepuluh mahasiswa diterima oleh Gubernur AKABRI bersama staff teras di ruang pertemuan gubernur. Beberapa taruna juga mewakili rekan rekan mereka. Dalam acara pembukaan kami semua diperkenalkan, juga tuan rumah. Salah seorang taruna yang diperkenalkan oleh jendral Sarwo Edhie waktu itu adalah Sermadatar Prabowo. "Taruna yang duduk di ujung itu adalah putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo". Sermadatar artinya Sersan Mayor Darat Taruna. Saya lihat Bung Prabowo senyum malu malu di deretan kursi seberang. Diskusi dengan jendral Sawo Eddhie kemudian berkisar tentang penyimpangan2 di Irian barat, dan peristiwa kekerasan yang menimpa mahasiswa oleh taruna akademi militer baik di Yogya maupun di Bandung. Tewasnya Rene Louis Conrad di Bandung menjadi topik tanya jawab menyolok. "Tragedi dan kemunduran dalam pembinaan generasi muda para calon pemimpin bangsa", itu salah satu ungkapan yang saya ingat dari beliau.

Diskusi dengan para taruna berjakan agak kaku. Ketika seorang teman saya berucap " Anda anda di Akademi Militer menikmati fasilitas pendidikan yang begini mewah dan gratis. Kami kami hanya mendapatkan fasilitas belajar pas pasa, dan harus membayar mahal". Jawabannya dari taruna paling senior agak klise " Di manapun di dunia, pendidikan militer selalu gratis. Di ksatrian ini, kami ditempa menjadi pembela negara". Kekakuan suasana masih terasa dengan taruna, walaupun kunjungan itu sebenarnya ditujukan untuk mempererat hubungan mahasiswa dan taruna militer. Peristiwa pembunuhan Renne Louis Conrad mahasiswa ITB oleh taruna Akademii Kepolisian di Bandung setahun sebelumnya, dan pengeroyokan mahasiswa tehnik UGM oleh taruna Akademi Angkatan Udara di Yogya, masih ingat dalam ingatan kami. Ketika saya mencoba menyindir istilah ksatrian yang mereka sebut, teman sebelah saya menginjak kaki saya memberi tanda untuk tidak melanjutkan debat yang tak perlu. Batin saya, siapa yang bilang kalau para taruna itu ksatria, dan markas mereka ksatrian. Edan narsis benar. Ksatria di manapun nggak suka main keroyokan. Lantas kami kami para mahasiswa ini dianggap apa? Dianggap sudra apa? Sorry meck, tak adaitu dalam kamus.

Kembali ke Sermadatar Prabowo. Dia lebih banyak diam dan tak banyak diskusi. Hanya salah satu temannya mengatakan bahwa dia menguasai empat bahasa. Sesudah pertemuan kami sempat bicara singkat. Basa basi. Bahasa Indonesianya masih kaku, nggak lancar. Mungkin karena lama tinggal di luar negeri. Dalam perjalanan ke ruang makan kami lebih banyak ditunjukkan berbagai ruang dan fasilitas pendidikan yang mereka miliki. Selanjutnya tak ada kontak lanjutan di antara kami. Masing masing tenggelam dalam perjalan karier yang panjang. Jelas dia kemudian sering muncul dalam berita nasional, apalagi sejak menjadi menantu RI satu.

Kontak tak langsung dengan Bung Prabowo terjadi di awal tahun sembilan puluhan. Berkaitan dengan forum diskusi mahasiswa Timor Timur pro adan anti integrasi. Salah satu tokoh mahasiswa pro integrasi adalah mahasiswa kedokteran waktu itu, Ossie Mario Soares. Bapaknya adalah tokoh pendiri partai Apodeti, yang dieksekusi oleh kelompok Fretilin di tahun 1975. Beliau adalah kakak mantan Gubernur Abilio Soares . Ossie selalu dekat dengan Bung Prabowo dalam upaya diskusi antara kelompok pro dan kontra integrasi. Saya terlibat beberapa kali dalam pertemuan dan seminar mereka di Yogya. Kami hanya saling titip salam. Tak pernah bertemu langsung. Saya berharap dapat bertemu dengan Bung Prabowo, dalam salah satu pertemuan seminar dan dalam satu acara pertemuan mahasiswa Timtim dengan Sultan. Bung Prabowo berhalangan datang dan hanya titip salam.

Kira kira dua tahun lalu. Ada friendster Bung Prabowo. Agak ragu apakah ini betul beliau atau bukan. Banyak pemujanya di friendster itu. Beberapa kali dalam komunikasi lewat friendster, saya selalu mengakhirinya dengan kalimat " Asli lho". Hanya sekedar jaga jaga, kalau bukan Bung Prabowo beneran. Bahasanya selalu lugas dan santun. Tidak berapi api sama sekali. Kemudian lama friendster itu tidak aktif. Mungkin karena kesibukan dunia politiknya. Apa lagi sekarang menjadi Cawapres. Kita semua tak tahu persis kansnya. Tergantung para pemilih. Mungkin ada sedikit keraguan dalam hati para pemilih dalam pemilu tahun ini. Terutama berkaitan dengan tuduhan keterkaitannya dengan peristiwa orang hilang, dan kedekatannya dengan kelompok agama garis keras. Moga moga di pemilu tahun 2014, semua keraguan bisa diatasi. Masih ada waktu untuk menjelaskan. Jika peristiwa peristiwa itu bisa dijelaskan secara gamblang, mungkin publik yang memuja beliau dan masih ragu ragu, akan mendukungnya sepenuh hati. Saya bukan siapa siapa. Mendukung atau tidak, tak akan ada maknanya.

Yang ingin saya ungkapkan di sini hanyalah salas satu sisi makna kehidupan. Hidup adalah perjalanan panjang, suatu pengembaraan tiada henti. Dalam perjalanan itu kita bertemu banyak orang. Saling menyapa, saling memberi salam. Mungkin akan berjalan bersama. Mungkin akan berpisah. Dan suatu saat, entah berapa tahun lagi akan bertemu dan memberi salam kembali. Dunia maya memberi sarana dan makna begitu dalam, agar manusia bisa saling menyapa dan memberi salam dalam perjalanan dan pengembaraan panjang itu. Tiga puluh delapan tahun lalu, taruna itu bernama Prabowo. Sekarang adalah Cawapres Prabowo. Kami bertemu kembali lewat dunia maya. Tetapi saya bukan siapa siapa. Saya ini hanyalah si gembala sapi. Ki Ageng Similikithi. Salam bung Prabowo.

Saturday, April 18, 2009

Mas saya pamit

Peristiwa itu telah berlalu empat puluh tahun. Peristiwa yang tak terlupakan selama hidup. Yang telah mengubah perjalanan hidupnya. Heru masih kuliah di tahun ketiga Fakultas Kedokteran. di kompleks Mangkubumen, Yogyakarta. Jam setengah empat sore hari. Dia berjalan pulang ke rumah kost di Nagan. Letih dan lesu sesudah menyelesaikan asistensi praktikum anatomi. Bau formalin bercampur dengan mayat terawetkan sudah biasa baginya. Namun sore ini membuatnya merasa pusing. Hatinya gundah. Dia sudah hampir sembilan bulan ini tidak pulang mengunjungi orang tuanya. Tak jauh sebenarnya. Hanya makan waktu barang tiga jam dengan bis. Rumah orang tuanya di Sragen. Tetapi dia malas pulang karena sakit hati dengan bapaknya. Dia dimarahi saat pulang terakhir liburan tahun lalu. Pulang kemalaman ngobrol sama teman teman SMAnya. Tak sepucuk suratpun dilayangkan ke orang tuanya sesudah itu.

Malam tadi dia mimpi makan bersama bapak ibunya dan adik laki lakinya Kelik. Dalam mimpinya dia asyik sekali ngobrol sama bapak ibu dan adiknya. Kangen sekali dan pengin pulang rasanya. Tetapi jika ingat saat dimarahi ayahnya, dia masih merasa sakit. Hatinya terlalu tinggi untuk melupakan.. Heru selalu berpendirian kuat. Dia merasa belum pernah gagal. Dia ingin menunjukkan kalau dia kuat. Bisa mandiri sampai lulus dokter nanti. Melewati pasar Ngasem, jalan ke Selatan. Mampir di tempat teman akrabnya, Dadi di Ngadisuryan. Dia sering tidur di sana karena belajar bersama. Demikian juga Dadi sering tidur di tempat kostnya. Dadi baru duduk di depan kamar kost ketika dia datang. Dibawah kerindangan pohon jambu. Halaman luas dengan pohon pohon rindang.

"Di, hati saya kok nggak tenang ya. Semalam mimpi makan makan sama bapak ibu dan adik saya".
"Pulanglah kamu. Berbulan bulan nggak pulang. Tak ada enaknya marah sama orang tua dibawa terus. Maksudnya bapakmu kan nggak jelek".
'Rasanya kok masih salah tingkah saya. Adik saya Kelik bolak balik tulis surat ke saya. Saya pikir pikir coba minggu depan. Agak longgar".
"Lebih cepat lebih baik. Nggak usah pura pura sibuk. Asisten anatomi kerjanya kan sama mayat, ngapain sibuk terus.".

Heru ngobrol dengan Dadi tanpa pembicaraan serius. Menjelang maghrib dia pulang. Pelan pelan berjalan ke Barat melewati rumah sakit Mangkuwilayan. Di halaman belakang rumah pondokan ada kebun yang tak terlalu luas. Berbatasan dengan selokan kecil dengan air gemericik. Kamarnya di muka kebun itu. Ada beberapa pohon rindang di halaman itu. Juga beberapa bunga melati yang sedang mekar bunganya. Dia selalu ikut memelihara bunga bunga itu. Dia siram setiap sore. Ada sekuntum bunga yang nampak indah menarik perhatiannya. Dia siram bunga itu dengan tembor air. Tanpa berpikir panjang dia petik sekuntum bunga yang indah. Harum semerbak. Ada kerinduan yang mendalam dalam hatinya. Ingin rasanya memberikan bunga itu untuk ibunya yang sangat dia sayangi. Tiba tiba seseorang menegurnya.

"Bunga itu indah sekali mas. Kasian kenapa mesti dipetik?".
Heru terkejut luar biasa. Dia sudah akrab dengan suara itu. Adiknya Kelik yang baru duduk dikelas tiga SMA, tiba tiba saja muncul dari arah kegelapan di bawah kerimbunan pohon sawo kecik.
"Kelik, kapan kau datang?. Kok tak memberi kabar dulu? Untung saya di rumah".
"Baru saja datang, jalan dari standplat THR. Saya sudah menulismu beberapa kali. Tak ada balasan. Bahkan surat terakhir saya kirim tiga hari lalu".
"Bagaimana bapak ibu di rumah?. Baik baik?"
"Bapak ibu sangat menunggumu mas. Bapak agak tidak sehat. Selalu menanyakanmu".

Dengan manja Kelik memeluk erat kakaknya. Memang kebiasaan Kelik selalu manja dengan kakaknya. Selisih umur mereka hanya tiga tahun. Hubungan mereka begitu akrab. Keduanya sangat dekat dengan ibunya.
"Kau dingin sekali Lik. Bajumu basah dengan peluh".
"Nggak mas Ru. Saya tadi sempat turun di selokan itu. Dingin airnya".
"Mari masuk dan ganti pakaian di dalam".
"Lama kau nggak pulang. Apa nggak kangen sama ibu, sama saya ?"

Heru menghidupkan lampu listrik. Hanya dua puluh lima watt. Tak begitu terang. Tetapi Heru bisa melihat baju adiknya yang kotor karena debu. Baju putih dengan celana abu abu. Seragam SMA. Mungkin dia pulang sekolah langsung naik bis.
"Pakaianmu kotor sekali Lik. Mandi dulu ya. Ini ganti pakai baju saya. Saya mau shalat dulu. Kamar mandi di samping sana".
" Iya mas. Jangan lupa pulang nanti ya mas. Di tunggu bapak ibu lo.

Heru terus sholat dengan khusuk. Sehabis sholat dia masih melakukan beberapa doa mohon ketenangan. Sambil menunggu Kelik. Selesai mandi Kelik duduk di depan kamar. Baju putih celana putih bersih. Wajahnya nampak nggantheng penuh senyum. Kelik memang punya wajah menarik, smiling face dengan gigi gigi indah. Rambutnya hitam kelam berombak. Hanya wajahnya agak sedikit pucat. Mungkin masih capai.
Heru beranjak ke arah dapur. Kelik duduk di kursi dengan tangan terlipat di depan kamar. Warna harum menerpa ruangan saat Heru melewati tempat duduk Kelik. Dia akan menyiapkan makan malam mereka berdua.
" Lho kok pakai baju putih. Tadi baju yang saya berikan warna abu abu kalau nggak salah".
"Tak apa apa mas. Saya bawa pakaian sendiri. Malam ini saya tidur mana enaknya ya mas?. Agak bingung saya. Bapak ibu kasihan di rumah"
"Jangan semaunya. Tidur di sini saja. Saya siapkan makan malam".
"Saya kangen masakanmu mas. Nasi goreng sama telur".
" Saya siapkan nasi goreng. Tunggu sebentar".

Sementara Heru masak, Kelik hanya berdiam diri dan tenang sekali di depan kamar. Hanya seperempat jam nasi goreng sudah siap. Dia berikan satu piring untuk Kelik.
"Silahkan kalau kurang masih ada sebagian di wajan. Di dapur sana".
"Terima kasih mas Heru. Saya selalu merindukan masakanmu. Kau selalu memperhatikan ku, menyayangiku.".
"Nggak usah ngomong macam macam. Tambah saja lagi kalau kurang itu di dapur".
"Saya ingin menikmati nasi goreng masakanmu bersama sama dengan bapak ibu juga. Pulang ya mas, cepat cepat saja"

Sudah isya ketika mereka selesai makan. Heru cepat cepat ambil wudhlu dan melakukan sholat isya. Saat selesai sholat tiba tiba Kelik pamitan. Kalimatnya agak aneh..

" Aaah saya pamit Mas. Kau sayang benar sama aku.. Tolong datanglah temani bapak ibu ya".

Sebelum Heru sempat beranjak dari shalatnya, Kelik telah beranjak pergi dan menghilang di kegelapan. Heru hanya sempat mengumpat " Anak ini kok selalu angin anginan sejak kecil". Heru termangu sendirian. Dia tahu benar watak adiknya yang tak pernah mau dicegah jira sudah punya keinginan. Nanti toh Kelik pasti pulang, pikirnya. Mungkin malam malam. Dia tiduran di kamar sambil mendengarkan irama radio. Lagu indah Rahmat Kartolo, Pusara Cintaku, mengalun lembut.

Jam setengah sembilan terdengar ketokan di pintu. Paklik dan buliknya diantar oleh bapak kost telah berdiri di muka kamar. Heru terkejut setengah mati. Ada apa?. Buliknya langsung memeluk "Nak mari pulang ke Sragen malam ini. Bapak ibu menunggu".
Pakliknya juga segera memeluk sambil menangis pelan " Tabah ya nak. Mari saya temani pulang ke Sragen". Sebelum sempat Heru menenangkan diri. Pakliknya memberi tahu lebih lanjut.
"Heru harap tabah kamu ya nak. Adikmu Kelik telah dipanggil Yang Maha Kuasa. Bapak ibumu menunggu".
Heru menjerit tanpa disadari" Apa yang terjadi. Kami baru saja makan bersama Paklik".
"Jam empat tadi adikmu pulang sekolah, mengalami kecelakaan nak. Sudah takdir, dia langsung menghadap Yang Maha Kuasa. Kuatkan hatimu ya, dia telah damai di sana".
" Dia baru saja saya buatkan nasi goreng. Makan sama sama saya"

Heru menangis meraung raung. Baju warna abu abu yang disediakan untuk Kelik masih utuh di atas kursi. Juga satu piring isi nasi goreng itu masih utuh di atas meja. Hanya satu piring yang kosong. Bersama beberapa kerabat dekat mereka bersama naik mobil ke Sragen malam itu juga. Heru hanya bisa meratap sepanjang jalan. "Kelik, saya selalu menyayangimu. Saya sangat merindukanmu"

Menjelang tengah malam mereka sampai rumah di Sragen. Heru memeluk ibu dan bapaknya. "Kelik selalu menanyakanmu Ru. Doakan adikmu, dia telah pergi" Ibunya meratap pilu. Bapaknya nampak semakin tua wajahnya. " Adikmu bolak balik mengajak saya menengokmu ke Yogya, Ru. Tetapi saya sering tak sehat. Doakan adikmu ya. Dia telah pergi".
"Sore tadi saya seolah bertemu dia. Datang di tempas kos saya. Kami makan nasi goreng sama sama"

Heru hanya bisa menangis menjerit jerit. Dia peluk tubuh adiknya yang dingin membeku. Dia ciumi wajahnya yang selalu tersenyum itu. "Kelik, saya selalu menyayangimu. Merindukanmu. Sepanjang hidupmu".
Malam itu Kelik tidur disamping jasad adiknya. Dia mimpi berlari lari bersama Kelik.. Seperti saat mereka masih anak anak. Diantara bunga bunga indah. Kelik memberikan sekuntum melati itu kepadanya. Heru merasa begitu bahagia. Ternyata Kelik berlari semakin jauh. Semakin jauh akhirnya menghilang di balik awan. Heru hanya bisa meratap ketika bangun dari mimpi. Dia ciumi wajah adiknya yang beku. Esok harinya, dia mengantar Kelik ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Perjalanannya bersama Kelik yang terakhir. Selamat jalan adikku, saya selalu menyayangimu.

Heru kembali menekuni kegiatan akademik di Yogya beberapa minggu kemudian. Kesedihan itu tak pernah hilang dari sanubarinya. Kesedihan ternyata datang silih berganti. Bapaknya meninggal beberapa bulan kemudian karena asma. Saat Heru menengoknya di rumah sakit sebelum meninggal, dia meninggalkan pesan singkat." Anakku, temani ibumu ya. Saya merasa capai sekali. Saya ingin istirahat. Saya ingin menemani adikmu. Belum puas rasanya menemani hidupnya yang singkat itu. Saya ingin memeluknya. Saya ingin tidur disampingnya".

Sampai detik ini Heru masih sering termenung. " Hidup memang sekedar menunda kekalahan. Tetapi kekalahan itu datang begitu tiba tiba. Tak terelakkan lagi. Semoga kau damai di sana adikku. Saya selalu menyayangimu."

Salam damai

Saturday, April 11, 2009

Megatruh

Kisah ini terjadi di awal tahun delapan puluhan. Sudah lewat jam delapan malam ketika Toro memasuki kota Solo. Sendirian dia mengemudikan mobil dari Semarang. Sengaja tak mengajak sopir karena ingin mampir ke tempat kakak dan buliknya di Sambeng.. Hujan rintik rintik membasahi kota Solo. Terasa sepi dan damai. Memasuki kota Solo pikirannya berubah. Tak jadi nginap di tempat kakaknya. Dia merasa begitu capek. Jika tidur di tempat kakaknya pasti tak segera bisa istirahat. Ngobrol sampai malam.. Padahal besok dia harus menghadiri pembukaan penataran jam delatan pagi. Penataran untuk para pejabat dinas transmigrasi. Toro menjabat salah satu ketua bidang di kantor transmigrasi propinsi di Semarang.

Lewat Purwosari pelan pelan menelusuri jalan Slamet Riyadi yang asri. Mencari hotel yang enak untuk istirahat malam itu. Sesudah melewati Sriwedari, belok ke kiri. Ada hotel tua di kiri jalan. Nampak megah walaupun bangunannya sudah nampak tua. Halamannya luas dengan berbagai pohon yang rindang di depan. Bangunan utama terletak di tengah, sedangkan di sebelah kiri dan kanan ada bangunan samping memanjang ke belakang dengan kamar berjejer. Toro membelokkan mobil memasuki halaman hotel. Langsung ke petugas resepsionis di bangunan utama.

"Selamat malam Bapak. Ada yang bisa saya bantu?" Seorang wanita muda, petugas resepsionis menyapa dengan ramah..
" Masih ada kamar single untuk malam ini.?'.
" Mohon maaf pak, semua kamar di depan dan samping penuh semua. Sudah dipesan. Banyak pertemuan dinas minggu ini"
" Satu kamar saja masak nggak ada sih Mbak?"
Seorang petugas lanjut usia membisikkan sesuatu ke resepsionis wanita tadi.. Wanita itu nampak terhenyak sesaat.
"Jika bapak mau, ada pavillion di belakang. Terdiri dari dua kamar. Biasanya tak ada tamu yang berminat, kecuali keluarga di akhir pekan"
"Nggak apa apa. Malam ini saja. Satu kamar"

Toro cepat menyelesaikan administrasi, mengisi formular untuk check in. Lelaki usia lanjut memberitahu lebih baik mobil di parkir di halaman belakang sekalian. Hujan gerimis di luar. Toro memindahkan mobil ke halaman belakang. Ada pavillion tua yang nampak kokoh dan berwibawa. Halaman luas dengan dua pohon kenanga di samping kiri dan kanan. Dia memparkir mobilnya di sudut halaman. Bau bunga kenanga menusuk lembut. Sementara suara binatang malam dan kelelawar selang seling di antara bunyi tetesan air hujan.

Pria usia lanjut itu membantunya menurunkan tas beserta beberapa map berisi dokumen bahan penataran besok pagi. Dia juga belum memastikan dimana tempat lokakarya besok. Tak apalah besok pagi pagi dia akan menyiapkan setelah bangun tidur. Kebiasaannya jika menghadiri penataran di manapun, dia baru menyiapkan bahan bahannya semalam sebelumnya. Tak sempat mempersiapkan jauh jauh hari. Kegiatan sehari hari begitu menghabiskan waktunya.
"Silahkan masuk Den Mas. Kamarnya agak sederhana"
"Terima kasih pak. Bagus pavillionnya. Antik sekali. Bapak namanya siapa".
"Nama saya pak Landung . Saya sudah kerja di hotel ini lebih empat puluh tahun. Sejak jaman Republik. Jika butuh apa apa, silahkan panggil saya. Apakah Denmas asli Solo?"
"Orang tua saya asli Solo pak. Masa kecil saya sampai SR kelas lima di kota ini. Saya sekolah di SR Keputran"

Bangunan pavillion itu terdiri dari dua kamar dan satu serambi depan. Dia ambil satu kamar yang terletak di samping. Ada sepasang kursi tua yang artistik dan satu meja di dalam serambi. Diterangi samar samar oleh lampu listrik dalam lampu ukiran antik. Toro segera merebahkan diri di kasur dengan seprei putih bersih. Baunya harum lembut. Dia kecapean setelah semalaman kurang tidur karena ada acara nganten salah satu temannya di Semarang.

Sayup sayup dia mendengar lolong anjing di kejauhan. Menambah sepi suasana malam yang sejuk. Suara tetesan air hujan di atap seng berdetak teratur. Toro selalu menyukai lolongan anjing malam hari. Masa kecilnya akrab dengan suara lolongan anjing. Orang tuanya banyak memelihara anjing sewaktu dinas di Ambarawa. Tiba tiba terdengar suara lembut wanita menyanyikan lagu macapat Jawa Megatruh. Dia tergagap. Lagu itu telah dia dengar sejak kecil. Ibunya dan neneknya senang melantunkan lagu Megatruh menjelang tidur. Dia selalu mengeluh dan protes. Dia tak pernah menikmati irama lagu itu. Lagu tentang kesedihan. Lagu tentang kematian. Perjalanan sukma saat meninggalkan badan. Dalam filsafat Jawa ada berjenis macapat yang menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak kelahiran (mijil) sampai kematian (megatruh)..

Di serambi depan Toro tersentak melihat seorang wanita cantik dan anggun duduk di kursi. Berpakaian gaya bangsawan dengan kain parangrusak dan kebaya warna merah. Di rambutnta tersisip bunga kenanga dan melati. Elegan dan cantik sekali. Hanya wajahnya sedikit pucat. Tersirat kesedihan yang mendalam. Wajahnya nampak gelisah seolah menunggu seseorang.

" Apakah ibu sedang menunggu seseorang?"
" Terima kasih dimas. Nama saya Rianti, Raden Ajeng Rianti . Saya menunggu kedatangan Kangmas Bei Donopati. Sebentar lagi dia akan datang menjemputku. Biasanya kangmas selalu datang jam jam segini Dimas. Panjenengan siapa?"
"Saya dari Semarang. Nama saya Suryantoro. Tetapi masa kecil saya di kota ini"
" Apakah Dimas asli Solo. Wajahmu menampakkan kearifan bangsawan Solo?"
" Orang tua saya dari Solo. Dari Brontokusuman. Mengapa ibu menunggu pak Bei malam malam begini?
" Kangmas selalu datang menjemputku jalan jalan. Lewat tengah malam kami kembali ke sini. Pavillion ini langganan kami berdua Dimas".

Tanpa diminta, wanita itu mulai bercerita. Kadang kadang diselingi dengan lirih lantunan megatruh. Toro hanya terpukau mendengar. Terbawa dalam emosi kesedihan irama itu.
"Saya asli dari Pracimantoro. Bertemu dengan Kangmas Bei karena dikenalkan paklik saya yang tinggal di Solo. Sejak itu kangmas selalu datang ke rumah saya. Biasanya akan menginap sampai beberapa malam"
"Apakah ibu jatuh cinta dengan beliau?"
"Iya kami terlibat dalam hubungan cinta yang dalam. Tak ada lelaki lain dalam hidup saya kecuali Kangmas Bei. Dia perkasa dan tampan sekali. Saya mengikuti Kangmas ke Solo dan tinggal di desa Sumber. Orangtua saya mengijinkan saya diambil dan diperisteri Kangmas. Setiap pekan beliau datang ke tempat saya atau kami bertemu di pavillion ini".
"Ibu adalah isteri dari pak Bei Donopati?"
"Kami saling mencintai. Hidupku hanya untuk beliau. Tetapi perkawinan itu tak juga datang. Saya hanya dari desa. Orang tua saya petani miskin di sana Dimas".
"Mengapa tak diperisteri? Mengapa ibu bersedia menjadi teman setia tanpa ikatan?"
" Dimas, sampeyan anak muda, belum tahu hakekat cinta dan pengorbanan. Buatku cinta adalah pengorbanan. Saya mendapatkan segalanya dari kangmas. Kehormatan, harta, kepuasan fisik. Apalagi yang saya harapkan. Perkawinan hanyalah status semata".

Toro merasa percakapan terlalu jauh. Dia mencoba menahan diri untuk bertanya lebih lanjut. Tetapi dia terbawa dan terhanyut dalam percakapan yang mengasyikkan.

"Perkawinan adalah tanda keterikatan cinta dua manusia ibu. Bukan cuma status".
"Sampeyan hanya berteori dari buku Dimas. Kangmas Bei mengorbankan segalanya. Di luar dia disembah sembah orang. Ibarat orang menyembah dan mencium kakinya. Di dalam kamar ini, beliau tunduk dalam pelukan saya. Menyembah saya. Mencium alat kewanitaan saya. Saya bebas duduk telanjang dalam pangkuannya. Alat prianya menari nari lembut dalam rongga wanita saya. Dia tergolek pasrah terlentang menikmati pergulatan yang indah. Bukankah itu kenikmatan hidup dan kehormatan?. Namur saya begitu sedih dan kecewa ketika beliau resmi kawin sama seorang putri bangsawan. Meskipun katanya beliau tak mencintainya. Hanya saya yang dicintai.".
"Ibu, hidup adalah kehormatan dan kebahagiaan. Bukan sekedar nikmat. Apa yang ibu cari dan harapkan dari beliau. Lihatlah ke luar sana. Lihatlah ke depan. Tak ada gunanya menyia nyiakan diri sendiri".

Tiba tiba saja wanita itu berubah marah sekali. Matanya memancarkan kebencian dan kemarahan yang dalam. Dia berdiri bertolak pinggang. Kondenya lepas, dan rambut indahnya terurai sampai ke pinggul. Jari jarinya menunjuk lurus ke muka Toro. Kata katanya tak jelas keluar dari mulutnya yang tak lagi nampak indah. Berbusa karena kemarahan yang sangat. Bahkan seolah wanita itu akan mencakar mukanya. Suara lolong anjing kembali menggema. Toro menjerit keras, dan terbangun dari impian yang mengerikan. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Hatinya masih berdebar keras, ketika terdengar suara ketukan di pintu depan. Pak Landung, pegawai hotel usia lanjaut tadi datang mengantar minuman.

"Denmas mimpi buruk rupanya. Anda menjerit keras sekali. Saya bawa teh hangat untuk anda".
"Saya bermimpi buruk sekali pak Landung. Seolah ada wanita cantik yang begitu marah sama saya dan mengusir saya"
" Silahkan tidur kembali Denmas. Saya akan tidur di serambi nanti menemani anda".

Paginya Toro minta sarapan diantar ke kemarnya. Pak Landung melayani dengan ramah. Dia sempat cerita secara singkat.. Pavillion ini dulu adalah langganan seorang bangsawan terkenal di kota Solo dengan pacarnya. Wanita itu berasal dari selatan Surakarta. . Ketika bangsawan itu akhirnya kawin dengan wanita lain, wanita itu agak terganggu jiwanya dan sering datang sendirian dan menyanyikan lagu sedih megatruh di serambi ini. Dia selalu membawa anjing kesayangannya. Dia akhirnya bunuh diri minum DDT dan meninggal di kamar sebelah. Anjingnya rupanya juga dikasih minum DDT. Ikut mati.

"Denmas Bei, nanti masih tidur di sini?"
"Pak Landung, jangan sekali sekali panggil saya pak Bei. Nama saya Toro. Insinyur Suryantoro. Saya tak ada kaitannya dengan pak Bei".

Toro sempat tipon isterinya di Semarang. Cerita tentang mimpinya. Isterinya menjawab ringan, mau ditemani nggak mau. "Saya juga pengin ke Solo sebenarnya. Baik baik ya pah".

Toro berpikir ketika meninggalkan halaman hotel. Moga moga ibu Rianti, atau Raden Ajeng Rianti, hidup damai di alam sana.

Ki Ageng Similikithi

Saturday, March 14, 2009

Mengapa kau tinggalkan aku nak?

Langit memerah di ufuk barat. Menjelang magrib, suatu hari di tahun 1963. Hari mulai gelap. Saya bergegas menuruni jalan setapak di perbukitan Wajah lelaki itu nampak kuyu. Pandangan matanya menatap lurus ke arah langit Sulamin menyandarkan tubuhnya di pohon kelapa di samping rumpun bambu. Saya melihatnya lesu di tepi jurang itu. Hanya sekedar bergumam saat mata kami bertatapan. Hati saya was was. Berjalan sendirian di jalan setapak di antara rumpun bambu yang rimbun dan gelap. Kegelapan malam mulai membayangi dinding perbukitan. Hanya ada dua rumah di ujung desa itu. Rumah Lamin berdampingan dengan rumah emaknya.

Saya baru saja turun dari Kali Guwo, di perbukitan di belakang pekarangan kami. Hanya berjarak kurang dari satu kilometer. Tetapi harus melewati jalan setapak dan jurang terjal yang gelap karena tumbuhan liar dan rumpun bambu. Baru terasa takut saat pulang menembus rerumpunan bambu itu. Tadi sengaja pergi sendirian untuk mencek aliran air dari sumber di tepi Kali Guwo. Seperti biasanya di sore hari air diperlukan untuk membersihkan sapi sapi perah kami di kandang. Ada lebih dua puluh ekor. Selalu saja ada yang mengganggu menghentikan aliran air lewat sakuran bambu milik kami. Dengan tergesa saya naik ke atas bukit. Kecurigaan saya benar. Aliran air ternyata dibiarkan mengalir di pancuran di dekat rumah Lamin. Tak tahu siapa yang melakukannya. Tetapi penghuni sekitar daerah itu tahu kalau waktu sore seperti itu mereka tak seharusnya mengganggu aliran air kami.

Tak ada minat menyapa Lamin yang bersandar lemah di pohon itu. Beberapa minggu sebelumnya saya terlibat debat tak enak dengannya. Kucing kembang telon yang saya sayangi beranak dan pindah ke rumahnya. Waktu itu saya datang ke rumahnya dengan Kamto, salah satu teman main saya. Saya minta secara baik baik agar kucing bisa saya bawa kembali. Saya kalah debat. Dengan enak dia menjawab "Biarkan kucing sampeyan memutuskan jalan hidupnya sendiri. Mau tinggal di sini, mau di rumah sampeyan, mau di mana saja, itu hak dia semata mata. Dia lebih bahagia di sini walau kami orang miskin". " Hati saya panas betul mendengar jawabannya yang ketus. Mau mengajak duel jelas kalah. Saya baru berumur 13 tahun. Kamto 11 tahun. Ukuran tubuh kami tak sebesar anak anak sekarang. Lamin berbadan tegap. Baru beberapa tahun jadi pengantin. Masih ganas luar dalam. Kami mundur teratur. Saya dengar Kamto bergumam " Muga muga samber bledhek". Malamnya ayah saya mendamprat " Goblok, karo Lamin, mengkeret".

Hari berikutnya saya kembali ke rumah Lamin. Dengan Kamto sama Jumadi. Masing masing bawa tongkat. Alasan selalu saja ada bawa tongkat karena harus melewati jurang yang gelap. Anjing saya hilang satu di jurang ini, diterkam ular puspa kajang (phyton) yang banyak hidup di situ. Saya membawa tongkat galih asem yang katanya bertuah. Waktu kami tanyakan kembali tentang kucing itu, Lamin menjawab ringan " Wah kucing sampeyan sudah pindah. Nggak tahu ke mana. Dia ingin bebas di dunia ini". Sementara isteri Lamin, dengan tubuh montok hanya terbungkus kain sampai dada, duduk di pangkuan suaminya dengan mesra. Dia memandang sinis kami bertiga. '"Sampeyan cah bagus bagus kok senengange kucing. Apa ra duwe kanca prawan?". Bah ini menusuk lagi. Kami belum kenal perempuan. Tak pernah membayangkan perempuan. Kamto bayangannya selalu tentang koboi naik kuda. Saya selalu membayangkan astronot Rusia Yuri Gagarin. Tak tertarik membayangkan perawan. Ternyata waktu dewasa Kamto jadi kusir dokar. tak jauh dri bayangannya.

Peristiwa kucing minggat ke rumah Lamin, maupun pertemuan saya di tepi jurang cepat tersapu hiruk pikuk peristiwa sehari hari. Beberapa bulan kemudian saya mendengar kabar mengejutkan. Lamin tewas gantung diri di kamar belakang. Persis di kamar di mana kucing kembang telon saya beranak dan bersembunyi. Kami bertiga tak berani mendatangi rumahnya atau berjalan sendirian di jalan setapak itu. Lamin bersama isterinya tinggal bersebelahan rumah dengan emaknya. Mereka mengandalkan hidup sehari hari dari hasil pertanian pekarangan rumah mereka. Ayah Lamin konon sudah lama meninggal. Kakek Lamin rumahnya berjarak kurang dari seratus meter ke arah bawah. Seorang lelaki tua yang hampir jompo tetapi punya isteri semok yang masih muda.

Sepeninggal Lamin, daerah di tepi bukit itu semakin sepi. Tak banyak orang lewat sana. Lebih baik memutar lewat jalan berbatu di dalam kampung meski lebih jauh. Tersebar berita beberapa orang masih sering melihat Lamin tersandar di pohon kelapa di samping jurang itu. Saya tak lagi berani berjalan sendirian lewat jalan setapak mengecek aliran air. Selalu berdua atau bertiga. Beberapa minggu sesudah kematian Lamin, kami lewat jalan setapak itu. Kami mendengar rintihan emak Lamin menyayat hati " Min, kok tega kowe ninggal aku le. Mbok aku tak melu wae". Hati saya bergetar mendengar rintihan itu. Tetapi tak punya nyali untuk mampir dan menghiburnya. Lamin memang anak satu satu nya. Anak kesayangannya. Kami semua tidak tahu mengapa dia mengakhiri hidupnya dengan tragis. Tak bisa bibayangkan kesedihan mak Lamin kehilangan anak yang sangat dicintainya.

Beberapa minggu kemudian, tak sampai empat puluh hari setelah kematian anaknya, mak Lamin ditemukan gantung diri di kamar yang sama di mana Lamin gantung diri. Peristiwa gantung diri Lamin dan emaknya menjadi berita dan kegelisahan besar seluruh desa. Tak bisa berbuat apa selain berdoa dan kenduri. Belum habis kegelisahan tentang peristiwa tragis itu, embah Lamin meninggal mendadak. Ada beberapa tetangga yang curiga dia minum DDT secara sengaja. Hanya selang kurang dari dua bulan, anak, emak dan embah meninggal secara tragis. Tragedi kemanusiaan. Beban kepedihan tak terperikan, beruntun dari anak ke ibu dan simbah. Tiga generasi meninggal targis dalam kepedihan.

Rumah Lamin dan emaknya dibiarkan kosong sesudah mereka meninggal. Tak ada saudara yang berani menempatinya. Isteri Lamin pulang ke rumah orang tuanya. Pekarangan di lereng bukit itu semakin rimbun karena tumbuhan liar dan rumpun bambu. Penduduk desa masih sering melihat bayangan Lamin tersandar di pohon kelapa di samping jurang itu. Atau mendengar rintihan emak Lamin menyayat hati. Terutama di waktu menjelang magrib.

Peristiwa itu sudah berlalu lebih dari empat puluh tahun lalu. Tetapi ingatan saya masih segar berjumpa Lamin di tepi jurang itu. Wajahnya yang kuyu putus asa. Saya melihat kembali daerah itu akhir tahun 2008 kemarin. Kebetulan mendapat bagian warisan orang tua di seberang jurang berdampingan dengan pekarangan Lamin. Sekarang ada jalan aspal kampung menembus samping rumah emak Lamin. Tetapi tetap saja pekarangan di sekitar rumpun bambu di situ masih terasa terasa sangat sepi mencekam. Sampai sekarang orang masih sering melihat bayangan Lamin di samping rumpun bambu bersandar pohon di sana. Juga rintihan mak Lamin meratapi kepergian anak yang dicintai.

Empat puluh tahun lalu, jalan setapak itu menghubungkan dua kampung, Ngenthak dan Lonjong, melewati pekarangan belakang kami. Semenjak Lamin dan emaknya bunuh diri, jarang orang menggunakannya lagi. Akhir tahun kemarin saya melewati lagi jalan setapak itu. Bekas rumah Lamin dan emaknya masih jelas. Rumpun bambu itu masih saja rimbun. Tetapi saya ke sana di pagi hari. Tak ada alasan atau nyali ke sana menjelang malam.

Moga moga mereka di beri kedamaian di alam sana

Ki Ageng Similikithi

Thursday, February 26, 2009

Ceritaku hanya lewat rembulan


Mata mata indah itu begitu berbinar. Hamparan senyum ceria menghias muka muka mungil. Mereka begitu terhanyut mendengar cerita cerita ku. Cerita tentang perjalanan. Cerita tentang alam. Cerita tentang tempat tempat jauh setiap saya kembali dari perjalanan. Yang mereka belum pernah kunjungi. Setiap saya pergi, anak anak saya, terutama almarhum Moko selalu melihat peta. Meniti tempat yang saya kunjungi. Karena memang dia tak pernah bisa ikut dalam perjalanan perjalanan saya. Saya juga belum sempat memenuhi janji mengajak mereka ke tempat tempat yang pernah saya kunjungi. Ketika mereka masih kecil, Aryo, Wisnu dan Moko, saat menjelang tidur malam selalu membayangkan seolah kami terbang di atas tempat tidur. Kemudian membayangkan bersama seolah kami datang ke tampat2 yang saya kunjungi. Saling berebut menyebut melihat sesuatu yang indah dan aneh di bawah sana. Hanya perjalanan dalam khayal dan laminan. Namun penuh imaginasi akan keindahan alam semesta. Begitu membahagiakan.

Saya membayangkan kembali keindahan dan kebahagiaan masa lalu ketika kami masih bersama. Ketika Moko masih dalam pelukan saya dan ibunya. Ketika melihat mata mata indah berbinar mendengar cerita cerita saya tentang alam. Tentang tempat empat yang jauh di sana. Ketika Moko pergi selamanya. Ketika anak anak, Aryo sama Wisnu dewasa, saya memimpikan kembali saat saat bahagia itu. Pulang dari perjalanan adalah kebahagiaan untuk bertemu mereka. Bercerita dan bercanda dengan mereka. Namun perjalanan pulang dari Nepal, 13 Desember 1997, adalah petaka dan kegelapan. Saya tidak menjumpai muka bahagia serta mata yang berbinar. Moko sudah terbujur dingin di pendopo rumah tua orang tua saya di Ambarawa. Perjalanan terakhir dengan petaka. Dia beristirahat di rumah abadinya. Rumah di atas bukit.

Kini tak ada lagi kesempatan bercerita tentang perjalanan perjalanan itu. Tak ada lagi masa masa indah bersama mereka untuk mendengar cerita saya. Saya kehilangan Moko, kehilangan masa masa indah itu. Kehilangan kesempatan untuk bercerita. Saya ingin bertahan dengan bercerita. Walau itu hanya lewat rembulan. Semoga rembulan berbaik hati menyampaikan cerita cerita indah untuk anak saya Moko. Sampaikan ceritaku untuknya yang sudah tiada. Di balik dunia. Saya ingin terus bercerita. Untuk bertahan sampai di akhir perjalanan waktu. Salam damai.

Monday, February 23, 2009

Angrek lila


Ada angrek berbunga warna lila, di depan pintu belakang rumah saya di Yogya. Saya tak pernah memperhatikan bunga bunga itu. NYI pasti yang menggantung bunga bunga di tembok yang dilapisi batu kali. Juga tak tahu sejak kapan bunga bunga itu menghiasi dinding. Saya memang tak begitu mengagumi bunga angrek sejak dulu. Namun kali ini ada kesan lain. NYI tidak berada di rumah. Sudah beberapa minggu di Muskat, Oman. Saya pulang ke Yogya dan Ambarawa untuk menghadiri pesta perkawinan kemenakan, Agung.

Ketika duduk di depan komputer, perhatian saya selalu tertuju ke bunga bunga warna lila itu. Pikiran saya melayang ke NYI. Sudah terbiasa berpisah, bahkan berbulan bulan, sejak muda dulu. Selalu berjalan mulus tanpa beban yang menekan. Namun ketika melihat bunga angrek lila itu saya merasa seolah sendirian. Tanpa NYI. Ada ketakutan menyelinap. Kegelisahan seandainya terjadi apa apa, entah saya atau NYI, saya ingin bersamanya di akhir perjalanan fana ini. Angrek lila itu seolah mengingatkan umur sudah memasuki masa senja. Walau selalu berharap ingin hidup selama mungkin, manusia tak tahu apa yang mungkin terjadi sewaktu waktu.

Tak ada masalah kesehatan yang berarti. NYI sudah beberapa lama di diagnosis menderita glaukoma. Tekanan bola mata meninggi. Dalam pengobatan dan kondisi terkendali. Saya rutin menggunakan obat penurun tekanan darah. Tekanan darah meninggi tingkat ringan kadang kadang tingkat sedang. Tetapi kekhawatiran selalu menyelinap. Bunga lila itu seolah mengingatkan kembali agar selalu bersama setiap saat. Kami masih ingin pergi bersama. NYI ingin ke Washington, ke Australia. Saya pernah berjanji mengajaknya mengunjungi Kandy di Srilangka, Guilin di China. Saya pernah bercita cita ingin mengunjungi Budapest. Masih ingat pesan teman Bapak saya dulu yang menjadi duta besar di Hungaria. "Anak muda datanglah ke Budapest. Di sana orang bisa banyak belajar". Saya ingin menyempatkan mengunjungi Budapest. Juga ingin mengunjungi Iguazu, air terjun di perbatasan Brasilia dan Argentina. Tony Smith, guru besar emeritus di Newcastle Australia, cerita tentang kunjungannya ke Iguazu, sewaktu kami sama sama di Buenos Aires di tahun 1996. Tak juga tahu masih berapa lama akan kuat menempuh perjalanan perjalanan jauh.

Bunga lila itu seolah mengingatkan saya. Jika sampai waktunya, saya ingin ditemani isteri dan anak anak saya. Saya ingin dekat di antara mereka, orang orang yang saya cintai sampai akhir hayat saya. Mungkin masih puluhan tahun ke depan. Moga moga saja. Tetapi kekhawatiran selalu datang. Dan memang saya selalu siap setiap saat jika sang Kala akan tiba. Semenjak kehilangan anak yang saya cintai, Moko, saya selalu siap untuk pergi sewaktu waktu. Saya sering tak mengerti mengapa ada orang takut mati. Apa yang perlu ditakuti. Hanya pergi ke ketiadaan. Atau kembali ke alam kelanggengan.

Friday, January 23, 2009

Semesra Merapi dan Merbadu



Pagi yang cerah. Kami dalam perjalanan dari Yogya ke Jakarta dengan pesawat Garuda penerbangan nomer 204. Sesaat sesudah meninggalkan landasan pacu, pesawat mendaki ketinggian langit menembus awan. Terhampar luas pandangan sampai cakrawala. Tiba tiba saja pilot mengumumkan bahwa kami sedang melintasi gunung Merapi dan Merbabu. Sesaat lagi gunung Sindoro dan Sumbing. Saya melihat lewat jendela. Di sebelah kanan nampak pasangan gunung Merapi dan Merbabu. Indah kelam dalam siraman sinar matahari pagi. Begitu tenang dan sejuk. Di kejauhan, pasangan Sindoro dan Sumbing. Pasangan pasangan abadi sepanjang masa. Begitu hening, begitu indah dan damai. Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Tak peduli gejolak manusia dan lingkungan di sekitarnya.

Gunung Merapi dan Merbabu, gunung Sindoro dan Sumbing, pasangan pasangan abadi sepanjang masa. Mungkin tak selamanya hening. Dalam kurun waktu tertentu Merapi akan membara bergejolak. Kadang meletus tanpa ampun. Seolah marah tak terkendali. Merbabu, pasangan setianya, selalu saja tenang dan diam. Setia disampingnya dari masa ke masa. Mungkin sejak manusia purba Pythaecantropus erectus hidup di lembah tepian sungai dua milyard tahun lalu, pasangan Merapi dan Merbabu, maupun Sindoro dan Sumbing, telah ada di bumi Jawa. Sayang mereka belum cukup cerdas untuk membuat catatan tentang kedua gunung ini. Walau mereka telah mengenal api dan menggunakan api untuk memasak. Kesetiaan Merapi dan Merbabu digambarkan oleh Arswendo Atmowiloto di tahun tujuh puluhan dalam kisah sepasang manusia Semesra Merapi dan Merbabu yang berakhir tragis.

Kami baru saja menikmati liburan akhir tahun. Pulang ke Yogya. Banyak acara keluarga. Keliling ke Semarang, ke Brebes, ke Pekalongan, dan tentunya ke desa asal saya di Ambarawa. Kadang setir sendiri, kadang dengan anak saya Aryo, kalau dia tak sibuk. Hanya sempat beberapa hari di Yogya di akhir tahun. Yang terasa istimewa karena bisa menjumpai, nyonya Dokter Djajus. Keluarga dokter Djajus adalah sabahat dekat keluarga kami lima puluh tahunan lalu. Dokter Djajus almarhum adalah idola masa kecil saya, kalau jadi dokter isterinya pasti cantik jelita, seperti nyonya dokter Djajus waktu itu. Cerita tentang beliau pernah saya singgung dalam tulisan tulisan tentang Ambarawa. Baru saya sadar saat bertemu beliau, kalau salah satu menantunya adalah kakak kelas yang telah saya kenal baik sebelumnya. Beliau adalah dokter Slamet, mantan Kepala Kantor Wilayah Kesehatan di Papua dan di Sulawei Utara. Beberapa hari kemudian saya sempat mengundang makan siang Dr Slamet dan nyonya bersama teman dekat sewaktu ngajar di UGM, Dr Rosi. Obrolan mengasyikkkan tentang masa pension. Cerita tentang nyonya dokter Djajus akan saya tulis kemudian. Tak sempat wawancara dengan beliau, asyik ngobrol sama sang menantu. Beliau masih seperti dulu, sisa kecantikannya masih jelas di usia delapan puluh lima tahun. NYI terpukau ngobrol dengan beliau.

Akhir tahun adalah ulang tahun perkawinan kami. Tak ada acara khusus. Hanya kami sempatkan mampir ke Magelang. Kota indah penuh kenangan. Kami menghabiskan masa masa pacaran di kota ini. NYI tinggal bersama keluarga kakaknya di Magelang. Sementara saya menyelesaikan tugas tugas akhir di Yogya atau di kota kota sekitar Yogya. Kami pengin melihat tempat tempat yang dulu sering kami kunjungi atau lewati. Tak banyak waktu terluang untuk mengenang kembali masa masa itu. Hanya lewat dalam perjalanan dari Semarang ke Yogya. Kami tak melewati jalan utama, tetapi membelok melewati alun alun dan menuju ke lapangan Kuwarasan. Tak sempat mencari rumah di Boton di mana NYI pernah tinggal. Ada potongan kisah yang pernah saya ceritakan di kolom kita. Di Kuwarasan pun hanya sempat melihat rumah di mana dia bersama keluarga kakaknya pernah tinggal. Sebagian besar masa pacaran kami memang sewaktu dia tinggal di Magelang. Antara tahun 1972 – 1975. Lapangan itu masih seperti dulu, bersih terpelihara. Banyak anak bermain main di sore hari. Di seberang lapangan dulu tinggal keluarga kakak sepupu saya almarhum di tahun enam puluhan. Saya pernah nginap di sana beberapa kali.

Pagi pagi sekali menjelang akhir 1975 beberapa bulan menjelang lulus, saya masih ingat berjalan berdua bersama NYI menuju ke tempat pemberhentian bis dari Kuwarasan. Jalan masih sepi di pagi hari. Lupa nama jalannya. Pagi itu akan pulang ke Yogya langsung ke rumah sakit. Kepaniteraan klinik sudah hampir berakhir. Sepanjang perjalanan singkat itu kami bicara tentang kelanjutan hubungan kami. Maunya gimana, serius nggak gitu lho. Tak ingat benar apa yang kami bicarakan secara rinci. Hanya sepakat jika akan berlanjut ke pernikahan. Tak ada negosiasi. Tak ada janji. Tak ada perjanjian rekening bersama. Tak ada yang bisa dimasukkan rekening. Tak perlu pernik janji janji itu. Aku ini pejantan malang dari kumpulannya yang terbuang. Yang penting jalan terus urusan belakang. Semua bisa diatur. Modal hati sama burung. Jaman sekarang memang sudah lain. Semua harus siap dengan rencana matang jangka panjang saat menuju ambang pernikahan. Sesuatu yang positip. Tetapi jangan terlalu lama mempersiapkan. Mana tahan.

Jalan itu masih seperti dulu. Pohon pohon rindang sepanjang jalan. Bersih dan rapi. Magelang memang kota yang rapi. Kami lewat di akhir sore hari, kendaraan ramai lalu lalang. Tiga puluh lima tahun lalu, sepi di pagi hari. Kami sempat berpelukan dan berciuman di bawah salah satu pohon itu. Tak ada HANSIP, tak ada HANRA. HANSIP itu seperti musuh bersama orang pacaran. Sempat ambil beberapa foto kali ini. Tak saya sertakan. Hasil foto saya hanya pas pasan saja.

Tak terasa perjalanan kami berdua telah lewat tiga puluh tiga tahun. Penuh warna penuh irama. Tak selamanya selalu indah seperti jaman pacaran. Hidup memang tak selamanya indah. Kadang kadang getir, kadang kadang susah, kadang kadang melambung seperti impian. Itulah irama hidup di dunia nyata. Harus siap bersama menghadapinya. Mungkin hanya dalam cerita, hidup itu bisa dibuat semua jadi indah. Mungkin khayalan sang penulis pas jatuh cinta. Perkawinan adalah perpaduan dua hati. Perpaduan dua selera. Penyesuaian dua cara hidup yang mungkin tak selalu sejalan. Satu sisi kadang ingin gaya hidup vibran penuh warna, sementara yang lain hening dan damai. Melihat pasangan setia Merapi dan Merbabu pagi itu, saya merasa seolah diingatkan. Merapi yang panas meledak ledak dan Merbabu yang hening dan sunyi. Hidup berdampingan abadi sepanjang jaman.

Wah kok malah ceramah. Praktisnya, kalau punya pasangan cerewet, ada dua alternatif. Pakailah alat penutup telinga. Sekarang banyak dijual seperti yang dipakai kalau tilpun lewat internet. Atau pasangannya diminta pakai masker penutup muka, biar suaranya nggak meledak keluar.

Amit amit, salam damai

Ki Ageng Similikithi