Wednesday, July 16, 2008

Ngintip aaah

enghujung tahun 1971. Saya tinggal di salah satu losmen di jalan Pajeksan Yogyakarta.. . Masih duduk di tingkat tiga, nyambi kerja untuk menutup ongkos kuliah.. Lumayan dapat honor sekalian dapat fasilitas satu kamar tidur. Lebih baik dari kamar pondokan saya sebelumnya. Hampir setahun saya tinggal di losmen itu. Banyak ragam permasalahan saya hadapi. Masalah manusia sehari hari. Suatu malam lewat jam sebelas, saya sudah siap siap tidur, ketika ada suara gaduh. . "Kur Zikur nyebut Kur. Kepriye dhonge raaa? Disebul wae . Disebul wae." Saya bergegas ke ruang belakang Ada dua puluh kamar di sisi kanan kiri lorong utama. Sinar listrik 110 volt menerangi samar samar. Seorang penghuni pria nampak di papah teman temannya. Setengah sadar sambil sambil mengeluarkan suara khas mau muntah. Saya lakukan pemeriksaan kilat, dan ukur tekanan darahnya. Sangat tinggi dan riskan. . Lebih 200 mm Hg sistolis.Umur relatip masih muda. Baru menjelang kepala empat. Cepat cepat pasien dilarikan ke RS Pugeran, naik becak

Zikur adalah penghuni langganan. Dia pedagang batik dari Pekalongan. Ada dua kamar di belakang yang selalu disewa ramai ramai oleh kelompok pedagang batik dari Pekalongan. Rupanya malam itu Zikur dan beberapa temannya sedang asyik ngintip dua orang turis penghuni kamar depan, pasangan asal Perancis. Mereka berdua sudah beberapa hari tinggal di sana. Suka menyulut obat nyamuk jika tidur. Karena tak tahan bau obat nyamuk, jendela dibiarkan terbuka. Sorenya si turis putrid tanya saya apakah aman kalau jendela di biarkan terbuka malam hari. Saya jamin aman karena ada empat penjaga malam. Tak berpikir kalau akan diintip orang. Juga nggak terpikir kalau orang kulit putih selalu telanjang kalau tidur. Desah napas memburu dan bunyi tempat tidur menderit derit berirama, mengundang para pria dari Pekalongan itu ngintip. Ya mereka memang sudah beberapa minggu pisah isteri. Tetapi rupanya Zikir tak sadar kalau ngintip itu berresiko.tinggi. Bukan timbilen, tetapi krisis hipertensi. Untung dia esok paginya sudah boleh pulang dari rumah sakit. Obat jalan sekaligus nasehat. Jangan suka ngintip raaaa. Saya tidak punya kesan negatip terhadap orang Pekalongan karena insiden itu. NYI juga asal Pekalongan.

Banyak orang punya kebiasaan ngintip. Pengertian ngintip adalah melihat atau mengamati orang lain lewat lubang kecil atau dari tempat tersembunyi, sehingga orang yang diintip tidak tahu apa lagi menyetujui kalau dia sedang diamati orang lain. Sasaran perbuatan ngintip bisa orang yang sedang mandi, orang ganti pakaian, orang bermain asmara dan lain sebagainya. Jarang orang ngintip orang yang sedang buang air besar. Manusia yang sedang buang air besar bisa mengeluarkan aroma khas untuk mengusir para pengintip seperti cerpelai mengusir binatang musuhnya. Wanita mungkin lebih banyak menjadi sasaran pengintipan. Sejak kecil saya dididik keras tidak boleh ngintip. Hukumannya berat disabet pakai rotan oleh ayah saya. Belum lagi katanya dosanya dibawa ke akhirat. Oleh karena ngintip pada dasarnya ingin mengetahui dan melihat perilaku orang lain yang sebenarnya tak boleh dilihat atau diketahui.

Guru budi pekerti saya juga memasukkan perbuatan ngintip sebagai perbuatan tercela. Tidak dianjurkan untuk anak muda harapan bangsa. Pengalaman ngintip saya hanya sekali sewaktu kelas satu SMP di Ambarawa. Teman satu kelas namanya Wandi rumahnya di belakang gedung bioskop. Ada dua gedung bioskop di Ambarawa, gedung Garuda atau Madjoe. Selalu penuh terutama di akhir pekan. Banyak orang dari kawasan sekitar yang jturun ke kota lihat bioskop. Saya selalu ramai2 bawa obor kalau lihat bioskop. Belum ada listrik masuk desa. Suatu hari Wandi bilang, kalau mau nonton bioskop gratis lewat dia, bisa diatur. Asal bawa makanan, kacang kek atau rempeyek. Lumayan dari pada bayar karcis. Petang itu saya sudah siap di rumah Wandi. Orang sudah mulai sorak ramai di dalam gedung, tetapi dia kok masih tenang2 saja. Begitu sorak sudah reda, kami bertiga menyelinap di samping gedung. Ternyata dia tidak membawa kami ke dalam, tetapi memanjat dinding bioskop dan mengintip lewat lubang yang telah disiapkan. Halaman samping itu dekat WC, baunya pesing nggak ketulungan. Mana tahan mau makan kacang atau rempeyek. Saya duduk dibawah dalam kegelapan sambil menunggu. Eeh tahunya banyak penonton yang juga buang air kecil semaunya sekitar dinding tua itu. Belum ada setengah jam saya pamit. "Saya nggak biasa ngintip Ndi, mau pulang saja". Sial bo. Saya nggak berani cerita di rumah. Judul filmya Sungai Ular. Besoknya saya pamit kembali nonton dengan adik saya. Saya bilang pengin nonton sekali lagi.

Di kelas satu SMA di Solo awalnya saya mondok di Sambeng. Di tempat Bu Basuki. Ada beberapa anak laki2 yang mondok disitu, sebagian besar dari Madiun atau Ponorogo. Di depan rumah ada dua pohon jambu yang rimbun dan lebat. Saya suka tiduran di bangku di bawah pohon jambu yang rindang itu. Ada kost putri di sebelah rumah kami. Suatu sore ketika ibu kost sedang tidur, beberapa anak putri rumah sebelah datang mendekati saya yang sedang tiduran di bangku. " Dik nggak usah bilang bilang ya. Kami mau ambil jambu". Mau mengiyakan saya nggak ada hak, mau memanjatkan juga merasa nggak berwenang. Saya biarkan mereka manjat sendiri.. "Jangan ngintip ya dhik". Saya hanya diam saja.. Terserahlah. Hanya ingat pidato Bung Karno, "Pandanglah ke atas. Bintang bintang bertabur di langit. Raihlah cita citamu setinggi langit". Saya lihat ke atas nggak ada bintang. Hanya ada celana dalam warna warni. Ini bukanlah mengintip menurut definisi di atas. Tidak mencuri pandang lewat lubang kecil, tetapi melihat lewat langit yang maha luas. Sasaran juga sepenuhnya tahu. Saya pada dasarnya rendah hati, nggak bisa lihat bawah. Menyepelekan orang yang dilihat. Selalu melihat ke atas demi cita cita. Apalagi jika ada celana warna warni di atas sana, di antara ranting jambu, di antara tungkai yang indah dan sehat seperti tungkai Miss Universe. Tak ada bekas koreng. Bukan ngintip bo.

Di tahun kedua di Solo saya tinggak bersama kakak sekeluarga di Badran, Kota Barat. Kami bertetangga dengan tante Lin, seorang ibu muda umurnya pertengahan tiga puluhan, Putranya empat suka main ke rumah. Tante Lin jelita seperti Tintin Sumani. Suaminya bekerja di Jakarta kabarnya. Hubungan kami sekeluarga dengan keluarga Tante Lin biasa biasa saja. Ibu Tante Lin sangat galak, sering dibilang kayak Calon Arang. Tante Lin punya kebiasaan aneh. Setiap petang menjelang malam Jum'at, selalu mandi dengan kembang setaman di halaman depan rumahnya. Tidak di dalam kamar mandi. Tetapi di luar di dekat sumur. Tak banyak tetangga oleh karena rumahnya di ujung gang. Tetapi kami bisa melihat dengan jelas dari ruang depan, hanya dua puluh meter jaraknya. Dia nggak merasa risih walaupun kami sedang duduk duduk di ruang depan dengan jendela terbuka. Pemandangan yang mengasyikkan. Beberapa tetangga termasuk almarhum mas Tarno yang sudah berputra lima, sering2 bertandang ke rumah saya dan iingintip dari lubang kecil di kamar saya. Mereka tak mau duduk di ruang depan, memandang dari jendela terbuka. Saya tak juga berminat ikut mengintip lewat luang kecil itu. Ini masalah prinsip. Toh bisa melihat dengan jelas dari ruang depan. Tante Lin pun nggak pernah marah. Malah kadang2 melambaikan tanggannya. Beberapa waktu berlalu, pemandangan itu seolah biasa, bagian dari potret alam dunia. Tak ada minat mengintip. Buat apa ?

Pengalaman kasus ngintip di Yogya lain lagi. Di tahun awal tujuh puluhan, ada seorang tokoh senior di kampus yang suka ngintip dan buka buka celana di muka asrama putri di Mangkubumen. Biasanya menjelang petang dan para penghuni asrama yang sudah hapal, akan bersuara gaduh melihat pemandangan aneh itu. Mungkin tokoh ini menderita kelainan psikologis. Teman baik saya Baedi yang kenal dekat dengan sang tokoh tadi suatu saat mencoba mengingatkan. Dia orangnya sangat alim dan religius. Tidak baik kebiasaan itu. Apa kata sang tokoh ? " Ini burung burung burung saya sendiri, sampeyan mau apa ? Mentang mentang sampeyan orang Hadramaut, burungnya besar mau nyombong ya ? " Baedi yang memang kebetulan berdarah Arab bercerita sambil mengeluh ke saya " Pak Anu itu keterlaluan, saya ingatkan baik baik kok malah marah. Berbau apartheid lagi". Saya tertawa, urusan penyakit ngintip dan masalah burung, apa hubungannya dengan apartheid? Apartheid dulu ada di Afrika Selatan, dan tak ada hubungannya dengan intip mengintip dan buka buka celana di muka asrama putri, apalagi dengan masalah ukuran burung..

Jangan suka ngintip. Jamannya jaman keterbukaan. Glasnots dan perestroika. Mau ngintip ? Nyeeet.

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community 16 Juli 2008

(http://community.kompas.com/read/artikel/694)

5 comments:

Anonymous said...

Kali kegemaran ngintip dan nguping bisa dijadikan disertasi Ki.
Ngintipomani dan ngupingomani banyak membuahkan gosip2, tentu asyik kalau bisa dikupas dari aspek psikomedik.
Wass.

Ki Ageng Similikithi said...

Suka ngintip memang merupakan salah satu bentuk penyimpangan psikologis. Juga ada yang diam diam suka mencuri celana dalam lalu mengkoleksinya.

paromo suko said...

di madiun ada yang jual ketan intip

Ki Ageng Similikithi said...

Ketan intip nggak enak diintip ttp enak dimakan. kalau sambil ngintip diseseli ketan mungkin lain jadinya

Anonymous said...

ini video ngintip paling BEST

http://youtu.be/aOBjlXMSjvY