Friday, January 23, 2009

Semesra Merapi dan Merbadu



Pagi yang cerah. Kami dalam perjalanan dari Yogya ke Jakarta dengan pesawat Garuda penerbangan nomer 204. Sesaat sesudah meninggalkan landasan pacu, pesawat mendaki ketinggian langit menembus awan. Terhampar luas pandangan sampai cakrawala. Tiba tiba saja pilot mengumumkan bahwa kami sedang melintasi gunung Merapi dan Merbabu. Sesaat lagi gunung Sindoro dan Sumbing. Saya melihat lewat jendela. Di sebelah kanan nampak pasangan gunung Merapi dan Merbabu. Indah kelam dalam siraman sinar matahari pagi. Begitu tenang dan sejuk. Di kejauhan, pasangan Sindoro dan Sumbing. Pasangan pasangan abadi sepanjang masa. Begitu hening, begitu indah dan damai. Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Tak peduli gejolak manusia dan lingkungan di sekitarnya.

Gunung Merapi dan Merbabu, gunung Sindoro dan Sumbing, pasangan pasangan abadi sepanjang masa. Mungkin tak selamanya hening. Dalam kurun waktu tertentu Merapi akan membara bergejolak. Kadang meletus tanpa ampun. Seolah marah tak terkendali. Merbabu, pasangan setianya, selalu saja tenang dan diam. Setia disampingnya dari masa ke masa. Mungkin sejak manusia purba Pythaecantropus erectus hidup di lembah tepian sungai dua milyard tahun lalu, pasangan Merapi dan Merbabu, maupun Sindoro dan Sumbing, telah ada di bumi Jawa. Sayang mereka belum cukup cerdas untuk membuat catatan tentang kedua gunung ini. Walau mereka telah mengenal api dan menggunakan api untuk memasak. Kesetiaan Merapi dan Merbabu digambarkan oleh Arswendo Atmowiloto di tahun tujuh puluhan dalam kisah sepasang manusia Semesra Merapi dan Merbabu yang berakhir tragis.

Kami baru saja menikmati liburan akhir tahun. Pulang ke Yogya. Banyak acara keluarga. Keliling ke Semarang, ke Brebes, ke Pekalongan, dan tentunya ke desa asal saya di Ambarawa. Kadang setir sendiri, kadang dengan anak saya Aryo, kalau dia tak sibuk. Hanya sempat beberapa hari di Yogya di akhir tahun. Yang terasa istimewa karena bisa menjumpai, nyonya Dokter Djajus. Keluarga dokter Djajus adalah sabahat dekat keluarga kami lima puluh tahunan lalu. Dokter Djajus almarhum adalah idola masa kecil saya, kalau jadi dokter isterinya pasti cantik jelita, seperti nyonya dokter Djajus waktu itu. Cerita tentang beliau pernah saya singgung dalam tulisan tulisan tentang Ambarawa. Baru saya sadar saat bertemu beliau, kalau salah satu menantunya adalah kakak kelas yang telah saya kenal baik sebelumnya. Beliau adalah dokter Slamet, mantan Kepala Kantor Wilayah Kesehatan di Papua dan di Sulawei Utara. Beberapa hari kemudian saya sempat mengundang makan siang Dr Slamet dan nyonya bersama teman dekat sewaktu ngajar di UGM, Dr Rosi. Obrolan mengasyikkkan tentang masa pension. Cerita tentang nyonya dokter Djajus akan saya tulis kemudian. Tak sempat wawancara dengan beliau, asyik ngobrol sama sang menantu. Beliau masih seperti dulu, sisa kecantikannya masih jelas di usia delapan puluh lima tahun. NYI terpukau ngobrol dengan beliau.

Akhir tahun adalah ulang tahun perkawinan kami. Tak ada acara khusus. Hanya kami sempatkan mampir ke Magelang. Kota indah penuh kenangan. Kami menghabiskan masa masa pacaran di kota ini. NYI tinggal bersama keluarga kakaknya di Magelang. Sementara saya menyelesaikan tugas tugas akhir di Yogya atau di kota kota sekitar Yogya. Kami pengin melihat tempat tempat yang dulu sering kami kunjungi atau lewati. Tak banyak waktu terluang untuk mengenang kembali masa masa itu. Hanya lewat dalam perjalanan dari Semarang ke Yogya. Kami tak melewati jalan utama, tetapi membelok melewati alun alun dan menuju ke lapangan Kuwarasan. Tak sempat mencari rumah di Boton di mana NYI pernah tinggal. Ada potongan kisah yang pernah saya ceritakan di kolom kita. Di Kuwarasan pun hanya sempat melihat rumah di mana dia bersama keluarga kakaknya pernah tinggal. Sebagian besar masa pacaran kami memang sewaktu dia tinggal di Magelang. Antara tahun 1972 – 1975. Lapangan itu masih seperti dulu, bersih terpelihara. Banyak anak bermain main di sore hari. Di seberang lapangan dulu tinggal keluarga kakak sepupu saya almarhum di tahun enam puluhan. Saya pernah nginap di sana beberapa kali.

Pagi pagi sekali menjelang akhir 1975 beberapa bulan menjelang lulus, saya masih ingat berjalan berdua bersama NYI menuju ke tempat pemberhentian bis dari Kuwarasan. Jalan masih sepi di pagi hari. Lupa nama jalannya. Pagi itu akan pulang ke Yogya langsung ke rumah sakit. Kepaniteraan klinik sudah hampir berakhir. Sepanjang perjalanan singkat itu kami bicara tentang kelanjutan hubungan kami. Maunya gimana, serius nggak gitu lho. Tak ingat benar apa yang kami bicarakan secara rinci. Hanya sepakat jika akan berlanjut ke pernikahan. Tak ada negosiasi. Tak ada janji. Tak ada perjanjian rekening bersama. Tak ada yang bisa dimasukkan rekening. Tak perlu pernik janji janji itu. Aku ini pejantan malang dari kumpulannya yang terbuang. Yang penting jalan terus urusan belakang. Semua bisa diatur. Modal hati sama burung. Jaman sekarang memang sudah lain. Semua harus siap dengan rencana matang jangka panjang saat menuju ambang pernikahan. Sesuatu yang positip. Tetapi jangan terlalu lama mempersiapkan. Mana tahan.

Jalan itu masih seperti dulu. Pohon pohon rindang sepanjang jalan. Bersih dan rapi. Magelang memang kota yang rapi. Kami lewat di akhir sore hari, kendaraan ramai lalu lalang. Tiga puluh lima tahun lalu, sepi di pagi hari. Kami sempat berpelukan dan berciuman di bawah salah satu pohon itu. Tak ada HANSIP, tak ada HANRA. HANSIP itu seperti musuh bersama orang pacaran. Sempat ambil beberapa foto kali ini. Tak saya sertakan. Hasil foto saya hanya pas pasan saja.

Tak terasa perjalanan kami berdua telah lewat tiga puluh tiga tahun. Penuh warna penuh irama. Tak selamanya selalu indah seperti jaman pacaran. Hidup memang tak selamanya indah. Kadang kadang getir, kadang kadang susah, kadang kadang melambung seperti impian. Itulah irama hidup di dunia nyata. Harus siap bersama menghadapinya. Mungkin hanya dalam cerita, hidup itu bisa dibuat semua jadi indah. Mungkin khayalan sang penulis pas jatuh cinta. Perkawinan adalah perpaduan dua hati. Perpaduan dua selera. Penyesuaian dua cara hidup yang mungkin tak selalu sejalan. Satu sisi kadang ingin gaya hidup vibran penuh warna, sementara yang lain hening dan damai. Melihat pasangan setia Merapi dan Merbabu pagi itu, saya merasa seolah diingatkan. Merapi yang panas meledak ledak dan Merbabu yang hening dan sunyi. Hidup berdampingan abadi sepanjang jaman.

Wah kok malah ceramah. Praktisnya, kalau punya pasangan cerewet, ada dua alternatif. Pakailah alat penutup telinga. Sekarang banyak dijual seperti yang dipakai kalau tilpun lewat internet. Atau pasangannya diminta pakai masker penutup muka, biar suaranya nggak meledak keluar.

Amit amit, salam damai

Ki Ageng Similikithi