Saturday, October 25, 2008

Pelukan dua hati

Pertengahan tahun 1974. Saya masih tugas di rumah sakit bersalin Mangkubumen. Rumah sakit kecil dengan kira2 30 tempat tidur, di sebelah kompleks Mangkubumen. Bersih dan tenang. Jam dua siang selesai tugas pagi. Kami berdua tugas jaga, dengan Santo. Kamar ko ass di ruang belakang yang sunyi. Hari itu suasana tenang. Tak ada operasi. Tak ada gawat darurat. Tiba tiba saja pengin ketemu MUR. Kebetulan Toni mau mengganti saya tugas jaga sore itu. Hanya sampai jam 700 petang. Dia ada janji sama calon bini. Saya janjikan dia untuk menterjemahkan artikel yang ditugaskan kepadanya.

Dengan ringan saya bergegas naik becak ke Benteng Kulon. Hanya beberapa ratus meter dari Mangkubumen. Mencegat bis jurusan Magelang di jalan Wahid Hasyim. MUR beberapa minggu ini tinggal bersama kakaknya di Magelang. Di kampung Boton. Hubungan sudah serius. Pacar tetap. Surat menyurat mengalir lancar. Dengan alamat penerima yang sama, MUR. Sekali dua kadang kadang ada surat ke penerima yang berbeda. Tetapi itu hanya surat biasa, tanpa ikatan emosi. Tak apa, toh belum terikat resmi dengannya. Kesepakatan hati semata mata, belum ada ikatan legal. Bis Mustika jurusan Semarang Yogya lancar melaju. Kadang2 balapan menaikkan penumpang sepanjang jalan. Masuk kota Magelang dengan rasa riang. Pemandangan agak terganggu di pintu masuk kota. Setiap kali masuk Magelang, terlihat banyak orang mandi di saluran air di kiri jalan waktu itu. Sekarang sudah jarang. Jam empat kurang sedikit saya telah mengetok pintu di Boton.

MUR terkejut senang melihat saya di muka pintu. "Ada tugas di Magelang?". Dia tersenyum ceria dan memeluk mesra. Ciumannya datang bertubi. "Bukan tugas. Pengin ketemu saja". Berpelukan nggak begitu penting saya rasa. Ciuman, bolehlah. Boleh tahan. Laki laki harus selalu tahan diri. Jangan bertampang murahan. Apalagi minta ini minta itu. Diberi matur nuwun. Nggak diberi ya terima saja. Laki laki yang suka minta minta wajahnya nampak lucu. Jangan memaksa. Pantangan seumur hidup. Ketemu dia dan lihat senyumnya yang berseri sudah lebih dari cukup. Saya bilang kalau hanya ada waktu sejam, sedang jaga."Saya baru mau mandi tadi". Kami duduk di ruang tamu berdua. Bergegas dia membawa dua cangkir teh hangat. Dia sendirian di rumah. Kakaknya berdua baru ke luar kota, mungkin pulang sampai malam. Tak tenang perasaan saya. Waktu sangat sempit. Tetapi lega bisa menjumpainya. Walau waktu sangat terbatas. Kami bicara bicara singkat. Nggak ingat apa yang kami bicarakan. Tak ada agenda penting yang perlu dibahas khusus. Saya ingat bawa pakaian ganti dalam tas saya. Badan terasa lekat. Pengin mandi air yang segar. Air mandi di Magelang dan Ambarawa selalu terasa dingin dan segar.

Saya minta ijin ke kamar mandi sebentar. Ada handuk bersih dan pakaian MUR di sana. Memang dia sedang mau mandi ketika saya datang. Ada pakaiannya di kamar mandi. Dan pikiran saya melayang kemana mana. Ingat legenda cinta Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan. Nawangwulan adalah bidadari kayangan yang sering turun mandi ke telaga di dekat kediaman Jaka Tarub, setiap malam Anggoro Kasih ( Selasa Kliwon). Satu saat Jaka Tarub ngintip dan mencuri pakaian Nawang Wulan, sehingga dia tak mampu terbang kembali ke kayangan. Jaka Tarub kemudian pura pura datang menolong bidadari yang sedang kebingungan itu dan memberikan pakaian yang lain. Secara singkat Dewi Nawang Wulan akhirnya mau jadi isterinya. Ceritanya panjang. Di lain kesempatan akan saya ceritakan. Saya langsung saja mandi. Terasa segar dan dingin. Tak terpikir mau mencuri pakaian MUR. Apa untungnya ? Dia toh sudah mau jadi pacar tetap. Tak perlu curi mencuri pakaian dalam. Ini sih realita. Bukan legenda. Bukan ketoprak.

Tiba tiba pintu terbuka. "Saya ikut mandi". Kaget luar biasa. Tak sempat mengiyakan dan menolaknya. Langsung saja dia buka pakaian dan ikut mandi. Pikiran saya was was jika ada orang yang datang. Apalagi kalau HANSIP. Saya pernah melihat pasangan mahasiswa digelandang ke kantor RK di Suronatan Yogya karena duduk berdempetan di ruang pondokan. Duduk berdempetan asal tangan nggak kemana mana sih masih legal hukumnya. Nggak tahulah. Semua toh bisa berubah cepat.

Selesai mandi cepat cepat ambil handuk mengeringkan badan. MUR nampaknya juga cepat selesai. Dia mendekat pelan dan memeluk saya. Berpelukan erat. Pelukan sangat mesra. Hati saya mendesir. Perasaan terbang melayang.. Tak ada napas memburu. Tak ada napas tersengal karena birahi. Hanya rasa sayang dan damai yang dalam. Kesejukan yang menenangkan. Sekilas teringat kisah Jaka Tarub dan Nawang Wulan. Saya rasakan kebahagiaan Jaka Tarub menerima Nawang Wulan dalam pelukannya. Boo, bukan bidadari yang bersandar di pelukan saya. Bukan Dewi Nawang Wulan. Dia MUR mahasiswi asal Pekalongan itu. Pacar tetap. Tak apalah. Tak harus mencuri pakaiannya. Pakaian2 itu masih utuh bergantung di pintu. Tak harus menipu dan merayu, apalagi memaksa. Saya berdoa waktu itu semoga pelukan itu berlangsung sepanjang waktu. Bukan impian sesaat. Pelukan dua hati. Dua insan dalam cinta.

Ah peristiwa sesaat itu tak pernah terlupakan selamanya. Sampai dia menjadi NYI dia tetap setia memeluk saya. Setiap habis mandi. Setiap mau pergi. Setiap datang. Walau prahara kadang datang dan pergi, pelukan itu tetap saja datang kembali. Pelukan antara dua hati. Pelukan sehidup semati sampai akhir perjalanan waktu.

Salam untuk anak anak muda yang bercinta. Peluklah kekasihmu dengan cinta, dengan damai. Bukan semata karena birahi asmara. Dan jangan suka ngintip dia mandi.

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber 25 Oktober 2008

http://community.kompas.com/read/artikel/1403

2 comments:

paromo suko said...

hingga kaki-nini
semoga abadi

Ki Ageng Similikithi said...

Matur nuwun Romo Paromosuko. Mung ngalamun mbayangke jaman enom. He he he. Sugeng minggin