Friday, August 31, 2007

Salam sejahtera untuk Dr. Indro Saswanto

Dr Indro Saswanto menyampaikan tulisan2 berikut lewat email. Beliau adalah mantan anggota Mamacong ( masyarakat Mahasiswa Complex Ngasem). Terima kasih sekali. Salam sejahtera dari jauh dan selamat berkarya. Jika pembaca ingin meninggalkan pesan, silahkan kirim email ke bs2751950@yahoo.com. Ki Ageng Similikithi
-------------------------------------------------------------------

Ki Ageng. Saya kagum dengan tulisan2 anda di blogspot anda. Kagum
lagi ternyata anda seorang dokter. Lebih kagum lagi anda masih ingat
peristiwa2 dimasa kecil anda. Kagum lagi pasti anda tidak punya diary
diwaktu kecil. Kagum memang. Yang pasti bukan dementia senilis.
Terkagum2 lagi ternyata anda mahasiswa Ngasem yg selalu pake sepeda butut
tanpa rem he he, yang kalau berhenti pegangan tiang besi cagak teras
ruang kuliah ngasem. Dg ransel di pundak Aki. Achirul kagum gum anda
telah berhasil mengangkat kata "kecil tiada berarti" menjadi kata
"besar luar biasa" the word is "SIMILIKITHI" :)

SIMILIKITHI. super~kecil~cerdas~keras~padat~berisi~mletik~lincah~lenting~pedas~
kemlinthing~runcing~sombing~kontroversif~ndragonink.

Kagum tulisan aki di blog,
kagum dia dokter
kagum ingatan masa lalu
kagum tidak punya diary
kagum bukan dementia senilis
kagum sepeda butut ngasem
kagum ransel di pundak nya
kagum angkat kata simililithi

Ki Ageng .....yg burly n affable.
Betul ki. Kita memang pernah jumpa walau bagaikan angin lesus ketemu
wedus. Lesus tentu tak kenal wedus tapi wedus sangat terkesan akan
lesus. Begitulah gambarannya. Nama saya Indro S. Saya seorang siswa
yang baik. Tapi oleh manusia yang berjasa mengenalkan saya pada dunia
ini huruf i diganti oleh beliau dengan a sehingga nama saya menjadi
exclusif satu2 nya didunia.:) Saya laki2 tulen maka lazimnya orang
Purworejo ataupun Solotigo dibelakang nya ditambah anto. Itulah saya
ki.. Yg kalau anda tanyakan om google pasti dijawabnya. Dengan senang
hati dan kehormatan yang sangat tinggi bagi saya tentu nya kalau saya
di ampirkan di blog aki. Terimakasih.
Indro S...

Monday, August 27, 2007

Bunga bunga sepanjang masa

Hujan begitu deras di luar. Akhir pekan seluruh kota terkurung hujan deras. Hujan selalu tak akrab dengan manusia di Manila ini. Lebih sering datang bersama teman dekatnya, sang angin. Menjadi typhoon yang merusak. Hampir pasti datang dengan bau tak sedap. Lain dengan suasana hujan di desa saya di tahun lima puluhan dan enam puluhan di Ambarawa. Hujan selalu datang dengan aroma sedap. Bau tanah, bau dedaunan, bau bunga. Datang dengan anugerah alam, membasahi tanah dan tetumbuhan. Tak pernah mendera liar.

Nyi Ageng sudah duluan tidur. Masih terlalu sore. Untuk mereka yang berumur muda, apa lagi yang bercinta, saat hujan memang enak di tempat tidur. Hangat dibawah selimut sambil mendengar suara hujan. Untuk orang seumur saya, saat hujan seperti ini lebih pas untuk melamun. Mengenang masa lalu. Mengenang perjalanan waktu. Istilah kerennya tirakat atau semedi. Bukan dugem yang hingar bingar atau tidur terlelap. Biar nampak (sok) bijak bo !

Saat hujan seperti ini membawa ingatan saya akan bunga bunga sepanjang masa. Bunga adalah lambang keindahan. Lambang kelembutan dan kasih sayang. Bau wangi yang semerbak bisa membawa perasaan menerawang ke alam khayal. Melayangkan ingatan dan perasaan ke orang orang yang kita cintai. Warna alami yang indah kadang membawa lamunan ke dunia yang serba indah. Seindah nirwana. Tak terbayangkan seandainya alam tanpa bunga. Kering merana.

Pernah saya ungkapkan, bunga yang paling dekat dengan ingatan saya adalah bunga kopi. Warnanya putih lembut. Sore hari menjelang malam baunya mulai semerbak lembut. Kebun kopi kami tak begitu luas waktu itu. Tetapi saat musim bunga baunya akan menyebar di seluruh lereng bukit. Mungkin bagi anda yang belum pernah merasakan nggak bisa membayangkan. Cobalah suatu saat berkunjung ke daerah kebun kopi saat berbunga. Bersama orang yang benar benar anda cintai. Bukan WIL ataupun PIL.

Suatu sore di tahun 1963, kami kedatangan tamu teman bapak dari Yogya. Bersama anak gadisnya, saya nggak tau namanya. Pohon2 kopi sedang berbunga. Si gadis begitu terbuai menikmati bau bunga kopi. Saya tak pernah bisa lupa wajahnya yang begitu ceria berjalan di antara pepohonan kopi. Dia memakai gaun warna jambon. Saya terpukau melihatnya dari sela dedaunan. Dia bergerak lincah dan ringan di antara pohon pohon kopi. Seperti tokoh silat di taman seribu bunga yang digambarkan dalam cerita cerita silat Tiongkok, oleh Kho Ping Hoo. Saya selalu teringat wajahnya waktu itu. Mungkin karena pengaruh bunga kopi itu. Saya masih kelas satu SMP. Guru selalu bilang, anak lelaki pantang melamun berkepanjangan. Apalagi tentang gadis cantik. Pantangan bo !

Bunga lain yang lekat dalam ingatan adalah bunga yang tumbuh dari umbi sejenis pandan. Saya tak tahu namanya. Hanya tahu jenis daunnya seperti pandan, tumbuh dari umbi. Bunganya berbentuk corong. Bunga ini selalu datang di akhir musim kering, menjelang hujan tiba. Warnanya kadang merah atau kuning. Dalam suasana kering kerontang, bunga bunga itu marak di antara pepohonan kopi. Seluruh kebun seperti diberi pewarna merah kekuningan. Tak berbau dan tak tahan lama. Cepat layu jika dipetik dan ditaruh dalam vas. Di tahun tujuh puluhan mulai jarang muncul. Warnanya begitu cerah seolah menyqmbut hujan yang akan segera tiba. Memberikan kesan semangat dan rasa optimis sesudah kerontang musim kering yang panjang. Bunga bunga itu sekarang punah tak berbekas. Alam memang semakin kering.

Bunga sedap malam adalah bunga malam yang sangat saya kagumi sejak kecil. Ibu selalu memasangnya di dalam vas di pendopo rumah kami. Kebiasaan ini kadang saya lakukan sewaktu saya masih di Yogyakarta. Setiap kali ke Ambarawa, saya selalu membeli bunga sedap malam. Baunya begitu merayu menghanyutkan. Bunganya berwarna putih. Hampir seperti gladiol. Di tahun 1963, saya saat itu disuruh bapak saya mengunjungi adik sepupunya di Bandungan. Saya memang hampir tak pernah datang ke rumah keluarga bulik saya itu. Keluarga itu begitu pendiam, walaupun banyak putranya ada lebih enam orang. Rumahnya begitu senyap. Nggak seperti rumah kami yang ramai karena saya dan adik2 saya yang selalu riang bergurau.

Habis makan siang, Bulik saya menyuruh untuk memotong bunga2 sedap malam di kebunnya. “Sampaikan salam untuk bapakmu dan bilang supaya jaga kesehatan”. Sore itu juga turun hujan. Selepas hujan saya menunggu dalam opelet yang akan turun ke Ambarawa. Ada sepasang kekasih atau pengantin baru yang juga menunggu akan turun k Ambarawa. ’Dik bungamu indah sekali. Untuk kami saja ya”, mereka bergurau. Saya berikan seikat sedap malam. Senang sekali melihat mereka berdua begitu bahagia. Hanya beberapa untai sedap malam.

Bunga lain yang terasa dekat adalah bunga sepatu ( Hibiscus rosa sinensis). Di desa saya dikenal dengan nama bunga wora wari. Kebanyakan dipakai untuk pagar atau untuk penahan lereng terjal. Bunganya merah dan nampak tenang. Bunga bunga itu tak pernah protes atau marah walaupun dahan dahannya ditebasi di musim kering. Dahan dahan yang tersisa masih saja bergoyang menari bersama angin. Lambang kesabaran. Di pertengahan tahun sembilan puluhan seorang teman di Universiti Malaya mengundurkan diri sebagai peneliti oleh karena dia akan menekuni usaha perkebunan bunga sepatunya. Dia bikin industri agar dari bunga sepatu untuk ekspor. Tak hanya karena bisnis semata. Dia mempunyai keterikatan emosi yang dalam dengan bunga sepatu. Moga moga usahanya berkembang pesat.

Bunga kenanga selalu memberikan kesan magis dan mistik. Di beberapa tempat sering orang menganggap pohon kenanga angker. Mungkin karena baunya yang menusuk tajam teutama di malam hari. Ada pohon kenanga di depan rumah saya dulu di Ambarawa. Juga di halaman rumah saya di Yogya. Ada satu pohon kenanga yang selalu berbunga. Baunya selalu menusuk tajam di malam hari. Saya selalu menghirupnya dengan damai di malam hari di beranda depan. Ada kesan magis. Tokoh2 spiritual atau perdukunan mungkin akan tambah afdol jika menanam pohon kenanga dan beringin di halaman mereka. Sayang pohon beringin sudah banyak dipolitisir, nggak bisa netral lagi sejak jaman Orde Baru.

Bunga bouginvila adalah bunga yang banyak di jumpai di kota kota di Asia. Tengoklah jka anda keluar dari bandara di Singapura, bouginvila yang begitu semarak. Juga sewaktu memasuki kota Yangoon di Myanmar, atau Temanggung di Jawa Tengah. Begitu warna warni, walau saya sangat mengagumi yang berwarna ungu. Setiap kali berkunjung ke kota kota tropis di Asia saya selalu mencari bouginvila. Hanya ingin melihat.

Masih banyak bunga lain yang dekat dengan perasaan say. Melati, angrek maupun mawar. Saya sangat mencintai bunga melati. Hanya selalu saja mengingatkan pada anak saya almarhum. Entah anda percaya atau tidak, beberapa hari sejak kepergiannya bau melati itu selalu datang di malam hari. Kami tak banyak lagi menanam melati di halaman karena kesan ini. Bunga angrek sangat indah bagi banyak orang. Tetapi kesan saya yang sangat pribadi, keindahannya sudah banyak dimanipulasi manusia. Bunga mawar adalah lambang cinta dan kasih sayang. Saya nggak tahu mengapa saya selalu mempunyai sensasi kehilangan, bau kematian setiap mencium bau bunga mawar.

Mohon maaf jika tak dilampiri dengan gambar dan nama Latin bunga bunga itu. Harapan saya masih banyak yang akan bercerita tentang bunga. Kesan kita akan bunga memang sangat personal sekali kan.

Salam dengan bunga

Ki Ageng Similikithi (bs2751950@yahoo.com)


Dimuat di Kompas Cybermedia, 27 Agustus 2007

Friday, August 17, 2007

Cerita dari Tonga

Awal bulan ini saya berkunjung ke Nuku’alofa di Tonga. Tepatnya dari tanggal 4 sampai 11 Agustus. Ada pertemuan antar negara di Pasifik mengenai kebijakan obat. Berangkat tanggal 3 Agustus sore hari dengan Cathay, Manila – Hongkong – Auckland, di sambung dengan NZ ke Tonga. Tiba di Tonga tanggal 4, lewat jam delapan malam.

Tonga adalah kerajaan kepuauan yang terletak di Pasifik Selatan, antara New Zealand dan Hawai (http://en.wikipedia.org/wiki/Tonga). Kira2 3 jam perjalanan pesawat antara Auckland ke Tonga. Berpenduduk kurang lebih hanya 102 000 orang dengan luas areal kira kira 750 kilometer persegi.

Tonga mempunyai system politik monarkhi konstitusional sejak beberapa ratus tahun lalu. Menjadi daerah protektorat Inggris sejak awal abad 20 dan merdeka penuh di tahun 1970. Penduduk Tonga adalah campuran ras Polinesia. Rata rata penduduk Tonga berperawakan besar. Di jalan jalan dengan mudah melihat postur orang dengan berat antara 100 – 150 kg. Di tahun tujuh puluhan raja Tonga berkunjung ke Jakarta. Beliau beratnya di atas 150 kg membuat protocol kalang kabut menyiapkan tempat tidur dan merombak pintu kamar hotel.

Kami datang bertiga bersama staf dari Manila. Pertemuan diselenggarakan di International Dateline Hotel. Hotel terbaik di Tonga. Tetapi pelayanan masih jauh di bawah standard internasional. Pelayanan sangat lambat walau beaya relatif mahal. Ruang pertemuan praktis harus kami siapkan sendiri. Fasilitas pengeras suara harus bayar sewa tambahan dan separoh nggak berfungsi. Pengatur pengeras suara pasti datang terlambat hampir satu jam dari acara.

Yang paling parah adalah keamanan. Staf kolega dari Manila di rampok dalam kamar jam 400 pagi. Perampok masuklewat balkon yang tak terkunci. Dia memang nggak diberi kunci balkoni. Ternyata banyak peserta yang tidak mendapat kunci balkoni, bahkan kunci kamar. Untung tak cedera apa apa, hanya kehilangan computer, kamera dan sejumlah uang tunai. Saya laporkan ke UN Field Security coordinator, dan staf saya minta lapor ke kedutaan Jepang di Pasifik Selatan ok dia warga Jepang. Response dari pihak hotel dan kepolisian juga lamban dan datar, business as usual, nggak ada kesan urgent reaction sama sekali. Saya sendiri sangat kecewa, dan saya sampaikan ke UN Security coordinator.

Pertemuan berlangsung sukses walau dengan segala kekurangan yang ada. Acara sosial petang hari pasti hangat. Memang tak semegah seperti di kota2 metropolitan Asia. Tetapi tetap hangat dan akrab. Khas suasana Pasifik, nyanyi dan tari. Sulit untuk dilupakan. Anggota2 delegasi Pasifik ini sempat saling kumpul lewat pertemuan2 seperti kali ini.

Thursday, August 2, 2007

Senyum dari balik tirai kelambu.

Di satu sore yang cerah, saya dalam perjalanan dari Ambarawa ke Yogya. Di awal tahun tujuh puluhan. Acara rutin hampir setiap tiga atau empat minggu. Pulang balik Yogya Ambarawa. Saya masih ingat benar itu hari Minggu, setelah semalam saya pulang tidur di rumah saya di Ngampin. Saya selalu merindukan rumah tua kami dengan kebun yang luas dan hawa yang sejuk. Bau bunga kopi dan kenanga itu selalu menarik saya untuk kembali. Walau hanya sejenak ada keinginan untuk mereguk baunya yang lembut. Tak cuma bau bunga itu yang membuat rindu. Ada banyak bau yang mendatangkan rasa kangen. Bau rumput kering atau bau gas metana kotoran sapi yang terbakar, bau uap air hujan yang keluar dari tanah. Biasanya tak lebih sebulan saya mesti pulang ke desa. Menenangkan diri dan memutus rasa rindu yang mendalam atas suasana pedesaan yang sunyi.

Melewati daerah indah di Bedono, Banaran, Pringsurat, Pingit, Secang sampai kemudian di Magelang, hati saya selalu berbunga bunga. Walau telah melewati jalur ini ratusan kali. Lamunan menerawang ke depan, seolah itulah perjalanan hidup saya nanti. Sampai di alun alun Magelang, turun ganti bis yang langsung menuju Yogya. Ada bis Mustika warna merah. Masih ada beberapa tempat kosong. Saya mengambil tempat duduk di sebelah kanan agak ke belakang. Setiap kali lewat alun alun Magelang, selalu ingat sewaktu SR dulu pernah minum susu campur tape ketan di rumah makan di pojok dekat masjid. Tak perlu menunggu terlalu lama oleh karena bis segera berangkat. Si kernet masih saja teriak, “”Yogya, Yogya””.

Di sebelah saya duduk seorang gadis, Nampak letih dan gelisah. Kami sempat berkenalan, ternyata dia kuliah di Fakultas Hukum, sama sama di UGM. Namanya mbak MIR Katanya dia naik bis dari Semarang siang itu. Dia duduk di tingkat empat, sama dengan saya waktu itu. Saya kuliah di kompleks Ngasem dan dia di Pagelaran Keraton. Bicaranya banyak. Dia cerita tentang teman temannya yang kuliah di kompleks Ngasem. Hampir semua yang disebut saya tahu satu persatu. Umumnya sekelas atau dari angkatan di atas angkatan saya. Saya agak kaget waktu dia menyebut Emsa. Katanya dia kenal baik. Batin saya berkata, “Jangan kau sebut nama itu. Saya tak ingin tenggelam dalam lamunan malam ini”. Kami sempat ngobrol kesana kemari. Kadang bicaranya agak terlalu keras untuk ukuran Yogya.

Kami turun di dekat Bausasran.. Waktu telah lewat jam delapan malam. Biasanya saya turun di stasiun bis THR (Taman Hiburan Rakyat). Sekali ini sekalian ngantar oleh karena bawaannya nampak banyak. Kami naik becak berdua menuju ke tempat kostnya di jalan Gajah Mada, dekat bioskop Permata. Saya sempat duduk sebentar di ruang tamu. Tak lama, tak lebih sepuluh menit. Bicara biasa saja. Tak ada topik bahasan yang istimewa. Saya cepat cepat pengin terus pulang ke tempat kost di Patangpuluhan.

Sesaat saya pamitan, tiba tiba sekilas nampak bayangan seseorang di balik tirai kelambu, di balik pintu. Tirai itu warna hijau. Cahaya temaram listrik dua puluh lima watt tak mampu memancarkan sinar untuk menatap sosok di balik tirai itu. Namun saya tetap tak tergerak untuk bertanya. Rumah kost pasti banyak penghuni. Tak layak laki laki mengendus mencari keterangan. Laki laki harus tahan harga. Apa lagi ini teman yang baru saja kenal. Jaga image bo !

Tiba tiba muncul seorang gadis dari balik tirai kelambu, dari balik pintu itu. Tersenyum manis, meski tak jelas benar dalam sinar temaram itu. Tetapi instink saya memberikan sinyal, ini bukan barang biasa. Tiba tiba, mbak MIR berkata memecah kesunyian “Kenalkan ini adikku. Kuliah di ABA”. Saya terpana, tak bisa berucap apa apa. Tangan saya gemetar menyambut jabatannya. Sapaanya begitu lembut “MUR”. Saya hanya sempat bilang “Ki”. Kemudian kami sama sama terdiam. Pengin bicara lebih banyak, tetapi lidah terasa kelu. Tak ada nyali tak ada konsentrasi. Pikiran nanar tak menentu. Sudah terlanjur pamit. “Main lagi ke sini ya” ucapnya lirih. Saya pulang dengan rasa gelisah .

Dalam perjalanan pulang hati saya tak bisa tenang. Kenapa tadi MIR nggak bilang kalau punya adik yang begitu manis. Sampai di tempat kost, ngobrol ramai sama teman. Saya cerita ada kenalan baru istimewa. Semua ketawa, kalau cuma kenalan banyak stoknya di pasar Ngasem. Tetapi saya terkenang senyumnya yang menawan lembut itu. Suaranya berbisik lirih. Pengin kembali lagi. Pengin cepat cepat ketemu lagi. Minggu itu saya juga tak tenang di ruang kuliah. Terkenang senyumnya. Terkenang rona wajahnya. Terngiang bait Teringat Selalu, lantunan Tetty Kadi di tahun enam puluh tujuh. Kok benar ya, tak hanya terjadi dalam alunan musik. Ternyata bisa juga terjadi sungguhan. Kayalan selalu melayang.

“” --- Sekilas nampaklah engkau di balik pintu. Tersenyum dikau menusuk hatiku. Apa daya sejak saat itu. Nurani terganggu di setiap waktu. Teringat slalu pada senyummu. Ingin kubertemu ----””

Beberapa hari kemudian, sehabis pulang kuliah saya bersama teman Achdy, kembali berkunjung ke jalan Gajah Mada. Satu siang yang ceria oleh karena mbak MIR juga pinter cerita. Achdy yang tokoh mahasiswa pandai berbahasa santun. Saya tak banyak bicara. Tetapi saya bisa melihat tuntas wajahnya, yang tak jelas dalam temaram listrik PLN malam itu. Banyak keluhan terhadap PLN, terhadap mutu pelayanan listriknya. Sudah banyak yang menyampaikan keluhan dan saran. Biarlah saya mengenang temaram listrik PLN yang romantis. Gadis manis samar samar di balik tirai kelambu itu. Ingat yang positip saja. Yang indah saja. Yang negatip kalau dituruti, sampai kapanpun susah berubah.

Siang itu saya bisa melihat jelas wajahnya yang manis. Senyumnya yang ceria. Namun saya belum banyak bicara. Belum banyak cerita dengan dia. Hanya lamunan melayang ke awang awang. Berandai andai ke masa depan seolah cinta telah terjalin mapan. Ge er bo ! Orang geer memang kadang menikmati kebahagiaan luar biasa. Asal nggak terlalu ge er, semuanya sah sah saja.

Perjalanan memang masih jauh. Tak semua bisa saya ceritakan di sini. Hanya pertemuan pertama itu yang ingin saya ceritakan. Hanya wajah manis yang menyembul dari balik tirai kelambu itu yang saya ingin saya kenangkan kali ini. Senyum ceria itu tak pernah lekang. Tak pernah hapus dari ingatan. Tiga puluh lima tahun berlalu. Prahara kadang datang mendera, tetapi badai selalu berlalu. Karena senyum ceria itu. Senyum dari balik tirai kelambu. Dari balik pintu.

Salam manis
Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Love Talk Kompas Cyber Media, 1 Agustus 2007)

Makna sebuah nama

Nama adalah label atau identitas seseorang. Dengan nama tersebut dia akan dikenal oleh lingkungannya. Dengan nama tersebut dia akan memperkenalkan siapa dirinya. Setiap orang pasti punya nama. Sekalipun yang bersangkutan ingin menyembunyikan jati diri dengan nama samaran, tetapi pasti ada sebuah nama yang melekat sesudah dia dilahirkan. Nama aslinya, nama pemberian orang tua atau kerabat. Bahkan Ken Arok, yang dimitoskan lahir dari batu karang pun, punya nama dan namanya melegenda sepanjang jaman.

Kadang kadang secara sentimental seorang penulis cerita atau puisi, mencantumkan identitas dirinya “Manusia Tanpa Nama”. Itu hanya dalam khayalannya saja supaya nampak sok puetis, sok melankolis dan sok romantis. Jangan terkibul, dia pasti punya nama, entah siapa. Sewaktu saya SMP, saya pernah membuatkan surat atas nama seorang teman di desa sebuah surat cinta. Namanya sebenarnya Wito, dia tak bisa menulis dan membaca. Begini petikannya,

Saya hanya manusia pengelana
Tanpa sanak tanpa saudara
Tanpa harta tanpa nama
Tanpa apa apa
Hanya punya rasa cinta yang membara
Untukmu, hanya untukmu.
Sambutlah salam perkenalanku
Dari pengelana tanpa nama
Yang menanggung rindu.

Pertama kali surat kembali, tak ada jawaban. Kedua kali jawaban yang diterima bunyinya singkat “Gamblisss & gombaaaal”. Ketiga kali, Wanti si penerima surat mulai tanya “Siapa sih nama kamu sebenarnya”. Dia murid SMP sore yang selalu lewat desa kami. Seterusnya saya tak tahu, Wito tak mau lagi minta tolong saya nulis surat. Dia langsung tembak tatap muka. Dia selalu menunggu di ujung desa dan mengantar Wanti pulang sekolah.

Saya ingin mengetengahkan liku liku nama ini oleh karena banyak kebiasaan mengenai tata cara pemberian nama. Di bidang keilmuan ada semacam tata cara yang disepakati dunia internasional mengenai tata cara pemberian nama, entah nama spesies tumbuhan, hewan, atau nama temuan baru senyawa kimia atau obat obatan. Tetapi pemberian nama seseorang kadang sangat bergantung kepada adat kebiasaan masyarakat setempat. Susah untuk menyepakati nomenklatur internasional pemberian nama orang. Masalah ini mungkin pernah dibahas di forum ini.

Di banyak masyarakat, terutama di kalangan Kaukasia di Eropa dan Amerika, orang selalu menggunakan nama keluarga di belakang (http://en.wikipedia.org/wiki/Family_name) . Kebanyakan mereka punya tiga suku nama, nama depan (given name), nama tengah (middle name) dan nama keluarga (family name). Nama keluarga atau nama marga juga sudah menjadi kebiasaan yang kuat di anyak masyarakat Asia, misalnya di kalangan masyarakat Batak dan banyak kelompok etnis lain. Nama keluarga atau marga di kalangan masyarakat Chinese, ditaruh di depan, bukan di belakang.

Di kalangan masyarakat Melayu, mereka tak menggunakan nama keluarga atau marga tetapi menggunakan nama ayah di belakang dengan kata sambung bin atau binti. Sehingga kadang kadang harus menulis banyak bin atau binti di belakang untuk menunjukkan sejauh mungkin jalur nenek moyang yang menurunkan. Ini mungkin berkaitan dengan kebiasaan nama muslim dan Arab.

Nama Jawa sebenarnya tidak mengenal nama keluarga, walaupun kadang mengandung tiga nama sekaligus. Mungkin nama belakangnya adalah nama ayah atau suaminya (http://en.wikipedia.org/wiki/Javanese_name) Nama depan ayahnya ditaruh di belakang namanya. Contoh, nama mantan presiden kita Abdurrahman Wahid. Wahid adalah nama depan sang ayah, Wahid Hasyim. Sedangkan kakek beliau namanya Hasyim Ashari.

Tidak jarang nama Jawa hanya memakai satu nama. Mantan presiden kita hanya mencantumkan nama Sukarno, kemudian Suharto. Mungkin suatu saat akan ada nama presiden Sukarto. Su dari bahasa Sansekerta, yang berarti linuwih. Kebiasaan nama tunggal ini masih banyak dijumpai. Hanya kadang kadang kesulitan bisa terjadi bila suatu saat harus mengisi formulair pendaftaran di negeri Barat, misalnya pendaftaran visa atau sekolah. Perlu penjelasan sedikit mengenai tradisi satu nama ini.

Untuk yang menggunakan nama Jawa lebih dari satu kata, secara praktis bisa ambil jalan tengah, nama depan untuk given name dan nama belakang untuk family name. Atau jika harus mengisi dengan tiga nama bisa saja Ki Ageng Similikithi, diartikan Ki nama lahir atau given name, Ageng middle name dan Similikithi nama keluarga. Atau mungkin di negeri Belanda ditulis Ki Ageng Similikithi van Ngampin, yang menunjukkan asalnya dari desa Ngampin. Hanya kompromistis saja jika memang diharuskan.

Kebiasaan adat Jawa mengikuti kebiasa patronimik, di mana nama ayah yang menjadi acuan untuk nama belakang. Tetapi masyarakat Jawa terutama kalangan sosial ekonomi bawah dulunya tak selalu bebas memilih nama. Jika mereka memilih nama yang terlalu tinggi atau modern, akan diterima sinis. Ini mungkin sisa adat feodalistik yang mengenal kelas dalam masyarakat. Mungkin sekarang sudah banyak berubah. Mereka kadang memberi nama asal praktis. Ayahnua bernama Dulkamid, isteri bernama Tukinem, anaknya lalu disebut Tukidul. Tergantung perkembangan si anak, nama akan ber evolusi. Sewaktu menginjak dewasa dia akan berganti nama dengan nama dewasa, dan sesudah kawin akan ganti dengan nama tua. Teman saya waktu kecil namanya, Djumadi. Sesudah kawin dia ganti nama menjadi Hadi Winarnyo. Bahkan nama kecilnya tak disebut lagi.

Pernah berkunjung ke French Polynesia, dan bertemu dengan orang2 keturunan Jawa di sana. Ada 5000 orang Jawa, yang sebagian masih ngomong Jawa totok dan tak berbahasa Indonesia. Suatu saat berkenalan dengan seorang wanita esksekutif, penampilannya sangat elegan seperti Doris Kalabaut. Nama Jawanya sederhana, madame Tugiyem, nama keluarganya nama Perancis. Saya sangat menghormatinya, dalam pembicaraan menunjukkan dia sangat berpendidikan. Di Jawa mana ada orang secantik dan se elegan dia masih mau menggunakan nama Tugiyem. Mungkin nama tersebut dianggap kurang representatif. Nyi Ageng nama kecilnya Murlinah, pakai akhiran H. Teman teman lebih sering memanggil Murlina yang dianggaplebih modis.

Pernah saya memakai nama keluarga sewaktu mendaftar program paska sarjana di akhir tahun tujuh puluhan. Nama moyang saya Setrojoyo. Waktu saya isikan nama itu ternyata semua komunikasi resmi lalu menggunakan Setrojoyo. Di lingkungan pekerjaan saya, nama itu asing sama sekali. Akhirnya nama belakang saya saya pakai sebagai nama keluarga. Anak saya almarhum namanya Saworo Tino Triatmoko. Sewaktu di rawat di rumah sakit di Ingrris, Nyi Ageng dipanggil dengan Mrs. Triatmoko, dan saya otomatis dipanggil dengan Dr. Triatmoko. Membingungkan.

Sekali lagi walaupun nama tanpa nama keluarga sering membingungkan, ada kalanya ada untungnya secara praktis. Untuk wantita nama belakang tak perlu ganti ganti, walaupun kawin atau berganti suami. Nama belakangnya tetap saja. Teman kerja saya yang wanita harus mengumumkan pergantian nama belakangnya setiapkali komunikasi formal atau publikasi karena pisah dari suami dan memutuskan mencabut nama keluarga suami dari nama belakangnya.

Mohon agar tulisan ini jangan diterima secara salah. Tak ada maksud menghujat atau memperolok sama sekali. Di kalangan keluarga besar saya, saya mencoba untuk mengajak menggunakan nama keluarga, tetapi ternyata tak semudah yang saya bayangkan. Kita sudah terbiasa menggunakan nama, tanpa nama keluarga. Makna sebuah nama memang lekat dengan adat istiadat yang sudah turun temurun.

Ki Ageng Similikithi van Ambarawa

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media, 23 Juli 2007)

Wednesday, August 1, 2007

Perang Bubat – acara adat perkawinan

Peristiwa itu telah berlalu lebih dari enam ratus lima puluh tahun lalu. Namun kepedihan yang tertinggal tak pernah hapus dari ingatan sampai kini. Perang Bubat. Perang yang sebenarnya tak perlu terjadi. Perang antara tentara bhayangkara Majapahit semasa pemerintahan raja Hayam Wuruk dan perdana menteri Gadjah Mada, dengan delegasi dari kerajaan Sunda di bawah maharaja Linggabuana, di pesanggrahan Bubat, Jawa Timur pada tahun 1357( http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Bubat#Kesalah-pahaman ).

Sebenarnya kedua belah pihak akan merayakan pesta adat perkawinan antara putri prabu Linggabuana yang jelita, Dyah Pitaloka Citraresmi denga maharaja Hayam Wuruk dari Majapahit. Namun kesalahpahaman yang bercampur kesombongan dan ambisi delegasi Majapahit di bawah perdana menteri Gadjah Mada, menyebabkan acara pesta menjadi ajang peperangan yang berakhir menyedihkan. Prabu Linggabuana beserta para pengikutnya gugur dalam pertempuran itu. Dyah Pitaloka bunuh diri dengan pakaian pengantinnya. Raja Hayam Wuruk yang tampan larut dalam kesedihan berkepanjangan dan mengrimkan delegasi tingkat tinggi ke kerajaan Sunda untuk meminta maaf

Konon saat itu raja Linggabuana minta agar raja Hayam Wuruk sebagai calon menantu dan pengantin lelaki datang menyambut rombongan pengantin putri di pesanggrahan Bubat. Tetapi perdana menteri Gadjah Mada bersikeras bahwa putri Dyah Pitaloka statusnya adalah puteri yang akan dipersembahkan ke raja Majapahit, sehingga raja Hayam Wuruk tak perlu menyambut ke Bubat. Sebenarnya raja Hayam Wuruk telah datang di Bubat namun tak mampu mengatasi kesalah pahaman tersebut dan tak mampu mencegah pertumpahan darah. Mungkin memang disengaja oleh sang perdana menteri, yang sengaja membawa pasukan bhayangkara dalam jumlah besar.

Raja Hayam Wuruk sebenarnya telah meminang secara resmi sebelumnya dengan mengirim delegasi tingkat tinggi dan surat resmi ke kerajaan Sunda. Dengan besar hati raja Linggabuana menyepakati bahwa acara perkawinan akan diselenggarakan di Majapahit, Bahkan beliau sendiri yang akan mengantarkan putrinya oleh karena merasa sebenarnya masih ada hubungan saudara di antara kedua keluarga. Tragis, karena kesalah pahaman ini berakhir dengan banjir darah. Hampir semua anggota delegasi kerajaan Sunda gugur, tak mampu melawan pasukan pengawal (bhayangkara) dari kerajaan Majapahit yang jauh lebih besar jumlahnya. Hubungan antara keluarga kerajaan Majapahit dan perdana menteri memburuk karena peristiwa Bubat, sampai wafatnya sang perdana menteri beberapa tahun kemudian. Raja Hayam Wuruk mengeluarkan ketetapan resmi bahwa kerajaan Sunda tidak di bawah kekuasaan Majapahit.

Saya tak berpretensi sebagai ahli sejarah. Saya mencoba mengingatkan peristiwa tragis itu dari kacamata, pikiran maupun perasaan awam. Tak ada maksud untuk menghujat ataupun memandang sederhana peristiwa menyedihkan yang menyisakan kesedihan bagi kita semua, terutaa di daerah Sunda. Saya membaca kisah Bubat dengan kesedihan yang mendalam.

Di luar intrik politik waktu itu, sebenarnya situasi yang mendorong terjadinya peristiwa perang Bubat sebenarnya juga sering terjadi dalam kehidupan kita sehari hari saat ini. Masalah protokol acara perkawinan. Adat kebiasaan dan protokol dalam acara perkawinan yang ada di kalangan masyarakat modern kita saat inipun sangat beragam. Keragaman atau perbedaan ini kadang berakar pada adat istiadat yang di anut di satu daerah, di satu kelompok etnis, tradisi keluarga yang dianut turun temurun, atau bahkan kesukaan dan kebiasaan dukun manten semata yang begitu berperan. Bukan hal yang janggal . Keragaman ini juga dijumpai di banyak masyarakat Asia dan selalu berkembang dari waktu nke waktu. Jika pihak keluarga pengantin tidak berhati hati dalam merencanakan dan menyepakati acara perkawinan, potensi pergesekan dari kedua belah pihak selalu saja ada.

Kadang para tetua dalam keluarga tidak menyadari bahwa yang kawin sebenarnya adalah kedua pengantin, dan berkeras pada tradisi dan kebiasaan masing masing. Konflik sampai ke tingkat perang Bubat sih nggak terjadi, tetapi perang bisik bisik selama acara dan sesudah pesta perkawinan sering terjadi. Ini bisa mempengaruhi hubungan baik antara keluarga ke dua mempelai di masa datang. Anda semua pasti sering menghadiri acara pernikahan dan pesta pekawinan, terutama di musim kawin di bulan Desember. Pernahkah anda melihat sedikit gesekan selama acara perkawinan tersebut ?
Seumur umur saya hanya mengalami perkawinan sekali saja. Keluarga isteri saya termasuk pragmatis, nggak pengin ritual macam macam. Ini memperkecil kemungkinan gesekan. Hanya satu masalah (kecil) terjadi tetapi nggak berkepanjangan. Dukun pengantin yang dipilih pihak keluarga Nyi Ageng, menyediakan pakaian pengantin, yang bagian depan sabuk kain yang lebar (saya lupa namanya apa itu), terenda nama sang dukun secara demonstratif “MUKMIN”. Saya minta ganti tetapi nggak ada pilihan lain. Dari pada gagal kawin saya terima pakai pakaian itu, tetapi di foto foto kawin kami, di bagian depan kain saya terlihat jelas nama MUKMIN. Padahal nama saya bukan Mukmin.

Waktu saya harus melempar daun sirih, bulik saya almarhum yang bertugas menggandeng saya keliru memberikan gelintingan rokoknya ke saya , bukan gulungan daun sirih yang telah disiapkan. Beliau memang perokok berat. Saya sempat nggremeng. Beliau tergesa gesa menggantinya dengan daun sirih, juga sambil mengumpat kecil menyadari kekeliruannya, “ Edanane”. Beliau tak biasa berbisik lirih. Tak banyak yang mengamati, situasi tetap terkendali. Sehabis acara ke dua bulik saya nggak bisa menahan gelak malah bilang “ Jangan kecil hati Ki, ini pertanda akan banyak rejekimu nanti “

Pada waktu menghadiri acara perkawinan salah satu keponakan di Solo, lima belas tahun lalu ada sedkit insiden. Dalam kebiasaan keluarga kami, orang tua pengantin lelaki tidak menghadiri riual adat kawinnya. Hanya pada waktu acara resepsi pesta dimulai orang tua mempelai lelaki baru datang dan disambut secara adat oleh orang tua mempelai perempuan. Ini melambangkan bahwa anak laki2 kalau sudah kawin harus mandiri, tak boleh lagi mengandalkan bantuan orang tua.

Dalam acara perkawinan itu, sepupu saya adalah orang tua pengantin lelaki. Sewaktu dia tiba di awal acara resepsi, sesudah ritual kawin selesai, orang tua pengantin wanita tidak keluar menyambut secara adat. Tetapi mengutus adiknya, yang nota bene seorang sinden yang cantik dan elegan. Sepupu saya berang dan menolak wakil keluarga pengantin wanita, minta agar orang tua pengantin sendiri yang menyambut. Pembawa acara agak grogi sebentar, lalu mengalihkan perhatian dengan ura ura (menyanyi lagu Jawa). Insiden tak berlanjut. Orang memang lain lain. Kalau saya sih malah kebetulan, sinden bo !

Saya sendiri sudah mengawinkan kedua anak lelaki saya. Sokur tak ada insiden antar keluarga kedua belah pihak. Salah satu besan saya, mertua anak kedua saya adalah kakak kelas di bangku kuliah. Malah sempat ngobrol dengan teman teman lama sesudah acara selesai. Saya selalu mengingatkan adik saya yang membantu mengkoordinir acara adat perkawinan tersebut, jangan terlalu mendesakkan tradisi keluarga dalam acara. Hubungan dengan besan sangat bagus dan dekat. Toh anak anak dan cucu saya juga akan senang dan bahagia.

Pesan singkat dari tulisan ini adalah agar kita selalu menyepakati acara adat perkawinan antara ke dua pihak keluarga pengantin. Jangan sampai adat salah satu pihak terkalahkan. Semua perbedaan adat dan kebiasaan bisa dirundingkan.
Salam damai dan bahagia. Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media 1 Juli 2007