Saturday, September 29, 2007

Gray''s Anatomy

Salam dari bandara Frankfurt. Jam tujuh pagi. Barusan tiba untuk transit ke Geneva. Ada waktu dua jam lebih menunggu. Semalam berangkat jam sembilan dari bandara Nino Aquino, Manila dengan pesawat Lufthansa. Lumayan bisa tidur lelap dan menikmati dua filem, Mr. Bean dan Gray's Anatomy. Filem kedua dibintangi oleh bintang2 tenar yang menggambarkan cerita ringan pengalaman para calon dokter sewaktu pertama kali kerja praktek di klinik. Cerita ini mengingatkan saat saat saya menjalani kepaniteraan klinik pertama kali di awal tahun tujuh puluhan. Kasus kasus serupa juga kami hadapi waktu itu hanya teknologi diagnostik dan terapi yang diperlihatkan dalam film ini benar2 mutakhir.

Hanya saja judulnya kok nggak pas benar . Gray's Anatomy adalah judul buku teks sekaligus atlas anatomi yang pasti setiap mahasiswa kedokteran di seluruh dunia selalu menekuninya sewaktu mereka mengambil mata kuliah anatomi di tahun pertama atau ke dua. Di Indonesia dan di Eropa mungkin banyak dipakai buku teks/atlas anatomi Spalteholz. Cuma yang terakhir ini harganya memang lebih mahal. Buku buku ini lebih banyak dipakai di tahun tahun awal kedokteran, dan nggak terlalu banyak dipakai waktu para calon dokter masuk praktek klinik.

Dikisahkan ketika para calon dokter ini menghadapi pasien dengan berbagai jenis penyakit pada siklus pertama kerja praktek di rumah sakit. Di Indonesia sering dikenal dengan istilah ko-skap atau kepaniteraan klinik. Beberapa kasus klinik yang ditampilkan adalah khas kasus kasus yang dihadapi dalam pelayanan darurat di rumah sakit. Ada kasus emboli paru yakni masuknya udara ke pembuluh darah paru sebagai komplikasi operasi, aneurisma (pelebaran) pembuluh darah di otak , operasi apendektomi dan lain lain. Pokoknya segala macam kasus sehari hari yang dihadapi dirumah sakit rujukan.

Ingatan saya melayang di tahun 1974. Kejadian yang saya ceritakan ini hanyalah sebagian kecil dari ragam kasus dan peristiwa yang terjadi semasa ke paniteraan klinik Kejadian pertama di rumah sakit umum Klaten, waktu itu namanya belum RS DR Soeradji. Saya menjalani kerja praktek di Bagian Kandungan dan Kebidanan bersama beberapa orang teman. Jika nggak salah kami bertiga atau berempat. Ada seorang dokter asisten ahli, yang sedang menjalani tahun terakhir pendidikan spesialisasi yang juga sedang dinas di rumah sakit tersebut. Dokter S yang menurut hemat kami sangat terampil dan intelligent. Kami semua tidur di rumah sakit. Harus siap 24 jam. Suatu siang ada kasus kehamilan mola. Suatu kelainan kehamilan yang berkembang menjadi tumor seperti buah anggur. Siang hari pasien telah menjalani operasi dengan lancar, tak ada keluhan apa apa. Operasi berjalan lancar. Saya menjadi asisten dua operasi.

Salah satu komplikasi paska operasi yang paling ditakuti adalah emboli pembuluh darah paru. Semua prosedur telah dilakukan dengan lancar termasuk pencegahan komplikasi paska operasi. Dokter S sesaat sesudah operasi mengatakan, semua tindakan yang diperlukan telah dijalankan. Bila komplikasi emboli paru terjadi, angka kematian masih sangat tinggi waktu itu. Sebagian besar kasus emboli paru biasanya gagal teratasi dan meninggal. Sore dan malam itu sangat tenang. Nggak banyak pasien darurat yang masuk. Semua pasien rawat inap terawasi dengan baik. Jam sembilan malam saya masih berkeliling bangsal mencek kondisi pasien terutama yang menjalani operasi atau tindakan di siang harinya.

Jam sebelas malam saya kembali ke kamar. Jam 0230 tiba tiba dibangunkan "Pasien X mendadak nyeri dada dan sesak napas".Saya begitu terkejut dan lari ke bangsal. Saya dapati pasien yang tadi siang menjalani operasi mengangkat kehamilan mola, dalam kesakitan hebat dan sesak napas. Dokter S berlari datang kurang dari lima menit kemudian. Saya sempat berteriak "Dok emboli paru". Hati saya sangat kecut. Terapi yang diperlukan kami berikan termasuk morfin untuk mengurangi nyeri dan pemasangan oksigen. Jam 0300 pasien membaik, tensi membaik, nyeri berkurang dan pasien bisa tertidur kembali. Pasien dalam pengawasan ketat. Kami diharuskan mengontrol setiap saat. Direncanakan untuk merujuk kasus ke rumah sakit yang lebih lengkap di Yogya. Jam delapan pagi sesak napas menghebat dan pasien tak tertolong meskipun semua penanganan yang ada telah diberikan. Semua tercekam kebekuan.

Tak seperti dalam film Gray's Anatomy, di mana para ko-asisten nampak begitu ceria walaupun juga ada kasus yang meninggal, kami bertiga begitu terdiam dan tegang menyiapkan laporan kematian. Ini kasus kematian pertama yang saya hadapi sejak masuk kepaniteraan klinik sejak beberapa bulan lalu. Dokter S nampak tetap tenang dan menyampaikan ucapan belasungkawa ke keluarga pasien. Kami sudah berusaha mengatasi semaksimal mungkin.

Kasus lain yang saya tak akan lupa adalah sewaktu menerima pasien rujukan dari Gunung Kidul di rumah sakit Mangkuyudan Yogyakarta. Suatu sore yang tenang, saya kebetulan jaga dan habis mandi sore hari. Tiba tiba datang kiriman pasien diangkut dengan mobil kolt. Seorang wanita umur antara tiga puluhan dalam proses persalinan. Sebelumnya telah ditangani dukun (laki2). Berdasarkan wawancara dengan suami pasien, rupanya karena persalinan nggak maju dukun mendiagnosa bahwa jalan lahir dihalangi oleh setan. Dukun mendorong perut pasien dengan kaki, dan kemudian terjadi perdarahan hebat. Pasien dalam keadaan syok, tekanan darah sangat rendah. Pemeriksaan memastikan kalau sudah terjadi ruptura kandungan atau dinding kandungan robek. Dokter senior secepat mungkin dilapori tindakan operasi disiapkan.

Saya bertugas menjelaskan ke suami pasien dan mendapatkan persetujuan untuk operasi darurat. Saya ikut sebagai asisten 2 operasi. Operasi bisa dimulai dalam waktu relatif singkat. Sewaktu dinding perut dibuka, nampak jelas kandungan sudah pecah dengan robekan di berbagai tempat. Janin sudah meninggal dan sebagian lengan janin nampak di luar kandungan. Jaringan kandungan sudah sangat rapuh. Nggak mungkin menyambung dengan menjahitnya. Satu satunya cara untuk menyelamatkan nyawa pasien adalah mengangkat kandungan. Tak mungkin memberitahu lagi keluarga pasien oleh karena balapan dengan waktu. Hati saya kecut dan pesimis kalau pasien akan teratasi dengan kondisi kandungan demikian parah. Dukun itu memang keparat. Operasi berjalan baik, kondisi pasien stabil. Pasien sembuh setelah lewat seminggu. Walaupun hanya ko asisten, kami merasa sangat bersyukur melihat pasien pulang dengan kondisi sehat.

Suasana kepaniteraan klinik (internship) memang menarik dalam film. Dalam kenyataannya tidaklah seceria yang dibayangkan. Dari hari ke hari tekanan datang silih berganti. Pasien gawat datang silih berganti. Kadang berhasil ditangani kadang kadang gagal. Sering dampak psikologis menyaksikan saat saat terakhir pasien menghembuskan napas, tidaklah mudah hilang dari ingatan.

Saya menyelesaikan tulisan ini di Geneva sambil mengikuti rapat. Baru sadar kalau kaca mata saya ketinggalan di bandara Frankfurt sewaktu kontrol keamanan sebelum masuk anjungan keberangkatan. Luftansa katanya mau ngirim kok belum ada berita.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Klom Kita Kompas Cybermeda, 29 September 2007)

Thursday, September 27, 2007

Plesetan - jamane jaman edan

Beberapa waktu ini saya sering merenung memikirkan perjalanan hidup, tentang filsafat hidup. Konon semakin tua orang harus semakin bijak menyikapi sesuatu. Petuah Jawa bilang 'Aja dumeh". "Aja kagetan lan aja gumunan". Jangan takabur. Jangan gampang terkejut dan terheran heran. Sikapilah segalanya dengan tenang dan bijak. Namun tak gampang selalu bersikap bijak dan tenang di dunia nyata yang begitu hiruk pikuk.

Dalam kehidupan filsafat Jawa, banyak petuah mulia yang dirangkai dalam kata kata mutiara yang indah. Maksudnya ya supaya semua orang tertarik dengan keindahan kata kata tersebut dan mengamalkan isi petuahnya di dunia nyata. Tetapi manusia selalu saja beragam. Apa yang indah dalam dunia filsafat tak selalu dibawa dalam dunia nyata. Dalam lingkungan kebudayaan populer masa kini kadang kadang petuah petuah bagus yang dirangkai dalam kata kata indah tersebut sering di-plesetkan, dibelokkan secara sengaja sehingga arti melenceng dari arti sebenarnya. Hanya beberapa contoh berikut ini.

"Sugih tanpa bondho", terjemahannya "kaya tanpa harta". Maksudnya supaya orang juga bisa merasa kaya karena karya dan karena kebajikannya, bukan semata mata karena harta dan kekayaan. Tetapi kadang orang melencengkan artinya. Kalau harus kaya tanpa harta, ya mungkin lebih baik nyolong atau korupsi. Orang berlomba menumpuk harta dengan jalan korupsi dan penyelewengan. Tak jauh jauh, dalam UUD 45 dikatakan bahwa 'Perekonomian Indonesia disusun berdasarkan atas usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan dan gotong royong". Tetapi apa nyana, banyak penguasa dan pejabat melakukan penyelewengan dengan memberikan kesempatan kepada anggota keluarganya untuk berbisnis ria melalui kewenangan yang dipegangnya. Mulai dari penguasa nomer satu sampai yang paling bawah sekalipun.

"Alon alon waton kelakon", atau pelan pelan asal kesampaian, sebenarnya dimaksudkan agar orang melakukan sesuatu secara hati hati. Tidak grusa grusu dan tergesa gesa. Tetapi mungkin ini banyak diselewengkan sebagai alasan untuk bermalas malasan. Saya selalu diolok olok oleh teman2 dari Jakarta, orang Yogya sukanya naik andhong, alon alon waton kelakon. Tetapi di bidang saya saya tak pernah merasa kecil dengan olokan tersebut. Bagian yang saya pimpin di Yogya dulu toh bisa tampil di dunia global dengan prinsip tersebut. Semua langkah dipertimbangkan secara seksama. Di bidang kesehatan angka harapan umur di Yogya paling tinggi di Indonesia. Juga angka kematian bayi di bawah satu tahun (infant mortality rate).

"Tut Wuri Handayani" merupakan petuah bagi pendidik untuk tidak mendikte anak didik. Tetapi selalu mendorong anak didik untuk maju ke depan. Anak didik tak harus mengikuti sang guru dari belakang semata mata. Ini adalah prinsip pendidikan Sokratik yang telah di terapkan ribuan tahun sebenarnya dalam pendidikan filsafat di padepokan2 Jawa masa lalu. Di abad modern ini kata kata ini begitu indah dan diterapkan di semua lini di luar pendidikan. Kalau para pelatih atlet lari kita menerapkan petuah ini bagi pelari pelarinya, mana mungkin atlit kita akan menang. Sampai kiamat kita nggak akan menang marathon atau balapan lari.

Petuah lain yang saya juga nggak begitu mendalami artinya yalah "Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake" . Terjemahannya 'menyerbu tanpa balatentara, menang tanpa harus mengalahkan". Maksudnya sebenarnya kita bisa saja memenangkan suatu perbedaan dengan bijaksana, tanpa lawan kita merasa dikalahkan. Mungkin dalam dunia modern sekarang maksudnya tak jauh dengan "Win win solution". Jelas maknanya.
Tetapi plesetan sering mengatakan "Nglurug tanpa bala, kalah tanpa ngasorake". Menyerbu tanpa kawan, kalah tanpa memenangkan sesuatu. Pelatih pelatih bola supaya menghindari jauh jauh petuah ini dan tidak menerapkannya dalam pola permainan sepakbola modern.

Bebera waktu saya mengantar seorang tamu pejabat putri dari salah satu negara di Asia Tengah. Makan malam kemudian lihat ball room. Ada beberapa pertunjukan yang sangat menarik. Salah satunya adalah tarian samba yang sangat ritmis. Ada beberapa penari putri yang gerakannya sangat indah dan susah diterangkan. Saya sampai tertegun, kok bisa gerakan tubuh begitu indah, meliuk liuk kaya ular mengikuti irama musik. Walau saya berupaya tegar "Aja kagetan lan aja gumunan", tetap saja saya tertegun dan terheran heran menyaksikannya. Kok bisa ya? Penarinya memang bukan penari Jawa yang lemah gemulai. Penari2 tersebut adalah penari2 yang akan ikut kejuaraan Asia. Jarang bisa lihat kesempatan seperti itu. Bukan dosa besar, walau pakai embel embel Ki Ageng-pun, ternyata harus banyak belajar untuk tidak gumunan dan tidak kagetan menghadapi tanda tanda jaman.

Jamane jaman edan, bo!.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cybermedia 25 September 2007)

Friday, September 21, 2007

Pagi yang cerah

Kami berjalan bersama. Di pagi yang indah. Di antara pematang sawah dan ladang yang permai. Dia berlari lari kecil. Bernyanyi nyanyi riang walau lafalnya nggak jelas benar. Bermain menatap langit. Menggapai awan. Kadang kadang dia menggapai tanganku "Pa, bawalah saya ke langit. Saya ingin tiduran di antara awan itu". Permainan lamunan rutin yang selalu kami lakukan, saya bersama anak anak. "Saya ingin sama bapak dan ibu mendaki gunung itu. Akan kubelai awan di puncak puncak gunung itu''.

Tangan tangan kecilnya selalu sibuk. Melambai, meraih sesuatu, menggapai tanganku. Dia memang sedang menikmati panorama. Menikmati semua gerakan, dan kegiatan hidup disekitarnya. Suaranya tak juga berhenti bernyanyi tanpa nada jelas. Hanya nada kegembiraan semata.

Pagi itu seperti pagi pagi biasanya. Kami berjalan jalan berdua. Ibunya di rumah. Anak anak yang lain tidak ikut. Mereka telah punya acara sendiri dengan teman tetangga. Kami menelusuri jalan jalan kecil di desa. Udara cerah,begitu indah. Langit tak bertepi, lamunan tak berhenti. Kami menikmati pagi yang indah dan damai.

"Haus pak " teriaknya. Lupa nggak bawa air minum. Mampir di warung kecil di ujung desa. Ada beberapa makanan kesukaanya. Dia masih senang makan. Umurnya belum genap sepuluh tahun memang. Selalu suka bercerita. Selalu suka ngomong. Di warung itu banyak sekali pertanyaannya ke penjual makanan. Bilangnya sesudah keluar dari warung 'Penjual makanan itu pasti senang. Bisa makan kueh terus tanpa bayar.

Kami berjalan sepanjang tepi selokan Mataram. Air mengalir tenang.. Dia bermain main air dengan patahan ranting bouginvilla. Saya mengingatkan agar hati hati. Berjalan ringan menelusuri tepian desa. Lewat kampus Bulaksumur. Masih sepi. Tak banyak manusia. Tak banyak kendaraan. Tanaman menghijau di sela sela bangunan dan jalan jalan kampus.

Bertemu beberapa kawan sekantor yang juga sedang jalan jalan pagi. "Kami libur. Laporan laporan penelitian semua sudah selesai. Menunggu proyek baru". Mereka nampak begitu relaks. Nggak kelihatan tegang karena dikejar kejar deadline. Hidup nampak ringan dan mulus. Tak terlihat tekanan.

Da masih berlari lari riang. Menikmati pagi yang cerah. Perhatiannya begitu intens mengejar kupu kupu yang beterbangan di antara bunga bunga biru itu. Saya terlena ngobrol dengan kolega yang bekerja di bekas laboratorium yang saya pimpin dahulu.

Tiba tiba anakku menjerit. Dia terjatuh mengejar kupu kupu itu. Saya dekati dan saya angkat dia di lenganku. Saya petik bunga biru itu. Sebentar kemudian dia sudah tertawa lagi. Dia ceria lagi dan teriak " Pak pulang saya kangen Ibu"

Tiba tiba terhenyak. Terjaga dari mimpi indah itu. Terduduk l;emas. Saya tersedu di pagi yang cerah merindukan saat saat indah seperti dalam mimpi tadi. Saat saat bermain dengan dia, sewaktu masih kecil. Saya tak kuasa berbuat apa. Dia telah pergi sepuluh tahun lalu. Kecelakaan itu telah merenggut semua kebahagiaan dan impian yang ada. Saya tilpon Nyi pagi itu. "Moko datang dalam mimpiku". Jawabnya terisak " Berdoalah, bulan puasa dia selalu akan datang". Dia datang hanya dalam impian sesaat. Dalam lamunan berkepanjangan. Impian impian indah itu selalu saja datang. Membawa kenangan indah, kebahagiaan masa lalu. Namun selalu meninggalkan kepedihan yang mendalam. Sepanjang perjalanan waktu. Ya Tuhan , berikan dia kedamaian di sisiMu.


Ki Ageng Similikithi


(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber media 22 September 2007)

Bangun siang & tidur siang akhir pekan

Sabtu pagi di Jeju, Korea. Jam tujuh pagi, matahari belum juga muncul. Cuaca mendung di luar. Hujan rintik rintik sejak kemarin siang. Pemandangan laut lepas lewat jendela kamar hotel. Tak ada yang membatasi. Tak ada yang menghalangi. Suasana syahdu dalam siraman hujan ringan. Segar menyiram bumi. Tak mendera liar bersama angin. Seminggu ini di Jeju, mengikuti rapat antar negara negara Pasifik Barat untuk kebijakan bidang kesehatan. Pertemuan selesai hari Jumat siang kemarin. Selesai acara makan siang sebenarnya ada acara tour. Batal karena hujan. Tetapi saya tetap bersyukur karena bisa menikmati keindahan dan ketenangan Jeju, walau hanya lewat jendela kamar hotel.

Pulau Jeju yang indah dan alami. Nampak sangat bersih dan teratur asri. Tak sempat kemana mana. Hanya berkisar dari kamar hotel ke International Convention Centre. Berangkat pagi pulang sore, malam hari harus ikut acara makan malam. Selalu tegang dikejar laporan dan tanya jawab mengenai perkembangan program yang harus dilaporkan ke negara negara anggota. Para menteri kesehatan atau wakilnya, mewakili masing masing negara. Kemarin kemarin ketika sidang masih berjalan, rasanya pengin sekali menikmati bangun agak siang. Hanya bangun tidur agak siang kemudian malasan malasan di kamar sambil lihat TV.

Pagi ini ternyata sejak jam setengah lima sudah terbangun dan nggak bisa tidur lagi. Semalam tak bisa juga tidur pulas, beberapa kali terjaga. Gejala alamiah umur lewat setengah abad. Buyar keinginan bangun siang dan malas malasan pagi hari di tempat tidur. Tak apa, toh bisa menikmati pemandangan laut dengan ombak gemuruh di bawah sana. Sambil menghabiskan waktu menunggu waktu berangkat ke bandara, saya menulis untuk Koki. Lebih seminggu nggak sempat buka Koki.

Sejak kecil kami bersaudara terbiasa atau terpaksa harus bangun pagi benar. Di awal tahun enam puluhan, di desa di Ambarawa, kami harus bangun jam empat pagi, untuk memerah susu. Ada puluhan ekor sapi yang harus diperah. Hanya berdua dengan adik saya. Tukang hantar susu biasanya datang jam setengah enam pagi, dan dia juga nggak bisa memerah sapi. Kemudian jika pas musim vanili berbunga kami harus mengawinkan bunga bunga vanili itu. Waktunya sempit sekali, hanya antara pukul setengah enam sampai jam enam. Bunga vanili jika tidak dikawinkan setelah merekah akan cepat layu. Biasanya lewat jam tujuh pagi jika kena sinar matahari, kelopak sudah mulai layu dan susah dikawinkan. Jam setengah tujuh kami harus berangkat sekolah berjalan empat kilometer ke Ambarawa. Jalan masih sepi nggak banyak kendaraan umum lalu lalang seperti saat ini.

Kami bangun ketika burung burung srigunting mulai berkicau saat fajar menyingsing. Burung burung lain seperti kacer, kutilang bangun agak siang sekitar jam enam sesudah matahari mulai terbit di ufuk timur. Setiap kali mendengar suara srigunting dan harus bangun, saya selalu membayangkan alangkah enaknya bangun agak siang. Hasrat ini selalu datang dari waktu ke waktu sampai di usia lanjut kini walau sering tak kesampaian. Alangkah nikmatnya bisa tidur pulas sampai siang. Saya kadang iri melihat anak anak saya atau keponakan, mereka bisa bangun siang di akhir pekan, walau pekerjaan mereka juga begitu sibuk menyita waktu. Sering ketika saya telpon jam delapan pagi Sabtu atau Minggu, mereka masih tidur.

Sewaktu masih di Yogya, jam kerja mulai pukul 0700 dan sebelumnya harus mengantar anak anak ke sekolah. Harus berangkat sebelum jam setengah tujuh, mengantar anak anak ke sekolah yang berbeda. Sekolah Dasar IKIP di Bulaksumur, SMP 1 di muka RS Panti Rapih dan SMP 5 di Kridosono. Bangun harus jam setengah enam. Gantian kamar mandi sama anak anak, oleh karena hanya ada dua kamar mandi di rumah. Untung waktu itu jalan nggak sepadat sekarang. Anak anak bisa sampai di masing2 sekolah sebelum jam tujuh. Saya nggak membayangkan mereka yang tinggal di pemukiman jauh dari tempat kerja, jam berapa mereka harus berangkat kantor. Jam berapa mereka sampai rumah sore atau malam hari ? Apalagi jika suasana macet, berapa banyak waktu hidup kita hilang di perjalanan yang melelahkan dari hari ke hari.

Kini di Manila ada flexy time, bisa mulai ngantor jam setengah sembilan. Jam kerja normal mulai jam tujuh. Namun rasanya susah untuk bangun siang. Selalu terjaga sebelum jam setengah enam walau sering masih ngantuk. Hanya akhir pekan ada kesempatan bangun siang, terutama di hari Minggu. Hari Sabtu malah kadang harus bangun pagi2 jika mau main golf, apa lagi jika main di luar kota. Kesempatan bangun siang biasanya hanya ada di hari Minggu. Nyi Ageng biasanya habis sholat pagi mulai berisik didapur atau lihat TV, drama filem Korea. Acara bangun siang selalu tak kesampaian.

Tiga tahun lalu, kami pernah berdua ke Hongkong akhir pekan, rasanya pengin sekali tiduran di kamar hotel, hujan kepagian. Tiba tiba saja Nyi Ageng pengin lihat marathon massal di luar sana. Pikir saya marathon di mana mana ya sama, pagi2 hujan gitu kok pengin keluar lihat orang marathon. Padahal acaranya juga disiarkan TV. Akhirnya acara malas malasan di tempat tidur gagal total. Di bawah hujan rintik rintik kami menyaksikan start marathon. Ada sedikit insiden, kami berdua ikut antrean panjang manusia. Saya kira antre mau lihat marathon, tahunya antre ke WC. Enak menyaksikan lewat TV dari kamar hotel sebenarnya. Apa oleh buat, nggak semuanya selalu indah dalam hidup ini.

Bicara tentang tidur siang, jika tak ada acara, Sabtu sore atau Minggu sore adalah waktu paling pas untuk menikmati tidur siang. Sejak kecil saya tak terbiasa tidur siang. Hanya sewaktu kuliah di Yogya saja kadang kadang tidur sore jika tak ada praktikum. Waktu itu masih di pondokan. Sewaktu masa kecil di Ambarawa, nggak ada acara tidur siang. Nggak mungkin tidur siang. Hewan piaraan terutama lembu itu nggak bisa ditinggalkan untuk tidur siang. Acara tidur siang hanya untuk anak anak kota. Di daerah saya di desa dulu, para petani berangkat pagi2 sekali ke sawah sebelum matahari terbit. Kemudian pulang sarapan kira kira jam sepuluh sambil istirahat siang oleh karena hawa siang hari terlalu panas untuk bekerja di lapangan. Sebagian mungkin akan tidur sebentar. Siang hari sesudah jam dua, mereka kembali ke sawah sampai kira kira jam lima sore. Begitu irama waktu dari hari ke hari.

Di kalangan sebagian masyarakat kita tidur siang adalah kebiasaan yang tak bisa ditinggalkan. Juga di negara negara lain di Asia atau di Eropa Selatan, tidur siang adalah bagian siklus keseharian. Dalam situasi dunia kerja masa kini, buat mereka yang bekerja di kantor atau di dunia usaha, agak sulit menikmati tidur siang. Jaman dulu kantor mulai jam 0700 sampai jam 0200 siang. Pulang kantor masih bisa tidur. Namun kantor kantor sekarang umumnya sampai jam empat atau lima sore. Nggak ada kesempatan tidur. Hanya secara kebetulan karena kemacetan jalan, ada yang bisa memanfaatkan waktu untuk tidur selama perjalanan. Beberapa bulan lalu ada berita di CNN kalau ada kantor swasta di Amerika yang mengijinkan karyawan tidur siang di kantor selama setengah jam semasa istirahat makan siang. Kabarnya bisa meningkatkan tingkat produktifitas karyawan.

Di waktu saya masih mengajar di tahun delapan puluhan, ada mahasiswa yang protes karena saya minta seminar sore hari sesudah acara kuliah, antara jam 3 sampai jam 4. Katanya mengganggu waktu tidur sore hari. Juga seorang teman dosen yang mengeluh saya undang rapat jam dua sampai jam tiga. Jam jam tidur siang. Kadang kita lupa kalau acara tidur siang sudah demikian mengakar untuk sebagian dari kita. Terbawa sejak kecil. Nggak tahulah memang banyak yang berbeda dan banyak yang berubah, meskipun hanya acara bangun pagi dan tidur siang.

Semalam saya kembali tiba di Manila. Lepas tengah malam. Tadi pagi bangun jam enam, Pengin bangun siang sebenarnya. Kira kira jam sembilan ada langganan pijat yang selalu datang di hari Minggu. Habis pijat bisa tidur sampai siang. Jam tiga mulai meneruskan tulisan ini. Salam hangat untuk anda semua, selamat menikmati bangun siang dan tidur siang di akhir pekan.

Ki Ageng Similikithi (bs2751950@yahoo.com)

(Dimuat di kolom Kita Kompas Cyber media 17 September 2007)

Friday, September 14, 2007

Puisi ibu Nana

Marhaban Ya Ramadhan,

Tergugu aku mendekap kalbu
Bagaikan seonggok debu
aku merangkak pilu keharibaanMu
Ya Robbi.......bahagia hati ini
menyambut Ramadhan tiba
mengisi detik demi detik waktu
sebelum ajal menjemputku

Ya Robbi, aku bahagia
Ijinkan kulalui Ramadhan ini
dengan keagunganMu
dengan kasih sayangMu
dengan berkah rahmatMu
dengan pengampunanMu
menyebut Asmamu, Allahu Akbar......

Nana, Indramayu 10-Sep-07,



Buat Emak

Jejak kaki tlah menapak
dalam deretan rumah-rumah kumuh yang bersahaja
Sesosok wanita tua renta duduk diberanda menatapku ramah,
Sebuah senyum tulus menyapaku,
Senyum itu membuatku terperangah,
Membuatku rindu untuk selalu melihatnya

Aku panggil dia Emak,
Seorang wanita tua renta yang hidup sebatang kara
Disebuah gubuk tua yang bersahaja
Dipinggir rumah-rumah gedong yang mentereng

Emak,
Setiap hari aku melintas didepan rumahmu
Setiap hari pula aku merasa kehilangan jika sosokmu tiada
Aku selalu rindu dengan senyummu
Ada pendar bahagia diwajahmu itu
Ada rasa sejuk diwajah tuamu

Emak,
Aku tak akan pernah melupakanmu

Friday, September 7, 2007

Lamunan di antara lembah dan bukit

Salam hangat untuk semua. Cerita kali ini tentang lembah, gunung dan bukit. Tentang alam dan lingkungan alam. Saya dibesarkan di kaki perbukitan. Di tepian hamparan lembah yang indah. Saya selalu mempunyai kesan khusus tentang bukit, tentang gunung dan lembah. Di masa kecil lamunan selalu merayap menelusuri lembah itu, merayapi bukit bukit dan gunung di sekitarku, melanglang langit dan menembus cakrawala. Dalam lamunan, langit memang tak berbatas. Gunung dan bukit yang tinggi dapat dengan mudah kita lewati. Melanglang dunia, membayangkan keindahan alam. Walau hanya lewat lamunan.

Lembah atau dataran tinggi Ambarawa adalah yang paling dekat dengan emosi saya. Memasuki Ambarawa dari arah Magelang, dari ketinggian perbukitan di Bedono anda akan melihat hamparan lembah di bawah. Di bawah sana terlihat Rawa Pening. Sayang rawa itu semakin mengering kini. The drying water, the crying water. Mungkin tak seindah bayangan anda. Tetapi bagi saya yang dibesarkan di daerah ini, lembah Ambarawa adalah tujuan lamunan di waktu kesepian dulu. Terutama waktu waktu pertama tinggal di Solo di tahun enam puluhan. Solo yang ramai dengan gelak tawa manusia, begitu kontras dengan bukit bukit sepi di sekitar desa saya.

Ada sepasang gunung di Selatan lembah, Telomoyo dan Gadjah Mungkur. Gunung Telomoyo adalah bagian dari rangkaian gunung berapi Merapi, Merbabu, Telomoyo dan Ungaran ((http://www.langsing.net/gunung/telomoyo/telomoyo.html). Saya selalu menatapnya dari depan beranda rumah tua. Atau dari bukit dibelakang rumah saya. Dua gunung itu begitu tenang sepanjang jaman. Sejak jutaan tahun lalu, mungkin tak berubah. Kedua gunung itu begitu teguh, diam membisu. Tak pernah bergejolak, tak pernah meletus. Seumur umur saya belum pernah mendaki puncak kedua gunung itu, walau sering mengunjungi desa desa di lerengnya. Jika anda mengendarai mobil antara Magelang dan Salatiga lewat Kopeng, seolah anda melihat puncak puncak gunung itu di sebelah anda. Seperti perjalanan ke Nirwana.

Di sebelah utara arah ke barat di atas Ambarawa, anda bisa menuju Bandungan dan Sumowono. Di antara kedua kota kecamatan ini ada bangunan candi kuno yang sangat magis dan indah di bukit Gedong Songo. Ada sembilan candi indu di situ yang sudah berumur hampir 1500 tahun. Seperti nenek moyang bangsa2 Indian dan Asia lainnya, nenek moyang kita mungkin berpikir bahsa semakin tinggi semakin dekatlah manusia dengan Sang Pencipta. Saya selalu membawa teman2 dari luar Indonesia untuk berkunjung ke sini. Candi yang sering diselimuti kabut itu memberi kesan sakral dan magis) .

Di tahun 1998, seorang teman antropolog dari Belanda, yang kelahiran Balikpapan, begitu terpesona menatap candi yang berselimut kabut di antara hutan pinus. Ada rasa aneh, rasa magis yang merasuk. Nggak tahu, mungkin karena belerang atau yang lain. Persis seperti perasaan yang anda alami sewaktu melewati dataran tinggi Dieng, seolah masuk ke alam lain, alam Nirwana. Saya beberapa kali naik mobil lewat jalan jalan terjal perbukitan dari Sumowono ke Temanggung. Pemandangan menakjubkan.

Salah satu bukit yang selalu datang dalam impian saya adalah gunung Kendalisodo di sebelah timur laut Ambarawa. Gampang di capai lewat Ambarawa. Dari gunung kecil itu pandangan lepas ke bawah ke arah utara. Saya mengunjungi bukit ini pertama kali di tahun 1963. Masih penuh belukar waktu itu dengan pohon jambu mete di punggungnya. Mungkin tak indah sekali, tetapi tak tahulah, banyak kali saya bermimpi indah mengenai bukit ini.

Gunung Merapi dan Merbabu selalu nampak mesra sepanjang masa. Ada novel di tahun tujuh puluhan berjudul Semesra Merapi Merbabu. Pasangan gunung itu memang nampak mesra. Walaupun Merapi sering muntab, meletus, tetapi Merbabu tak pernah bergeming. Selalu diam dan sabar dan tak terpancing. Alangkah bahagianya seseorang yang mempunyai pasangan demikian sabar dan tenang. Cuek sepanjang jaman. Tetapi itu memang gunung, mau bisa apa. Lain gunung lain manusia. Gunung nggak pernah nggosip, nggak pernah punya TTM, nggak pernah kopdar. Jika sedang meradang pemandangan lava pijar yang mengalir dari puncak Merapi begitu jelas di lihat dari arah Yogya atau Magelang. Nampak mempesona dari jauh. Namuan tak terbayangkan daya rusaknya yang maha dahsyat. Itulah salah satu alasan mengapa kerajaan Mataram kuno pindah ke Jawa Timur seribu tahun lalu.

Di sebelah Timur Yogyakarta ada bukit Boko. Di puncak bukit ini terdapat bekas keraton Ratu Boko). Keraton Boko adalah kerajaan Hindu terakhir di Jawa. Dari halaman bekas keraton ini anda akan melihat betapa arsitek2 di jaman dulu begitu titis ( tepat) meletakkan lokasi pembangunan candhi Sewu dan Prambanan di antara lokasi gunung Merapi, sungai dan bukit2 di sekitarnya. Ada banyak bukit kapur kecil2 terserak di lembah yang luas. Saya nggak tahu mengapa begitu. Mungkinkah ledakan gunung Merapi jutaan tahun lalu menyisakan bukit2 kapur yang terserak di lembah di sekitar Yogyakarta ?

Pasangan gunung ang memukau adalah Sindoro dan Sumbing di Kedu. Jika anda dari Magelang ke Wonosobo, anda akan melihat pasangan gunung yang indah ini. Datanglah ke Magelang, ke Temanggung dan Wonosobo. Anda akan melihat keindahan alam di bawah naungan kedua gunung itu. Saya membayangkan nama Temanggung pertama kali sewakktu membaca novel karya Mas Rapingun terbit tahun tiga puluhan yang berjudul Ngulondoro (Mengembara). Dia menceritakan pengembaraanya ke Solo waktu itu. Saya hapal daerah ini sewaktu melakukan penelitian lapangan di Kali Angkrik, Magelang dan Karang Kobar di Banjarnegara, mengenai migrasi gena metabolisme asetilasi di Indonesia, di tahun delapan puluh satu.

Di Magelang ada bukit indah di tepi kota, Gunung Tidar. Orang Magelang percaya inilah pakunya tanah Jawa, yang menstabilkan Jawa. Sayangnya bukit ini tertutup untuk umum. Hutan pinusnya merupakan kisah sukses penghijauan. Di kaki bukit ini terletak Akademi Militer.

Saya yakin masih banyak bukit, masih banyak gunung dan lembah yang indah di sekitar anda. Nikmatilah keindahan itu, cintailah kedamaian di situ. Pesankan kepada anak anak muda untuk mencintai keindahan lembah, dan bukit. Pesankanlah agar mereka mencintai lingkungan alam sekitar mereka.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media 4 September 2007)

Thursday, September 6, 2007

Melati malam hari


Minggu lalu saya cerita tentang bunga. Tentang emosi dan perasaan berkait dengan bunga. Cerita kali ini tentang melati. Melati di malam hari yang selalu menghembuskan bau lembut. Di malam yang sunyi, di malam yang syahdu. Seolah menyapa dunia, menyapa manusia lewat bau. Lewat perasaan yang terkait dengan aroma lembut itu. Tak peduli siapa atau peristiwa apa yang terjadi di sekelilingnya. Melati di malam sunyi selalu menyapa mesra. Salam persahabatan. Salam perdamaian dan kasih sayang. Bersama tiupan angin malam. Cerita ini juga berkait kisah “Senyum dari Balik Tirai Kelambu” (http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.detail&id=38755§ion=95) Pertemuan pertama dan perkenalan dengan gadis MUR. Yang senyumnya begitu mempesona. Tiga puluh lima tahun lalu.

Ada beberapa komentar lewat email sesudah cerita itu. Kok ceritanya nggak tuntas ? Bagaimana kemudian si mbaknya yang tersenyum dan muncul dari balik pintu itu ? Gimana sih kok didiamkan saja ? Lha mau diapakan ? Baru ketemu pertama kali, masak suruh macam macam. Asal gempur ? Sori mek sori !. Nggak nyeni. Nggak ada romantisnya. Juga perlu tahan harga dong. Dan cerita itu memang sengaja hanya ingin mengenang momen itu saja. Saat dia tersenyum dan muncul dari balik pintu. Senyum yang tak pernah lekang karena perjalanan waktu. Senyum yang selalu merekah. Terutama di bulan muda yang cerah.

Kira kira seminggu setelah perkenalan itu, malam malam saya kembali mengunjunginya. Kunjungan yang ketiga. Kali ini saya datang bersama dengan teman karib satu kost, almarhum Aji. Aji meninggal beberapa tahun lalu karena kanker paru. Dia seorang doter gigi. Kami datang berdua naik motor. Ke pondokan di jalan Gadjah Mada, di dekat bioskop Permata.

Menunggu sesaat di ruang tamu. Ruang temaram dengan listrik dua puluh lima watt. Suasana romantis, mungkin karena tataannya atau karena lampu temaramnya. Ini salah satu nilai positip PLN. Membuat banyak ruang kost temaram dan romantis bo ! Ternyata masih ada positipnya juga walau banyak kritik dan keluhan. Tirai itu masih juga seperti minggu kemarin, warna hijau. Ada rumpun melati di muka kamar tamu, sebelah kanan pintu. Berbunga segar dan terawat apik. Melati itu seolah tersenyum, mengucap selamat datang anak muda. Salam persahabatan.

Sesaat kemudian dia muncul. Dari balik kelambu. Lagi dengan senyumnya yang ceria. “ Hai, apa kabar?” Sejenak Ajie terkejut mendengar sapaan akrab itu. Entah apa pikirannya waktu itu. Sewaktu pulang dia bilang, “Kok kalian kelihatan sudah demikian dekat. Hati hati bung, jangan jangan mau jadi serius. Tahan harga dulu ”. Ah, saya hanya mengikuti perjalanan sang waktu. Biarlah segalanya berjalan alamiah. Tak ada yang dikejar dan tak ada yang ditunggu. Cinta dan persahabatan kadang tak berbatas tegas. Hanya waktu yang menentukan. Keduanya bersatu dalam jiwa.

Kami terlibat pembicaraan akrab. Mengalir seperti air. Spontan nggak ada yang dipaksakan dan nggak ada skenario. Ibarat orang pidato, tanpa teks. Aji dari Solo. Pria Solo selalu pintar bercerita. Bercerita tentang taman Jurug di tepi bengawan Solo, tentang taman Sriwedari, tentang taman Tirtonadi dan lain lain yang khas tentang Solo dan nggak ada di Pekalongan.

MUR asli Pekalongan dan kuliah di AKUB di Purwanggan. Mendengar tentang Solo, kelihatannya dia gembira luar biasa. Apa lagi mendengar yang nggak ada di Pekalongan. Tentang keraton, di Pekalongan nggak ada sunan, nggak ada keraton. Kalau Kyai banyak. Tentang lagu Bengawan Solo dan Tirtonadi, layaknya lagu kebangsaan orang Solo. Seperti anak mendengar dongeng. Heran, pada hal teman MUR katanya banyak berasal dari Solo.

Sebagian yang diceritakan Aji, hanyalah kenangan bagi banyak orang Solo. Taman Tirtonadi, sudah nggak ada bekasnya, dipakai untuk standplaat bis. Taman Sriwedari, hanya tinggal gedung wayang orang saja. Nggak tahu sekarang. Solo memang selalu cepat berubah dan banyak berubah dari waktu ke waktu. Kota romantis. Datanglah ke Solo jika anda sedang berkasih.

Cerita habis tentang Solo. Cerita tentang Ambarawa nggak menarik untuk melancarkan awal perkenalan dengan seorang gadis. Apa mau cerita tentang sapi sama kambing ? Nggak marketable. Mau cerita tentang bunga kopi ? Susah menggambarkannya. Tentang Rawa Pening ? Nggak se romantis Bengawan Solo. Penuh eceng gondok. Mana ada lagu tentang Rawa Pening? Pikir pikir, toh saya juga sempat di Solo tiga setengah tahun. Bolehlah. Di tahun 1970, saya kenalan sama seorang mahasiswi asal Semarang. Dengar cerita tentang lembah Ambarawa yang indah, malah mencibir dia. Dua kali datang, habis itu kapok saya. Sebagai pria kelahiran Ambarawa, hati saya tertusuk ilalang.

Kami pamitan menjelang jam sepuluh malam. Dia tanya, Sabtu malam acaranya kemana ? Saya bilang sambil lalu, mau ke Bulak Sumur, ada fashion show di University Club. Sewaktu mau pulang , baru tahu kalau tutup bensin sepeda motor Aji, hilang dicuri orang. Motor memang di parkir di tepi jalan. Banyak orang lewat dan kami asyik ngobrol. Besoknya terpaksa ke pasar Beringharjo, pasti ada tutup bensin bekas pakai atau bekas curi di tukang loak. Kalau mau serius cari pacar tetap memang harus investasi. Ini bagian dari investasi jangka panjang.

Sabtu petang jadi ke Bulaksumur, bersama teman satu kost yang lain, Dharma. Aji punya pacar di Solo, dia pasti balik ke Solo setiap akhir pekan. Bimbang mau ke tempat MUR. Pantangan malam Minggu ke tempat gadis, jika belum menjurus ke arah hubungan serius. Singkat cerita, saya pergi bersama Dharma lihat fashion show. Seumur umur hanya lihat show lewat televisi (hitam putih waktu itu). Pikiran saya nggak tertuju sepenuhnya ke acara show. Walau sebenarnya sangat mengasyikkan. Pikiran saya selalu ke gadis MUR, mengapa dia tanya apa acara Sabtu malam ? Jangan jangan ini isyarat kalau masih prei malam Minggu ya, belum ada yang ngapeli.

Entah berapa gadis dan pria model melenggak lenggok di catwalk. Ada dua hal yang saya masih ingat benar. Seorang mahasiswi Kedokteran Gigi, yang tinggi semampai memperagakan pakaian malam dengan anggun. Dengan punggung terbuka. Teman saya Dharma dan penonton2 lain, begitu tergiur, berdiri pengin mendekat ke cat walk. Saya tarik untuk duduk kembali. Pakaian malam dengan punggung terbuka, memang nampak anggun. Tetapi nggak pas. Banyak nyamuk demam berdarah di Yogya waktu itu.

Hal lain yang menarik, sewaktu seorang mahasiswa Kedokteran adik kelas saya dua tahun naik panggung, penonton bersorak ramai. Entah karena lucu atau aneh. Mahasiswa dengan rambut kribo, seperti Ahmad Albar, berjalan melenggak lenggok lenggok kayak perempuan di cat walk. Gayanya memang boleh. Tetapi laki2 goyang pinggul belum biasa waktu itu. Nggak seperti sekarang, mau goyang pinggul, mau goyang pantat, mau laki, mau perempuan, siapa peduli. Kami pulang lepas jam sembilan malam. Pondokan saya di Patangpuluhan. Tetapi sengaja pulang mutar lewat jalan Gadjah Mada. Jangan jangan dia di beranda depan. Siapa tahu. Ada beberapa gadis duduk duduk di beranda depan. Namun tak ada nyali untuk mampir.

Esok petangnya saya datang ke sana. Dengan harapan. Dengan cerita tentang acara malam Minggu di Bulaksumur. Tentang lenggak lenggok di catwalk. Cerita tak menarik. Tak seperti cerita tentang Solo. Kami duduk di luar. Berdampingan di bangku kayu. Ada rumpun melati. Ada bunga mosaenda. Sirih Belanda. Tak banyak bercerita. Hanya menikmati bisikan angin dan sapaan melati. Malam itu terasa sunyi mengekang. Saya tak sanggup bercerita segar. Hanya bertukar kata demi kata. Pikiran melayang entah kemana.

Lepas jam sembilan saya pamit. Dia masih banyak diam. Mengantar di pintu pagar. “Kalau nggak ada acara datanglah ke sini hari Sabtu petang”. Saya terkaget kaget. Tetapi batin bernyanyi. Ada acara tetap malam Minggu. Nggak hanya tiduran kamar kost. Sepi. Tak ada radio. Tak ada TV. Agak ramai sedikit kalau tetangga belakang rumah yang sakit skizofrenia itu sedang kumat.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Saya senantiasa datang setiap Sabtu petang. Dia selalu keluar dari balik kelambu dengan senyum ceria. Saya selalu tertegun sejenak. Dan kemudian larut dalam sapaan melati malam hari di muka kamar tamu. Tiga puluh lima tahun telah berlalu. Senyum itu tetap saja menyambut. Melati tetap saja harum di malam hari. Sayang bau itu kini berganti melambangkan kesedihan, melambangkan kehilangan si bungsu yang sangat kami cintai.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media, 3 September 2007)