Friday, December 14, 2012

Ke Sekaten


“ Bangun bangun. Sudah sampai”. Samar samar terdengar suara membangunkanku. Suara yang sudah  saya kenal sekali waktu itu. Entah pak Maslan, pak Warto atau mas Gek, yang bersama sama dalam satu mobil.  Larut malam, di suatu hari Jumat di tahun 57, ketika rombongan sampai di desa kami, Ngampin Ambarawa. Sehabis lihat sekaten di Yogya. Saya  berjalan terseok menuju rumah yang berjarak kira kira seratus meter dari tepi jalan. Gondo, adik saya digendong salah seorang pembantu lelaki. Gelap gulita. Seorang penjaga malam menjemput dan menerangi dengan obor blarak (daun kelapa kering)  di tangan.


Tiba tiba saya tersadar ada sesuatu yang hilang dari genggaman tangan.
“ Mana telor pindang saya?” Saya berteriak.
Keheningan mendadak pecah. Gaduh sesaat. Seseorang tertawa, saya lupa suara siapa.
“ Wah pasti jatuh di mobil. Untung sopirnya, dapat bonus telor”.
Hampir menangis menahan kecewa saya. Telor yang digodog dengan daun jati, warna merah itu dibagikan sewaktu akan pulang di Yogya tadi. Saya pikir mau saya makan esok harinya. Mungkin buat sangu sekolah besoknya.

Itu kisah sesudah menonton sekaten saya pertama kali. Sekeluarga naik dua mobil suburban Morodadi. Berangkat sore sekitar jam tiga. Saya bersama dalam satu mobil dengan rombongan yang semuanya pria. Pak Maslan, guru, asli dari Medan. Pak Warto juga guru, dari Godean Yogyakarta. Mereka mondok di rumah saya. Mas Gek asli dari Bali, anak angkat bapak & ibu. Yang lain di mobil satunya. Tidak banyak yang saya ingat. Hanya di jalan di sebelah barat alun alun, saya lihat tiga orang berpakaian surjan dan belangkon, bertengkar hebat. Saya pikir, sedang main ketoprak. Tak tahunya mereka tengkar karena masalah parkir sepeda. Pak Warto yang dari Yogya lebih memahami apa yang mereka petengkarkan, menarik saya untuk menjauh. Saya nggak mudeng. Bertengkar kok dalam bahasa Jawa halus. “Menawi mekaten, sampeyan apus apus ta. Gombal”.  Di desa saya orang tidak berserapah menggunakan kata gombal. Biasanya kata “celeng” lebih lugas, karena binatang ini sering masuk kampung merusak tanaman ketela.

Yang masih tersisa dalam ingatan sekaten hanya permainan droemmollen. Juga orang berjualan bolang baling, atau galundeng. Di Ambarawa waktu itu, bolang baling yang dalamnya kosong, tak begitu populer. Orang lebih kenal gelek, juga dari tepung gandung yang digoreng, yang dalamnya solid, kadang  masih setengah mentah. Kalau dimakan bisa melar. Pernah kejadian, seorang tukang andong berlomba makan gelek. Kusir andong dari Banyubiru yang menang,  menghabiskan 12 buah gelek, minum air putih satu kendi. Tragisnya beberapa saat kemudian masuk rumah sakit dan meninggal, perut besar atau waduknya pecah.  Namun gelek tetap saja lebih populer dibanding galundeng di Ambarawa. Bahkan battalion Ambarawa yang bertugas di perbatasan Kalimantan Utara saat konfrontasi, selalu minta dibekali gelek yang dimampatkan kecil kecil. Lebih praktis untuk makan di tengah belantara dibanding nasi.

Ketika mondok di Gerjen di tahun 1969 sampai 1971, mudah sekali menonton sekaten karena lokasinya hanya satu blok dari tempat pondokan. Tak begitu menarik, manusia berdesakan, rebutan makanan gunungan. Adu kuat siapa menang, dia dapat. Agak istimewa sedikit di tahun 73, bersama teman teman sepondokan di Taman Sari pergi ke sekaten. Saya masih sedikit limbung. Pacar ternyata telah resmi kawin saat liburan semester beberapa hari sebelumnya. Kami beli galundeng banyak sekali. Malamnya makan galundeng rame rame di kost kostan. Lebih aman dibanding makan gelek. Galundeng tidak mengembang dalam perut. Dengan galundeng dan tahu goreng dan alunan musik metal, sudah cukup membuat ajojing teman sak pondokan, sampai jam dua malam. Easy going. Laki laki tak perlu patah hati. Patah tumbuh hilang berganti. Mungkin semua sudah lupa kejadian itu. Life must go on. Masih ingat teman teman malam itu. Anton dan Darma, berkeluarga sebelum lulus, nggak tahu dimana mereka sekarang. Khavid jadi ahli THT di Surakarta. Agus Rochadi, dokter militer dan ahli jantung di Jakarta. Prapto jadi guru besar seni, dan pernah menjabat rektor di institutnya.

Beberapa hari sesudah kejadian itu, saya kembali ke sekaten bersama gadis AKUB itu. Belum pacaran. Tetapi dia mau saja diajak jalan lihat sekaten. Tidak beli galundeng. Tetapi lumayan sudah bergandengan tangan. Makan bakso di dekat kostnya di Purwanggan, kerasa terlalu asin. Yang saya masih ingat betul, bertemuarhum Dr. Roesman berdua. Beliau dosen histologi. Tak sempat bicara ditengah lautan manusia. Hanya  melambaikan tangan. Beberapa minggu kemudian, saya jalan kaki siang hari dari Mangkubumen. Dosen ilmu kesehatan masyarakat, dokter Hersusanto, mengajak naik mobil Fiatnya. Saya didrop di tempat kost di Patangpuluhan. Beliau sempat bertanya “Sampeyan nggak lagi sama Emsa ya?”. Saya hanya tersenyum ringan.

Di tahun delapan puluhan, saya sempat mengajak anak anak lihat sekaten. Semakin penuh sesak. Manusia berdesakan, tidak tahu untuk apa. Pengin membawa anak anak naik droemmollen. Saat jalan mau pulang, sekelompok anak muda dengan beringas mendesak kami dengan anak anak kecil. Nggak tahu kenapa. Tak ada alasan berdesakan. Saya emosi, salah satu saya tarik dan saya hardik. Ketika beberapa petugas keamanan mendekat, anak anak muda itu bubar dengan sendirinya. Sejak itu saya tak pernah ke sekaten. Bagi saya tak ada yang mengesankan. Hanya potret kesemrawutan lautan manusia semata. Beradu kekuatan berdesakan. Kadang membawa korban. Mau cari hiburan kok harus menanggung resiko. Tidak manusiawi.

Salam damai
Ki Ageng Similikithi
 http://www.facebook.com/notes/ki-ageng-similikithi/ke-sekaten/10151211548238467

Andriana


“ Andri, jangan tinggalkan kami. Kasihan anak kita Tantri”. Terdengar suara seorang pria berteriak parau. Suara orang berlari lari ditengah hiruk pikuk  stasion. Stasion Tugu, Yogyakarta. Jeritan seorang anak kecil, menangis pilu. “ Mami, jangan pergi. Tantri nggak mau ikut. Tantri takut”. Kemudian suara  bergetar seorang wanita nyaring melengking “ Mas Hari, kita cukupkan sekian saja. Saya pergi meninggalkanmu. Titip jaga Tantri. Saya menemukan cinta. Saya ingin menggapai bahagia dengan orang yang saya kasihi”.  Hiruk pikuk suara manusia bercampur dengan desah mesin lokomotif, terdengar memekakkan telinga.  Kuatkan hatimu, Andriana. Saya sangat mencintaimu. Jangan ragu. Kita harus berangkat sekarang”. Suara lain seorang pria, bergema berwibawa. Semakin gaduh,  suara musik menghentak hentak, menambah ketegangan.

Itu suara dari radio. Lupa stasiun mana. Mungkin RRI satu  Nusantara, Yogyakarta. Acara sandiwara radio. Suatu siang yang panas.  Tahun 1995 bulannya lupa. Jam setengah dua siang. Saya mendengarkannya  di mobil, dalam perjalanan kembali ke kantor lewat jalan Kaliurang. Baru saja mengontrol pembangunan rumah saya di Ngaglik, Sleman. Tak sengaja menghidupkan radio di mobil dan mendengar dialog itu. Saya memegang setir dengan tenang menikmati  sandiwara tersebut. Ingat masa masa di tahun enam puluhan saat sekolah di Solo. Selalu mendengar sandiwara radio. Begitu adiktif. Tetapi sudah lama sekali berlalu. Hiburan radio kemudian menjadi jauh dari kehidupan saya. Hanya sempat mendengar  jika pas mengemudikan mobil berangkat dan pulang kantor saja. Seperti siang hari itu.

Tiba tiba terdengar jeritan memilukan dari radio. “Andrianaaaaaaaaaa”. “Mamiiiiiiiiiiiiiiii”. “Mas Hari,  selamat tinggal. Saya pergi. Tak akan kembali. Tantriiiiiiiiiiiiii, I love you Tantri. Maaf, Mami pergi ya”. Musik menggema memilukan. Hiruk pikuk suara manusia. Suara sempritan berkepanjangan. “Priiiiiiiiiiiiiiiit”.  Ada yang berteriak tak jelas. Menyusul suara rem kereta, nyaring mengiris. “ Griiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit”. Saya terbawa. Instink saya menginjak pedal rem mobil. Mendadak berhenti.

“Braaaaak”. “Gomballlllllll”. Tiba tiba suara menggebrak mobil. Terkejut setengah mati saya. Seseorang berteriak nyaring. Masih kebingungan saya ketika orang tersebut menghardik marah. “ Oom, bahaya. Jangan berhenti mendadak di tengah jalan”. Menjawab sekenanya “ O iya ? Sori”. “Si oom berlagak pilon”. Sepasang muda mudi boncengan naik motor. Mereka pergi meninggalkan saya. Si gadis masih sempat mengumpat “ Bloon banget”.

Kembali tenang. Bangun dari lamunan.  Radio saya matikan. Saya  menjalankan mobil pelan pelan. Sambil berpikir. Andriana, Andriana. Siapakah kamu ini?. Menyakiti suami. Menyakiti anak tersayang. Demi cinta. Mungkin gombal. Saya yang hanya jadi pendengar setia pun, hampir ikut celaka. Dihardik orang di tengah jalan. Edaaaaan.

Hidup memang penuh sandiwara. Manusia hanya menjalani. Orang di sekitar kita yang menonton dan menikmati. Yang penting jangan menyakiti dan menyengsarakan orang lain.

Salam damai
Ki Ageng Similikithi.

http://www.facebook.com/notes/ki-ageng-similikithi/andriana/10151178168418467

Pipa Kundt


Awal tahun 1969. Siang hari panas menyengat. Minggu minggu pertama kuliah di Fakultas Kedokteran UGM.  Kami harus  praktikum fisika di  Sekip. Selesai  kuliah di  kompleks Mangkubumen di daerah Yogya selatan, bersepeda ke pinggir kota di utara. Tak ada waktu istirahat. Tak ada waktu makan siang. Beriringan naik sepeda di bawah terik matahari.  Tak banyak bicara, sibuk dengan pikiran masing masing. Mungkin juga belum kenal dekat dengan teman baru. Sampai di laboratorium, masing masing grup menempati nomer meja. Sesuai petunjuk mata praktikumnya.  Sejenak kemudian, dua orang teman mendekat sambil memasang jas putih. Yang satu tinggi besar. Satunya sedang sedang saja.

“Orang ini tampang Muhamad Ali”, batin saya. “Nama saya Muhamad Munawar. Sampeyan Budi ya?” Mood  sedang bagus, langsung saya jawab singkat dan akrab  “Budiono Santoso”. Masih ingat di SMP saya pernah dimarahi guru habis habisan. Seorang teman putri menyebut nama memperkenalkan diri, saya jawab “Saya nggak tanya”. Dia menangis lapor guru, saya yang kena setrap. Cengeng.
“Dari Manahan Solo ya?” , si Muhamad Ali bertanya. “ Dari Saint Josef. Saya tinggal di Badran. Saya tahu namamu sejak pengumuman ujian yang lalu”.  Munawar dari SMA Margoyudan. Saya diberitahu guru fisika saya, Pak Mudjono, kalau juara 1 untuk jurusan Ilmu pengetahuan Alam, namanya Munawar dengan nila rata rata 9.2. Saya dari St Josef, bersama Hwie Swan (Susi Widjayanti) dari SMA Warga, juga teman tentir, dibelakang Munawar dengan nilai rata rata 8.8.

“ Nomer mahasiswa saya empat tujuh lima nol”, teman yang satunya memperkenalkan. “ Namamu siapa?”. Saya masih kikuk. Masuk perguruan tinggi semua identitas jadi nomer mahasiswa. Ada semacam dehumanisasi di perguruan tinggi. Di SMA semua guru hapal nama murid.  “Namanya Suhartono, dia pendekar dari Selatan. The man from the South.  Saya tahu persis siapa siapa dalam rombongan praktikum ini”.

Itulah awal pertemuan saya dengan Muhamad Munawar  empat puluh tiga tahun lalu. Kami bertiga siang hari itu bersama Suhartono Noto dalam satu rombongan praktikum fisika. Kami dapat giliran percobaan pipa Kundt, untuk mengukur panjang gelombang bunyi berdasarkan frekuensi dalam tabung kaca yang telah ditebari serbuk kayu (http://alifis.wordpress.com/2010/10/29/eksperimen-3_frekuensi-bunyi-kundt/).  Kami membaca dengan cermat petunjuk praktikum. Muhamad Munawar mempunyai ketelitian luar biasa, mengerti secara detail teori gelombang bunyi. Saya dan Suhartono memperoleh briefing secara lugas darinya. Jari manisnya selalu terangkat setiap dia menerangkan eksperimen itu. Gaya bicaranya lugas, penuh percaya diri, sedikit semau gue alias wak wakan.

Guru fisika saya di SMA, juga menerangkan dengan fasih tabung pipa Kundt, tetapi karena tak melihat barang eskperimennya, pengertian saya tak mengendap sama sekali. Baru kemudian ketika  membaca buku teks karangan SEARS,  Mechanics, Heat and Sound, saya mengerti gamblang eksperimen itu. Pembicaraan siang itu  akrab, sambil bereksperimen. Eksperimen berjalan lancar. Munawar dan Suhartono, nampak menikmati sekali, penuh konsentrasi. Suhartono mencatat secara teliti hasilnya. Tulisannya tangannya bagus.

Sementara bereksperimen, sesekali saya dengar nyanyian kecil Munawar, lagunya berpindah pindah, dari Tirtonadi ke Bengawan Solo. Ciri khas pemuda Solo tahun enampuluhan. Selalu kagum dan bangga dengan penyanyi atau nyanyian tentang Solo. Saputangan Merah Jambu (S. Warno), Cincin Kenangan (Christine), dan pasti lagu lagu yang dinyanyikan almarhum Djoko Susilo. Saya pikir waktu itu, jangan jangan Munawar ini  lebih hapal lagu Tirtonadi dan Bengawan Solo, dibanding Indonesia Raya. Tak sempat tanya saya.  Tetapi kemudian di pondokan saya sering mendengar nyanyian kecilnya, lagu lagu  top waktu itu. Yang paling sering Hey Jude dan Delilah.

Hampir  jam 3 ketika kami menyelesaikan eskperimen itu. Hawa panas membuat rasa dahaga menyekik kerongkongan. Munawar mengajak kami minum di kantin sambil menulis laporan. Bergegas kami ke sana. Saat mau masuk, tiba tiba pak Bon  menghardik “Tidak boleh menulis laporan di kantin”. Saya terhenyak sejenak. Munawar yang berbadan tinggi besar menjawab, “Kami mau minum pak”. Pak Bon diam saja. “Bajinguk, ndarani ora kuat mbayar cao”. Kami menikmati cao berwarna cerah, sambil menyelesaikan laporan. Sore itu kami bersepeda sama sama pulang ke selatan. Saya tinggal di Gerjen. Munawar di Ngabean. Agak lupa Suhartono tinggal dimana. Hawa tak sepanas siang tadi. Angin segar sore hari menemani perjalanan sambil ngobrol di jalan.

Empat puluh tiga tahun lewat. Sore itu dia berdiri tegak di ruang rawat inap di depan saya. Saya selesai menjalani kateterisasi jantung di rumah sakit miliknya. Rumah Sakit Jantung Bina Waluya. Tak sebesar dulu, perawakannya lebih langsing dan atletis. Panjang lebar dia menjelaskan mengenai Bioresorpsable Vascular Scaff folding, jenis stent baru yang barusan di pasang di arteria koronaria saya. Gaya bicaranya lebih kalem, British gentleman style. Tidak wak wakan seperti dulu. Juga tidak lagi merokok. Dia adalah tokoh kardiologi intervensi yang handal di Asia saat ini. Murid muridnya datang belajar langsung darinya (hand on training) tidak hanya dari berbagai penjuru di  Indonesia, tetapi juga dari berbagai negara Asia. Bersama isterinya yang anggun, Futikah Munawar, dia merintis membuka rumah sakit jantung swasta yang pertama di Indonesia. Meskipun dokter di kantor WHO dulu menganjurkan saya periksa ke Bangkok atau Penang, saya  merasa lebih mantap di sini,  ditangani teman sendiri. Ketika dia menjelaskan tentang stent jenis baru itu, ingatan saya malah melayang saat dia menjelaskan tentang pipa Kundt.

Ingat lagu anak anak yang sering dinyanyikan Laras, cucu saya. Persahabatan bagai kepompong. Mengubah ulat menjadi kupu kupu. Kami semua  menjadi kupu kupu. Terbang di antara taman yang indah. Menjelajah dunia demi kemanusiaan. Persahabatan yang langgeng.
Salam damai dan bahagia untuk Bung Munawar dan bu Futikah Munawar.

http://www.facebook.com/notes/ki-ageng-similikithi/pipa-kundt/10151173329343467 

Obrolan di ruang tunggu pasien



Senin siang 17 September 2012. Saya menunggu di ruang tunggu RS Bina Waluya, Jakarta.  Mau ketemu dokter  jam 1500 sore. Dr. Muhamad Munawar ahli jantung terkemuka di negeri ini, dulu kuliah sama sama di kompleks Ngasem.  Sudah lama direncanakan, baru kali ini bisa janjian. Berangkat jam 1300 dari hotel Bidakara atas anjuran petugas hotel. Menghindari macet. Ternyata saya pasien yang datang pertama kali. Lewat jam dua, pasien mulai berdatangan. Beberapa pasien wanita dan pria, umumnya umur setengah baya. Hampir pasti, mereka menderita keluhan jantung.

Di sebelah saya duduk seorang pria lanjut usia. Ngobrol sebentar. Dia mantan jaksa yang top. Mungkin di jaman  Orde Baru. Tak banyak bicara. Saya juga tidak dalam mood untuk ngobrol. Apalagi dengan seorang jaksa, walaupun mantan. Takut disidik. Ada pengalaman traumatis. Tahun 75 di Ambarawa sewaktu bapak saya ditahan karena menganut aliran kebatinan. Tahun 90an, seorang mantan jaksa tinggi yang jadi gurubesar hukum dan anggota senat, mewawancarai saya laiknya dalam penyidikan. Saya protes ke pimpinan universitas, post power syndrome jangan dibawa ke mimbar akademis. Tahun 97, ketika mengikuti proses pengadilan penabrak anak saya. Secara tidak sadar , ketiganya meninggalkan kesan kurang enak.

“Wah saya datang terlambat, macet di terminal Kampung Rambutan” seorang wanita muda datang tergopoh. Menyapa teman disebelahnya, seorang pria setengah baya.
“ Nggak apa apa. Dokternya juga belon datang . Jam tiga nanti. Periksa yang lain dulu.”
“ Keluar dari rumah setengah dua belas. Capai sekali. Untung bawa Alphard. Langsung tidur di mobil. Si bung sakit apa?”
“ Habis kebakaran kemarin kok masih deg degan. Tadi sudah di EKG katanya normal. Wah tahu kalau normal tak perlu ke sini”.
“ Jangan pikir macam macam apalagi ongkos. Yang penting waras. Makanya papahnya anak anak  suruh saya pakai Alphard. Biar angler tidur kalau macet di jalan”.
“ Saya diantar anak saya tadi sambil ngantor lagi, pakai Avancha. Sopir sedang sakit. Kalau nggak pakai Camry ”.
“Lumayan, Camry yang biasa dipakai Menteri. Kalau bisa jangan pakai Avancha lah ?”. Si wanita muda masih bicara terus.
“Lha kenapa?”
“ Kalau kantrok kantrok nggak baik untuk jantung. Jangan suka terlalu ngirid kalau sudah ke jantung”.

Saya agak terhenyak. Dari hotel tadi saya pakai Avancha, yang ada hanya itu. Tak ada keluhan. Sopir saya pesan supaya pelan saja. Taksi jam jaman. Jam tiga lebih sedikit Bung Munawar, datang. Dia yang punya rumah sakit. “He Ki, piye kabare?”. “So so, apik” jawabku. Saya dapat giliran pertama kali. Sempat ngobrol sebentar. Disuruh periksa lengkap, laboratorium, echo, threadmill, MSCT dll. Selesai periksa jam enam. Saya diberitahu jika ada dua lokus penyempitan koronaria. Yang satu sudah hampir sembilan puluh persen. Harus kateterisasi dan pasang ring.

Seminggu kemudian, hari Senin tanggal 24, saya berangkat pagi pagi dari Yogya dengan pesawat pertama. Ditemani NYI. Sampai di bandara Sukarno Hatta, cari taksi, Silver bird. Ditawari Alphard atau Mercy. Ingat obrolan pasien wanita seminggu lalu, nek kentrok kentrok gawat. Mercy C class kabarnya kap mesinnya sok kabur. Baru saja saya kecelakaan, kap mesin terbuka saat mobil jalan. Tetapi Nyi ngotot milih Mercy. Perjalanan lancar, enak, tak kentrok kentrok (terguncang) dalam perjalanan. Tetapi di terminal Kampung Rambutan macet. Ada iringan pejabat lewat. Juga bis bis yang suka ngetem. Saya nyeberang lewat jembatan penyeberangan. Untung nggak jauh tetapi tetep saja napas termehek mehek. Ini yang bikin jantung ngos ngosan.

Kateterisasi berjalan lancar tengah hari itu juga. Dr. Munawar sempat ngobrol dengan saya sebelum prosedur dimulai. Sore hari Bu Futikah Munawar, yang juga direktur umumnya, sempat nengok, juga pengin ketemu Nyi. Cerita sebentar jaman mahasiswa dulu. Paginya sudah boleh pulang. Waktu pesen taksi, ingat lagi obrolan di ruang tunggu minggu lalu. Minta Silver bird, biar nggak kentrok kentrok. Perjalanan lancar sampai bandara. Mulus tanpa goncangan. Goncangan berat justru terjadi di bandara ketika harus lari lari pindah anjungan. Di boarding pass tertera Gate 1. Di papan pengumuman tertulis Gate 4. Waktu ke Gate 4 menjelang boarding disuruh pindah ke gate 3. Sampai gate 3, suruh naik bis ke terminal yang baru. Untung nggak disuruh naik bis sekalian sampai Yogya dari Sukarno Hatta. Kesemrawutan lalu lintas, kesemrawutan bandara,  yang benar benar bikin dada  terasa sakit. Bukan jenis taksi, bukan jenis mobil. Edaaan, tetapi kok saya ya terpengaruh obrolan pasien itu ya.

Salam damai dan terima kasih untuk Dr. M. Munawar dan Ny. Futikah Munawar dan semuat staf RS Bina Waluya, atas keramah tamahan dan perhantiannya.
Salam damai

Ki Ageng Similikithi

Pejalan malam



Hujan renyai telah berhenti. Suasana sepi malam itu ketika saya selesai melakukan pengecekan kembali daftar tamu yang menginap di losmen.  Tahun 1972, lupa entah kapan persisnya.  Saya tinggal di losmen Bahagia, jalan Gandekan Yogyakarta, sejak  pertengahan tahun 1971. Sambil kuliah mengurus losmen. Lumayan dapat kamar gratis dan tambahan uang saku. Manfaat lain bisa mempraktekkan bahasa Inggris  oleh karena banyak wisatawan asing yang menginap di losmen dengan 20 kamar itu.
Hari itu adalah hari terakhir saya menghadapi ujian ulangan semesteran. Tak ada beban lagi, pikiran rasanya ringan melayang ke mana mana. Salah satu mata pelajaran saat ujian pertama kemarin mendapat nilai mati oleh karena saya memakai tinta warna hijau. Maunya  mulai menggunakan pulpen Parker 21, pemberian ayah saya. Pulpen itu pemberian sepupu dari Amerika di tahun 1963 untuk ayah saya.   Sial rupanya, saya pakai pertama hasilnya mematikan. Saya menghadap  dosen bersangkutan, minta maaf atas kerjaan ujian  yang menggunakan tinta warna hijau. Tak ada masalah. Ujian lagi saja, jawabnya ringan. Ujian itu sudah saya selesaikan siang hari itu.

Waktu menunjukkan lewat jam sebelas malam ketika saya mau masuk kamar. Semua tamu telah beristirahat di kamar masing masing. Pegawai juga sudah siap siap berangkat tidur. Pikiran saya melayang tanpa beban. Tak mungkin bisa tidur. Tiba tiba saja keinginan itu muncul. Jalan jalan di malam sunyi, memandang langit dan bintang. Kegemaran saya sejak kecil, berjalan jalan di antara perbukitan dan lembah yang indah di Ambarawa. Kebiasaan yang saya dapatkan sejak Sekolah Rakyat. Kami selalu dibiasakan gerak jalan, entah lewat persawahan di lembah, atau mendaki bukit bukit sekitar desa kami. Bukit bukit sepi dan lembah indah menghampar di kaki gunung Gadjah Mungkur. Gunung Gadjah Mungkur dan Telomoyo, pasangan mesra abadi sepanjang jaman. Seperti halnya Sindoro dan Sumbing, Merapi dan Merbabu. Sudah lama tidak melakukan jalan jalan di punggung perbukitan sejak kuliah di Yogya. Tak banyak waktu yang tersisa.

Saya kenakan  jas hujan dengan tutup kepala, sekedar menahan hawa malam. Meski tidak hujan lagi. Langit bersih dan bintang bintang samar samar nampak di atas sana. Menyusur jalan Malioboro ke selatan, lewat alun alun, belok ke kanan ke arah jalan Wahid Hasyim. Hapal sekali jalan ini, entah berapa kali saya melewatinya. Emsa teman dekat saya tinggal di jalan ini. Jalanan sepi, tak ada dentang lonceng becak ataupun suara mesin mobil atau motor. Semua telah pulas tertidur di rumah masing masing. Saya menikmati perjalanan saya dengan langkah pelan, tak tergesa, sambil menikmati pemandangan langit dan bintang. Lewat perempatan Taman Sari, belok ke arah Barat, menuju Patangpuluhan.  Beberapa hari ini terpikir untuk pindah dari losmen, selesai ujian semester. Pikiran tak pernah tenang. Masalah kadang datang tiba tiba mengganggu ketenangan.  Cukup dua belas bulan saja saya ngurusi losmen itu. Ada pondokan yang masih lowong dengan halaman luas di tepi jalan di Patangpuluhan.

Niat berjalan dari perempatan Patangpuluha ke utara saya batalkan. Tak tahu sebabnya. Saya kembali menyusuri jalan Tamansari ke arah Timur, lewat plengkung kulon, masuk kampung Nagan. Di siang hari kampung ini begitu rindang. Banyak pepohonan di halaman rumah penduduk. Lewat rumah sakit Mangkuwilayan,  masuk ke alun alun Selatan. Berhenti sejenak duduk di pinggir alun alun. Memandang langit dan bintang. Begitu indah dan magis, membayangkan bagaimana bintang bintang itu terbentuk dulunya. Tak ada suara manusia, tak ada desing mobil atau motor. Semua tertidur pulas. Waktu telah menunjukkan lewat tengah malam. Sesaat kemudian jalan lagi memasuki plengkung Gading. Warung makanan dan minuman semua telah tutup tak ada penghuni atau pembeli di sana.

Lewat plengkung Gading, tiba tiba seorang polisi turun dari  sepedanya. Bertanya identitas saya dan  tujuan saya. Saya pejalan malam pak,  kuliah di Mangkubumen. Tak banyak dia bertanya, kecuali mau cari apa malam malam gini? Menikmati keheningan malam, melihat langit dan bintang. Tak ada maksud lain. Nampaknya dia juga tak banyak ambil pusing. Bergumam pelan, ‘Adem adem enak turu nang ngomah mas”.  Entah apa alasannya  dia menyarankan saya meneruskan ke arah Timur saja. Jalan perempatan Gading ke Selatan memang gelap. Mungkin hanya basa basi. Polisi itu kembali menaiki sepedanya, ke arah selatan, menembus kegelapan. Seingat saya memang ada pos polisi di selatan pasar Gading.

Berjalan ke timur melewati Pojok Beteng Wetan, museum perjuangan, sampai di jalan Taman Siswa.  Saya menelusuri jalan ini dengan pelan. Lewat pendopo Taman Siswa, ingatan meluncur ke masa lalu, waktu kecil saya pernah diajak ayah saya berkunjung ke sini. Majelis Luhur Taman Siswa. Ayah saya seumur hidupnya bekerja di perguruan Taman Siswa, dia pengikut setia Ki Hadjar Dewantara, sejak jaman Belanda. Masih ingat, ketika Ki Hadjar dan Mr. Semaun beserta tokoh2 Taman Siswa, suatu sore di tahun 1958 mendadak mampir di rumah kami di Ngampin, saya dan adik saya ditugasi menjauhkan hewan hewan piaraan yang berkeliling di halaman. Binatang2 itu memang waktunya pulang  kandang, dan mungkin juga tidak tahu siapa tamu yang datang. Anak anak sapi itu selalu tunduk sama saya dan adik saya, Gondo.

Lepas dari jalan Taman Siswa, terus ke arah utara, sampai perempatan Bausasran. Di sudut perempatan itu, ayah dan ibu saya pernah tinggal beberapa tahun di Yogya sebelum kemerdekaan. Tak banyak cerita tentang masa itu, kecuali cerita tentang gaji guru waktu itu lebih dari cukup untuk beaya hidup. Sampai perempatan saya membelok ke Timur lewat jalan Gayam menuju asrama Darma Putra. Waktu menunjukkan lewat jam dua malam. Tiba tiba ada keinginan lewat perumahan Baciro. Bung Noko tinggal di sana. Saya sering belajar bersama di sana. Hujan mulai turun rintik rintik. Namun tak mengurangi nikmat keheningan pagi itu.

Lupa nama jalannya, mungkin Menur, saya berhenti di muka  rumah di mana Noko tinggal. Lampu kamar tamu masih menyala. Nampaknya pintu depan juga tidak tertutup. Saya beranikan diri untuk menengok ruang tamu. Ternyata Noko bersama Hartono masih belajar. Esok paginya masih harus mengulangi ujian. Entah mata pelajaran apa.  Dia terkejut sekali melihat saya basah kuyup berdiri di muka pintu. Ada apa denganmu, tidak apa apa kan ? Saya hanya menjawab ringan, jalan jalan malam, kegemaran  lama yang tak pernah sempat lagi menikmatinya. Noko sama Hartono bersikeras agar saya tidak meneruskan jalan jalan malam itu. Tanpa diminta Noko  memberi saya handuk dan teh panas lalu meneruskan belajarnya. Selesai minum teh, saya tidur di kamar Noko. Bangun pagi jam setengah delapan, Noko dan Hartono sudah berangkat ujian.  Bangun kesiangan, saya kembali ke Gandekan naik becak.

Kenangan sesaat empat puluh tahun lalu. Masih ingin jalan jalan malam hari, mendaki perbukitan, menyusur lembah, tetapi kondisi badan tak memungkinkan lagi.  Bisanya hanya membayangkan.
 Salam damai
Ki Ageng  Similikithi
http://www.facebook.com/notes/ki-ageng-similikithi/pejalan-malam/10151102571448467

Monday, September 10, 2012

Menik sang primadona


“Saya minum Saparela  saja”,  Menik tiba tiba memutuskan pilihannya. Saya terhenyak sesaat. Kami sedang minum di  warung di  sudut lapangan Manahan, Solo suatu sore yang cerah di tahun 1974. Saya belum pernah tahu minuman itu. Minuman khas dari tumbuhan sarsaparilla yang tumbuh di Amerika Latin. Hanya teringat samar samar cerita pendek di tahun 60 yang saya baca di majalah Panyebar Semangat. Dalam cerita itu, sepasang mantan kekasih janjian bertemu sesudah berpisah puluhan tahun. Saat bertemu si teman wanita pesan minuman Saparela, minuman kesukaan mereka saat masih pacaran dahulu. Lokasi ceritanya di Surabaya, bukan di Solo.  Saya dan Menik minum bersama  bukan dalam rangka pacaran atau mengingat masa pacaran. Saya baru  kenal dia beberapa minggu, saat ko skap di rumah sakit Kadipolo.
Menik masih kuliah di suatu akademi tari di Solo. Katanya sudah dua kali ikut pentas sendratari Ramayana. Nggak tahu sebagai apa, jelas bukan  Dewi Sinta atau Dewi Trijata. Nggak pas, terlalu gagah untuk memainkan kedua peran tadi. Dia berperawakan tinggi dan gagah untuk ukuran wanita Jawa,   berwajah manis, muka oval indah. Yang paling menarik  adalah gerak gerik tubuhnya saat bicara. Gerakan spontan dengan  sinar mata menari nari  mengiringi kata kata yang keluar teratur dari mulutnya.  Gerakan yang indah dan koheren. Entah karena bawaan atau karena kebiasaannya sebagai penari. Begitu mulai bicara  dia biasanya akan bercerita  terus dengan penuh gairah dan mata berbinar.  Bukan sekedar  seperti burung prenjak yang selalu riang berkicau. Wanita yang banyak bicara sering mendapat julukan si burung prenjak dalam khasanah budaya Jawa. Dia lebih menyerupai burung branjangan, saat berkicau tubuh dan ekornya selalu bergerak indah, seolah ingin pamer ke dunia.
Terus terang saya lebih tertarik mengamati gerak gerik tubuh dan sinar matanya saat bercerita. Bukan materi pembicaraannya. Isi pembicaraan cenderung kabur, mendekati imaginer. Melompat dari satu topik ke topik yang lain, kadang agak manja kekanakan.  “ Ki, saya kok pengin tahu,  mahasiswa kedokteran itu kalau pacaran pakai ciuman mulut enggak ya ?” Tidak perlu saya jawab pertanyaan itu. Usang, pantasnya diajukan 20 tahun lalu, di tahun lima puluhan, ketika orang pacaran biasanya hanya ciuman pipi atau tangan. Kalau memanas, paling banter  berpelukan dan kaki kanan si pria naik sedikit, atau nangkring.  Tahun enam puluhan sudah terjadi revolusi besar besaran. Orang pacaran hampir pasti cium bibir. Termasuk para kamerad di negara tirai besi sekalipun. Hanya  sapi dan  domba  mencium bokong saat bermadu kasih, maklum mereka memang bukan spesies Homo sapiens.
“Saya tidak akan berciuman bibir, jika pasangan saya belum periksa Roentgen dan terbukti bersih paru parunya. Calon dokter biasanya pasti sudah diperiksa Roentgen ya Ki?”.  Pertanyaan ini secara teknis  seratus persen benar, tetapi tak enak rasanya untuk dibahas di dunia nyata. Menghindari penularan penyakit tuberculosis. Kami ngobrol sampai menjelang pukul lima sore. Pembicaraan tanpa arah, tanpa substansi yang berarti. Tetapi saya tetap  menikmati gerak geriknya yang  luwes dan terkoordinir rapi. Di akhir pembicaraan, dia membetulkan make up di wajahnya. Wajah yang halus terpelihara. Tidak lupa meneteskan minyak wangi di bajunya. Bau wangi dan menyengat dalam sekali, untung sudah mau pisah, baunya bikin pusing. “ Ki Sabtu depan saya ada latihan sampai jam empat sore. Habis latihan saya mampir ke rumah sakit. Main ke rumah ya?”. Saya mengiyakan dengan ringan. Dia memang sering latihan di sasana tari, di dekat rumah sakit Kadipolo. Dengan sepeda jengki warna hijau, dia mengayuh ke arah utara, menghilang berbaur dengan iringan manusia yang pulang ke rumah masing masing.
Dua hari kemudian, hari Sabtu, saya tidak giliran jaga. Bangun tidur siang cepat cepat mandi. Menik datang sesuai janji, kira kira jam setengah lima sore. Mengenakan celana panjang cutbray dan baju lengan panjang warna putih. Sangat serasi dan anggun. Senyum ceria tersungging di wajahnya. Dia memang berpenampilan dan berwajah menarik. Seperti umumnya gadis Solo,  gampang bergaul dan cepat akrab, agak sedikit kenes. Saya merasa bersahabat akrab semata. Tak ada keinginan lebih dari itu. It is not my style, its too vibrant and noisy.  Sore itu kami sempat jalan menyusur Singosaren. Kami makan malam di suatu rumah makan di ujung jalan. “Ki, orang pacaran harus selalu sedia minuman segar ya? Teman saya cerita, dia pacaran sama orang Tasik ”. Saya membalas sekenanya “ Benar, orang Tasik biasanya suka makan petai dan jengkol. Bisa terbius pasangannya”. Menik cerita dengan semangat. Ingin jadi penari beken, jadi primadona, atau paling tidak punya sasana tari di kemudian hari.
Jam tujuh kami naik becak menuju ke rumah Menik. Arah ke utara, sampai Manahan ke Barat, lalu masuk jalan gelap menuju desa Sumber. Gelap gulita. Penerangan listrik hanya di pusat kota waktu itu. Menik menggengggam tangan saya erat sekali. Ceritanya tetap saja mengalir tanpa henti. Tetapi nada suaranya berubah rendah mendesah, tidak bernada kenes lagi. Duduk mepet bersandar di bahu saya, sesekali mengingatkan “Jangan macam macam lo Ki”. Batin saya, siapa yang mau macam macam. Perawan kencur selalu mendua, penuh keraguan.
Akhirnya becak berhenti di persimpangan gang. Sopir becak ternyata tak sanggup mengantar terus. Jalan terlalu rumit (Jawa : rumpil) dan gelap katanya. Saya bayar ongkos becak, dan kami berjalan berdua dalam kegelapan melalui jalan sempit di tengah ladang. Beberapa saat lewat ladang tiba tiba saja di sebelah kanan jalan sempit itu, terlihat rumpun kamboja. Kuburan batin saya. Menik menggamit tangan saya dengan erat. Tangan kiri saya memeluk pinggangnya, reaksi spontan untuk melindungi kalau ada apa apa. Bukan untuk yang lain. Bau bunga kamboja terbawa angin dingin menerpa lembut. Sesaat Menik berhenti, napasnya mendesah ringan. Dia menengok ke arah saya. Wajahnya begitu dekat sampai terdengar jelas irama napasnya. Dan hawa napas menyapu lembut wajah saya. Tanpa sadar kami telah berpelukan. Dia tersenyum manis, baris giginya yang putih nampak dalam kegelapan malam. Bau parfum itu sangat mengusik, menusuk paru saya.  Tiba tiba saja angan saya melayang. Iya kalau ini betul betul Menik ?  Jangan jangan jadi jadian. Rasa takut datang menghunjam mematikan semua naluri asmara. Resiko lebih besar dari manfaat.  Saya mengendurkan pelukan saya. “Nggak usah macam macam dulu aah”. Tersadar dia juga melepaskan genggaman tangannya. Kami terus berjalan dalam kegelapan dan keheningan.
Beberapa saat kemudian  sampai ke rumahnya. Ada halaman tak begitu luas di depan. Gelap tak ada penerangan, kecuali sinar lampu minyak dari ruang tamu. Bapaknya yang membukakan pintu depan. “Gek mulih nDhuk?”. “ Iya pak, saya dengan Ki dari Yogya”. Saya dikenalkan dengan bapak dan ibu Menik. Bapaknya seorang perwira polisi. Ibunya aktif di organisasi. Menik nampak manja dengan bapak ibunya. Keluarga yang bahagia dengan dua putra. Adik lelakinya duduk di bangku SMA. Ternyata satu sekolahan dengan adik saya, di SMA Santo Josef, sekolahan saya dulu.  Pembicaraan basa basi sejenak, kemudian saya dipersilahkan duduk di  ruang tengah. Kami duduk di sudut  ruangan. Diseberang ruangan bapaknya Menik duduk di kursi malas, sambil membaca koran. Nampak sebuah pistol berikut tempatnya tergantung di dinding di dekatnya.
Menik memberi isyarat untuk pindah ke ruang tamu. Kami duduk berdampingan di kursi panjang yang terbuat dari rotan. Mengobrol dengan berbisik. Tak banyak bersuara tetapi obrolan semakin intens. Gayanya semakin memukau seperti burung branjangan. Sesekali kursi rotan berderit ketika kami bergeser semakin mepet. Tangan saling menggenggam erat, kemudian tangan kiri saya melilit pinggang, wajah wajah kami semakin mendekat. Kursi rotan berderit ikut bernyanyi. Tiba tiba ada suara gaduh luar biasa. Braaak. Saya menengok ke arah ruang tengah. Ternyata bapak nya Menik meloncat berdiri dengan tiba tiba. Pikiran melayang ke revolver yang tergantung di dinding itu. Jantung saya berdebar keras mau putus. Hanya sesaat oleh karena kemudian dia beranjak mau ke belakang. Nyali saya terlanjur menciut. Ini risiko lebih besar dari pada enaknya. Lebih baik mundur secara taktis. Menjelang jam sembilan saya pamitan. Menik mengantar sampai pagar halaman. Pesannya singkat. “Minggu depan main lagi ya Ki”. Tak bisa janji saya. Itu minggu terakhir tugas  di Solo.
Hari Sabtu seminggu kemudian, setelah ujian, saya bergegas pulang ke Yogya. Tak bisa menemui Menik untuk pamitan. Saya titip surat lewat seorang teman. Minta maaf kalau saya harus cepat cepat pulang ke Yogya. Dua minggu kemudian saya menerima surat Menik beserta sebuah foto. Dia memakai celana cutbray hitam dan baju putih dan memegang payung dalam foto itu.  Kami masih saling berkirim surat beberapa kali sesudah itu. Tak ada obral janji. Tak ada pengkhianatan. Hanya pesahabatan. Saya menikmati persahabatan itu dan menghargai dia sepenuhnya. Foto itu dulu masih tersimpan di album lama saya. Kini saya cari album itu. Sudah rusak dan foto itu tidak ada lagi di sana.
Hampir lewat empat puluh tahun. Catatan ringkas mengenang Menik sang primadona. Semoga impiannya telah tercapai.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi


Orang tua itu seorang pemikir besar - Ki Ageng Suryamentaram


Saya berlari lari kecil di atas jalan berbatu. Tak mudah mengikuti jalan simbah kakung (kakek) saya yang tinggi semampai itu, dengan langkah langkah lebar. Suatu pagi di tahun 1956. Saya bersama simbah jalan jalan pagi di desa Kalijambe Beringin, Salatiga.  Biasanya pagi pagi begini ada dua arus manusia. Satu persatu wanita berjalan menuju pasar Kroya atau Beringin yang kira kira berjarak masing masing 4  dan  8 kilometer dari desa Kalijambe. Dan arus berlawanan para gembala menggiring  ternak sapi  menuju padang penggembalaan di luar desa di utara.  Lenguh  sapi atau suara kambing selalu ramai di pagi hari bercampur dengan suara burung.

Saya dan orang orang di desa itu, selalu memanggil simbah  Pak Dhe. Beliau mantan lurah Kalijambe di jaman Belanda. Masih gagah dan berwibawa dengan celana sampai di bawah lutut dan baju tanpa kerah,  pakaian khas para petani di Jawa dan Asia Tenggara. Hanya yang lajim biasanya  pakaian itu berwarna hitam. Pak Dhe saya selalu menyukai warna putih. Tak tahu alasannya. Tak pernah lupa adalah tongkat panjang yang selalu dibawa saat jalan jalan seperti ini. Di ujung desa, pak Dhe selalu berhenti di bawah pohon randu alas besar, memegang tongkatnya dan melihat ke padang penggembalaan yang terhampar luas sampai cakrawala. Saya selalu mengagumi penampilannya berdiri tegak dibawah pohon itu, tangan kanannya memegang tongkat, dan tangan kirinya  diletakkan di dahi menghindari silau matahari pagi.
Para gembala yang lewat satu persatu selalu memberikan salam “Selamat pagi Pak Dhe”. Dan Pak Dhe menjawab spontan salam mereka “Sapimu ana pira? Sapine sapa?”. Gembala gembala itu biasanya bekerja  dan tinggal bersama majikan si pemilik lembu. Setelah beberapa tahun, mungkin lima tahun, mereka baru dapat upah berupa anak sapi.  Hampir seperti bonded labour di Nepal dan India. Mungkin sekarang sudah jarang sekali.

Pak Dhe selalu bicara dengan saya dalam bahasa halus.  Dia selalu mencoba menanamkan agar kami selalu menggunakan bahasa Jawa halus. Tak pernah memanggil nama saya tanpa embel embel alias njangkar. Selalu memanggil saya dengan julukan “Mbah Lurah”, karena katanya saya mirip simbah saya di Ambarawa, yang juga mantan  lurah di jaman Belanda. Dia punya keinginan agar  salah satu cucunya  bisa mengikuti jejaknya menjadi lurah kelak. Sering mengalami sindrom perfeksionis, selalu mencatat dengan seksama nomer seri uang kertas yang dimilikinya sebelum digunakan. Perkerjaan yang paling membosankan, jika dapat giliran membaca nomer seri uang itu.
Ketika iring iringan lembu sudah lewat, kami berjalan ke arah selatan, mendaki jalan di lereng perbukitan menuju ke arah dukuh Krandon. Desa Kalijambe memang terletak di jepitan perbukitan. Kira kira dua ratus meter di depan rumah Pak Dhe, ada dinding bukit terjal tingginya hampir seratus meter. Di atas sana terdapat perkebunan karet milik negara. Salah satu adik Pak Dhe, tinggal di dukuh Krandon. Biasanya kami selalu mampir dalam perjalanan dari Beringin menuju Kalijambe.  

Selepas tanjakan, tiba tiba perhatian saya tertuju pada sosok seorang tua  yang berdiri di atas bebatuan di tepi jalan. Juga mengenakan baju kurung dengan kancing terbuka di depan. Selembar kain warna keputihan dengan corak kotak kotak, melilit lehernya. Dia  memegang tongkat panjang menopang tubuhnya yang renta. Pandangannya sayu menatap lembah dan padang yang membentang luas di bawah. Tak bisa saya mengerti, Pak Dhe  yang gagah, berwibawa dan disegani banyak orang di desa itu, serentak  melihat orang tua itu, dia memberikan salam dengan hormat yang dalam. “Sugeng enjang Kanjeng Rama”. Orang tua itu membalikkan mukanya dengan tatapan ringan dan sayu. “ Ki Lurah, piye kabare. Suwe ora ketemu ya”.
Mereka terlibat dalam pembicaraan yang  intens. Dalam bahasa Jawa yang sangat halus, yang saya juga tidak paham benar. Yang jelas terlihat, Pak Dhe hampir terus bersikap sangat sopan dan menghormati. Kedua tangannya selalu di depan ngapurancang , tidak lagi memegang tongkat dengan tangan kanan diatas pundak. Saya tertegun terheran heran. Orang tua itu berbincang dengan tatapan ringan  jauh ke depan. Walau nampak  berwibawa di muka Pak Dhe, terkesan ada semacam kegelisahan yang dalam di sorot matanya. Di akhir pembicaraan, Pak Dhe berpamitan dan memberikan salam hormat dengan menutupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Pemandangan itu ganjil rasanya, tidak pernah saya lihat sebelumnya. 
Mata hari sudah tinggi ketika kami  menuruni jalan kembali menuju desa Kalijambe, lewat jalan rindang di sela sela rumpun bambu yang lebat. Saya mencoba mencari tahu, siapa orang tua itu. Pak Dhe hanya menjawab ringan “ Gusti Pengeran Suryamentaram”. Waktu itu saya belum paham, siapa itu Pangeran Suryamentaram.   Hanya sering mendengar cerita tentang beliau.  Beliau bermukim di dukuh Kroya, desa Beringin, Salatiga. Setiap kali kami jalan menuju Kalijambe, dengan jelas bisa melihat atap seng rumah beliau di kejauhan, di lembah dibawah naungan pohon pohon kluwih yang rindang. 

Bertahun tahun kemudian baru saya mengetahui siapa Ki Ageng Suryamentaram. Beliau adalah putra  Sultan Hamengku Buwana VII, yang meninggalkan kehidupan mewah keraton dan mengasingkan diri hidup di kalangan rakyat jelata. Konon pernah tinggal di Cilacap dan berjualan setagen dan batik di pasar. Juga pernah menjadi tukang sumur di daerah Bagelen. Terakhir tinggal sebagai petani di desa Beringin, Salatiga.  Kisah perjalanan spiritual Ki Ageng Suryamentaram, mirip dengan kisah Pangeran Siddartha Buddha Gautama dari Lumbini, Nepal,  yang menemukan ajaran Buddha ribuan tahun lalu. Di balik kegelisahan spiritual Ki Ageng Suryamentaram, beliau meninggalkan ajaran  Kawruh Beja (pengetahuan tentang kehidupan), Kawruh Pangawikan Pribadi, yang tertulis dalam buku buku, Ilmu Jiwa Kramadangsa, Mawas Diri, Filsafat Rasa Hidup dan lain lain. Pemikiran besar berdasarkan filsafat  Jawa. Di bidang politik beliau terlibat dalam pembentukan PETA, Pembela Tanah Air. Belum sempat saya membaca dan mendalami ajaran ajaran ini.

Bertahun kemudian, jika mengingat saat berjalan dengan Pak Dhe di suatu pagi lebih lima puluh lima tahun lalu, saya merasa sangat beruntung, bisa bertatap muka dengan pemikir besar Jawa yang saya kagumi. Yang tragis, putra ke dua beliau, Raden Mas Jegot, meninggal di usia muda, tenggelam kecelakaan di Rawa Pening di tahun lima puluhan. Saya juga ingin setegar beliau, setelah kehilangan anak saya karena kecelakaan di tahun 1997.  Ki Ageng Suryamentaram wafat di tahun 1962.
Moga moga anda punya waktu membaca riwayat dan ajaran Ki Ageng Suryamentaram, salah satu pemikir Jawa klasik. Ajaran ajarannya tetap relevan dalam kehidupan masa kini yang hingar bingar (http://www.facebook.com/pages/Ki-Ageng-Suryomentaram/41261288299)
Ki Ageng Similikithi