Monday, September 10, 2012

Menik sang primadona


“Saya minum Saparela  saja”,  Menik tiba tiba memutuskan pilihannya. Saya terhenyak sesaat. Kami sedang minum di  warung di  sudut lapangan Manahan, Solo suatu sore yang cerah di tahun 1974. Saya belum pernah tahu minuman itu. Minuman khas dari tumbuhan sarsaparilla yang tumbuh di Amerika Latin. Hanya teringat samar samar cerita pendek di tahun 60 yang saya baca di majalah Panyebar Semangat. Dalam cerita itu, sepasang mantan kekasih janjian bertemu sesudah berpisah puluhan tahun. Saat bertemu si teman wanita pesan minuman Saparela, minuman kesukaan mereka saat masih pacaran dahulu. Lokasi ceritanya di Surabaya, bukan di Solo.  Saya dan Menik minum bersama  bukan dalam rangka pacaran atau mengingat masa pacaran. Saya baru  kenal dia beberapa minggu, saat ko skap di rumah sakit Kadipolo.
Menik masih kuliah di suatu akademi tari di Solo. Katanya sudah dua kali ikut pentas sendratari Ramayana. Nggak tahu sebagai apa, jelas bukan  Dewi Sinta atau Dewi Trijata. Nggak pas, terlalu gagah untuk memainkan kedua peran tadi. Dia berperawakan tinggi dan gagah untuk ukuran wanita Jawa,   berwajah manis, muka oval indah. Yang paling menarik  adalah gerak gerik tubuhnya saat bicara. Gerakan spontan dengan  sinar mata menari nari  mengiringi kata kata yang keluar teratur dari mulutnya.  Gerakan yang indah dan koheren. Entah karena bawaan atau karena kebiasaannya sebagai penari. Begitu mulai bicara  dia biasanya akan bercerita  terus dengan penuh gairah dan mata berbinar.  Bukan sekedar  seperti burung prenjak yang selalu riang berkicau. Wanita yang banyak bicara sering mendapat julukan si burung prenjak dalam khasanah budaya Jawa. Dia lebih menyerupai burung branjangan, saat berkicau tubuh dan ekornya selalu bergerak indah, seolah ingin pamer ke dunia.
Terus terang saya lebih tertarik mengamati gerak gerik tubuh dan sinar matanya saat bercerita. Bukan materi pembicaraannya. Isi pembicaraan cenderung kabur, mendekati imaginer. Melompat dari satu topik ke topik yang lain, kadang agak manja kekanakan.  “ Ki, saya kok pengin tahu,  mahasiswa kedokteran itu kalau pacaran pakai ciuman mulut enggak ya ?” Tidak perlu saya jawab pertanyaan itu. Usang, pantasnya diajukan 20 tahun lalu, di tahun lima puluhan, ketika orang pacaran biasanya hanya ciuman pipi atau tangan. Kalau memanas, paling banter  berpelukan dan kaki kanan si pria naik sedikit, atau nangkring.  Tahun enam puluhan sudah terjadi revolusi besar besaran. Orang pacaran hampir pasti cium bibir. Termasuk para kamerad di negara tirai besi sekalipun. Hanya  sapi dan  domba  mencium bokong saat bermadu kasih, maklum mereka memang bukan spesies Homo sapiens.
“Saya tidak akan berciuman bibir, jika pasangan saya belum periksa Roentgen dan terbukti bersih paru parunya. Calon dokter biasanya pasti sudah diperiksa Roentgen ya Ki?”.  Pertanyaan ini secara teknis  seratus persen benar, tetapi tak enak rasanya untuk dibahas di dunia nyata. Menghindari penularan penyakit tuberculosis. Kami ngobrol sampai menjelang pukul lima sore. Pembicaraan tanpa arah, tanpa substansi yang berarti. Tetapi saya tetap  menikmati gerak geriknya yang  luwes dan terkoordinir rapi. Di akhir pembicaraan, dia membetulkan make up di wajahnya. Wajah yang halus terpelihara. Tidak lupa meneteskan minyak wangi di bajunya. Bau wangi dan menyengat dalam sekali, untung sudah mau pisah, baunya bikin pusing. “ Ki Sabtu depan saya ada latihan sampai jam empat sore. Habis latihan saya mampir ke rumah sakit. Main ke rumah ya?”. Saya mengiyakan dengan ringan. Dia memang sering latihan di sasana tari, di dekat rumah sakit Kadipolo. Dengan sepeda jengki warna hijau, dia mengayuh ke arah utara, menghilang berbaur dengan iringan manusia yang pulang ke rumah masing masing.
Dua hari kemudian, hari Sabtu, saya tidak giliran jaga. Bangun tidur siang cepat cepat mandi. Menik datang sesuai janji, kira kira jam setengah lima sore. Mengenakan celana panjang cutbray dan baju lengan panjang warna putih. Sangat serasi dan anggun. Senyum ceria tersungging di wajahnya. Dia memang berpenampilan dan berwajah menarik. Seperti umumnya gadis Solo,  gampang bergaul dan cepat akrab, agak sedikit kenes. Saya merasa bersahabat akrab semata. Tak ada keinginan lebih dari itu. It is not my style, its too vibrant and noisy.  Sore itu kami sempat jalan menyusur Singosaren. Kami makan malam di suatu rumah makan di ujung jalan. “Ki, orang pacaran harus selalu sedia minuman segar ya? Teman saya cerita, dia pacaran sama orang Tasik ”. Saya membalas sekenanya “ Benar, orang Tasik biasanya suka makan petai dan jengkol. Bisa terbius pasangannya”. Menik cerita dengan semangat. Ingin jadi penari beken, jadi primadona, atau paling tidak punya sasana tari di kemudian hari.
Jam tujuh kami naik becak menuju ke rumah Menik. Arah ke utara, sampai Manahan ke Barat, lalu masuk jalan gelap menuju desa Sumber. Gelap gulita. Penerangan listrik hanya di pusat kota waktu itu. Menik menggengggam tangan saya erat sekali. Ceritanya tetap saja mengalir tanpa henti. Tetapi nada suaranya berubah rendah mendesah, tidak bernada kenes lagi. Duduk mepet bersandar di bahu saya, sesekali mengingatkan “Jangan macam macam lo Ki”. Batin saya, siapa yang mau macam macam. Perawan kencur selalu mendua, penuh keraguan.
Akhirnya becak berhenti di persimpangan gang. Sopir becak ternyata tak sanggup mengantar terus. Jalan terlalu rumit (Jawa : rumpil) dan gelap katanya. Saya bayar ongkos becak, dan kami berjalan berdua dalam kegelapan melalui jalan sempit di tengah ladang. Beberapa saat lewat ladang tiba tiba saja di sebelah kanan jalan sempit itu, terlihat rumpun kamboja. Kuburan batin saya. Menik menggamit tangan saya dengan erat. Tangan kiri saya memeluk pinggangnya, reaksi spontan untuk melindungi kalau ada apa apa. Bukan untuk yang lain. Bau bunga kamboja terbawa angin dingin menerpa lembut. Sesaat Menik berhenti, napasnya mendesah ringan. Dia menengok ke arah saya. Wajahnya begitu dekat sampai terdengar jelas irama napasnya. Dan hawa napas menyapu lembut wajah saya. Tanpa sadar kami telah berpelukan. Dia tersenyum manis, baris giginya yang putih nampak dalam kegelapan malam. Bau parfum itu sangat mengusik, menusuk paru saya.  Tiba tiba saja angan saya melayang. Iya kalau ini betul betul Menik ?  Jangan jangan jadi jadian. Rasa takut datang menghunjam mematikan semua naluri asmara. Resiko lebih besar dari manfaat.  Saya mengendurkan pelukan saya. “Nggak usah macam macam dulu aah”. Tersadar dia juga melepaskan genggaman tangannya. Kami terus berjalan dalam kegelapan dan keheningan.
Beberapa saat kemudian  sampai ke rumahnya. Ada halaman tak begitu luas di depan. Gelap tak ada penerangan, kecuali sinar lampu minyak dari ruang tamu. Bapaknya yang membukakan pintu depan. “Gek mulih nDhuk?”. “ Iya pak, saya dengan Ki dari Yogya”. Saya dikenalkan dengan bapak dan ibu Menik. Bapaknya seorang perwira polisi. Ibunya aktif di organisasi. Menik nampak manja dengan bapak ibunya. Keluarga yang bahagia dengan dua putra. Adik lelakinya duduk di bangku SMA. Ternyata satu sekolahan dengan adik saya, di SMA Santo Josef, sekolahan saya dulu.  Pembicaraan basa basi sejenak, kemudian saya dipersilahkan duduk di  ruang tengah. Kami duduk di sudut  ruangan. Diseberang ruangan bapaknya Menik duduk di kursi malas, sambil membaca koran. Nampak sebuah pistol berikut tempatnya tergantung di dinding di dekatnya.
Menik memberi isyarat untuk pindah ke ruang tamu. Kami duduk berdampingan di kursi panjang yang terbuat dari rotan. Mengobrol dengan berbisik. Tak banyak bersuara tetapi obrolan semakin intens. Gayanya semakin memukau seperti burung branjangan. Sesekali kursi rotan berderit ketika kami bergeser semakin mepet. Tangan saling menggenggam erat, kemudian tangan kiri saya melilit pinggang, wajah wajah kami semakin mendekat. Kursi rotan berderit ikut bernyanyi. Tiba tiba ada suara gaduh luar biasa. Braaak. Saya menengok ke arah ruang tengah. Ternyata bapak nya Menik meloncat berdiri dengan tiba tiba. Pikiran melayang ke revolver yang tergantung di dinding itu. Jantung saya berdebar keras mau putus. Hanya sesaat oleh karena kemudian dia beranjak mau ke belakang. Nyali saya terlanjur menciut. Ini risiko lebih besar dari pada enaknya. Lebih baik mundur secara taktis. Menjelang jam sembilan saya pamitan. Menik mengantar sampai pagar halaman. Pesannya singkat. “Minggu depan main lagi ya Ki”. Tak bisa janji saya. Itu minggu terakhir tugas  di Solo.
Hari Sabtu seminggu kemudian, setelah ujian, saya bergegas pulang ke Yogya. Tak bisa menemui Menik untuk pamitan. Saya titip surat lewat seorang teman. Minta maaf kalau saya harus cepat cepat pulang ke Yogya. Dua minggu kemudian saya menerima surat Menik beserta sebuah foto. Dia memakai celana cutbray hitam dan baju putih dan memegang payung dalam foto itu.  Kami masih saling berkirim surat beberapa kali sesudah itu. Tak ada obral janji. Tak ada pengkhianatan. Hanya pesahabatan. Saya menikmati persahabatan itu dan menghargai dia sepenuhnya. Foto itu dulu masih tersimpan di album lama saya. Kini saya cari album itu. Sudah rusak dan foto itu tidak ada lagi di sana.
Hampir lewat empat puluh tahun. Catatan ringkas mengenang Menik sang primadona. Semoga impiannya telah tercapai.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi


Orang tua itu seorang pemikir besar - Ki Ageng Suryamentaram


Saya berlari lari kecil di atas jalan berbatu. Tak mudah mengikuti jalan simbah kakung (kakek) saya yang tinggi semampai itu, dengan langkah langkah lebar. Suatu pagi di tahun 1956. Saya bersama simbah jalan jalan pagi di desa Kalijambe Beringin, Salatiga.  Biasanya pagi pagi begini ada dua arus manusia. Satu persatu wanita berjalan menuju pasar Kroya atau Beringin yang kira kira berjarak masing masing 4  dan  8 kilometer dari desa Kalijambe. Dan arus berlawanan para gembala menggiring  ternak sapi  menuju padang penggembalaan di luar desa di utara.  Lenguh  sapi atau suara kambing selalu ramai di pagi hari bercampur dengan suara burung.

Saya dan orang orang di desa itu, selalu memanggil simbah  Pak Dhe. Beliau mantan lurah Kalijambe di jaman Belanda. Masih gagah dan berwibawa dengan celana sampai di bawah lutut dan baju tanpa kerah,  pakaian khas para petani di Jawa dan Asia Tenggara. Hanya yang lajim biasanya  pakaian itu berwarna hitam. Pak Dhe saya selalu menyukai warna putih. Tak tahu alasannya. Tak pernah lupa adalah tongkat panjang yang selalu dibawa saat jalan jalan seperti ini. Di ujung desa, pak Dhe selalu berhenti di bawah pohon randu alas besar, memegang tongkatnya dan melihat ke padang penggembalaan yang terhampar luas sampai cakrawala. Saya selalu mengagumi penampilannya berdiri tegak dibawah pohon itu, tangan kanannya memegang tongkat, dan tangan kirinya  diletakkan di dahi menghindari silau matahari pagi.
Para gembala yang lewat satu persatu selalu memberikan salam “Selamat pagi Pak Dhe”. Dan Pak Dhe menjawab spontan salam mereka “Sapimu ana pira? Sapine sapa?”. Gembala gembala itu biasanya bekerja  dan tinggal bersama majikan si pemilik lembu. Setelah beberapa tahun, mungkin lima tahun, mereka baru dapat upah berupa anak sapi.  Hampir seperti bonded labour di Nepal dan India. Mungkin sekarang sudah jarang sekali.

Pak Dhe selalu bicara dengan saya dalam bahasa halus.  Dia selalu mencoba menanamkan agar kami selalu menggunakan bahasa Jawa halus. Tak pernah memanggil nama saya tanpa embel embel alias njangkar. Selalu memanggil saya dengan julukan “Mbah Lurah”, karena katanya saya mirip simbah saya di Ambarawa, yang juga mantan  lurah di jaman Belanda. Dia punya keinginan agar  salah satu cucunya  bisa mengikuti jejaknya menjadi lurah kelak. Sering mengalami sindrom perfeksionis, selalu mencatat dengan seksama nomer seri uang kertas yang dimilikinya sebelum digunakan. Perkerjaan yang paling membosankan, jika dapat giliran membaca nomer seri uang itu.
Ketika iring iringan lembu sudah lewat, kami berjalan ke arah selatan, mendaki jalan di lereng perbukitan menuju ke arah dukuh Krandon. Desa Kalijambe memang terletak di jepitan perbukitan. Kira kira dua ratus meter di depan rumah Pak Dhe, ada dinding bukit terjal tingginya hampir seratus meter. Di atas sana terdapat perkebunan karet milik negara. Salah satu adik Pak Dhe, tinggal di dukuh Krandon. Biasanya kami selalu mampir dalam perjalanan dari Beringin menuju Kalijambe.  

Selepas tanjakan, tiba tiba perhatian saya tertuju pada sosok seorang tua  yang berdiri di atas bebatuan di tepi jalan. Juga mengenakan baju kurung dengan kancing terbuka di depan. Selembar kain warna keputihan dengan corak kotak kotak, melilit lehernya. Dia  memegang tongkat panjang menopang tubuhnya yang renta. Pandangannya sayu menatap lembah dan padang yang membentang luas di bawah. Tak bisa saya mengerti, Pak Dhe  yang gagah, berwibawa dan disegani banyak orang di desa itu, serentak  melihat orang tua itu, dia memberikan salam dengan hormat yang dalam. “Sugeng enjang Kanjeng Rama”. Orang tua itu membalikkan mukanya dengan tatapan ringan dan sayu. “ Ki Lurah, piye kabare. Suwe ora ketemu ya”.
Mereka terlibat dalam pembicaraan yang  intens. Dalam bahasa Jawa yang sangat halus, yang saya juga tidak paham benar. Yang jelas terlihat, Pak Dhe hampir terus bersikap sangat sopan dan menghormati. Kedua tangannya selalu di depan ngapurancang , tidak lagi memegang tongkat dengan tangan kanan diatas pundak. Saya tertegun terheran heran. Orang tua itu berbincang dengan tatapan ringan  jauh ke depan. Walau nampak  berwibawa di muka Pak Dhe, terkesan ada semacam kegelisahan yang dalam di sorot matanya. Di akhir pembicaraan, Pak Dhe berpamitan dan memberikan salam hormat dengan menutupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Pemandangan itu ganjil rasanya, tidak pernah saya lihat sebelumnya. 
Mata hari sudah tinggi ketika kami  menuruni jalan kembali menuju desa Kalijambe, lewat jalan rindang di sela sela rumpun bambu yang lebat. Saya mencoba mencari tahu, siapa orang tua itu. Pak Dhe hanya menjawab ringan “ Gusti Pengeran Suryamentaram”. Waktu itu saya belum paham, siapa itu Pangeran Suryamentaram.   Hanya sering mendengar cerita tentang beliau.  Beliau bermukim di dukuh Kroya, desa Beringin, Salatiga. Setiap kali kami jalan menuju Kalijambe, dengan jelas bisa melihat atap seng rumah beliau di kejauhan, di lembah dibawah naungan pohon pohon kluwih yang rindang. 

Bertahun tahun kemudian baru saya mengetahui siapa Ki Ageng Suryamentaram. Beliau adalah putra  Sultan Hamengku Buwana VII, yang meninggalkan kehidupan mewah keraton dan mengasingkan diri hidup di kalangan rakyat jelata. Konon pernah tinggal di Cilacap dan berjualan setagen dan batik di pasar. Juga pernah menjadi tukang sumur di daerah Bagelen. Terakhir tinggal sebagai petani di desa Beringin, Salatiga.  Kisah perjalanan spiritual Ki Ageng Suryamentaram, mirip dengan kisah Pangeran Siddartha Buddha Gautama dari Lumbini, Nepal,  yang menemukan ajaran Buddha ribuan tahun lalu. Di balik kegelisahan spiritual Ki Ageng Suryamentaram, beliau meninggalkan ajaran  Kawruh Beja (pengetahuan tentang kehidupan), Kawruh Pangawikan Pribadi, yang tertulis dalam buku buku, Ilmu Jiwa Kramadangsa, Mawas Diri, Filsafat Rasa Hidup dan lain lain. Pemikiran besar berdasarkan filsafat  Jawa. Di bidang politik beliau terlibat dalam pembentukan PETA, Pembela Tanah Air. Belum sempat saya membaca dan mendalami ajaran ajaran ini.

Bertahun kemudian, jika mengingat saat berjalan dengan Pak Dhe di suatu pagi lebih lima puluh lima tahun lalu, saya merasa sangat beruntung, bisa bertatap muka dengan pemikir besar Jawa yang saya kagumi. Yang tragis, putra ke dua beliau, Raden Mas Jegot, meninggal di usia muda, tenggelam kecelakaan di Rawa Pening di tahun lima puluhan. Saya juga ingin setegar beliau, setelah kehilangan anak saya karena kecelakaan di tahun 1997.  Ki Ageng Suryamentaram wafat di tahun 1962.
Moga moga anda punya waktu membaca riwayat dan ajaran Ki Ageng Suryamentaram, salah satu pemikir Jawa klasik. Ajaran ajarannya tetap relevan dalam kehidupan masa kini yang hingar bingar (http://www.facebook.com/pages/Ki-Ageng-Suryomentaram/41261288299)
Ki Ageng Similikithi