Friday, October 31, 2008

Namaku Rosa

Di penghujung tahun 1970. Bram dalam perjalanan dari Yogya ke Bandung. Naik bis malam Bandung Express. Nama lengkapnya Bramantyo. Raden Mas Bramantyo Kusumo. Suara bis terdengar mengerang melewati tanjakan bukit Plelen, sesudah lewat Weleri. Belum tua benar sebenarnya bis itu. Tetapi selalu saja mengerang setiap mendaki tanjakan. Seolah keletihan. Seperti dirinya. Letih menatap karier yang tak juga nampak ujungnya. Sebentar lagi dia lulus. Jurusan Hubungan Internasional di kampus Pagelaran. Kampus Univeritas Gadjah Mada yang numpang di pendopo keraton Yogyakarta. Dia sudah selesai tahun ke empat. Belum punya arah mau ke mana. Kegiatan mahasiswa diluar kampus yang begitu hiruk pikuk tak juga memberi arah jelas baginya. Kadang2 merasa takut, mau kemana masa depannya.

Sudah lama dia tak mengunjungi pakdhenya di Bandung. Beliau sekeluarga tinggal di Bandung setelah pension. Pensiunan duta besar RI di Hongaria, pakde Dewanto. Ingin petuah dari pakdenya yang kaya pengalaman. Dia selalu takjub mendengar petuah petuah pakdenya sejak kecil. "Datanglah ke Budapest anak muda. Kamu bisa banyak belajar di sana". Ayah dan ibunya selalu berharap dia akan menjadi pejabat tinggi pemerintahan. Ayahnya adalah petinggi di kantor pemerintahan Kepatihan. Bram putra semata wayang. Ibunya begitu sayang dan lembut padanya. Seperti halnya wanita2 ningrat Jawa, anggun dan berwibawa. Bram sering membayangkan punya pasangan hidup yang sabar dan anggun seperti ibunya. Ibunya juga wanita ningrat, keluarga berdarah biru. Kakek moyangnya adalah salah satu tokoh dalam perang Diponegoro seabad yang silam.

Menjelang masuk Pekalongan bis berhenti di rumah makan. Penumpang sebelahnya, seorang wanita muda, menggeliat berdiri. Mungkin kecapaian duduk. "Enak bisa turun sebentar", katanya ramah. Terkesima Bram menerima sapaan mendadak itu. Sejak berangkat dari Yogya dia diam seribu bahasa. Tak ambil pusing siapa yang duduk di sebelahnya. Pikirannya melayang kemana mana. "Saya Bram. Bramantyo", Bram cepat memperkenalkan diri. "Namaku Rosa. Pipit Rosalina". Turun dari bis, mereka berdua duduk semeja menikmati makan malam. Bram pesan makanan kesukaannya, nasi rawon. Dulu tak banyak nasi rawon di Jawa Tengah. Ini masakan asli Jawa Timur atau Madura yang telah masuk kasanah makanan nasional.

Rosa teman bicara yang mengasyikkan. Suaranya segar dan merdu. Cerita banyak tentang dirinya. Tentang usahanya. Tak banyak tentang keluarganya. "Saya juga kuliah dulu. Fakultas Ekonomi sampai tahun kedua. Putus dua tahun lalu". Rosa tinggal di Bandung. Di daerah Sangkuriang. Dia pengusaha pakaian. Sering bolak balik ke Yogya karena usahanya. Selesai makan, bis berangkat kembali. Jam telah menunjukkan lewat jam sepuluh malam. Angin malam dingin mulai terasa menusuk. "Bagaimana saya harus memanggil? Tante Rosa? Kak Rosa" Bram agak kikuk memanggil nama Rosa secara langsung. "Panggil saya Rosa. Lebih enak dan akrab khan".

Mereka sempat meneruskan obrolan sepanjang perjalanan. Bram memang tak banyak bisa cerita. Pembawaannya pendiam dan serius. Dia tak bisa berbasa basi, walau konon jadi tokoh mahasiswa di kampusnya. Ah tokoh kan hanya selama perploncoan saja. Tokoh dari mana? Banyak orang kadang suka menokohkan diri sendiri. Kadang lingkunganlah yang memitoskan seseorang. Bram tak suka itu. Dia merasa bukan tokoh bukan apa. Persetan dengan segala mitos tokoh mahasiswa itu. Berhadapan dengan Rosa, dia merasa hangat, ingin cerita banyak. Tentang Yogya. Tentang universitas. Tentang keraton. Tak berani tentang impian impiannya. Rosa banyak bercerita tentang Bandung yang indah. Tentang anak anak Bandung yang suka dansa. Tentang bunga bunga. Seolah mereka sudah lama berteman. Baru dua jam berlalu semenjak berhenti makan di rumah makan tadi.

Kadang angin malam masuk lewat lubang di jendela. Rambut panjang Rosa melambai terterpa angin menyentuh muka Bram. Bau harum melati kadang menyapu ringan. Dia mulai berpikir. Rosa berpenampilan menarik, tingggi semampai, berkulit bersih. Giginya putih berseri, tersusun rapi diantara bibir yang seksi. Mulut indah itu selalu menyungging senyum ramah. Senyum yang menawan. "Bram. Gila kamu. Baru kenal dua jam lalu, pikiranmu jangan kemana mana ". Dia coba mengingatkan dirinya. Ini pikiran gila. Godaan setan. Wajah teman wanitanya, Reni di Yogya kadang datang sekilas. Belum pacaran, hanya kadang suka ngobrol semata. Reni juga cantik dan menarik.Dia calon dokter. Ibu Bram selalu memuji Reni luar biasa.

Tetapi Rosa ini lain rasanya. Ada semangat, ada kekuatan luar biasa dibalik rona cantik dan ramah itu. Dia tadi begitu berapi api cerita tentang usahanya. Tentang kesukaaannya. Tentang bunga bunganya. Dia sekarang tertidur tenang di sebelahnya. Tenang dan damai. Sementara bau melati kadang menyentuh ringan. Tak sadar kepala Rosa bersandar di pundak Bram. Aaah rasanya pengin Bram memeluknya, menjaganya agar tak terantuk. Biarpun bis berkelok ke sana kemari mengikuti jalan yang tak pernah lurus. Bram bertanya dalam hati mengapa para arsitek jalan raya selalu merancang jalan berkelok kelok. Mengapa tak dibuat lurus saja. Semuanya jadi gampang langsung ke tujuan?

Bis masih saja mengerang setiap mendaki tanjakan. Menjelang fajar bis memasuki dataran tinggi Bandung. Rosa terbangun. "Anda tak tidur?" tanyanya. "Saya tak biasa tidur dalam perjalanan". Bram memang tak bisa tidur setiap naik bis malam atau kereta. Pikirannya selalu melayang ke luar jendela, merayapi kegelapan malam. Dia selalu menikmati lamunannya. Tak sadar Rosa masih saja bersandar di pundak Bram. Dia sudah terjaga. Bram menawarkan permen lembut kesukaannya. Mereka kadang meneruskan omongan omongan ringan. Rosa menggeliat ringan ketika tangan Bram membetulkan posisi agar tubuhnya tak terjatuh. Tangan kanan Bram telah melingkari leher Rosa. Aman, tak perlu takut terantuk, walau bis oleng ke kiri atau ke kanan. Napas napas mereka terdengar teratur berirama diantara bau melati. Tak sadar jari jemari mereka telah saling menggenggam. Saling membelai dan meremas. Jari jemari mereka bermain lembut di antara desiran angin malam dan rintihan mesin itu. Tak ada yang bicara. Tak ada yang tertawa. Hanya kadang napas mendesah ringan. Dunia milik mereka berdua. Bis Bandung Express seolah menjadi tumpangan mereka mengarungi malam.

Lamunan lamunan Bram yang menerawang jauh di kegelapan malam, telah kembali ke bumi. Ke wanita cantik bernama Rosa yang bersandar disampingnya. Tangannya memeluk teguh seolah tak akan melepas Rosa darinya. Seolah ingin wanita ini aman dalam pelukannya. Sementara jari jemari mereka menari nari bersama irama napas yang kadang berdesah berkepanjangan. Saling meremas dan bergerak bersama ke daerah rahasia yang memberikan sensasi luar biasa. Jantung berdesir indah. Tak berdetak tanpa aturan. Hanya berdesir bersama lamunan. Jari jemari Bram terus menari menyusur daerah rahasia di paha Rosa yang indah itu. Paha yang begitu lembut dan halus seperti pualam. Kadang Rosa menggeliat dengan desah napas ringan. Sementara kayalan dan impian membubung tinggi bersama tarian jari jemari Bram. Rasa damai melayang bersama desiran jantung yang membawa rasa bahagia yang dalam. Ketika rasa itu semakin membubung, terasa kejang dan nikmat luar biasa. Kedamaian dan kebahagiaan yang dalam. Aaaaah, tarikan napas eskprirasi Rosa terdengar memanjang, dan dia mendarat ke bumi kembali. Ke pelukan Bram teman baru yang dikenal beberapa jam lalu. Rosa seolah menemukan kedamaian dan kebahagiaan disana.

Tangan Bram tetap saja melingkari tubuh Rosa. Seolah berkata " Anda dalam pelukan saya. Dalam lindungan saya. Istirahatlah sayang". Rosa tertidur kembali. Bram terlelap sebentar menjelang masuk Bandung. Bis telah sampai di pemberhentian. Mereka terbangun ketika suara penumpang mulai ramai. " Maafkan apa yang terjadi" kata Bram merasa bersalah. " Tak perlu maaf. Kita lakukan bersama sesadarnya". Bram mencoba menukas kembali "Kita lupakan semuanya ya. Maaf sekali lagi". Rosa tak menghiraukan. Dia memberikan kartu namanya. "Datanglah ke rumah sebelum pulang ke Yogya". Semua penumpang turun, diantar ke alamat masing masing. Adik Rosa telah menunggu dan menjemputnya pergi. Rosa menghilang dalam keheningan kabut pagi. Bramantyo tertegun seperti habis mimpi. Dia baca berkali kali kartu nama indah itu. "Pipit Rosalina" . Nama yang indah. Penuh gairah dan pesona.

Pembaca yang budiman. Sepotong kisah dalam bis malam ini sudah puluhan tahun berlalu. Saya tak sampai hati memberi judul naskah ini "Sex di bis malam". Bukan sex sesaat. Bukan one nite stand. Bukan impian semusim. Sepotong kisah ini adalah awal cerita cinta yang berlangsung puluhan tahun. Saya akan coba bercerita. Tentang Bram dan Rosa. Tentang banyak tokoh. Banyak peristiwa terukir dalam cerita ini. Cerita tentang cinta antara dua anak manusia. Bukan hanya dalam impian dan lamunan. Hidup memang bukan semata impian sesaat. Bukan nikmat sesaat. Untuk orang yang bercinta , hidup adalah perjalanan bersama. Mengarungi dunia mendaki impian.

Salam cinta dan selamat bercinta anak muda.

Sunday, October 26, 2008

Mbak NDHUNG



Tahun 1972. Sore hari, saya naik sepeda lewat jalan Ngabean Yogyakarta. Mau berangkat kursus bahasa Belanda di Karta Pustaka. Dekat daerah Kota Baru di Utara. Jalan sepi, bersih, tak berdebu. Pelan pelan saya mengayuh sepeda torpedo tua. Di muka kantor pemerintahan kota madya, tiba tiba saya menatap dua sejoli yang saya kenal benar. Mbak Ndhung sama pacarnya mas Pari naik becak dari arah berlawanan. Dia teman akrab Emsa, pacar saya (belum tetap) waktu itu. Mas Pari, saya tahu mahasiswa teknik. Mereka ke arah Barat. Ketika dekat, saya melambaikan tangan, memberi salam. Mbak Ndhung mengangkat tangannya. Saya pikir akan membalas lambaian tangan saya. Ternyata malah nyablek paha sang pacar. Kemudian menutup muka dengan kedua belah tangannya. Dia menangis nampaknya. Niat saya mengikuti mereka saya urungkan. Biasa orang kalau dirundung cinta pasti tengkar. Ujung ujungnya sang gadis akan menangis. Walaupun sebenarnya nggak ingin menangis. Seolah sudah menjadi bagian resmi ritual jatuh cinta. Kalau nggak pakai nangis rasanya nggak mendalam cintanya. Ungkapan "Gemes aku" layak jadi ungkapan cinta.

Esok paginya saya bilang ke Emsa, kalau saya ketemu mbak Ndhung. Dikasih salam kok malah menutup muka. Sedang menangis. Jawabnya juga enteng " Biasa panas panasnya pacaran. Sok pengin nangis. Gemes ". Kami tak berdiskusi lebih lanjut tentang peristiwa menutup muka itu. Waktu tersita untuk kuliah dan untuk acara kami berdua. Kami di tingkat empat waktu itu. Saya juga sibuk mengurusi majalah mahasiswa Hygieia. Hubungan saya dengan Emsa kandas di akhir tahun 1972. Kisah menyakitkan. Tak ada yang menangis. Apa lagi nyablek campur gemes. It is not in my vocabulary. Semua berlalu dengan tenang. Tak perlu sedu sedan itu. Tak perlu cablek menyablek itu. Saya ini orang pondokan yang terbuang. Emsa ternyata kawin sama mantan pacarnya.

Praktis sangat jarang ketemu mbak Ndhung. Sampai lulus dokter jarang bertemu dengannya. Kedekatan kami waktu itu karena dia teman akrab Emsa. Hubungan saya putus dengan Emsa. Nggak ada kesempatan ketemu mBak Ndhung. Waktu berjalan terus. Kadang saya membaca berita tentangnya. Pernah membaca dia mendapat penghargaan Asian Young Investigator Award penyakit jantung di tahun delapan puluhan karena penelitiannya tentang minyak ikan lemuru. Di pertengahan 90an pernah mengunjungi pusat studi yang saya pimpin di Yogya. Sekedar tukar pengalaman. Dia menjabat sebagai Kepala Lembaga Penelitian RS Harapan Kita, jabatan bergensi.

Tiga puluh enam tahun kemudian. Tahun 2008 kami bertemu secara tak sengaja di bandara Changi. Mbak Ndung alias Prof DR Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI yang terkenal energetik dan dinamis. Saya dalam perjalanan dari Yogya dengan NYI sehabis lebaran. NYI memberi isyarat, ada Menkes di ruang eksekutif itu. Berdua Dr Fadilah bersama dengan Dr Husniah, Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI. Mereka dalam perjalanan pulang menghadiri pertemuan antar menteri kesehatan negara negara ASEAN. Kaget ketika saya sapa secara formal. Kami kemudian terlibat pembicaraan ramai. "Ki dulu setahun dibawah saya. Pacarnya teman akrab saya" ujarnya ke NYI. Nyi hanya bisa tersenyum. Dia sudah lama paham kisah saya dengan Emsa. Tak lama pertemuan tak sengaja itu. Mungkin tak ada setengah jam. Saya cerita baru saja menghadiri lokakarya yang kami sponsori di Yogya tentang Improving Medicines Supply in Decentralized Environment. Juga saya ungkapkan keberhasilan Sleman dalam desentralisasi kesehatan. Investasi dari anggaran belanja pemerintah untuk sektor kesehatan sampai 8 – 10 % (angka nasional tak mencapai 3 %, angka ideal internasional sebaiknya lebih dari 5 %) . Angka kematian anak dan ibu bisa ditekan rendah, angka harapan hidup meningkat sampai 76 tahun (wanita). Tak kalah dengan negara negara makmur di dunia. Dia cerita tentang tantangan desentralisasi di daerah2 lain. Keterikatan (commitment) pemerintah daerah untuk kesehatan masih harus digenjot. Namun angka kematian ibu telah ditekan turun selama tahun tahun terakhir. Pemerintah akan mengupayakan maksimal agar angka kematian ibu bisa ditekan lebih rendah lagi. Indonesia masih masuk tinggi di Asia untuk angka kematian ibu.

Pembicaraan beralih. Saya ingatkan peristiwa di jalan Ngabean itu. Dia masih ingat. "Saya kok nggak ingat ketemu kamu Ki. Tapi Emsa cerita sama saya". Gimana mau tahu wong sedang pacaran. "Mas Pari masih tetap langsing seperti dulu. Kamu kok gemuk sekali Ki". Saya berseloroh ringan " Jangan jangan beliau makan hati ya". "Wah opo iyo yo. Sing jelas kan luwih sehat ?" Berat badan saya memang lebih 90 kg kini. Dulu sewaktu masih lajang hanya 50 – 55 kg.

Petugas protokol mengingatkan kalau harus ke ruang keberangkatan. Pesawat boarding. Kami berpisah. Tiga puluh enam tahun semenjak saya ketemu dia menutup muka di dalam becak itu, saya belum sempat mengatakan kepadanya. Pertemuan tak sengaja. Hanya beberapa menit. Tetapi saya masih sempat mengingatkan peristiwa papasan saya dengan dia di jalan Ngabean itu. Kini dia menjabat Menteri Kesehatan. Energetik dan dinamis. Banyak mengkritik negara negara adidaya dalam menguasai sumberdaya kesehatan, terutama vaksin dan obat obatan. Juga mengkritik peran organisasi dimana saya bertugas. Bukunya banyak disitir dan diterjemahkan di dunia internasional (http://www.goodreads.com/author/show/1414329.DR_Dr_Siti_Fadilah_Supari_Sp_Jp_K_) . Suaranya lantang berapi api dalam forum forum resmi maupun di televisi. Kekhawatiran saya kalau dia sedang pas berapi api itu, akan nyablek lawan bicaranya. Boleh nyablek sih, asal sama pacar atau suami sendiri.

Pesan untuk anak anak muda yang bercinta. Boleh nyablek pacar. Boleh nangis. Boleh menutup muka. Boleh gemes. Tetapi jangan sekali sekali nylentik sang burung. Bisa kuwalat.

Salam damai untuk Mbak Ndhung. Untuk kokiers dan anak anak muda yang bercinta

Ki Ageng Similikithi

Saturday, October 25, 2008

Pelukan dua hati

Pertengahan tahun 1974. Saya masih tugas di rumah sakit bersalin Mangkubumen. Rumah sakit kecil dengan kira2 30 tempat tidur, di sebelah kompleks Mangkubumen. Bersih dan tenang. Jam dua siang selesai tugas pagi. Kami berdua tugas jaga, dengan Santo. Kamar ko ass di ruang belakang yang sunyi. Hari itu suasana tenang. Tak ada operasi. Tak ada gawat darurat. Tiba tiba saja pengin ketemu MUR. Kebetulan Toni mau mengganti saya tugas jaga sore itu. Hanya sampai jam 700 petang. Dia ada janji sama calon bini. Saya janjikan dia untuk menterjemahkan artikel yang ditugaskan kepadanya.

Dengan ringan saya bergegas naik becak ke Benteng Kulon. Hanya beberapa ratus meter dari Mangkubumen. Mencegat bis jurusan Magelang di jalan Wahid Hasyim. MUR beberapa minggu ini tinggal bersama kakaknya di Magelang. Di kampung Boton. Hubungan sudah serius. Pacar tetap. Surat menyurat mengalir lancar. Dengan alamat penerima yang sama, MUR. Sekali dua kadang kadang ada surat ke penerima yang berbeda. Tetapi itu hanya surat biasa, tanpa ikatan emosi. Tak apa, toh belum terikat resmi dengannya. Kesepakatan hati semata mata, belum ada ikatan legal. Bis Mustika jurusan Semarang Yogya lancar melaju. Kadang2 balapan menaikkan penumpang sepanjang jalan. Masuk kota Magelang dengan rasa riang. Pemandangan agak terganggu di pintu masuk kota. Setiap kali masuk Magelang, terlihat banyak orang mandi di saluran air di kiri jalan waktu itu. Sekarang sudah jarang. Jam empat kurang sedikit saya telah mengetok pintu di Boton.

MUR terkejut senang melihat saya di muka pintu. "Ada tugas di Magelang?". Dia tersenyum ceria dan memeluk mesra. Ciumannya datang bertubi. "Bukan tugas. Pengin ketemu saja". Berpelukan nggak begitu penting saya rasa. Ciuman, bolehlah. Boleh tahan. Laki laki harus selalu tahan diri. Jangan bertampang murahan. Apalagi minta ini minta itu. Diberi matur nuwun. Nggak diberi ya terima saja. Laki laki yang suka minta minta wajahnya nampak lucu. Jangan memaksa. Pantangan seumur hidup. Ketemu dia dan lihat senyumnya yang berseri sudah lebih dari cukup. Saya bilang kalau hanya ada waktu sejam, sedang jaga."Saya baru mau mandi tadi". Kami duduk di ruang tamu berdua. Bergegas dia membawa dua cangkir teh hangat. Dia sendirian di rumah. Kakaknya berdua baru ke luar kota, mungkin pulang sampai malam. Tak tenang perasaan saya. Waktu sangat sempit. Tetapi lega bisa menjumpainya. Walau waktu sangat terbatas. Kami bicara bicara singkat. Nggak ingat apa yang kami bicarakan. Tak ada agenda penting yang perlu dibahas khusus. Saya ingat bawa pakaian ganti dalam tas saya. Badan terasa lekat. Pengin mandi air yang segar. Air mandi di Magelang dan Ambarawa selalu terasa dingin dan segar.

Saya minta ijin ke kamar mandi sebentar. Ada handuk bersih dan pakaian MUR di sana. Memang dia sedang mau mandi ketika saya datang. Ada pakaiannya di kamar mandi. Dan pikiran saya melayang kemana mana. Ingat legenda cinta Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan. Nawangwulan adalah bidadari kayangan yang sering turun mandi ke telaga di dekat kediaman Jaka Tarub, setiap malam Anggoro Kasih ( Selasa Kliwon). Satu saat Jaka Tarub ngintip dan mencuri pakaian Nawang Wulan, sehingga dia tak mampu terbang kembali ke kayangan. Jaka Tarub kemudian pura pura datang menolong bidadari yang sedang kebingungan itu dan memberikan pakaian yang lain. Secara singkat Dewi Nawang Wulan akhirnya mau jadi isterinya. Ceritanya panjang. Di lain kesempatan akan saya ceritakan. Saya langsung saja mandi. Terasa segar dan dingin. Tak terpikir mau mencuri pakaian MUR. Apa untungnya ? Dia toh sudah mau jadi pacar tetap. Tak perlu curi mencuri pakaian dalam. Ini sih realita. Bukan legenda. Bukan ketoprak.

Tiba tiba pintu terbuka. "Saya ikut mandi". Kaget luar biasa. Tak sempat mengiyakan dan menolaknya. Langsung saja dia buka pakaian dan ikut mandi. Pikiran saya was was jika ada orang yang datang. Apalagi kalau HANSIP. Saya pernah melihat pasangan mahasiswa digelandang ke kantor RK di Suronatan Yogya karena duduk berdempetan di ruang pondokan. Duduk berdempetan asal tangan nggak kemana mana sih masih legal hukumnya. Nggak tahulah. Semua toh bisa berubah cepat.

Selesai mandi cepat cepat ambil handuk mengeringkan badan. MUR nampaknya juga cepat selesai. Dia mendekat pelan dan memeluk saya. Berpelukan erat. Pelukan sangat mesra. Hati saya mendesir. Perasaan terbang melayang.. Tak ada napas memburu. Tak ada napas tersengal karena birahi. Hanya rasa sayang dan damai yang dalam. Kesejukan yang menenangkan. Sekilas teringat kisah Jaka Tarub dan Nawang Wulan. Saya rasakan kebahagiaan Jaka Tarub menerima Nawang Wulan dalam pelukannya. Boo, bukan bidadari yang bersandar di pelukan saya. Bukan Dewi Nawang Wulan. Dia MUR mahasiswi asal Pekalongan itu. Pacar tetap. Tak apalah. Tak harus mencuri pakaiannya. Pakaian2 itu masih utuh bergantung di pintu. Tak harus menipu dan merayu, apalagi memaksa. Saya berdoa waktu itu semoga pelukan itu berlangsung sepanjang waktu. Bukan impian sesaat. Pelukan dua hati. Dua insan dalam cinta.

Ah peristiwa sesaat itu tak pernah terlupakan selamanya. Sampai dia menjadi NYI dia tetap setia memeluk saya. Setiap habis mandi. Setiap mau pergi. Setiap datang. Walau prahara kadang datang dan pergi, pelukan itu tetap saja datang kembali. Pelukan antara dua hati. Pelukan sehidup semati sampai akhir perjalanan waktu.

Salam untuk anak anak muda yang bercinta. Peluklah kekasihmu dengan cinta, dengan damai. Bukan semata karena birahi asmara. Dan jangan suka ngintip dia mandi.

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber 25 Oktober 2008

http://community.kompas.com/read/artikel/1403

Monday, October 13, 2008

Di ambang nikmat surgawi

Irama musik waltz mengalun lembut. Nada tanpa syair lagu I Love You Because. Malam indah bertabur bintang. Lupa kapan persisnya, kira kira di semester kedua tahun 1969. Baru seminggu sebelumnya selesai ujian.. Ulang tahun ENY, gadis sekelas yang pernah saya ceritakan Di Bawah Keremangan Pohon Jambu. Malam itu beberapa bulan sesudah peristiwa di bawah pohon jambu itu. Kami berenam merayakan ulang tahun ENY di rumahnya. Kebetulan esok hari libur. Saya berdansa ringan dengan ENY di ruang tamu. Dua sejoli yang lain asyik masing masing di ruang sebelah. Suara bisikan dan tawa ringan kadang terdengar samar samar. Aroma romantis bergema di antara bisik bisik mesra mereka. Tak ada sorak sorai. Orang bermesraan jarang bersorak sorai. Hanya kucing yang menjerit jerit saat bermain cinta.

Ketika musik berganti ke irama blues, tangan ENY semakin erat bergantung. Bergerak ringan sekitar ruang. Kepalanya bersandar di dada kiri saya. Lingkaran erat lengan saya coba mempertahankan keseimbangan. Ketat dan mesra. Tak sadar seolah ingin menjaganya. Jangan sampai jatuh terhempas. Bergerak ringan. Melayang di antara alunan musik lembut menghanyutkan. Suatu saat dia berbisik mesra. "Ki, kamu seneng punya isteri dokter ?". Pertanyaan formalitas. Nggak perlu dijawab. Tak ada jawaban ya dan tidak. " Ah tak usah dipikir, perjalanan masih jauh" Baru tingkat satu habis ujian semester saja belum tentu masuk semua kok mikir macam macam. Dia juga nggak perlu jawaban. Omongannya ringan "Kalau nggak jadi dokter, ya lumayan jadi isteri dokter". Sesaat kemudian dia teriak " Hai pada ngapain ya?" Dua pasangan lain memang sudah resmi pacaran. Mungkin pas panas panasnya. Mungkin demikian juga dengan kami. Semua serba indah. Penuh rayuan indah. Semua pernah mengalami. Kadang rayuan berlebih, bertabur dan berserakan seperti gombal. Menjelang tengah malam kami pulang. "Besok pagi datang ya Ki. I will miss you. Jangan lewat jam 10 "

Esok paginya saya datang lagi. Menjelang pukul sepuluh. Naik becak dari Ngasem. Nggak enak pakai sepeda. Selalu ketahuan anak anak dan pemuda tetangga. Mereka lantas ramai kumpul di depan rumah. Tak menghiraukan hak azasi pasangan yang asyik pacaran. Tak ada perhimpunan muda mudi pacaran, yang bisa memperjuangkan hak hak azasi mereka. Terutama melawan pemuda kampung, anak anak tetangga atau bahkan HANSIP. Kebetulan rumah sepi. Semua bepergian. Sepupunya pergi keluar kota. Kakeknya tugas di keraton. Enggak tahu apa pangkatnya. Tahu saya ya abdi dalem. Nenek dan budenya ke pasar. ENY tinggak bersama kakek dan nenek dan sepupunya.

"Ki saya bangun kesiangan. Barusan mandi". Wajahnya segar berseri. Tertutup make up ringan. Tak menyolok. Roknya warna lila. Sedikit longgar, tetapi tak dapat menutup bentuk tubuhnya yang indah dan seksi. Bahasa popnya sintal. Dalam cinta semua ungkapan bahasa diperindah. Gemuk jadi montok seksi. Kurus jadi langsing gemulai. Kami bicara ringan di ruang belakang. Sambil baca majalah. Sementara dia duduk bersandar manja di bahu saya, di kursi panjang. Kursi itu bersih, tak ada penghuni liar bangsat (Jawa: tinggi), seperti di kebanyakan rumah pondokan, yang selalu ada tingginya. Mungkin sengaja dipelihara sama yang punya kost. Supaya yang bertamu nggak betah. "Saya punya musik baru Ki. Duke Ellington". Hadiah ulang tahun dari papa dan mama" Mama dan papa ENY berdomisili di luar Jawa. Papanya seorang perwira tinggi. Nggak berani main main. Pacaran harus tertib. Harus berperangai disiplin, sapta setia pemuda.

Kemudian beranjak ke kamar belajar ENY, ruangan bersih tertata rapi. Ada bunga gladiola di mejanya. Di seberang meja, tempat tidurnya tertata apik dengan taburan bunga melati. Kami menikmati musik sambil bicara pelan. Kadang berkembang ke bisikan bisikan mesra. Bersama alunan musik. Melayang di awang awang dengan jantung berdesir indah. Belaian tangannya lembut membuai. Terasa kedamaian dan kemesraan yang dalam. Seolah menari bersama bersama irama terompet indah itu. Di antara desah napas yang semakin memburu. Tangannya erat bergantung di leher saya. Bersandar mesra di bahu. Dia selalu bilang senang bahu dan leher beruang. Tetapi saya bukan beruang. Saya hanya binatang jalang yang terbuang. Saya peluk erat seolah tak akan berpisah lagi. Belum sehidup semati. Mana ada orang pacaran mikir mau mati. Sementara bibir indahnya menari nari bersama desah napas memburu teratur, di wajah dan leher saya. Berciuman diantara pelukan dan belaian mesra. Kadang harus berhenti sejenak mengatur napas.

Bergeser kami duduk di tepi ranjang. Matanya terpejam. Bibirnya merekah indah. Dia bersandar di pangkuan saya. Belaian belaian mesra semakin menggelora. Berseling dengan rintihan rintihan lirih. Diluar terdengar hujan renyai. Hawa sejuk menyelinap lewat jendela dengan gordyn warna hijau muda. Kadang angin angin kecil masuk lewat jendela itu. Seolah mengingatkan kami yang sedang terbuai dalam asmara. Tak sadar apa yang terjadi, dia sudah telentang di ranjang yang berbau wangi. Tanpa selembar benangpun menutupi tubuh yang indah itu. Saya terdiam terpana. Saya takjub melihatnya. Birahi asmara bertransformasi mendadak. Terpesona akan keindahan tubuh tiada tara. Rasa kagum luar biasa. Lekuk liku tubuhnya demikian indah. Mahkota wanitanya nampak anggun memukau. Seolah berucap selamat datang. Rasa sayang menyelinap kalbu yang dalam. Tak sampai hati merusak dan menodai tubuh indah itu. "Ki ……" Bisik lirihnya terdengar menghentak kesunyian. Bersama tarikan tangan mesra. Mengajak menyelesaikan ritual asmara yang belum tuntas. Saya kecup bibir indahnya. Saya kecup wajahnya. Saya peluk tubuhnya. Saya bisikkan kata kata mesra. "Perjalanan masih jauh. Mungkin belum saatnya. Saya tak sampai hati melakukannya"

Sejenak kemudian kami berbenah. Kembali ke ruang tengah. Buah jambu air menemani percakapan ringan kami. "Gila Ki". Saya menukas sekenanya. " Bukan gila. Kita mencoba berenang di laut asmara" Sial baru tersadar kalau tarikan tangannya telah melepas beberapa benik baju saya. Untung pakai kaos dalam. Sejak lulus SMA saya jarang pakai baju dalam. Jam setengah dua, neneknya datang. "Terima kasih ENY ditemani". Saya pulang sesaat kemudian. "Jangan nyesal ya Ki". Tak ada yang perlu disesalkan. Homo sapiens bertindak atas instink dan akal sehat. Sampai di rumah pondokan, mak Yem pembantu bertanya heran. "Gus kok benik baju copot semua?". "Sial kesrempet becak di Ngasem". Tak saya hiraukan komentarnya. Nggak juga tahu maksudnya. "Becak jaman sekarang, nyrempet juga pilih pilih". Saya masuk kamar menikmati tidur siang yang damai. Penuh kenangan indah. Biarlah komentar komentar itu. Emangnya saya pikirin?

Hari berganti hari. Bulan beranti bulan. Hubungan saya dengan ENY stabil. Kadang ada sedikit penyesalan. Kok tak bereaksi dengan tarikan tangan itu. Kesempatan itu memang tak pernah datang lagi. Kesempatan itu tak datang dua kali. Tetapi saya tak pernah menyesali. Saya mengingat ENY dengan penuh penghargaan pribadi. Walau hubungan kami tak berlanjut, kami tetap berteman platonis. Saling menghargai di jalan masing masing.

Belasan tahun kemudian saya sudah beranak isteri. NYI tahu hubungan saya dengan ENY. Tak sedetail yang terungkap di sini. Beberapa kali bertemu dengan ENY karena dia bertugas sebagai dokter di Puskesmas di dekat kediaman kami. NYI sering membawa anak anak ke sana. Suatu saat dia cerita. "Saya melihat wajah ENY dari dekat sekali. Wajahnya lembut. Bibir dan lehernya begitu indah. Wah edaaan Ki". Saya pura pura tak mendengar, walau hati berdesir ingat peristiwa peristiwa itu. Aaah masa lalu. Biarlah masa berlalu dengan damai. Demi kebahagiaaan masing masing. Moga moga ENY tak baca tulisan ini. Suaminya dokter THT, biasa operasi orang tercekik. Tetapi mungkin juga ahli mencekik. Anaknya dokter bedah ortopedi. Biasa operasi motong kaki. Jika dia membaca, mohon maaf ENY. Sesudah tiga puluh tahun, file rahasia bisa dibuka. Ini kesepakatan internasional.

Salam indah untuk anak anak muda. Homo sapiens tak hanya mengandalkan instink.

Ki Ageng Similikithi