Monday, September 6, 2010

Gereh teri

Sore itu saya pulang agak awal. Menjelang jam lima sudah memasuki halaman apartemen di Malate. Hiasan warna warni mulai nampak sepanjang jalan. Menjelang akhir bulan September. Kebiasaan di Filipina, orang mulai pesta Natal sejak bulan September. Saat saya mau belok, masuk ruang parkir, tiba tiba Mr. Jack, diplomat asal Panama, keluar dan menghentikan mobil saya. “Sorry guy, we are having party. Can not enter the parking”. Orangnya ramah, perawakan tinggi besar. Tetapi saya tak kenal dekat. Juga tak tahu nama lengkapnya. Hanya kenal kenal anjing, kalau ketemu saling menyapa “hi hi”. Anjing kalau ketemu teman di jalan hanya saling menggonggong singkat “hug hug”.

Rupanya ruangan parkir di lantai dasar akan dipakai pesta. Mr. Jack tinggal di lantai dasar persis di muka ruang parkir. Bersama seorang temannya yang juga diplomat asal Panama. Banyak wanita muda dengan pakaian pesta berkumpul di depan unitnya. Ada sekitar selusin. Saya nggak tahu berapa banyak orang yang diundang, kok sampai ruang parkir seluas hampir dua ratus meter persegi mesti ditutup. Kalau hanya selusin saja kan bisa kursi diatur di muka unit seperti biasanya. Kebiasaan Mr. Jack setiap Jumat petang selalu menerima banyak tamu. Gadis gadis belia. Ini kalau pas sang nyonya pulang ke Panama. Hidupnya nampak selalu penuh warna dan ceria, terutama di akhir pekan. Apa lagi jika sendirian tanpa nyonya, hidup seolah begitu bebas dan merdeka. Tanpa tekanan, tanpa pengawasan, kapan lagi.

Dari unit apartemen saya di lantai satu, saya bisa ikut mendengarkan musik musik Amerika Latin mengalun ringan. Kadang kadang kedengaran tawa ceria wanita wanita belia itu, lepas berderai tanpa beban. Pesta yang mengasyikkan rupanya. Irama tango, busanova, reggae, samba berganti ganti. Lumayan bisa ikut menikmati dari kamar. Sekali sekali terdengar selingan jeritan jeritan manja. Hanya ada beberapa gelintir pria di bawah sana. Saya bisa melihatnya jelas dari jendela di ruang dapur. Termasuk Mr. Jack yang selalu mengangguk anggukkan kepala. Dia memang masih muda, umurnya mungkin pertengahan empat puluhan. Anggukan kepalanya ritmis teratur mengikuti musik. Seperti tarian burung derkuku di sarang perawan. Beberapa wanita muda itu berganti ganti menyandarkan tubuh dan membelai belai badan Mr Jack yang kekar. Mungkin burungnya ikut mengangguk angguk ketika wanita wanita itu ada yang duduk di pangkuan. Mujur tak dapat ditolak, rejeki tak dapat diingkari. Nasib orang lain lain, tak bisa semuanya seperti Mr. Jack. Edaaaan ah.

Jam sepuluh malam irama musik yang mengalun lembut mulai berganti. Semakin mendera menghentak hentak dengan keras. Bumi semakin panas. Jeritan dan tawa riang saling berganti di antara suara musik yang menggelegar. Mulai agak mengganggu suara suara musik itu. Saya tak tahu bagaimana dengan penghuni apartemen yang lain. Sebagian tadi saya lihat keluar. Mungkin ada acara akhir pekan, atau menghindari kebisingan pesta itu. Jam setengah sebelas saya turun menemui satpam. Menyerahkan kunci mobil, minta tolong agar mobil bisa dimasukkan setelah pesta usai. Salah satu satpam, Hendri, yang usianya sudah menjelang enampuluh, nampak asyik duduk di ruang parkir sambil mengangguk angguk. Dia kecipratan minuman karena saya lihat pegang bir San Miguel di tangannya. Saya bilang ke satpam kalau saya mau tidur. Penghuni penghuni lain mungkin juga mau istirahat. Kalau bisa musiknya di rendahkan sedikit. Dia hanya mengangguk angguk mengikuti musik. Sementara sebagian wanita itu dengan sigapnya menari mengikuti irama musik yang menghentak panas. Pesta memanas bergairah.

Saya langsung tertidur karena capai. Jam setengah dua pagi saya terbangun karena suara musik yang masih keras membahana. Jeritan jeritan manja dan suara musik keras memekakkan telinga. Saya tilpon satpam agar suara musik bisa dikecilkan. Tak ada perubahan. Suara musik dan jeritan jeritan manja jalan terus. Rawe rawe rantas malang malang putung. Yeng penting hepi hepi terus. Jam dua saya merasa lapar. Buka kulkas ternyata hampir kosong. Tak ada apa apa, kecuali ikan kering kecil kecil dalam bungkus plastik. Biasanya saya pakai untuk masak sayur terong kesukaan saya. Saya selalu bilang sama Nyi untuk tidak menggoreng ikan kering di apartemen. Baunya menganggu tetangga.

Tiba tiba saja ide itu hadir. Tak ada keinginan lagi untuk makan malam. Tetapi memanfaatkan ikan kering (teri) itu untuk menetralisir suara suara musik yang mengganggu. Tanpa pikir panjang saya mulai menyiapkan strategi. Jendela kaca di dapur saya buka sedikit biar angin bisa keluar masuk. Kemudian saya ambil dua genggam teri dan saya goreng dengan api yang tidak terlalu panas. Biar bisa tahan lama dan mengeluarkan bau sedap. Mulanya tak ada reaksi apa apa, biasa saja. Tetapi sepuluh menit kemudian, suara musik mereda. Senyap sejenak. Mereka saling bicara dalam bahasa Tagalog dan Inggris. Mungkin mempertanyakan asal bau. Saya matikan kompor gas beberapa saat kemudian. Bau itu rupanya telah menyebar ke seluruh penjuru ruangan di lantai bawah. Jam setengah tiga saya tidur kembali. Suara musik telah mereda. Sebagian tamu pesta pulang meninggalkan arena. Mungkin karena tak tahan bau ikan kering itu. Tak peduli saya. Hanya kedengaran beberapa orang masih ngobrol di bawah. Tetapi tak ada lagi suara yang mengganggu itu.

Jam dua belas siang harinya saya turun. Mau berangkat golf. Ketemu Mr. Jack yang sedang membersihkan sisa sisa pesta di depan unitnya dibantu Hendri si satpam. Saya menyapa ringan. “Hi guy, enjoyed the party last nite?”. Dia hanya tersenyum kecut. Mungkin tahu saya yang menggoreng teri itu. Tak peduli, tak saya pikirkan. Peristiwa itu sudah berlalu beberapa tahun silam. Saya dan Nyi selalu menghindari menggoreng ikan asin di apartemen. Bisa diprotes penghuni lain, terutama orang Kaukasia yang tak kenal ikan asin.

Akhir pekan kemarin saya ingat peristiwa pesta itu karena insiden kecil berkaitan dengan ikan asin lagi. Malam Sabtu saya makan di rumah makan Jepang, dan makan yaki saba, ikan mackerel yang digoreng gurih sekali. Esoknya saya coba cari di supermarket. Pengin nyoba bikin sendiri di rumah. Ketemu ikan yang hampir sejenis. Hari Sabtu siang saya suruh Feli, pembantu untuk menggoreng ikan itu. Hanya sesudah itu dia juga menggoreng ikan kering, nggak tahu ikan apa. Yang jelas bukan teri. Baunya khas walau tak setajam bau ikan asin pada umumnya saat di goreng. Dia saya suruh membuka semua jendela agar bau cepat hilang. Saya masuk kamar dan tertidur sore itu.

Jam lima terbangun karena suara agak gaduh di koridor depan unit saya. Rupanya Cynthia tetangga saya sedang sibuk menyemprot koridor dengan refresher dan bicara dengan pembantunya dalam bahasa Tagalog. Feli, pembantu saya sudah pulang. Pengin keluar, say hallo dan sorry ke Cynthia, saya urungkan. Mau ngomong apa? Bau ikan asin digoreng memang kadang kadang saja muncul di apartemen itu. Entah dari unit yang mana. Seolah ada giliran berganti ganti masak ikan asin. Buat orang Asia Tenggara, mungkin susah melepaskan diri dari ikan asin. Ibarat krisis politik apapun yang melanda salah satu negeri di Asia Tenggara, asal orang masih bisa makan ikan asin, krisis itu tak akan berkepanjangan.

Mr. Jack diplomat Panama itu pasti tahu bagaimana orang Filipina dan Asia Tenggara mencintai ikan asin. Dia waktu itu sudah bertahun tahun dinas di Manila. Dia juga tak protes ketika saya sengaja menggoreng teri saat dia pesta. Tetapi mungkin tahu memang kalau saya menggoreng teri untuk memberi isyarat agar jangan gaduh menjelang fajar pagi. Saya sebenarnya tak tega melakukannya saat itu. Itulah pilihan diplomasi terakhir dari pada bolak balik protes lewat satpam. Habis pesta dengan suara bergemuruh kok sampai menjelang fajar pagi. Apa boleh buat. Mr. Jack kemudian pindah tugas di perwakilan Panama di US. Terbebas dari beban tekanan bau ikan asin.

Jika ingat peristiwa itu saya hanya bisa berandai andai minta maaf. Sori sori Jack. Hepi hepi kok tak pakai basa basi. Tak gorengke gereh teri.
Salam
Ki Ageng Similikithi