Sunday, July 25, 2010

It is boiling my friend - suara dari balik tirai besi

Hampir tengah malam ketika pesawat Biman Bangladesh Arline yang saya tumpangi mendarat di bandara Zia International Airport, Dhaka. Pertengahan delapan puluhan, lupa bulan dan tanggalnya. Jelas bukan musim panas. Hawa terasa sejuk merasuk badan meski saya memakai jaket kulit. Juga topi laken kesukaan saya. Topi laken selalu saya pakai saat bepergian. Hanya kesukaan semata mata. Saya baru sadar saat keluar dari imigrasi kalau lupa membawa scarf. Ini sebenarnya lebih penting. Padahal di Yogya saya selalu memakai scarf tipis warna biru atau kuning. Terutama saat memberi kuliah.

Sesudah lewat imigrasi dan pabean, saya bergegas keluar ke ruang penjemputan. Tak ada janji untuk dijemput. Pesan teleks yang saya terima di Yogya dari Jonathan, teman satu misi yang datang dari Washington, memberitahu agar saya langsung menghubungi counter hotel Sheraton. Ada pelayanan antar jemput. Tetapi agak terkejut ketika mengetahui tarip hotelnya, seratus tujuh puluh lima dolar semalam. Mahal untuk ukuran saat itu. Urung pesan hotel. Mau tukar dolar ke taka dulu. Beberapa counter tukar uang bersaing menawarkan jasanya. Saya menuju yang paling ujung. Diminta mengisi formulir dan tanda tangan. Kertasnya kumal seperti kertas buram. Saya hitung uang taka cepat cepat. Mau naik taksi ke kota cari hotel yang sedang taripnya.

Begitu keluar di ruang penjemputan, suasana terasa sesak dan hiruk pikuk. Banyak yang menawarkan taksi. Terkesan semrawut. Tiba tiba seseorang memanggil nama saya dari antara kerumunan orang. Terlihat Jonathan dengan kaos warna hijau melambaikan tangan. “Hi Ki”. Perawakannya yang tinggi dan wajah tampan seperti Pierce Brosnan, gampang sekali dikenali. Kami berpelukan akrab. Kami sudah kenal hampir sepuluh tahun, sering bersama dalam misi gabungan di banyak tempat, mulai dari Aceh, Padang, Kupang sampai Nepal. “Hi Jono, happy to meet you here”. Jono panggilan akrabnya, bilang kalau tinggal di Dhaka Midtown hotel. Saya sudah dipesankan kamar di sana. Kami menuju taksi, yang dibawa Jono dari hotel. Begitu mobil meninggalkan bandara, baru saya sadar kalau pulpen Parker saya, hadiah ulang tahun, ketinggalan saat tukar uang tadi. Tetapi malas mau turun lagi. Rasanya lega terbebas dari kerumunan orang.

Sampai di hotel sudah hampir jam satu pagi. Di daerah Gulshan. Kamarnya lumayan bagus. Saya bersebelahan dengan Jono di lantai 2. Tak sempat bicara banyak dengan dia. Terlalu capai. Dia datang pagi harinya. Katanya sudah ketemu James, anggota misi yang lain yang tinggal di Dhaka. James juga warga negara Amerika. Setahun terakhir tinggal di Dhaka, penanggung jawab proyek. Jono dan James bekerja untuk lembaga yang sama. Kami datang di Bangladesh untuk melakukan penilaian kesiapan menjadi anggota International Network for Rational Use of Drugs yang bersama sama kami bentuk. Masih ingat dulu kami bertiga membicarakan pertama kali usulannya saat makan malam di Korean Dragon Jakarta setahun sebelumnya. Jejaring internasional itu diresmikan setahun kemudian di Yogya, beranggotakan kelompok dari 4 negara di Asia dan 4 negara di Afrika.

Bangun pagi agak terperanjat saat membuka jendela. Burung gagak banya sekali di halaman dengan suara gaduh. Tak takut sama orang burung burung ini. Di Jawa sudah banyak punah karena pestisida. Kalau adapun jika berkicau dianggap pertanda akan ada orang meninggal. Jika kicauan gagak ini benar pertanda kematian, pasti sudah habis penduduk Dhaka ini, karena begitu banyak burung gagak yang berkicau gaduh sepanjang hari. Saya sama Jono makan pagi dikafe di lantai dasar. Banyak tamu, sebagian orang asing. Sempat kenalan dengan seorang tamu pria yang kamarnya satu lantai dengan kami. John, orang Inggris, seorang insinyur yang sedang menangani proyek jalan di tepi kota Dhaka. Mantan dosen politeknik.

Mulai bicara dengan Jono mengenai misi kami di Dhaka. Jono dan James sudah merencanakan siapa siapa yang akan ditemui dalam misi ini. Kami menyepakati lembaga lembaga mana dan siapa siapa yang akan ditemui, untuk membahas rencana pembentukan jejaring internasional tadi. Ada seorang tokoh senior Bangladesh, seorang national professor, yang namanya kondang dan sangat berpengaruh di Bangladesh dan di tingkat internasional saat itu. Profesor Nurul Islam. Kami sepakat akan menemuinya walau mungkin dia tak banyak punya waktu dengan inisiatif ini. Keterlibatannya akan sangat berpengaruh di kemudian hari. Kebetulan saya pernah bertemu dengan dia saat di NewCastle di tahun 1982.

Sesudah sarapan kami bertemu dengan James yang datang ke hotel. Rencana rinci misi selama di Dhaka semuanya pasti. Setelah misi di Dhaka, disepakati Jono terus ke Pakistan, saya dan James ke Nepal, diteruskan ke Indonesia. Jono nampaknya ingin menghindari menjalani misi bersama dengan James. Walau bekerja dalam organisasi yang sama, dua pribadi yang kontras. Jono pekerja ulet, berbahasa halus dan diplomatis. James agak angin anginan dan semau gue. Seorang pekerja lapangan yang handal. Kalimat kalimatnya selalu terbumbui dengan kata kata yang bisa menusuk lawan bicara.

Hari pertama seharian mengunjungi berbagai lembaga baik sendiri sendiri atau berkelompok. Ada pengalaman yang lucu ketika saya berkunjung ke salah satu lembaga penelitian di Universitas Dhaka. Guru besar yang saya temui, nampak gelisah saat bertemu saya. Katanya pada saat yang sama dia punya janji menerima misi dari Washington. Saya jelaskan bahwa saya mewakili misi itu. Ketika membaca kartu nama saya, dia balik terperanjat. “Are you Ki? I do not expect you are still this young” Beberapa kali kami saling komunikasi lewat surat dan tilpon. Belum ada email saat itu. Kami bedua satu profesi, farmakologi, dan sama sama mendapatkan gelar doktor dari UK. Saya berkesempatan melihat lihat fasilitas risetnya dan diskusi dengan beberapa peneliti yang sedang melakukan program doktor dibawah bimbingannya. Tahun tahun kemudian kami bersahabat dekat dengan professor Chaudhury. Beberapa tahun kemudian dia menjadi presiden universitas Dhaka.

Malamnya kami memutuskan makan malam di hotel saja. Saya Jono dan John, insinyur dari Inggris itu. Mau keluar malas. Hawa dingin. Hotel di daerah Gulshan, jauh dari pusat perbelanjaan. Sebagian besar yang makan malam juga rombongan ekspat yang sedang melakukan misi di Bangladesh. Tak sengaja berkenalan dengan tiga orang tamu, dua pria dan satu wanita. Mereka insinyur2 dari Moskow yang sedang mengerjakan proyek waduk. Nggak tahu waduk apa. Tak sempat cerita banyak. Bahasa Inggris mereka sangat terbatas. Satu orang bicara patah patah. Pria yang lain kelihatannya suka bicara, tetapi tak menguasai bahasa Inggris. Wanitanya nampak pendiam walau tatap matanya terkesan tajam. Tak bicara bahasa Inggris. Dia berambut blonde, kulit mukanya begitu putih hampir memucat. Begitu cantik tetapi agak pucat, saya bayangkan seperti Putri Salju. John orang Inggris itu nampak antusias mau ngobrol sama mereka. Jono yang selalu kalem tak begitu antusias. Tetapi saya melihat wanita cantik ini nampaknya selalu mencuri pandang wajah Jono, yang memang tampan seperti bintang film. Kami hanya ngobrol sebentar. Saya dan Jono akan bicara tentang hasil kunjungan hari itu.

Jam sepuluh selesai menyimpulkan hasil diskusi hari itu, saya masuk kamar. Di langit langit ada baling baling atau kitiran besar. Bunyinya tak keras tetapi konsisten seperti mesin. Saya merebahkan diri di atas tempat tidur beralaskan kain katun putih. Tidur tidur ayam. Tiba tiba secara tak sadar saya menjerit keras sekali. Mimpi buruk. Seolah ada helikopter mendarat dengan orang orang berwajah seram bersenjata lengkap mau membunuh saya. Rupanya suara kitiran angin itu yang membuat saya mimpi buruk. Pintu kemudian diketok keras dari luar. Ternyata penjaga hotel dan Jono berdiri dimuka pintu. “Are you OK?”. “Sorry I am having a nightmare”. Nampak tamu tamu dari Moskow juga kelihatan di luar. Mereka belum tidur, masih duduk duduk ngobrol di ruang duduk sebelah kamar saya.

Hampir jam sebelas saya masih membaca dokumen dokumen yang saya bawa ketika tiba tiba listrik mati. Gelap gulita. Hening sekali. Hanya terdengar suara dengkur dari kamar John, sang insinyur itu. Beberapa saat kemudian terdengar suara gaduh dalam bahasa Rusia. Nggak tahu Putri Salju itu berkata kata lantang, hampir berteriak. Mungkin memanggil petugas hotel. Saya keluar dengan lampu lilin. Petugas hotel belum juga nampak. Rupanya ada aliran listril yang nggak benar di hotel itu karena bangunan2 sebelah masih terang benderang. Petugas hotel datang beberapa saat kemudian. Mencoba mencari sekering di lantai itu. Ada di sudut ruang duduk. Suara ketukan keras mencoba membuka kotak sekering membangunkan John dan Jono. Mereka ikut datang ke kamar duduk. Saya dan petugas hotel mencoba membuka dan memperbaiki sekering yang anjlog itu. Tak lama kemudian lampu menyala kembali.

“Spasibo. Thanks”. Sang Puteri Salju nampak lega mengucapkan terima kasih. Mereka sejenak berbicara dalam bahasa Rusia. Kemudian salah satu pria mengungkapkannya dalam bahasa Inggris. Mereka ingin mengundang minum wodka malam itu. John insinyur dan mantan dosen politeknik itu dengan antusias mengiyakan. Dia kembali ke kamar ambil wiskhy. Saya menatap Jono, dia agak ragu. Sekedar sopan santun kami bergabung di ruang duduk itu. Jono mengenakan kaos panjang dengan kerah tinggi. Nampak atletis tubuhnya. Tidak seperti ke dua pria Rusia dan Inggris yang nampak gendut. Saya lupa nama mereka satu per satu. Jika tak salah ingat si wanita bernama Valentina. Mengingatkan nama astronot wanita pertama Uni Soviet Valentina Tereskhova di akhir tahun lima puluhan. Jelas astronot itu tak secantik Valentina si Puteri Salju ini.

Ketiga tamu dari Moskow itu dan John begitu antusias ngobrol sambil minum wodka. Dengan sopan saya bilang kalau tak biasa minum. Saya minum juice yang saya beli sore tadi. Juga buah jeruk yang saya beli di pasar saya keluarkan. Seperti pesta kecil kecilan. Mereka mengeluarkan caviar. Pembicaraan mereka terutama mengenai perubahan yang sedang terjadi di Uni Soviet. Tentang glasnost dan perestroika. Begitu berapi api salah satu pria itu bercerita dengan gerakan gerakan tubuh yang lucu. Perubahan besar akan terjadi sesaat lagi di Uni Soviet. Tak akan ada lagi Uni Soviet. “It is boiling my friend”. Berkali kali dia bilang, it is boiling, sambil kedua tangannya dibulatkan di depan dada dan tubuhnya berputar ke arah kiri. It is boiling. Kata kata itu yang saya ingat sampai sekarang. Kadang kadang terdengar seperti it is bowling. John nampak begitu terlarut dengan obrolan mereka. Di akhir kata it is boiling, selalu diikuti derai tawa mereka berempat. Nggak tahu apa yang diketawakan. Saya ikut tertawa karena seperti mendengar it is bowling.

Jono nampak tenang. Hanya minum sedikit. Saya tahu perilaku dia. Tak pernah mau bercanda urakan gaya bohemian. Juga tak sedikitpun memberikan reaksi walau Svetlana mencoba menarik perhatiannya berkali kali. Jono pria puritan. Istrinya Tina, jelita seperti bintang pemain film the Devil Wears Prada. Lewat tengah malam ketiga pria itu dan Svetlana sudah setengah mabuk. Jono nampak tidak tenang, pengin mundur. Ketika Svetllana duduk mepet ke arah Jono dan menawarkan wodka, Jono menghindar “ I am crashed”. Dia pamit masuk kamar. Svetlana beralih bersandar dan mendesak saya mencicipi wodka. Saya mencoba menolak halus. Tetapi akhirnya minum juga walau hanya seteguk. Setiap minum alkohol kepala saya rasanya berputar putar, tak dapat konsentrasi. Itu yang saya rasakan saat itu. Tak banyak bisa mengikuti pembicaraan dan gelak tawa mereka lagi. Masih terdengar juga. It is boiling. It is bowling. Sementara saya lihat John nampak asyik benar bicara dengan Svetlana, jarak bicara begitu dekat. Lewat jam satu malam, perut saya rasa nggak enak, mual. Ada alasan pamit. “My stomach is boiling”. Dari dalam kamar saya masih mendengar gelak dan tawa mereka. Obrolannya sudah tak karuan, kadang Inggris, kadang Rusia, sering campur.

Paginya saya dan Jono makan pagi di kafe. Dia bilang agar menghindari acara tak terencana dan obrolan tak karuan semalam. John bergabung kemudian. Saya berkelakar, awas agen agen Uni Soviet sering menjebak dengan wanita. Dengan enaknya si John yang usianya sudah lewat setengah abad itu menjawab. Itu yang saya tunggu, sampai jam dua pagi kok jebakan itu tak pernah dipasang. Saya dan Jono masih umur pertengahan tiga puluhan. Setiap kali pergi jauh yang kami ingat hanya anak sama isteri. Mana sempat mau mikir orang lain. Si John, ini orang sudah mau pension, malah menggebu cari perangkap. Edan, mungkin puber kedua. Saat ini kadang saya berpikir dengan sedikit kecewa, kok dulu nggak memanfaatkan kesempatan itu ya. Kapan lagi, kesempatan tak akan datang dua kali. Mungkin juga John berpikir begitu saat itu. Sudah lewat lebih dua puluh tahun. Tak guna disesali.

Esok malamnya kami bertiga, Jono, James dan saya ada acara makan malam di American club. Club ini bersebelahan dengan kedutaan Uni Soviet. Juga di daerah Gulshan atau Dalmonde. Kami bertemu ketiga tamu dari Moskow dan John di lantai bawah. Lebih baik pergi sendiri sendiri. Salah salah bisa dapat kesulitan nanti kalau kelihatan menyolok beramai ramai.

Peristiwa sudah lewat lebih dua puluh tahun. Yang paling saya ingat hanya ungkapan ‘It is boiling my friend”. Pesan singkat dari balik tirai besi.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi

Tuesday, July 6, 2010

Jarum jahit

Jarum jahit selalu berpasangan dengan benang. Tak bisa berfungsi sendirian. Bekerja kompak dalam tim menjalankan fungsi jahit menjahit. Benang jahit tanpa jarum, mungkin hanya bermanfaat untuk menerbangkan layang layang. Atau kadang kadang untuk membersihkan sela sela gigi. Saya selalu dekat dengan benang maupun jarum jahit sejak kecil. Paling tidak sewaktu menaikkan layang layang. Atau jika pakaian robek. Pakaian masih mahal saat itu. Jika ada yang sobek selalu dijahit sana sini. Perkenalan yang akrab dengan jarum jahit dan benang di masa kecil di Ambarawa. Mereka selalu tersedia di laci, menunggu dengan setia saat dibutuhkan kapan saja.

Empat puluh satu tahun lalu. Tepatnya Januari 1969. Malam malam saya gelisah mencari jarum dan benang jahit. Tak ada persediaan di laci, karena saya baru saja pindah ke Yogya dari Solo. Tinggal di pondokan di Gerjen. Hari hari itu sedang menjalani perploncoan di kompleks Ngasem, yang terkenal sadis. Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Ibu kost sudah tidur sejak jam sembilan tadi. Tak pantas membangunkan orang hanya mau pinjam jarum dan benang. Dua kancing baju saya lepas. Baru ketahuan malam itu. Tak tahu bagaimana tadi tukang cuci mencucinya sampai kancing baju bercerai berai lepas semua. Pas diseterika mestinya dia tahu kalau ada kancing baju yang lepas. Mungkin tidak tahu. Tetapi hal yang mustahil. Pasti tahu tetapi pura pura tidak tahu. Didiamkan saja. Nyatanya, kancingnya ditaruh diatas baju yang terlipat rapi. Pembantu tua ini suka berpura pura bloon.

Saya putuskan untuk mencari jarum dan benang malam itu juga. Naik sepeda kearah selatan menelusuri jalan ke Taman Sari. Semua toko sudah tutup. Orang Yogya waktu itu memang suka tidur awal. Hanya ada tukang jual bakmi dan ronde di perempatan. Masih ada beberapa pembeli duduk duduk, makan bakmi atau minum ronde. Beberapa tukang becak masih asyik ngobrol sambil merokok di tepi perempatan.

“ Apakah ada jarum dan benang jahit?” saya bertanya datar dan sopan. Tak ada jawaban. Empat pria yang sedang minum ronde melihat saya sambil senyum, tetapi tak berucap sama sekali. Wanita muda, mungkin isteri penjual ronde itu, tertawa agak genit. Juga tak menyahut sepatah katapun. “Maaf, apakah punya jarum dan benang jahit ?’ Saya mengulangi pertanyaan sambil menunduk memberi salam. Kesan saya waktu itu orang Yogya kalau disapa tanpa memberi hormat, biasanya acuh dan tak akan mau menjawab. Ingat waktu menjemput teman plonco, Winarni, calon mahasiswi farmasi, dua hari sebelumnya. Saya bertanya ke ibu kost yang sudah sepuh, dan memanggilnya simbah. Dia malah mlengos dan acuh. Tetapi sewaktu saya sapa “ Nuwun sewu Eyang”, reaksinya berbeda sama sekali. Sangat hangat. “ We la, ana apa cah bagus?”. Hanya dengan sedikit mengubah kata kata, sudah dialem “cah bagus”. Edan ah. Tak ada ruginya mengganti kata kata. Di Ambarawa, yang namanya eyang itu ya simbah, titik. Sama saja. Biasanya usia lanjut dan giginya ompong.

Kali ini dengan menunduk memberi salam. Mengulangi pertanyaan dengan kata kata lebih halus, ‘Nuwun sewu, kagungan jarum kaliyan benang jahit?’. Saya harapkan penjual ronde, atau sang isteri pasti akan menjawab dengan enak. Diluar dugaan, wanita muda itu terkekeh genit. “Mahasiswa gek diplonco mau awan, kok bengi2 wis gluthukan golek jarum. Sing arep dijahit sapa ya ?” Mahasiswa batu diplonco tadi siang, sudah cari jarum. Mau menjahit siapa ya?. Seorang pengunjung nyelethuk. “Yu cah enom saiki senengane dha jahit jahitan. Jaman edan.”Anak muda sukanya jahit menjahit sekarang. Serentak mereka ketawa. Tak tahu apa yang diketawakan. Ada gurauan menjurus ke masalah seronok. Konotasi seksual.

Tak saya hiraukan. Saya ngeloyor pergi. Saya jengkel sekali. Kalau tak punya, tinggal menjawab tidak punya. Kok malah melempar gurauan seronok. Saya kayuh sepeda kembali kearah utara. Jam setengah dua belas, kembali ke pondokan. Tak dapat jarum maupun benang jahit. Tertidur pulas dan tak membayangkan apa lagi melakukan kegiatan jahit menjahit. Esok paginya saya berangkat plonco dengan baju sedikit terbuka. Tanpa dua kancing baju. Tak ada pengaruh apa apa.

Hari Minggu, 20 Juni 2010. Beberapa hari lalu. Saya bersama Nyi di Hanoi. Ada beberapa acara resmi yang saya harus ikut serta mewakili organisasi. Konperensi pertama, Lower Mekong Initiative Conference, hari Kamis dan Jumat minggu lalu, berjalan lancar. Diselenggarakan oleh departemen luar negeri Amerika dan pemerintah Viet Nam. Presentasi dan negosiasi berjalan lancar dengan delegasi negara2 Mekong dalam mengatasi penyebaran penyakit infeksi. Minggu esok masih ada berbagai agenda dan pertemuan antara organisasi saya dengan berbagai lembaga pemerintah Viet Nam. Tetapi semalam baru sadar kalau baju baju saya bersih tinggal yang kerahnya sesak. Susah untuk pakai dasi. Saya tak senang pakai dasi dengan kerah menganga karena kancing teratas nggak bisa dikancingkan. Baju2 ini saya beli sesudah tidak ada keharusan pakai dasi di kantor beberapa tahun lalu. Suhu ruang dipasang 26 derajat, tetapi tak harus pakai dasi. Untuk membantu mengurangi emisi hidrokarbon.

Tak ada persediaan jarum dan benang jahit di hotel seperti biasanya hotel berbintang. Saya juga lama nggak bawa persediaan saat bepergian. Jam sebelas siang saya pergi dengan Nyi ke Vincom Mall, mall terbesar di Hanoi. Lumayan walau tak sebesar mall mall di Manila. Bagus, bersih dan tertata rapi. Hampir semua barang bermerek tersedia di sana. Kami naik turun dari lantai satu sampai empat, sama sekali tak menemukan jarum dan benang. Juga tidak di supermarketnya. Malah beli beli barang yang tadinya tak terencana sama sekali. Bikin repot menjinjing tas belanja ke sana kemari.

Dalam ruang mall memang terasa sejuk karena AC. Tetapi hawa musim panas diluar begitu membakar. Sampai 40 derajad Celcius. Hari Sabtu kemarin kami jalan jalan berkunjung ke musoleum dan museum kediaman Ho Chi Min, hawa panas tak tertahankan. Nyi tak tahan, hampir saja kolaps. Isirahat beberapa lama dibawah naungan pepohonan di halaman. Tetapi panas begitu mendera. Keluar dari halaman museum langsung panggil taksi balik ke hotel. Waktu berangkat hanya bayar 25 000 dong. Pulangnya karena tahu Nyi tak sehat, dia minta 250 000 dong. Sama saja di mana mana, manusia selalu memanfaatkan kelemahan. Kami yang lemah dan butuh saat itu.

Sesudah makan siang kami keluar dari mall. Naik Hanoi taxi, yang katanya direkomendasi tak akan menipu, menuju Hanggai street dekat danau di tengah kota. Kompleks pertokoan dan tempat tujuan belanja. Berjalan keluar masuk toko cari jarum dan benang jahit. Hampir sejam kami berjalan dalam hawa yang begitu panas. Tanpa hasil. Terasa capai sekali, apalagi dengan bawaan belanjaan yang kami beli dari mall tadi. Kalau sudah begini baru berpikir ulang mengapa tak minta jarum sama petugas hotel saja. Mestinya mereka pasti punya persediaan di hotel. Setiap kali bertanya, selalu harus bersusah payah dengan bahasa isyarat menggambarkan jarum dan benang jahit. Hanya gelengan kepala acuh yang kami dapatkan. Orang Viet Nam memang jarang senyum. Tak seperti petugas penjaga toko di Manila.

Putus asa dalam kelelahan kami panggil taksi. Maunya kembali ke hotel. Sopir taksi pura pura tak tahu lokasi hotel. Putar putar di sekitar kompleks pertokoan Hanggai. Kami biarkan saja. Sambil lihat lihat kompleks pertokoan tradisional Hanoi. Tiba tiba saya melihat beberapa toko berderet dengan gulungan gulungan besar benang. Sopir saya minta berhenti. Dengan bahasa isyarat saya minta benang dan jarum jahit. Pemilik toko memberikan satu gulungan besar benang dan satu kotak jarum jahit, isinya mungkin ribuan. Tak akan habis seumur hidup. Saya minta gulungan kecil dan beberapa jarum. Agak lama menunggu. Seorang pria usia lanjut beranjak ke belakang dan kembali dengan gulungan kecil benang warna putih dan bungkusan kecil jarum jahit.

Akhirnya ketemu yang saya cari. Tertulis harga 10000 dong. Si penjual, pria muda itu minta 25 000. Tak ada gunanya tawar menawar. Masuk mobil kembali kami langsung ke hotel. Masuk ruang dingin. Lepas dari siksaan hawa panas dan keletihan. Masih untung ini naik taksi. Saya bayangkan kalau naik sepeda seperti empat puluh tahun lalu, mau jadi apa? Rum jarum. Sempat menyiksa pasangan usia lanjut seperti saya dan Nyi selama beberapa jam.
Salam hangat dari Hanoi
Ki Ageng Similikithi