Friday, July 25, 2008

Belum tahu saya ya ?

Musim kemarau 1972. Saya makan siang di warung dekat kost di Patangpuluhan Yogyakarta. Warung Ngapak. Yang punya asal Purwokerto, nggak bisa bilang "opo", bilangnya "ngapak". Makanan sederhana, nasi sama sayur tempe pedas. Tambah kerupuk. Saya biasa makan sama krupuk, seperti orang Jawa pada umumnya. Nggak tahu benar apa manfaatnya. Mungkin sekedar untuk membuat suara mulut riuh saat mengunyah kerupuk. Siang itu panas benar. Pulang kuliah jalan kaki dari Mangkubumen.. Di bangku di hadapan saya duduk seorang pemuda sebaya. Wajahnya tampan, acuh dan tenang sekali menikmati makan siangnya tanpa kerupuk. Perawakannya langsing tak sampai kurus. Rambutnya terurai sampai pundak. Beberapa kali saya lihat dia makan di warung ini.

" Rumahnya di mana mas "? Tanya saya basa basi memecah kebekuan. " Wah sampeyan belum tahu saya ya? Saya kan kost di gang sebelah. Saya anggota bengkel teater" Jawabnya lugas dan seolah agak terkejut menyadari bahwa saya nggak tahu siapa dia. Saya juga terhenyak mendengar jawabannya yang di luar dugaan. Saya pikir akan nada basa basi perkenalan pertama. Mungkin saya yang keliru. Mengharap percakapan yang santun penuh basa basi seperti di ketoprak.

" Bagaimana kabar sampeyan ?Saya sering lihat anda di warung ini.". Pertanyaannya menyusul balik. Saya ganti gaya bicara. Ini bicara dengan seniman. Nggak bisa formal formalan. "Kabar saya selalu ramai. Ramai ramai potong padi". Saya nggak ingat Ramai Ramai Potong Padi adalah judul lagu. Sengaja saya bicara sekenanya dan angin anginan. Dia malah serius menangggapi. "Sampeyan anak petani? Dari desa?". Sewaktu dia tahu saya dari Ambarawa, ayah saya guru dan kami punya lahan pertanian dan peternakan, dia makin antusias dan kami terlibat dalam pembicaraan akrab. Ringkas cerita, dia anak seorang jendral di Jakarta. Bergabung bersama kelompok teater terkenal di Yogya. " Saya bosan dengan kehidupan borjuis di Jakarta. Saya tidak suka kemapanan. Saya ingin terlibat dalam kehidupan rakyat sehari hari. Melalui teater saya bebas menyuarakan suara hati saya".

Saya mengagumi rasa percaya dirinya yang besar. Bilang tanpa ragu siapa dia. "Saya orang bebas. Saya seniman. Langit di luar adalah atap rumah saya". Saya selalu menukas angina anginan " Saya ini hanya si gembala sapi Bung". Waktu waktu berikutnya sering ketemu di warung yang sama. Atau di warung saingan Ngapak di seberang jalan. Lupa siapa namanya, yang punya asal Gunung Kidul, katanya bekas komandan gerilya. Tiap hari selalu mengeluh tak ada balas jasa dari pemerintah. Dan Hans akan selalu menukas. "Pahlawan tak pernah mengharap balas jasa Bung. Sampeyan tak berjiwa pahlawan". Saya hanya sering tertawa mendengar debat mereka "Saya seorang kapitain. Tanpa pedang panjang. Makan sayur tempe sama kerupuk". Bah, Hans selalu menganggap saya sebagai bagian dari kemapanan dan borjuisme, karena saya sekolah di kedokteran. Batin saya mengumpat " Pakanane jangan tempe warung Ngapak, kok borjuis. Gamblis".

Suatu hari saya melihat latihan teater kelompoknya Hans. Saya terpukau kagum melihat betapa dia menghayati watak yang harus diperankan. Lupa judulnya. Dia memerankan tokoh pahlawan yang dikianati teman dan dijebak dalam intrik kotor pembunuhan. Dia nyaring berteriak. "Saya Simusasava. Saya tidak takut mati. Tidak akan mati. Saya akan gugur demi kehormatan anak anak negeri ". Saya tertegun, berdesir hati saya.Nampak benar betapa dia menjiwai dan mencintai perannya.

Saya selalu mengagumi rasa percaya dirinya. Walau tidak bersahabat dekat. Beberapa tahun kemudian saya sering membaca namanya tertulis di berbagai surat kabar karena permainan teaternya. Sayang tak berkepanjangan dan tak sampai menjadi idola masa. Tetapi saya tetap ingat wajahnya yang tenang dan acuh penuh percaya diri itu. Rasa percaya diri adalah modal besar untuk berhasil. Banyak kegagalan karena kekurangan kepercayaan akan kemampuan diri sendiri. Tetapi kadang kala juga ada rasa percaya diri yang kelebihan dosis.

Dalam tahun tahun akhir ini, saya sering terlibat dalam wawancara seleksi tenaga profesional yang akan menduduki jabatan jabatan strategis di organisasi. Biasanya dari ratusan pelamar hanya 3 – 5 orang yang masuk short list untuk wawancara. Dari berbagai latar belakang etnis dan geografis. Banyak calon dengan keahlian teknis prima dan pengalaman panjang, kadang gagal seleksi karena kurang percaya diri sewaktu wawancara. Calon calon ini tak bisa memaparkan kemampuan dan pengalaman dirinya. Apa yang bisa anda sumbangkan dengan keahlian dan pengalaman anda, jika anda diterima ? Apa prestasi ada selama ini ? Calon calon dari Asia Tenggara dan Timur begitu mengendalikan diri ketika harus menceritakan prestasinya, keahlian dan pengalamannya. Mungkin juga bukan semata mata karena kurang percaya diri. Ada kebiasaan kultural yang membiasakan mereka tak ingin memamerkan kemampuannya.

Aaah saya ingat kenalan saya Hans. Teriakannya terngiang kembali "Saya ini anti borjuisme. Anti kemapanan. Saya tidak takut mati. Saya tidak akan mati. Saya akan gugur demi kehormatan anak anak negeri" Penuh percaya diri walau kami hanya makan dengan sayur tempe di warung Ngapak.

Hai anak muda, jangan ragu ungkapkan kemampuanmu dan impianmu.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, 22 Juli 2008
(http://community.kompas.com/read/artikel/767)

4 comments:

paromo suko said...

ada bule berbasa-basi jawa, lucu
ada wong jowo bergaya bule, aneh
karena masing2 tidak 'memasuki' karakter barunya dengan penghayatan dan totalitas, shg hasilnya magel, nggak mateng
rupanya mas hans berteater dg total, jd aktingnya enak ditonton
bgt juga mereka yg mampu lolos seleksi, menjalani interviu dg total

abi_ha_ha said...

"...Hai anak muda, jangan ragu ungkapkan kemampuanmu dan impianmu..."

Terakhir mengungkapkan belasan tahun lalu malah didawuhi minggat je.
Mudah-mudahan paklik So dalam keadaan sehat. Salam dari Bandung.

Ki Ageng Similikithi said...

Ki Ageng Paromosuko. Terima kasih. Saya benar2 terhenyak melihat penampilannya di teater. Dia berteriak dengan suara bergetar *Saya tidak takut dan tidak akan mati. Saya akan gugur demi kehormatan anak negeri* Begitu menjiwai. Nama lengkapnya, juga nggak tahu. Sampai anak2 dewasa, saya masih sering menirukan teriakannya *Saya Simusasava*. Isteri dan anak2 saya sering bilang *bapak gek kumat*.

Ki Ageng Similikithi said...

Mas Abi,
Salam dri Quebec. Semoga sehat sehat dan baik baik semuanya. Bagaimana kabar Bandung.