Monday, October 13, 2008

Di ambang nikmat surgawi

Irama musik waltz mengalun lembut. Nada tanpa syair lagu I Love You Because. Malam indah bertabur bintang. Lupa kapan persisnya, kira kira di semester kedua tahun 1969. Baru seminggu sebelumnya selesai ujian.. Ulang tahun ENY, gadis sekelas yang pernah saya ceritakan Di Bawah Keremangan Pohon Jambu. Malam itu beberapa bulan sesudah peristiwa di bawah pohon jambu itu. Kami berenam merayakan ulang tahun ENY di rumahnya. Kebetulan esok hari libur. Saya berdansa ringan dengan ENY di ruang tamu. Dua sejoli yang lain asyik masing masing di ruang sebelah. Suara bisikan dan tawa ringan kadang terdengar samar samar. Aroma romantis bergema di antara bisik bisik mesra mereka. Tak ada sorak sorai. Orang bermesraan jarang bersorak sorai. Hanya kucing yang menjerit jerit saat bermain cinta.

Ketika musik berganti ke irama blues, tangan ENY semakin erat bergantung. Bergerak ringan sekitar ruang. Kepalanya bersandar di dada kiri saya. Lingkaran erat lengan saya coba mempertahankan keseimbangan. Ketat dan mesra. Tak sadar seolah ingin menjaganya. Jangan sampai jatuh terhempas. Bergerak ringan. Melayang di antara alunan musik lembut menghanyutkan. Suatu saat dia berbisik mesra. "Ki, kamu seneng punya isteri dokter ?". Pertanyaan formalitas. Nggak perlu dijawab. Tak ada jawaban ya dan tidak. " Ah tak usah dipikir, perjalanan masih jauh" Baru tingkat satu habis ujian semester saja belum tentu masuk semua kok mikir macam macam. Dia juga nggak perlu jawaban. Omongannya ringan "Kalau nggak jadi dokter, ya lumayan jadi isteri dokter". Sesaat kemudian dia teriak " Hai pada ngapain ya?" Dua pasangan lain memang sudah resmi pacaran. Mungkin pas panas panasnya. Mungkin demikian juga dengan kami. Semua serba indah. Penuh rayuan indah. Semua pernah mengalami. Kadang rayuan berlebih, bertabur dan berserakan seperti gombal. Menjelang tengah malam kami pulang. "Besok pagi datang ya Ki. I will miss you. Jangan lewat jam 10 "

Esok paginya saya datang lagi. Menjelang pukul sepuluh. Naik becak dari Ngasem. Nggak enak pakai sepeda. Selalu ketahuan anak anak dan pemuda tetangga. Mereka lantas ramai kumpul di depan rumah. Tak menghiraukan hak azasi pasangan yang asyik pacaran. Tak ada perhimpunan muda mudi pacaran, yang bisa memperjuangkan hak hak azasi mereka. Terutama melawan pemuda kampung, anak anak tetangga atau bahkan HANSIP. Kebetulan rumah sepi. Semua bepergian. Sepupunya pergi keluar kota. Kakeknya tugas di keraton. Enggak tahu apa pangkatnya. Tahu saya ya abdi dalem. Nenek dan budenya ke pasar. ENY tinggak bersama kakek dan nenek dan sepupunya.

"Ki saya bangun kesiangan. Barusan mandi". Wajahnya segar berseri. Tertutup make up ringan. Tak menyolok. Roknya warna lila. Sedikit longgar, tetapi tak dapat menutup bentuk tubuhnya yang indah dan seksi. Bahasa popnya sintal. Dalam cinta semua ungkapan bahasa diperindah. Gemuk jadi montok seksi. Kurus jadi langsing gemulai. Kami bicara ringan di ruang belakang. Sambil baca majalah. Sementara dia duduk bersandar manja di bahu saya, di kursi panjang. Kursi itu bersih, tak ada penghuni liar bangsat (Jawa: tinggi), seperti di kebanyakan rumah pondokan, yang selalu ada tingginya. Mungkin sengaja dipelihara sama yang punya kost. Supaya yang bertamu nggak betah. "Saya punya musik baru Ki. Duke Ellington". Hadiah ulang tahun dari papa dan mama" Mama dan papa ENY berdomisili di luar Jawa. Papanya seorang perwira tinggi. Nggak berani main main. Pacaran harus tertib. Harus berperangai disiplin, sapta setia pemuda.

Kemudian beranjak ke kamar belajar ENY, ruangan bersih tertata rapi. Ada bunga gladiola di mejanya. Di seberang meja, tempat tidurnya tertata apik dengan taburan bunga melati. Kami menikmati musik sambil bicara pelan. Kadang berkembang ke bisikan bisikan mesra. Bersama alunan musik. Melayang di awang awang dengan jantung berdesir indah. Belaian tangannya lembut membuai. Terasa kedamaian dan kemesraan yang dalam. Seolah menari bersama bersama irama terompet indah itu. Di antara desah napas yang semakin memburu. Tangannya erat bergantung di leher saya. Bersandar mesra di bahu. Dia selalu bilang senang bahu dan leher beruang. Tetapi saya bukan beruang. Saya hanya binatang jalang yang terbuang. Saya peluk erat seolah tak akan berpisah lagi. Belum sehidup semati. Mana ada orang pacaran mikir mau mati. Sementara bibir indahnya menari nari bersama desah napas memburu teratur, di wajah dan leher saya. Berciuman diantara pelukan dan belaian mesra. Kadang harus berhenti sejenak mengatur napas.

Bergeser kami duduk di tepi ranjang. Matanya terpejam. Bibirnya merekah indah. Dia bersandar di pangkuan saya. Belaian belaian mesra semakin menggelora. Berseling dengan rintihan rintihan lirih. Diluar terdengar hujan renyai. Hawa sejuk menyelinap lewat jendela dengan gordyn warna hijau muda. Kadang angin angin kecil masuk lewat jendela itu. Seolah mengingatkan kami yang sedang terbuai dalam asmara. Tak sadar apa yang terjadi, dia sudah telentang di ranjang yang berbau wangi. Tanpa selembar benangpun menutupi tubuh yang indah itu. Saya terdiam terpana. Saya takjub melihatnya. Birahi asmara bertransformasi mendadak. Terpesona akan keindahan tubuh tiada tara. Rasa kagum luar biasa. Lekuk liku tubuhnya demikian indah. Mahkota wanitanya nampak anggun memukau. Seolah berucap selamat datang. Rasa sayang menyelinap kalbu yang dalam. Tak sampai hati merusak dan menodai tubuh indah itu. "Ki ……" Bisik lirihnya terdengar menghentak kesunyian. Bersama tarikan tangan mesra. Mengajak menyelesaikan ritual asmara yang belum tuntas. Saya kecup bibir indahnya. Saya kecup wajahnya. Saya peluk tubuhnya. Saya bisikkan kata kata mesra. "Perjalanan masih jauh. Mungkin belum saatnya. Saya tak sampai hati melakukannya"

Sejenak kemudian kami berbenah. Kembali ke ruang tengah. Buah jambu air menemani percakapan ringan kami. "Gila Ki". Saya menukas sekenanya. " Bukan gila. Kita mencoba berenang di laut asmara" Sial baru tersadar kalau tarikan tangannya telah melepas beberapa benik baju saya. Untung pakai kaos dalam. Sejak lulus SMA saya jarang pakai baju dalam. Jam setengah dua, neneknya datang. "Terima kasih ENY ditemani". Saya pulang sesaat kemudian. "Jangan nyesal ya Ki". Tak ada yang perlu disesalkan. Homo sapiens bertindak atas instink dan akal sehat. Sampai di rumah pondokan, mak Yem pembantu bertanya heran. "Gus kok benik baju copot semua?". "Sial kesrempet becak di Ngasem". Tak saya hiraukan komentarnya. Nggak juga tahu maksudnya. "Becak jaman sekarang, nyrempet juga pilih pilih". Saya masuk kamar menikmati tidur siang yang damai. Penuh kenangan indah. Biarlah komentar komentar itu. Emangnya saya pikirin?

Hari berganti hari. Bulan beranti bulan. Hubungan saya dengan ENY stabil. Kadang ada sedikit penyesalan. Kok tak bereaksi dengan tarikan tangan itu. Kesempatan itu memang tak pernah datang lagi. Kesempatan itu tak datang dua kali. Tetapi saya tak pernah menyesali. Saya mengingat ENY dengan penuh penghargaan pribadi. Walau hubungan kami tak berlanjut, kami tetap berteman platonis. Saling menghargai di jalan masing masing.

Belasan tahun kemudian saya sudah beranak isteri. NYI tahu hubungan saya dengan ENY. Tak sedetail yang terungkap di sini. Beberapa kali bertemu dengan ENY karena dia bertugas sebagai dokter di Puskesmas di dekat kediaman kami. NYI sering membawa anak anak ke sana. Suatu saat dia cerita. "Saya melihat wajah ENY dari dekat sekali. Wajahnya lembut. Bibir dan lehernya begitu indah. Wah edaaan Ki". Saya pura pura tak mendengar, walau hati berdesir ingat peristiwa peristiwa itu. Aaah masa lalu. Biarlah masa berlalu dengan damai. Demi kebahagiaaan masing masing. Moga moga ENY tak baca tulisan ini. Suaminya dokter THT, biasa operasi orang tercekik. Tetapi mungkin juga ahli mencekik. Anaknya dokter bedah ortopedi. Biasa operasi motong kaki. Jika dia membaca, mohon maaf ENY. Sesudah tiga puluh tahun, file rahasia bisa dibuka. Ini kesepakatan internasional.

Salam indah untuk anak anak muda. Homo sapiens tak hanya mengandalkan instink.

Ki Ageng Similikithi

8 comments:

Roby Fauzan said...

Wah pak, ternyata bapak di sini toh. Akhirnya saya temukan juga nih Ki Ageng Similikithi yang sering menulis di KoKi Kompas. Salam kenal pak. Saya temukan alamat Bapak di blog Pak Pramono Suko. Wassalam

roby fauzan

Ki Ageng Similikithi said...

Terima kasih pak Roby. Salam kenal dan salam hangat dari manila

paromo suko said...

gila, ki (meniru kata ENY)
bbrp sequel belakangan ini romantik abbiiizzz
ada apakah gerangan ?
tulis teruuuuuuuuuussssss
bung roby,
gak bakalan rugi datang ke sini, bung
ada yang ga di'koki'kan loh

Ki Ageng Similikithi said...

Maturnuwun Kanjeng Paromosuko. Namung ngudoroso. Sampun tigang dasa warso langkung, sampun saged kabikak babar pisan. NYI sampun mratelakaken Go Ahead. Over 55 yrs old, harmless.

Anonymous said...

Kenangan indah yang tak mungkin kembali Ki

abi_ha_ha said...

Yang ini kok ndak muncul di milis ya paklik? Saya ada juga pengalaman sedikit, juga tingkat 1 kuliah. Sedikit mirip hanya 'ending' yang lagi-lagi berbeda. Kalo pak So jadi kenangan indah, saya jadi kenangan sontoloyo. Bisa dipirsani di :

http://abihaha.blogspot.com/2006/12/niat-kesempatan-dan-kesempitan.html

Ki Ageng Similikithi said...

Salam Abi. Terima kasih. Sudah saya baca artikelnya. he he he. kalau saya ingat sekarang ya nggak akan kecewa. Habis sudah berubah semua sesudah hampir 40 tahun.

Ki Ageng Similikithi said...

Pak Indro
Kenangan indah hanya dalam lamunan. Kalau ketemu sekarang suruh mbaleni ya nggak greng lagi