Thursday, May 27, 2010

Mangkuyudan - cerita yang tersisa

Matahari condong ke Barat. Sore yang cerah. Angin bertiup lembut di antara dedaunan di halaman. Saya sedang jaga di rumah sakit Mangkuyudan Yogyakarta. Rumah sakit khusus kandungan dan kebidanan. Di pertengahan tahun 1974. Setelah mandi saya ke bangsal. Semua tenang. Tak ada pasien gawat. Juga bayi bayi yang baru lahir, nampak sehat semua. Mereka tidur di samping ibunda masing masing. Damai dan bahagia adanya. Kamar kamar pasien tertata rapi dan bersih. Dinding dan kordin jendela berwarna kuning muda. Seperti janur kuning, daun kelapa muda. Saya benar benar menikmati tugas ko asistensi di rumah sakit ini. Terasa sangat disiplin.

Hanya ada seorang pasien paska operasi yang menderita demam ringan. Tak serius. Terapi langsung bisa diberikan sesuai pedoman. Kebetulan Enny adalah ko asisten yang menangani pasien itu. Tetapi sejak jam empat tadi dia berada di ruang tamu depan. Tunangannya selalu datang menengok tiap sore. Mungkin langkah pengamanan. Dia tahu kalau saya dan Enny pernah punya hubungan istimewa lima tahun lalu saat di tingkat satu. Cerita masa silam. Telah berlalu. Tak bergetar lagi hati ini mengingatnya.

Seusai melihat pasien di bangsal, saya duduk duduk di ruang jaga. Ruangan besar dan bersih, dengan jendela kaca menghadap ke halaman belakang. Ada beberapa meja kerja di sana. Membaca buku teks wajib. Lupa judulnya. Waktu menunjukkan jam setengah enam, ketika Enny memasuki ruangan. “Pasien paska operasinya tadi demam ringan. Sudah diberi antipiretik, tertulis di status”. Tak menyahut sama sekali. Enny langsung ke bangsal. Mungkin melihat pasien yang saya maksudkan. Pikiran saya sedang terpaku di salah satu bab yang ditulis oleh seorang ahli Indonesia. Pofessor Hanifa Wignyosastro. Saya terkagum kagum. Seorang ahli Indonesia, menjadi author di buku teks internasional, yang menjadi bacaan wajib bagi para calon dokter dan calon spesialis di berbagai bagian dunia.

Tiba tiba Enny keluar dari bangsal. Berjalan cepat melewati meja jaga. Bidan dan siswi bidan yang dinas jaga juga duduk di situ. Sambil berlalu dia menggumam jelas sekali “ Pasien-e ora panas. Koas-e sing panas”. Pasien nggak panas. Koasnya yang panas. Terhenyak saya mendengarnya. Kedua siswi bidan berucap “Kok nylekit. Nyindir ya dok”. Saya tak hiraukan. Dikiranya saya panas hati lihat dia dijenguk tunangannya ? Ah nggak terpikir lagi. Saat itu saya juga sedang berbunga bunga dengan mahasiswi AKUB. Lewat jam enam, kembali ke kamar. Saya cerita ke Woto, teman jaga, tentang kata2 Enny. “Nggak usah dipikir”. Kami kemudian makan malam di kamar.

Menjelang jam tujuh aiphone berdering keras. Tersentak kami berdua. “Pasien gawat”. Suara bidan jaga nyaring terdengar di ujung sana. Woto dengan sandal jepit dan jas putih langsung beranjak dan berlari keluar lewat aula. Ruang periksa ada di sayap timur, di seberang aula. Saya tidak suka lewat aula itu di malam hari. Gelap. Ada saja cerita aneh. Suatu saat ada ko as menjerit di ruangan itu malam malam. Katanya lihat bayangan orang berdiri di pojok. Saya berlari lewat koridor luar. Ada lampu terang di sana. Tetapi harus lewat kamar bayi. Saya pernah cerita pengalaman menakutkan di ruang itu.

Di kamar periksa, kami dapati seorang wanita tergeletak lemah. Nampak menderita dan pucat sekali. Mungkin umur mendekati empat puluh. Dalam keadaan pre syok, setengah sadar. Saya langsung pasang infus. Pasien gawat kiriman dari Gunung Kidul. “Pasien rujukan. Ruptura uteri”. Kandungan robek. Bidan memberikan laporan. Dokter jaga, dokter Hasibuan, melakukan pemeriksaan lengkap. Menurut sang suami, pasien merasa mau melahirkan sejak siang tadi. Ditangani seorang dukun di rumah. Karena persalinan tak maju maju, sang dukun lelaki yang nota bene bukan dukun bersalin, mengira ada setan yang menghalangi jalan lahir. Dia dorong janin dengan injakan kaki. Bisa dibayangkan akibatnya. Kandungan pecah dengan perdarahan hebat. Tangan janin teraba di dinding perut. Tak ada tanda tanda kehidupan janin. “Siapkan operasi emergency”, perintah dokter Saribin Hasibuan. Prioritas adalah menyelamatkan si ibu.

Harus ada persetujuan tertulis dari keluarga. Ada tiga orang yang mengantar di luar. Suami, dan ayah ibu pasien. Saya menemui mereka dan menjelaskan. “Tak ada jalan lain. Harus operasi”. Sang suami hanya diam. Ayah si pasien menjawab “ Kita namung ndherek. Tulung anak kulo dok”. Kami hanya ikut. Tolong anak saya. Dia nampak panik. Dia yang cerita tentang apa yang dilakukan dukun itu. Si ibu diam menangis. “Kita berdoa. Kami berusaha semaksimal mungkin”. Hati saya bergetar ketika wanita lanjut usia, ibu pasien itu terisak memegang tangan saya. Kans mungkin hanya paroh paroh. Kondisinya demikian parah. Tak mungkin tanpa tranfusi. Untung dapat darah yang cocok dari PMI.

Jam delapan lebih sedikit persiapan operasi selesai. Operasi dipimpin dokter Hasibuan. Tenang dan teliti sekali dia memeriksa pasien dan memeriksa semua persiapan. “Keluarga sudah diberi tahu dan sudah memberikan persetujuan?”. Kembali dia bertanya sewaktu mencuci tangan. “Sudah ada persetujuan tertulis. Mereka sangat terpukul”. Dokter Hasibuan menggumam “Kita lakukan yang paling baik”. Tak mudah menutupi rasa tegang, walau berusaha tenang. Saya lihat dia berdoa singkat sebelum mulai operasi. Saya bertugas sebagai asisten dua. Operasi berjalan tenang walau menegangkan. Janin tak bisa diselamatkan. Dinding kandungan tidak cuma robek memanjang. Tetapi jaringannya rapuh dan bagian bawahnya rusak berat. Tak mungkin menghentikan perdarahan. Tak mungkin menjahit jaringan yang pinggirnya hancur itu. Diputuskan untuk mengangkat jaringan uterus. Untung pasien multi para, sudah punya anak lima. Tetapi bukan itu alasannya. Semata mata hanya untuk menyelamatkan ibu.

Jam sepuluh operasi selesai. Berjalan lancar. Tekanan darah pasien stabil selama operasi. Pasien mendapat transfusi untuk mengganti darah yang hilang. Pasien dipindah ke ruang perawatan paska operasi. Dalam keadaan stabil. Selesai cuci tangan dan ganti pakaian, kami menyiapkan laporan lengkap. Dokter Hasibuan mendikte dan menjelaskan semua hasil pemeriksaan dan prosedur yang dilakukan. Saya mencatatnya. Semua menurut prosedur. Hanya ada satu yang aneh. Tentang hasil pemeriksaan. Dokter Hasibuan bilang “Vaginanya tidak ada yang rusak”. Saya ragu menulis dan mencoba mengingatkan. “ Kalimatnya nggak benar ini dok”. Dia tak menghiraukannya. Kami kelelahan tetapi merasa lega, operasi berhasil, ibu terselamatkan. Mission accomplished. Sebelum kembali ke kamar saya cek sekali lagi pasien. Belum sadar, tetapi tanda tanda vital bagus.

Jam setengah tujuh keeesokan harinya saya kembali ke bangsal. Tak terasa tegang lagi karena jaga malam telah lewat. Cerita tentang operasi semalam sudah tersebar. Jadwalnya tertulis di papan di depan kamar operasi. Jam delapan ketua tim operasi harus melapor dalam konperensi klinik. Tak begitu menegangkan bagi para ko as. Toh kami hanya membantu (ko asisten). Para calon dokter spesialis itu yang merasa paling tegang. Dipimpin oleh dokter Prono, kepala rumah sakit, dan wakilnya, dokter Pras. Dokter Prono orangnya tinggi besar. Nampak sabar, tetapi nada suaranya besar menggema. Jika ada yang melakukan kesalahan, baru dengar suaranya sudah terkencing kencing. Dokter Pras, bicaranya selalu lantang dan tegas. Orangnya simpatik dan tampan. Tetapi jangan tanya jika ada yang membuat kesalahan. Teman saya Purwo (alm) pernah diusir dari kamar operasi karena rambutnya tak tertutup rapat saat operasi.

Seperti yang saya duga, laporan operasi semalam bermasalah. Ketika dokter Hasibuan, melaporkan hasil pemeriksaan “Vaginanya tidak ada yang rusak”, dokter Pras langsung berdiri dan bertanya lantang. “Vaginanya itu satu pasien ada berapa?”. Dokter Hasibuan saya lihat gemetar dan tegang. Jauh lebih tegang dibanding saat melakukan operasi semalam. “ Vagina ya hanya satu to dok”. Dokter Pras semakin berang. “La kok sampeyan bilang vaginanya tidak ada yang rusak ?. Sampeyan belajar bahasa Indonesia di mana? “. Jika sudah begini agar selamat lebih baik diam. Jika dia menjawab, belajar bahasa Indonesia di Tarutung, tempat kelahirannya, pasti habis dia. Ada saja alasan untuk mengejar. Saya tak kuasa menahan senyum. Tiba tiba dokter Pras melihat ke arah saya sambil menggebrak meja. “Ini bukan ketoprak. Tidak ada yang lucu. Nggak usah cengengesan”. Woto menginjak kaki saya. Pikir saya, siapa yang mau main ketoprak siang siang gini. Konperensi yang menegangkan itu selesai jam setengah sepuluh. Dokter Prono, dokter Pras dan dokter2 lain memberi ucapan selamat ke tim operasi dan terima kasih atas keberhasilan operasi. Terutama ke pimpinan operasi, dokter Hasibuan. Kami semua kembali ke tugas rutin. Saya pagi itu di poli klinik.

Tiga puluh enam tahun telah berlalu. Sore tadi saya mendatangi bekas rumah sakit Manguyudan bersama Nyi. Kedua anak kami lahir di rumah sakit ini, Wisnu dan si bungsu Moko almarhum. Bangunan itu tetap masih asri seperti dulu. Damai dan tenang. Kebetulan sore tadi habis hujan, langit mendung dan hujan rintik rintik. Terasa syahdu mengingat masa lalu. Bangunan utama sedikit berubah, tetapi tak terlalu beda. Hanya pohon kelengkeng di halaman depan sudah tidak ada. Tanah di halaman depan sudah tertutup conblock. “Saya pernah bertugas di rumah sakit ini di tahun 1974” saya memperkenalkan diri ke petugas Satpam. “Saya belum lahir pak. Bapak dokter ya?” Petugas itu ramah menyambut saya. Saya mengambil beberapa foto. Sekarang jadi kampus pendidikan D3 kebidanan.

Dokter Suprono, dokter Prastowo sudah tiada. Mereka tokoh senior pendidikan dokter, terutama bidang kandungan dan kebidanan. Dosen yang saya kagumi. Dibawah kepemimpinan mereka rumah sakit Mangkuyudan menjadi tempat rujukan untuk menurunkan angka kematian ibu, paling tidak untuk Yogyakarta waktu itu. Saya selalu menghormati beliau berdua. Bersama dokter Prastowo, saya kemudian ikut menjadi pengurus himpunan dokter perdamaian Indonesia. Dokter Hasibuan masih aktif sampai sekarang. Saya ketemu terakhir enam bulan lalu di bandara Adisucipto, kebetulan bersama dalam satu pesawat menuju Jakarta. Dia tak ingat insiden ‘Vaginanya tidak ada yang rusak” itu.

Saya merasa bangga bisa ikut dalam tim operasi menyelamatkan seorang ibu dari Gunung Kidul itu tiga puluh enam tahun lalu. Namun itu tak cukup. Perjalanan masih sangat jauh untuk menurunkan angka kematian ibu. Angka kematian ibu di Indonesia, masih termasuk tinggi di Asia. Dokter Fadilah, mantan menteri kesehatan, yang juga pernah bertugas sebagai ko asisten di rumah sakit Mangkuyudan pernah cerita waktu ketemu di bandara Changi dua tahun lalu. “Selama lima tahun terakhir, kami berhasil menurunkan dari 400 kematian ibu per 100 000 kelahiran, menjadi 250 per seratus ribu”. Tetapi itu masih terlalu tinggi. Masih banyak daerah kantong2 kematian ibu di Indonesia. Ada 6 orang isteri teman yang saya kenal yang meninggal saat melahirkan. Lima di antara mereka adalah isteri dokter dan dekat dengan pelayanan rujukan. Bukan tinggal di daerah pedalaman yang jauh dari pelayanan medis. Semua teknologi dan obat obatan tersedia dan terjangkau di masa kini. Kematian ibu harus diturunkan. At any price.

Salam damai dan sejahtera. Tulisan ini khusus saya persembahkan untuk Bung B. Haryo Prasetyo di Ottawal yang kebetulan juga lahir di Mangkuyudan, tanggal ini. Selamat ulang tahun, semoga selalu bahagia, dan menggapai cita cita masa depan. Maaf kalau ada kata yang keliru.

Ki Ageng Similikithi.
Yogyakarta, 27 Mei 2010.

Monday, May 17, 2010

Jeng Srie, nuwun sewu, aku ora bali

Menjelang akhir tahun 1971. Minggu sore yang cerah. Habis hujan ringan siang harinya. Hawa sejuk menyegarkan. Saya menunggu bis di tepi jalan, di desa Ngampin, Ambarawa. Harus pulang ke Yogya. Angin bertiup ringan dengan aroma bau bunga kopi yang lembut. Rasanya malas, dalam suasana yang sejuk dan damai seperti ini, harus berangkat ke Yogya. Di kejauhan saya lihat Bapak saya duduk di halaman depan rumah, mengamati. Tiba tiba terdengar klakson mobil menyentak kesunyian. Bis Mustika mendekat dari arah Timur. Bis warna merah campur kuning menyolok. Jurusan Semarang Yogya. Si kernet berteriak lantang. Magelang ! Yogya !. Saya melambaikan tangan. Yogya ! Bis berhenti tepat di muka pintu kebun.

Saya berbalik melambaikan tangan ke arah Bapak di kejauhan, sebelum beranjak mendekati bis. “ Masih ada tempat duduk?”. Malas berdiri, meskipun hanya sampai Magelang. “Masih banyak tempat. Mari naik mas”. Si kernet membalas. Dengan sigap saya loncat, masuk lewat pintu belakang. Ada beberapa tempat duduk yang masih kosong. “Maaf ya mbak”, sekedar basa basi saya minta permisi untuk duduk berdampingan dengan seorang wanita muda di barisan kursi sebelah kiri. “ Silahkan, masih kosong”. Saya langsung duduk ketika gadis itu menyapa “ Lho sampeyan ya San ?”.
Saya terhenyak. Hanya teman SMP yang memanggil saya dengan panggilan itu. Saya tatap wajahnya. Lupa lupa ingat. Teman waktu sekolah di Taman Siswa Ambarawa lebih lima tahun lewat. “ Srie ya?” jawab saya tergagap. Belum hilang rasa kaget saya. Dia tahu saya terkejut. “Iya, Srie Lestari. Lupa ya?”. Saya mencoba menjelaskan dan menutupi rasa malu . “Lupa sih enggak. Hanya terkejut saja. Lama sekali kita tak pernah jumpa”. Dia mencoba menjelaskan “ Kita ketemu terakhir kali saat perpisahan sekolah. Pertengahan tahun 1965. Habis itu masing masing menghilang”.

Srie adalah teman satu sekolah di Taman Siswa Ambarawa. Sesudah lulus dia meneruskan ke SMA di Salatiga atau Semarang. Sedangkan saya ke Solo. Lulus SMA dia kuliah di Fakultas Sastra UGM , jurusan Sastra Nusantara. Saya meneruskan kuliah di kompleks Ngasem, Fakultas Kedokteran UGM. Kami asyik ngobrol dalam bis. Cerita tentang pengalaman masing masing selama enam tahun terakhir sesudah meninggalkan Ambarawa. Kami sama sama duduk di tahun ketiga di UGM. Kami cerita tentang teman teman semasa SMP dulu. Santi tak bisa melanjutkan sekolah sesudah tamat Taman Siswa. Peristiwa 1965 sangat menghantam keluarga Santi. Bapaknya ikut hilang. Srie tahu persis kalau saya sama Santi ada rasa istimewa dulunya. Cinta pertama, cinta monyet.

Srie tak banyak berubah sejak dari SMP dulu. Pembawaannya tenang dan kalem. Omongannya selalu teratur kalimat demi kalimat. Dalam bahasa Jawa yang halus. Sore itu dia memakai terusan warna kuning lembut dengan sweeter jambon. Kalem sekali. Cocok dengan warna kulitnya, kuning langsat. Kulitnya halus terawat. Rambutnya hitam lurus sampai ke pinggang. Ada jepitan rambut warna ungu terpasang menahan rambut yang melambai lambai tertiup angin. Dia tak terbiasa tertawa lepas berderai, tetapi senyumnya selalu menghias wajah lembut dalam setiap ungkapan kalimat demi kalimat. Saya menikmati ceritanya. Menikmati ucapannya di antara senyuman senyuman lembut. Ketika saya berkomentar tentang warna sweeternya yang lembut cocok dengan parasnya, dia tersipu. Balik berkomentar. “Baju anda warnanya pas sekali. Kalem”. Saya ingat memakai baju ungu muda. Tetapi ada sulaman benang warna keemasan menyolok di dada jika kena lampu malam hari. Ndesit. Minggu kemarin diolok olok teman teman pondokan, katanya baju penganten, pakai emas. Moga moga dia nggak lihat warna keemasan menyolok di dada kiri dan kanan ini.

Kami terus mengobrol sampai memasuki kota Yogya. “Saya turun di Gondolayu. Saya tinggal di Jalan Jendral Sudirman”. Dia memberikan catatan alamatnya. Saya juga baru ingat kalau saya tak lagi tinggal di Gerjen. Sudah beberapa minggu saya pindah ke jalan Pajeksan, di dekat Malioboro. Buru buru saya membalas “ Saya juga turun di Gondolayu. Saya tinggal di Pajeksan, Malioboro”. Menjelang maghrip saya antar Srie turun dari bis ke kompleks perumahan Bank Agung. Hanya mengantar sampai pintu masuk. Kami bersalaman erat di pintu itu. Terasa dingin ketika tangan kami bersalaman. Jabat tangan ringan. Sekedar ungkapan persahabatan. Kami janji akan bertemu hari Sabtu malam. “Jika anda ada waktu luang, kita bisa bertemu Sabtu malam besok”. Wah berarti belum ada yang ngapeli dia. Orang Jawa bilang “rindik asu digitik”. Lebih cepat dari lari anjing yang kena sabet. Cepat cepat saya menukasnya. “ Boleh Sabtu malam saya ke sini”. Pikir saya dari pada malam Minggu sendirian di kamar, berselimut sarung. Lebih baik mengunjungi teman lama. Senyumnya yang kalem di antara untaian kalimat kalimat halus berbahasa Jawa. Tak biasa saya jumpai di kalangan teman2 putri di kampus. Teman putri satu kampus datang dari seluruh penjuru tanah air. Kebanyakan bercakap dalam bahasa Indonesia. Pergaulan dan percakapan kami selalu lugas apa adanya.

Sabtu petang di akhir minggu saya mengunjunginya. Dia tinggal dengan bapaknya dan ke dua adiknya di kompleks perumahan. Ibunya di rumah Ambarawa. Memang mereka sekeluarga asli Ambarawa. Saya berkenalan dengan Bapaknya dan kedua adiknya. Mereka juga berbahasa halus sekali. Mungkin keluarga itu memang sudah terdidik dan terbiasa dengan pembawaan yang halus. Bercerita tentang masa lalu saat masih di Ambarawa, terutama saat bersama di Taman Siswa. Malam itu saya disiplin, pamit pulang jam sembilan malam. Srie mengantar saya sampai pintu depan. Saat bersalaman, dia bilang “ Jika ada waktu datanglah setiap akhir pekan Ki. Kita bisa ngobrol”. Saya mengiyakannya. “Pasti saya akan selalu datang”. Malam malam Minggu berikutnya saya selalu datang. Menikmati ceritanya. Gaya bicaranya yang halus teratur. Dalam bahasa Jawa dengan tata bahasa yang bersih. Di antara senyuman lembut yang indah. Seperti mendengarkan cerita roman karya Any Asmara, Kumandanging Katresnan, roman klasik berbahasa Jawa yang terbit di tahun lima puluhan.

Surat surat di antara kami saling terkirim. Juga dengan bahasa Jawa yang halus. Saya merasa dekat sekali dengannya. Merasa segan dan hormat akan kelembutan sikap dan kata katanya. Ingin selalu dekat dengannya. Mendengar kata katanya berbisik halus di antara senyuman lembut. Di satu malam yang indah. Habis hujan waktu itu. Langit terlihat kelam tanpa bintang. Kami duduk bedua di pavilion depan. Tak ada siapa siapa. Berdua berdampingan. Dia bercerita dengan tenang. Dengan senyuman indah di antara kalimat yang keluar teratur satu per satu. Saya menggenggam tangannya yang sejuk. Kami duduk berhimpitan di kursi panjang. Ada rasa kekaguman yang dalam. Rasa sayang dan hormat saya tak terkira. Pikiran dan perasaan saya mengembara ke langit sana. Tak ada keberanian, tak ada kemampuan, tak ada daya. Untuk membelai, untuk memeluk, apalagi mencium wajah lembut dan halus itu. Senyumnya tetap tersungging, meski dia nampak gelisah. Wajahnya semakin memerah cantik. Hanya rasa kagum yang platoonik membayang dalam pikiran saya. Ketika dia berujar “Kemana Ki kita menuju”. Dalam bahasa Jawa yang halus. Saya hanya mampu menjawabnya singkat “ Kita berjalan ke depan. Bersama sama entah sampai mana”.

Malam itu saya pulang menyusur sepanjang jalan Mangkubumi dan Malioboro. Ingatan saya melayang pengalaman cinta pertama kali dengan Eny dua tahun sebelumnya. Yang dengan penuh gelora memeluk dan mencium saya dengan tiba tiba di kegelapan di bawah pohon jambu itu. Beda sekali. Srie selalu lembut dan kalem. Dan saya tak bernyali untuk memulainya. Hari hari berlalu, minggu minggu berlalu, bulan bulan terlewati. Kami tetap setia bertemu di setiap akhir pekan. Entah di Yogya. Entah di Ambarawa. Pertemuan pertemuan yang asyik dengan cerita. Tutur katanya selalu membuat saya terkagum kagum luar biasa. Senyumnya selalu membuat saya terpesona. Tetapi setiap saat hanya membuat saya terpana tanpa daya. Tak ada nyali. Tak ada daya untuk bermain cinta. Ingat pengalaman berhubungan dengan Eny dua tahun lewat. Tak ada cerita jika bertemu. Tak ada ungkapan tata bahasa pujangga. Diam seribu bahasa. Langsung sergap sampai lumat. Edaan.

Hampir setahun saya selalu mengunjungi Srie. Selalu berbincang dengan asyik dan lembut. Dia juga selalu mendengar cerita cerita saya. Tentang kuliah. Tentang losmen. Saya kebetulan tinggal di losmen. Sambil mengurusi losmen, sekalian kerja, ada tambahan uang saku dan kuliah. Tetapi tak pernah ada janji di antara kami berdua. Tidak pernah ada ungkapan cinta. Saya lupa bulannya. Saya sudah duduk di tingkat empat di tahun 1972. Beberapa minggu lagi kami akan stuy tour akhir tahun ajaran ke Bali. Suatu siang sesudah ujian saya ajak teman sekelas, asal Ambarawa, almarhum Purwo, mengunjungi Srie di Gondolayu. Seperti biasa, Purwo selalu merokok. Tetapi dia tak banyak cerita. Hanya mendengar saya berbincang dengan Srie. Gaya pebicaraan kami mungkin agak aneh di mata Purwo. Dia kebanyakan diam, tak seperti biasanya.

Pulang dari tempat Srie, kami makan soto. Purwo tak banyak bicara. Dia hanya komentar. “Srie gadis cantik Ki. Tapi nggak cocok buat kamu. Ada sesuatu yang aneh di antaramu”. Saya hanya menggumam kalau kami belum kata kata yang mengikat. “Nggak usah bohong bung. Tetapi jangan diteruskan. Sama sama orang Ambarawa. Tak baik jika ada apa apa nantinya”. Hari Sabtu malam terakhir sebelum saya ke Bali, saya menemui Srie dan pamitan. Sewaktu saya akan pulang dia berpesan “ Nek kondur seka Bali, tindak rene ya”. Kalau pulang dari Bali, datang ke sini ya. Kami bersalaman erat di pintu gerbang. Kata kata itu masih teringat. Rupanya itu terakhir kali saya mengunjunginya. Di Bali, saya satu rombongan dengan EMSA teman satu klub belajar. Dia hangat dan ceria. Selalu dekat dengan saya. Purwo pernah berteriak ke kami di pantai Kuta. “Jangan lengket lengket. Nanti bisa kebablasen jatuh cinta”.

Pulang dari Bali, saya tak sempat mengunjungi Srie. Saya mengaguminya. Menghormatinya. Tetapi saya yakin kalau perasaan saya tidak sampai mencintainya. Dan kami selama sebelas bulan terakhir memang tak pernah menyatakan cinta. Tak pernah bermain cinta. Suatu malam di bulan Mei menjelang ulang tahun saya menerima kiriman. Ketika saya buka. Ada bahan baju warna ungu indah. Kalimat ucapan selamat ulang tahun. Dalam bahasa Jawa halus yang indah. “Kondur seka Bali kok ora tindak nang nggonku Ki. Awake dewe mlaku bareng mung tekan semene ya?” Pulang dari Bali kok tidak datang lagi. Perjalanan kita hanya sampai sekian ya ?”. Saya tak bisa membalas panjang lebar. Hanya ungkapan terima kasih tiada tara dan permintaan maaf “ Nuwun sewu Jeng Srie, aku ora isa sowan”.

Sejak saat itu saya tak pernah berjumpa lagi. Hanya di akhir tahun delapan puluhan saya bertemu sepintas. Srie dengan dua orang putranya mengantar sang suami urusan program paska sarjana di kampus. Kami hanya bersalaman tetapi tak sempat cerita panjang lebar. Dia tinggal bersama dengan keluarganya di Jawa Tengah Selatan. Saya ajak mampir di kantor saya, dia menolak dengan halus. “Saya menemani anak anak di halaman sini”. Dia nampak berbahagia sekali dengan kedua putra putrinya.

Salam damai dan bahagia untuk mama Srie. Maaf jika ada kata kata yang keliru. Ki Ageng Similikithi

Friday, May 14, 2010

Apa yang kau cari Cynthia?

Hari ini pulang terlambat. Jam tujuh malam baru bisa meninggalkan kantor. Seharian ada pertemuan dari pagi sampai sore. Tak bisa meninggalkan pertemuan walau tak langsung berkaitan dengan program saya. Lewat jam 5 baru bisa mengerjakan pekerjaan sehari hari. Jalanan tak begitu padat lagi. Saya menyusur United Nations Avenue terus ke Del Pillar. Agak memutar. Tetapi tak apa. Pengin mampir makan di Red Sea restaurant. Rumah makan Timur Tengah. Hampir tiap akhir pekan makan disana. Biasanya bersama Nyi. Sabtu kemarin bersama tamu dari Korea. Si pelayan langsung tanya “Where is mom?”. Mungkin ragu ragu dia, saya datang dengan orang lain. “My wife is in Oman”. Hari ini saya datang sendirian. Pertanyaannya sama juga “Where is your wife?”. “I told you she is in Oman. Give me egg plant saluna with lamb and ice tea”. Jawab saya singkat. Egg plant saluna with lamb, kesukaan saya, kesukaan Nyi, kesukaan bersama.

Jam setengah sembilan baru sampai rumah. Petugas jaga Datoin, giliran jaga malam. Dia memberi tahu kalau salah satu tutup lubang dongkrak mobil hilang. Dia memeriksanya sejenak dan kami bicara sebentar di lantai parkir. Tiba tiba terdengar langkah ringan menuruni tangga. Cynthia ternyata mau berangkat pergi. Terlalu dini, biasanya menjelang tengah malam baru berangkat. Berpakaian rok tipis setengah mini. Pakaian pesta. Agak menyolok. Celah dadanya begitu rendah menantang. Gaun bawahnya setengah paha. Masih nampak seksi. Kulitnya halus bersih warna sawo matang. Namun tak terkesan sudah lewat usia empat puluh. Masih menawan. Tak kelihatan letih kurang tidur seperti biasanya. Biasanya saya ketemu pagi hari. Terlihat kuyu kurang tidur karena dini hari dia baru pulang. Malam ini wajahnya nampak segar berseri dengan make up tipis. “ Hi Ki, come home late?”. “ Having a long meeting in the office”jawab saya. “No ballroom tonite KI “. “ No ballroom. You have party ?”. Jawab saya sambil memancing. “Having a date. Life music ”. Jawabnya bisa ditebak. Dia pasti ke club Blue Moon. Punya hubungan khusus dengan salah satu penyanyi pria di sana. Masih muda, sekitar awal tiga puluhan. Saya sering melihatnya datang ke apartemen. Pria ganteng. Nampak maskulin dengan bangunan tubuh kokoh berotot. Tidak begitu lajim untuk pria Filipina yang selalu nampak lembut dan feminine.

Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya. Cynthia baru saja resmi berpisah dengan suaminya Efren. Efren dapat pasangan baru. Gadis cantik umut 26 tahun. Nggak tahu apa alasannya, tetapi Efren dan pasangan barunya sering datang ke apartemen. Hanya bicara sebentar sama penjaga di lantai bawah. Tak mungkin masuk ke apartemennya dulu. Sudah resmi pisah sama Cynthia. Mungkin hanya pengin bikin panas sang mantan isteri, Cynthia. Efren dan pasangan barunya sering ke karaoke di ujung jalan. Mungkin bernyanyi ria, lagu tentang cinta, tentang burung. Burung Kakak Tua, Burung Dalam Sangkar, Burung Nuri, Burung Camar. Pokoknya nyanyian burung. Nyanyian kebebasan. Kebebasan burung. Pernah menawari basa basi. “ Ki lets go karaoke”. “ Go ahead, Nyi is not around”. Mereka juga tak peduli. Ngapain saya ikut. Mereka baru in the mood. Pas panas panasnya, pasangan baru. Salah salah malah mengganggu mereka berdua atau jadi ingin meniru. Lebih baik menjaga jarak. Kalau perlu mengintip saja.

Pas hari perpisahan mereka disahkan pengadilan, penasehat hukum Cynthia datang malam malam. Pulang pagi hari. Biasa, konsultasi dengan penasehat hukum tak bisa cepat selesai. Bisa selesai setengah jam atau kurang, kalau kliennya wanita lanjut usia. Jika kliennya masih muda dan cantik, seperti Cynthia, apa lagi pas kesepian, konsultasi bisa berjalan semalam suntuk. Bisa dipahami, cuma susah ditiru. Alasan bisa di bikin. Menyelesaikan semua transaksi hukum. Menelaah kembali adakah kekeliruan dalam proses pengadilan. Apapun alasannya mereka juga nggak peduli. Yang penting semalam suntuk, titik.

Pacar baru Cynthia, si penyanyi tampan, hanya datang teratur sampai tiga minggu. Biasanya datang dini hari sampai tengah hari. Jarang saya bertemu kecuali di akhir pekan. Cynthia kadang kadang bertemu di lantai parkir pagi hari. Mengantar anak gadisnya turun untuk selanjutnya dijemput mobil sekolah. Seperti yang saya katakan, pagi pagi biasanya nampak kuyu dan lusuh. Hanya terbangun sebentar. Jadi kalau mau lihat Cynhia dalam keadaan segar dan cantik ya pilih malam hari. Mungkin saat dia turun ke lantai bawah. Tetapi saya tak punya nyali. Paling kalau dengar dia buka pintu atau berjalan di koridor, saya hanya terbatuk ringan. Suaranya terdengar nyaring di koridor “Hi KI”. Perbedaan penampilan antara pagi dan malam ini tak sesuai dengan cerita guru saya waktu SMP di Ambarawa. Pak Ebi bilang, wanita yang benar benar cantik akan terlihat lebih anggun dan cantik saat bangun tidur pagi hari. Tak bisa mengerti saya. Gimana kalau pas ngiler, mau kelihatan anggun dari mana?

Lewat tiga minggu, teman Cynthia berganti ganti. Semuanya hanya teman. Paling tidak teman kencan. Kadang kadang anak muda, kadang kadang pria setengah baya atau lanjut usia. Tak begitu mengejutkan. Mungkin berkaitan dengan pergantian konsepsi atau pandangan pribadi. Memperluas cakrawala pertemanan dan perkencanan, menjelajah umur, dari yang muda sampai tua. Dalam dunia tinju ini masuk kelas penjelajah, cruiser. Dalam dunia asmara tak tahu namanya. Mungkin kencan lintas usia. Yang mengherankan pria pria ini tak hanya lewat tengah malam. Tetapi sering sampai pagi. Yang bikin keki, ada seorang pria usia lanjut yang kadang kadang saya lihat. Terkesan berganti pakaian sendiri saja sudah pasti kesulitan dia, tetapi ternyata masih berani juga semalam suntuk. Kalau pulang pagi kadang kadang bersamaan dengan saya turun. Magandang umaga. Selamat pagi. Jalannya tertatih di anak tangga. Saya masih lebih gesit menuruni tangga. Tetapi di tempat tidur mungkin dia sangat perkasa, bisa terbang membawa pasangannya terasa melayang. Edaan. Jangan membandingkan, pikir saya. Keberuntungan orang lain lain. Kadang datang tak terduga.

Selang beberapa minggu kemudian. Tamunya berganti lagi. Selalu dalam pakaian formal. Pakai jas warna gelap, seperti seragam atau pakaian resmi. Bicaranya sopan dan gentle. Tak ada kesan urakan sama sekali. Kadang datang dan pergi diantar jemput mobil. Pria pria muda, tampan, gagah dan menarik. Tak pernah bertutur sapa langsung dengan saya. Hanya dengar kalau bicara dengan petugas jaga atau bicara dengan Cynthia di depan pintu. Suatu pagi saya bertemu salah satu dari pria itu di bawah. Good morning, sapanya sopan. Dia dijemput mobil warna putih. Sekali lagi Datoin yang buka kartu. He is a guest relation officer. Invited by Cynthia. Bukan teman kencan. Bukan client. Tetapi ternyata Cynthia yang jadi client bagi pria pria tampan itu.
Cynthia masih muda. Menarik dan cantik. Mau cari suami atau pasangan kohabitasi tetap kayak apa pasti tak akan susah. Tetapi pilihan orang memang bisa berbeda beda. Dia, paling tidak sementara ini, nampak menikmati kencan dengan jasa GRO. Memang wanita kaya, bisa memilih siapa saja, kapan saja, manasuka. Mau pilih pria yang tipe apa, tinggal lihat gambar dan angkat tilpon. Disuruh apa saja, depan belakang, atas bawah, pasti menurut. Tak ada pikiran buruk sama sekali. Pilihan masing masing.

Jam sebelas malam. Suara mobil masuk garasi di lantai bawah. Suara Cynthia terdengar lembut sepanjang koridor. Bersama teman kencannya. Moga moga cepat dapat teman pasangan tetap yang didambakan. Apa yang kaucari ? Siapa yang kau nanti dan kau dambakan?

Yang gumun,
Ki Ageng Similikithi

Friday, May 7, 2010

Sudah punya calon?

Jam dua siang siang di awal tahun 74. Saya selesai asisteren operasi di kamar bedah RS Bethesda, Yogyakarta. Sejak jam 11 tadi. Capai dan lapar, buru buru ke kamar ganti. Tiba tiba Purwo masuk dan bicara keras. “ Ki ana wedokan nggoleki kono”. Ada perempuan cari kamu. Saya nggak percaya. Dia suka berolok olok dan angin anginan. Saya hanya bergumam. Tak perlu dilayani. Beberapa saat kemudian dia masuk lagi. “ Edan, dienteni wong ayu kok jual mahal”. Dia nampak serius. Jarang dia bersikap begitu. Saya terkesiap. Tak ada janji. Tak ada agenda ketemu teman apa lagi wanita.

Saya keluar masih dengan pakaian putih. Ada seorang gadis duduk di bangku panjang. Dia memakai terusan warna biru. Rambutnya terurai indah. Wajahnya memerah. Nampak gelisah. Dia diantar temannya. Ingatan saya berputar cepat. Oh ya, mahasiswi AKUB yang saya kenal beberapa waktu lalu. Belum sampai tahap serius. Masih surat suratan biasa. Belum tersirat pesan pesan romantis.

“ Ki apa kabar?”. Dia menggenggam tangan saya dengan erat. Saya masih terkejut. “Hi Lin, kapan datang ?”. Dia nampak kikuk dan tergesa. “ Baru tadi pagi. Saya di Yogya hanya beberapa hari. Sabtu pulang lagi”. “Kenapa tergesa?” Saya bertanya sekenanya. Belum hilang rasa terkejut saya. “ Hanya mengurus ujian. Datanglah ke rumah sebelum hari Sabtu”. Saya hanya mengangguk ringan. “O iya, kenalkan teman saya Roni”. Roni teman satu kota dan satu kuliah dengan Lina. Hanya beberapa menit. Tak ada lima menit. Lina tergesa pamitan. “Datang ke rumah sebelum Sabtu ya”.

Mereka berjalan menjauh sepanjang koridor rumah sakit. Saya tertegun memandangnya. Kecewa nggak bisa menahannya lebih lama. Hati saya tergetar ingat tatapan matanya. Menembus dalam ke lubuk hati saya. Ada rasa aneh berdesir di rongga dada. Tiba tiba Purwo keluar dengan pakaian dan topi putihnya. Dia nggak tugas jaga. Pasti mau berlagak dengan pakaian itu. “ Jangan sok jual mahal sama wanita Bung. Jaman sekarang emansipasi, wanita berhak memilih”. Dia memang suka bicara. Mengenai apa saja. Selalu di atas angin. “ Kau calon dokter Ki, sama wanita harus gentle. Jangan sok jual mahal”.

Kalau nggak di counter sejak awal, pasti satu sore dia akan ceramah bagaimana harus bersikap gentle terhadap wanita. Semalam berjam jam berceramah ke teman yang lain, Jito, tentang tata krama berpacaran. Hanya karena Jito tak sengaja cerita sudah mengapeli gadis berbulan bulan, baru berhasil menggenggam tangan. “ Bibirmu perlu operasi plastik bung. Mungkin jaringan bokong yang ada dibibir itu”.

Saya tak ingat apa saja yang dikatakan Purwo di koridor itu. Pikiran saya masih tertuju ke Lina, mahasiswa AKUB yang saya kenal beberapa bulan lalu. Saya bilang ke Purwo sekenanya. “ Dia calon isteri saya. Ibu saya sudah setuju”. Purwo yang tadi bersuara lantang, mendadak terdiam. “ Sungguh? Serius?” Tanyanya tak percaya. Dia terdiam beberapa saat. Saya tak tahu kenapa. Purwo berpenampilan menarik. Tinggi dan berpenampilan tampan. Bolak balik ganti pacar. Terakhir pacaran sama adik kelas. Anak seorang dokter ternama. Oomnya Purwo juga dokter bedah terkemuka. Saya dengar Purwo ditinggal pacarnya. Pria yang nyamperin pacar Purwo naik mobil Fiat. Desas desus beredar keras “ Si Purwo kesrempet Fiat”. Tetapi tak urusan. Tak mungkin patah hati dia. Nilai jualnya tinggi. Kalau mau ganti pacar tiap minggu pasti bisa.

Kembali ke kamar istirahat. Kami tak banyak bicara. Hanya sekali Purwo bertanya. “Kau serius itu calon istrimu”. Saya menjawab sekenanya “Iya sudah mantap. Mau cari yang kayak apa lagi”. Hari Jumat sore saya menyempatkan ke rumah Lina di dekat bioskop Permata. Hanya bertemu sejenak. Belum terasa istimewa. Tetapi dia menggenggam tangan saya erat sekali saat saya pamit. Desir aneh merambat di rongga dada.

Dua minggu kemudian kami co-schaap di Bagian Anak di RS Pugeran Yogya Selatan. Tak dalam satu rombongan dinas jaga dengan Purwo. Seperti biasa dia selalu vibrant dan banyak bicara. Di suatu siang saya menerima seorang pasien anak menderita demam berdarah. Masih kelas satu SD. Kiriman dari RS Bantul. Masih ingat benar wajah anak kecil itu. Lucu dan tampan dengan senyuman khas walau wajahnya memucat. Tak menangis waktu saya pasang infuse. Wanita muda yang mendampingi nampak tak tega. Dia meneteskan air mata melihat si pasien terpasangi infus. “ Anda siapa zoes?”. “Saya kakaknya Dok”, jawabnya setengah menangis rintih. “Tak apa apa. Kondisinya stabil. Anda masih kuliah ? “. Saya mulai percakapan basa basi. Wajahnya nampak kuyu seperti memendam kesedihan yang dalam. “ Saya di Ekonomi Bulaksumur”. Kaget saya. Berarti sama sama atau satu tahun di bawah saya. “ Jangan panggil saya Dokter. Kita mungkin teman satu angkatan”. “ Wajah anda sedih sekali. Jangan khawatir adiknya segera sembuh”.

Setelah tahu kalau satu angkatan, kami larut dalam pembicaraan yang akrab. Dia memanggil nama saya. Saya memanggil namanya Lili. Wajahnya cantik sekali. Perawakannya semampai seperti peragawati, Okky Asokawati. Baru sadar saya jika pernah melihatnya di acara ratu kampus. Dia salah satu nominasi ratu kampus. “Lili anda pemenang ratu kampus beberapa bulan lalu?”. “ Ah hanya sekedar ikut. Runner up”. Kami terlibat dalam pembicaraan akrab. Bahkan dia cerita baru ada masalah. Baru saja putus ditinggal pergi sang pacar. Lulusan Fakultas Teknik Bulak Sumur. Batin saya, insinyur bloon, pacar secantik Lili kok ditinggal pergi. Kami terlibat sendau gurau ringan. “Ki carikan dhong kalau ada teman”. “ Wah stok pejantan, disini masih banyak. Diobral”

Paginya saya ketemu Purwo. “Bung pasien saya kakaknya cantik sekali. Runner up ratu kampus. Katanya baru saja putus. Kosong bung”. Purwo yang biasanya begitu perkasa dan percaya diri, tak begitu antusias. Mungkin kehilangan pacar kesrempet Fiat itu membekas benar dampaknya. “Serius Bung. Kalau anda minat, nanti jam dua datang ke kamar 101. Dia pasti menunggu adiknya setelah pulang dari kampus”.
Siang itu saya dinas jaga. Jam setengah dua saya masih di bangsal dengan Santo, teman satu grup jaga. Hanya ada beberapa pasien yang perlu pengamatan tiap jam. Terutama pasien demam berdarah dan diare. Saya lihat Lili menunggu adiknya di kamar 101. Saya menghampirinya beberapa saat kemudian. Adiknya sudah jauh lebih baik. Makannya juga hampir normal kembali. Belum sempat ngobrol dengan Lili. Hanya bicara tentang kemajuan adiknya, ketika pintu diketok.

Purwo berdiri di muka pintu. Aneh luar biasa bagi saya. Biasanya dia begitu gagah dan percaya diri. Pakai jas putih dengan kerah setengah berdiri. Tangan selalu tercekak dipinggang atau digendong dibelakang untuk meningkatkan wibawa. Kali ini dia datang tanpa pakaian seragam dokter. Wajahnya jauh dari percaya diri. Senyum kecut menghias bibir. Wagu ingah ingih. Tangannya tidak dipinggang, juga tidak di punggung. Tetapi kedua tangannya saling tumpang di muka selangkangan. Seolah ketakutan burungnya akan hilang. Baru sekali ini saya melihat penampilannya begitu jauh dari percaya diri. Saya ingat bajunya warna kotak2 hitam dan putih.

“ Hi Bung selamat siang. Ada keperluan khusus?”. Saya bertanya basa basi. Dia semakin merunduk mendengar pertanyaan saya. Sementara Lili nampak kebingungan melihat sikap saya. Masih ingat benar jawabannya “ Lho katanya saya tadi disuruh ke sini?”. Ini kesempatan saya di atas angin. Biasanya saya selalu kalah atau mengalah. Di kamar pasien ini, sayalah yang punya otoritas.

“ Anda pengin kenalan dengan Lili kan ?. Bilang saja terus terang, nggak usah senyam senyum kayak gitu”. Lili tersipu dan tak tahu apa maksud percakapan ini. Saya juga belum sempat memberitahu kalau ada teman yang pengin kenalan. “Lili, ini teman saya namanya Purwo. Dia pengin sekali kenalan dengan anda. Saya sudah cerita ke dia siapa anda”. Mereka bersalaman malu malu. Seperti pacaran jaman Siti Nurbaya. Saya berseloroh. “Bung kalau memang berani anda bilang terus terang to the point. Jangan buang waktu”. Kami terlibat pembicaraan singkat hanya sebentar. Saya kemudian pamitan ke kamar. Tak lama kemudian, Purwo masuk menyusul. “ Ki saya ganti jaga malam ini”. “Terima kasih kalau mau jaga. Tetapi hari anda jaga sendiri saya nggak mau ganti”. Pikir saya dia yang butuh, pasti mau dia. Purwo paginya cerita kalau Lili dan dia sepakat untuk serius. Hanya bertemu sekali. Langsung sepakat ke pokok masalah. Mau berhubungan serius. Adik Lili hanya empat hari di rawat. Lili tak lagi datang ke rumah sakit. Purwo juga jarang datang tugas. Waktu ketemu dia bilang. “Saya pengin istirahat dulu. Mundur beberapa bulan lulus dokter tak apa apa. Demi Lili”.

Saya dan Lina kawin duluan. Sebulan sesudah lulus dokter di tahun tujuh lima. Sampai sekarang. Saya tak banyak ketemu Purwo sesudah itu, tetapi dia dan Lili kawin beberapa bulan sesudah kami. Purwo juga lulus dua bulan sesudah saya. Lili nampak begitu jelita mendampingi saat dia di sumpah. Kami tak banyak bertemu lagi. Saya bertemu Purwo di tahun 1984 setelah pulang dari Inggris. Saya mampir ke rumahnya di daerah Priok. Anaknya dua gadis gadis kecil yang jelita seperti ibunya. Lili masih main tennis waktu itu. Tak ketemu. Pertemuan saya terakhir di tahun sembilan puluh. Dia nampak tak setegar dulu. Mungkin kelelahan karena pasiennya begitu banyak. Beberapa tahun kemudian saya menerima berita mengejutkan Purwo telah tiada. Selamat jalan kawan. Damai yang abadi.

Saya menulis catatan ini dengan rasa heran. Di jaman itu hampir empat puluh tahun lalu, tak ada cell phone, tak ada facebook, tak ada twitter. Tetapi anak anak muda bicara lugas apa adanya kalau cari pasangan. Anda sudah punya calon? Apakah minat hubungan serius dengan saya?. Di jaman kemajuan teknologi komunikasi jaman sekarang, anak muda cari pasangan, bolak balik kok hanya titip salam. Salam kenal. Salam manis. Salam sayang. Salam rindu. Kakehan salam boo. Kapan kenanya.
Salam hangat buat anda anda yang masih mencari pasangan. Jangan banyak basa basi. Langsung ke pokok masalah. Sudah punya calon ? Anda minat serius dengan saya ?
Ki Ageng Similikithi

Saturday, May 1, 2010

Berpisah di simpang jalan

Tak ingat lagi kapan persisnya. Di suatu sore yang cerah kira kira tiga tahun lalu. Saya bersama Nyi mau jalan jalan ke pantai Manila. Di ruang parkir lantai bawah, sepasang penghuni baru, menyapa ramah “Selamat sore. Apa kabar ?”. Saya menjawab spontan “Magandang hapon. Kabar baik. Kamusta?” Mereka baru masuk beberapa hari di apartemen sebelah. Pintunya persis bersebelahan dengan pintu saya. Mereka tahu mengucapkan salam dalam bahasa Indonesia. Temannya banyak dari Indonesia sewaktu tinggal di Amerika.

Pasangan suami isteri Efren Morelos dan Cynthia Morelos. Mereka baru kembali dari Amerika setelah tinggal di sana lima belas tahun lebih. Kegiatan bisnis mereka dialihkan ke Manila dan menjangkau negara sekitar Filipina, seperti Palau, Papua new Guinea dan negara2 Pasifik lainnya. Bisnis generator dan alat berat. Pasangan suami isteri yang rukun dan serasi. Umur mereka baru di sekitar pertengahan empat puluhan. Mereka mempunyai anak tunggal, masih duduk di SMP. Sering tinggal di asrama. Bisnis berkembang bagus. Kehidupan mereka nampak makmur dengan gaya hidup flamboyant. Khas keluarga tingkat menengah atas Filipina.

Seperti halnya pria Filipina, Efren orangnya kalem dan ramah. Selalu menyapa bila ketemu saya. Senyumnya tak pernah lepas. Cynthia berpenampilan menarik. Gaya berpakaiannya sehari hari cenderung casual. Yang sering saya lihat pakai celana pendek ketat dan t shirt tanpa lengan. Modis dan seksi. Kami tak berhubungan lebih dekat. Hanya kadang kadang bicara bila bertemu di lantai parkir. Yang menarik saya mobilnya. Mereka mempunyai dua mobil, satu X trail dan satunya Moris model seperti mobil Mr. Bean. Beberapa lama kemudian saya tahu kalau Cynthia, berasal dari keluarga kaya jaman Marcos. Sesudah kejatuhan Marcos keluarganya pindah ke Amerika. Karena menyurutnya ekonomi di Amerika, mereka kemudian mengalihkan bisnisnya ke Asia dan kembali ke Manila.

Karena kegiatan usahanya, Efren harus sering bepergian ke luar kota atau ke luar negeri. Mungkin sampai dua minggu dalam sebulannya. Kami pernah janjian mau makan malam dan ball room sama sama. Namun tak pernah kesampaian. Jika di Manila, Efren sering hanya tinggal di rumah saja. Semua berjalan normal. Seperti halnya pasangan pasangan tengah baya pada umumnya. Selalu rukun tak pernah terdengar suara mereka bertengkar, apalagi menjerit histeris. Semua berjalan biasa saja. Namun kira kira satu setengah tahun lalu, ada sedikit perubahan. Kami jarang lagi berjumpa di lantai parkiran. Di akhir pekan Efren keluar sendirian biasanya sekitar jam depalan atau sembilan dan pulang sekitar tengah malam. Cynthia sebaliknya berdiam diri di rumah. Namun menjelang tengah malam dia keluar dan kembali dini hari. Tak ada suara berisik. Hanya saat mereka keluar dan masuk apartemen, suara pintu sangat jelas terdengar. Juga saat mereka berjalan di koridor, selalu nampak dari jendela ruang depan saya.

Tak pernah terpikir perubahan itu. Hanya suatu saat Cynthia secara tak sengaja menyapa di koridor “ Do you still go for ball room Ki ?”. “ Once and a while in the week end. Not more than two hours”. Dia cerita kalau sering ke salah satu bar dengan live music di dekat apartemen. Hanya jalan 5 menit. Tak bicara lebih lanjut. Hanya kemudian acara ke bar tidak hanya di akhir pekan. Hampir setiap malam. Efren juga secara teratur pergi lebih awal, pulang menjelang tengah malam. Di akhir pekan dia sama sekali tak pulang ke rumah. Berbulan bulan irama berjalan dengan tenang. Tak ada suara pertengkaran antara mereka.

Suatu saat saya melihat Efren bicara serius dengan Datoin, petugas keamanan, di lantai parkir. Efren kelihatan rusuh dan murung. Tetapi tetap tersenyum menyapa saya. Bahkan sempat ngobrol sebentar. Kami secara sambil lalu bicara mau saling pinjam mobil selama week end. Saya boleh memakai Moris kecilnya. Dia akan pakai mobil saya. Saya sih senang senang saja. Walau merk Benz, pendinginnya selalu bermasalah. Tak pernah mengenakkan untuk ke luar kota. Malamnya Datoin cerita katanya Efren ketahuan sama Cynthia kalau punya teman wanita. Seorang gadis cantik yang tinggal di Mandaluyong. Makanya dia sering keluar petang hari. “Babaero sir”. Babaero maksudnya sugar daddy.

Habis pertemuan itu saya jarang sekali ketemu Efren. Dia praktis sudah pindah tempat tinggal. Kedua mobilnya ternyata tak dibawa. Milik Cynthia. Cynthia tetap asyik menikmati live musicnya. Selalu sampai pagi. Tak ada hak saya untuk menilai mereka. Kesukaan mereka berbeda. Efren suka musik klasik. Sering sendirian menonton konser di Cultural Centre. Sementara Cynthia suka musik keras. Waktu dan tempat tak pernah pas. Musik klasik dan music keras. Satu di Cultural Centre, satunya di bar. Satunya petang hari, satunya lewat tengah malam. Mereka menjalani perbedaan dengan tenang dan damai selama bertahun tahun. Cuma di Manila resiko jadi lain. Pria segantheng Efren, dari kelompok menengah atas, sering sendirian, dengan cepat akan menjadi daya tarik gadis belia. Datoin bilang, teman wanita Efren masih berumur 26 tahun. Seorang sekretaris. Edaaan. Keberuntungan sering datang tak terduga.

Beberapa bulan kemudian, selama tiga minggu persis, Cynthia tak pernah keluar malam hari. Mengurung diri di rumah sepanjang hari. Datoin bilang katanya mereka sedang dalam proses pengadilan untuk bercerai. Ada detektif swasta yang selalu mengawasi Cynthia di depan rumah. Tak tahu untuk apa. Mungkin di pengadilan jika salah satu pihak berhasil megajukan bukti penyelewengan, mereka akan menang dalam pembagian harta kepemilikan.

Ketika proses pengadilan selesai, beritanya menyebar di apartemen. Dari petugas keamanan. “It is all over Sir. The Morelos, officially divorced”. Petang itu Cynthia pergi ke luar. Tak lama seperti biasanya. Jam sepuluh malam sudah kembali. Tidak sendirian. Bersama seorang pria setengah baya. Mobilnya Benz di parkir di lantai bawah. Saya melihatnya saat turun mau ke ball room. Menjelang tengah malam saat saya pulang, mobil itu masih terpakir di sana. Dua orang pengawal nampak sabar menunggu. Paginya Datoin cerita, tamu Cynthia adalah penasehat hukumnya. Baru jam tiga pagi meninggalkan apartemen. Konsultasi hukum memang bisa bertahan lama. Apa lagi kalau kliennya secantik Cynthia. Edaaan.

Di akhir pekan saya ketemu Cynthia di lantai bawah. “ How is your ball room? You still have your ball room Ki ?”. Saya iyakan pertanyaannya. “ That’s good but not for me”. Tak apa apa. Saya juga tak bernyali mengajaknya kok belum belum sudah bilang duluan nggak minat. Belum tahu dia siape gue.

Jika ingat saat saat pertama kami berkenalan dengan keluarga Morelos, pasangan yang nampak begitu serasi dan rukun, rasanya sayang sekali melihat mereka bercerai. Namun saya menghargai mereka. Bercerai tanpa suara. Tanpa bertempur ramai ramai. Apa lagi sampai konperesi pers segala. Efren dapat teman baru. Sekretaris yang cantik. Cynthia dapat pasangan baru. Bukan penasehat hukum yang sudah setengah baya itu. Tetapi pemain live music di bar yang selalu dikunjungi hampir tiap hari. Juga lebih muda.

Mereka berani memutuskan hubungan perkawinan yang sudah berjalan hampir dua puluh tahun. Bersimpang jalan. Tanpa jeritan histeris, tanpa pertengkaran hebat yang mengganggu tetangga. Tanpa gebug gebugan dan saling menjelekkan. Hanya saling mengintai dengan detektif swasta. Berpisah di simpang jalan dengan damai.

Salam damai
Ki Ageng Similikithi