Friday, June 11, 2010

Cekikikan di keremangan pagi

Masih remang remang ketika kami meninggalkan rumah pagi itu. Anak anak masih tidur lelap. Mereka masih duduk di sekolah dasar. Hari Minggu biasa bangun siang. Tahun 1983 waktu itu. Kami baru beberapa bulan pulang dari Inggris. Lupa bulan dan tanggalnya. Sesudah Nyi sembayang pagi, kami berdua jalan jalan. Hanya kebiasaan saja . Olah raga ringan pagi hari. Jalan jalan menyusuri jalan kampung di sekitar perumahan. Masih sepi waktu itu. Kebun tebu terhampar di sekitar kompleks perumahan Condongcatur Yogyakarta. Masih rimbun dan gelap. Sebentar lagi mungkin tiba musim tebang.

Agak malas sebenarnya pagi itu. Rasa kantuk belum hilang benar. Minggu lalu saat jalan pagi ada anak anak muda yang lepas begadang malam hari, meneriaki kami. “Sok berlagak kaya, jalan jalan pagi”. Panas hati mendengar ucapan kampungan itu. Mau jalan pagi mau enggak, mau berlagak mau enggak, bukan urusan mereka kan ? Jika anak anak itu mau mengurusi urusan mereka sendiri, saya yakin mereka tidak akan menganggur dan bergerombol semalam suntuk hampir tiap hari. Tak ada untungnya bereaksi. Tak perlu terpancing ucapan tak beradab itu. Apa lagi saya bersama Nyi saat itu. Rambut Nyi jadi agak kribo sepulang dari Inggris. Mungkin karena perubahan kelembaban. Masih nampak seksi. Anak anak muda itu kurang ajar bersuit suit.

Kami berjalan menelusuri jalan jalan kecil di antara kerimbunan pohon tebu. Awal musim hujan saat itu. Jalan tanah berpasir menjadi kering dan padat. Tak berdebu seperti di musim kering. Bagi yang tinggal di Yogya, musim hujan selalu lebih nyaman. Jalan tak berdebu. Kebun dan pepohonan nampak hijau subur. Jika pas tidak turun hujan, dan cuaca tidak terik, di tepian kota selalu terasa indah dan romantis. Aliran air di gorong gorong tepi jalan menimbulkan suara gemericik halus. Datanglah ke Yogya dan jalan jalan di pedesaan sekitar Yogya. Ada rasa damai menyelinap di sana. Pagi itu matahari belum muncul, hawa sejuk pagi hari, jalan jalan di sela sela kebun tebu, memang terasa damai dan romantis. Jika sendirian mungkin lamunan bisa melayang ke mana mana. Saya sama Nyi. Tak sempat melamun kemana mana. Hanya berjalan berdua. Kadang kadang berpegangan tangan. Sambil bicara pelan. Mana yang perlu saja. Kami jarang bicara intens. Kecuali jika membicarakan anak anak.

Di tikungan sebelah tenggara kebun tebu kami bermaksud belok masuk salah satu jalan kecil menembus kebun tebu menuju perkampungan. Tiba tiba ada suara berisik. Ada tawa kecil bernada manja. Selang seling antara suara sengal napas, bisikan lembut dan cekikikan manja. Saya pikir ada pejalan pagi datang dari arah berlawanan. Kira kira sepuluh meter di depan kami, saya lihat pasangan pria dan wanita sedang asyik berpangkuan di atas sepeda motor. Bermadu kasih secara intens. Berangkulan dan berciuman hangat. Saya mencoba tidak kaget dan tidak terperanjat. Aja kagetan lan aja gumunan. Di Inggris dulu, biasa lihat laki perempuan bermain cinta di muka umum. Yang saya heran, hari pagi gini, cium ciuman apa sudah sikatan sama cuci muka ? Orang yang sekedar ingin jalan pagi biasanya malas cuci muka. Nggak tahu mereka yang jalan jalan pagi sambil mau bermadu cinta.

Saya tahan Nyi untuk berhenti. Ingin belok ambil jalan lain. Tetapi dia rupanya ingin mengamati adegan erotik itu. Sudah mulai terang saat itu. Postur dan wajah mereka bisa terkenali tanpa teropong. “Itu tetangga satu kompleks kita. Suaminya bu Kinari”. Ujarnya penuh tanda tanya, seperti tak percaya akan pemandangan mengasyikkan itu. Saya tarik tangannya untuk menyingkir. Tetapi rupanya dia benar benar ingin memastikan siapa mereka. Kira kira tiga menit, pengamatan selesai. Hampir pasti itu suami ibu Kinari, tetangga di kompleks. Tetapi siapa wanita sintal naik motor warna hitam, dengan pakaian olah raga jambon itu ? Tak tahulah. Siapapun dia saya tak mau tahu. Bukan urusan dan bukan masalah saya.

Angin bertiup pelan. Matahari pagi mulai menyorot langit. Angin sepoi di luar, angin lembut di dalam bersatu dalam jiwa. Paling tidak saat itu. Di ujung jalan sepi itu. Sepasang pria dan wanita asyik bermadu kasih di antara kerimbunan pohon tebu. Dalam perjalanan pulang saya ingatkan Nyi untuk tetap tutup mulut. Kasihan ibu Kinari yang begitu pendiam. Kebetulan suami isteri bersifat pendiam. Paling tidak jika tidak bersama si pengendara motor hitam itu, pak Kinari selalu pendiam. Tetapi di jalan sepi apalagi diantara gemerisik daun tebu, sifat pendiamnya kok berubah total. Sergap sampai lumat. Edaaan.

Kami berjalan pulang ke rumah. Hanya berjarak 500 meter dari rumah kami. Nyi masih saja bertanya tanya. Saya ingatkan, jangan diungkit ungkit. Bisa kuwalat, ketularan. Kutukan. Ingat petuah Wo Sura Jaeni, sewaktu saya kecil dulu, saat bersama dia mengintip pasangan pria dan wanita yang bukan suami isteri, mandi bersama di sebelah barat kebun kami di Ambarawa. “Tutup mulut, jangan cerita sama siapapun. Bisa kuwalat, ketularan nanti”.

Yang saya heran sampai kini, berciuman hangat lumat sepagi itu sama pacar gelap, apa bekalnya?. Makan permen pagi hari, bisa sakit perut. Tanpa permen mungkin rasanya seperti saling sembur hawa mulut mematikan. Seperti semburan ular kobra. Bah ini bukan masalah sembur menyembur. Tak tahulah. Ini masalah berciuman dan bercinta denga pacar gelap di keremangan pagi hari.

Salam damai. Jangan suka mengintip orang bermadu kasih dengan pacar gelap. Bisa kuwalat.

Ki Ageng Similikithi

Friday, June 4, 2010

Jangan berlagak pilon

Wajahnya tenang dan terkesan serius. Setiap langkah nampaknya dipertimbangkan dengan hati hati. Kata katanya keluar satu per satu dengan lancar dan jelas. Selesai membaca surat dari Rektor dia bertanya. “Anda baru saja lulus dokter dari Yogya? Mengapa tidak ingin ke Puskesmas ?. Pertanyaan ini ditujukan ke saya yang kebetulan duduk paling kanan. Kami bertiga, dengan Noko dan Faisal, sama sama menghadap Kepala Biro Personalia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Drs. Suparmanto MA. Tahun 1976, lupa bulan dan tanggalnya. Semalam naik kereta dari Yogya, pagi harinya sampai di Jakarta, langsung ketempat mertua Faisal dulu untuk mandi dan ganti pakaian.

Sedikit tergagap, saya menjawab “ Saya ingin menjadi peneliti dan dosen”. Mungkin jawabannya tidak terlalu pas. “Bukankah sesudah selesai wajib kerja di Puskesmas, juga bisa jadi peneliti dan dosen?”. Pertanyaannya membalik tajam. “Bukannya saya tak ingin tugas di Puskesmas, Bapak. Tetapi saya tak siap menjalani wajib kerja lewat INPRES. Saya tak pernah memperoleh beasiswa atau ikatan dinas pemerintah”. Saya utarakan lebih lanjut kalau begitu lulus, saya sudah langsung melamar sebagai dokter Puskesmas di Susukan, Suruh, kabupaten Semarang. Tetapi tak ada lowongan pegawai negeri di Pemerintah Daerah. Satu satunya cara untuk bekerja di Puskesmas hanya lewat program INPRES di Departemen Kesehatan.

Kemudian sejak lulus tahun 1975 itu, saya bertugas sebagaai asisten di UGM, di Fakultas Kedokteran, dan mulai melakukan penelitian. Belum diangkat sebagai pegawai negeri atau dosen tetap. Masih honorer. Ada tawaran dari yayasan Rockefeller untuk program doktor di luar negeri. Kebetulan waktu itu saya sudah mulai berkomunikasi dengan beberapa lembaga yang memberikan program doktor seperti Karolinska Institute di Swedia, dan Univ. Newcastle Upon Tyne di Inggris. Konsultasi untuk memilih topik penelitian.

Tujuan kami menemui Biro Personalia Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan berbekal surat Rektor, adalah untuk meminta rekomendasi ke Departemen Kesehatan agar diberikan surat ijin dokter (SID). SID hanya dikeluarkan kalau dokter baru sudah menjadi pegawai negeri atau bertugas di Puskesmas. Surat ini diperlukan untuk mengurus ijin praktek di daerah. Tanpa SID tak bisa praktek mandiri sebagai dokter. Surat pengangkatan sebagai pegawai negeri entah kapan akan turun. Berarti nggak bisa praktek dan nggak ada emasukan uang, padahal kami bertiga sudah berkeluarga.

Noko dan Faisal juga menghadapi pertanyaan serupa. Mereka punya alasan masing masing. Noko ingin bertugas mendalami kedokteran forensik, dan Faisal bertugas di bagian radiologi. Tak lebih lima belas menit kami diminta menunggu diluar. Surat yang akan dikirim ke Departemen Kesehatan langsung diproses. Ruangan tunggu nampak bersih dan lengang. Tak sampai satu jam semua sudah siap. Lancar tanpa birokrasi berbelit. Kepala biro bisa menerima alasan kami masing masing. “Keputusan ada di tangan Departemen Kesehatan, bukan di kami” jelasnya.

Terasa ringan langkah ini ketika kami menuju kantor Departemen Kesehatan di jalan Prapatan 10. Dengan surat resmi dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, ditanda tangani oleh kepala Biro Personalia, Drs. Suparmanto MA. Sesampai di Prapatan, kami langsung ke Biro Kepegawaian. Ruangan terletak di sebelah kanan pintu utama. Agak telihat suram dan sesak. Kami menunggu hampir satu jam untuk menghadap Kepala Biro Kepegawaian, Dr. Brahim. Jam dua belas lewat sedikit kami memasuki ruangannya.

Orangnya nampak serius. Rambutnya lebat agak memanjang ke samping kiri dan kanan, tak sampai gondrong. Kumisnya hitam lebat berbentuk persegi. Nampak berwibawa benar. Namun kami tak bergetar sama sekali. Sama sama dokter pasti sikapnya akan lebih ramah. Dokter harus dianggap saudara, menurut sumpah asli Hippocrates. Dia membaca file surat yang ditanda tangani oleh Drs. Suparmanto MA. Beberapa menit dia membaca surat surat itu. Terakhir dia angkat surat itu ke atas, menerawang jendela. Mungkin sekedar meyakinkan isi suratnya. Dahinya berkerut.

Tiba tiba suaranya keluar menggeram “Hmmmmmmm”. Sambil menghentakkan tapak tangannya ke atas meja. Suaranya lantang “ Drs. Suparmanto MA ! Berlagak pilon dia”. Saya lihat Noko dan Faisal terhenyak. Wajahnya berubah kecut. Sementara saya terheran heran. Saya nggak tahu artinya apa “Berlagak pilon”. Saya masih sempat bertanya “Maksudnya apa Dok?”. “ Sampeyan tahu apa? Baru minggu kemarin, saya sama Drs. Suparmanto MA itu, dipanggil DPR, ditanya tentang penempatan dokter baru. Dia bilang kalau P & K tidak membuat kebijaksanaan menahan dokter2 yang baru lulus di perguruan tinggi. Baru lewat beberapa hari, kok dia kirim surat rekomendasi seperti ini”. Dengan geram dia angkat surat itu tinggi tinggi. Ini pertanda jelek. Lebih baik mundur teratur dari pada runyam. Dalam strategi militer dibenarkan untuk mundur sementara sambil mengatur siasat untuk memukul balik. Tactically withdraw.

“ Maaf dok, saya tidak tahu itu. Juga tak tahu ada kesepakatan dua menteri tentang dokter baru”. “ Sampeyan tahu apa?. Bilang sama Drs. Suparmanto MA mu itu ya. Jangan berlagak pilon”. “ Terima kasih dok. Kami mohon pamit”. Saya tetap berkata dengan sopan walau agak terkejut dengan nada tingginya. Sementara Noko sama Faisal wajahnya nampak muram. Tak mau berpamitan sekalipun. “ Wis disratang kok matur nuwun. Ora patut” Noko menggumam. Sudah digonggong kok masih terima kasih. Tak patutlah.

Jam setengah satu kami masuk rumah makan di ujung jalan, di samping gedung Departemen Kesehatan. Faisal diam terpekur. Noko masih menggerutu berkepanjangan. “ Kok ora ana bledeg ya ?”. Kok nggak ada petir ya ?. Saya juga kecewa, sudah jauh jauh dari Yogya. Tak ada hasil. Yang menghunjam dalam pikiran saya waktu itu apa makna ‘berlagak pilon’?. Ini pasti bahasa prokem yang baru. Tak terbiasa dengan istilah itu. Juga tak terbiasa menggunakannya sampai sekarang. Mungkin bahasa Jakarte. Saya bayangkan pak Suparmanto yang tenang itu, saya yakin dia memutuskan menanda tangani surat itu dengan penuh perhitungan. Bukan asal tanda tangan.

Singkat cerita, kami pulang ke Yogya. Kembali bekerja sebagai asisten honorer sampai beslit pegawai negeri turun setahun kemudian di tahun 1977. Tahun 1978 dan 1979 saya masih sibuk riset di laboratorum. Tahun 1978 sebenarnya semua sudah siap tinggal berangkat program doktor. Saya minta mundur oleh karena masih harus menjadi sekretaris eksekutif konggres Asia dan Pasifik Barat di Yogya menjelang pertengahan 1979.

Lima belas tahun kemudian, di awal sembilan puluhan saya sempat bertemu Dr. Brahim kembali. Saya sudah menyelesaikan program doktor lama sebelum itu di tahun 1983. Kami bertiga dengan dokter Uton Rafei, Regional Director, pejabat tertinggi WHO wilayah Asia Tenggara, makan malam berempat bersama Nyi, di rumah makan Sintawang jalan Magelang, Yogya. Dr. Brahim minta pesan cakar ayam. Saya berbisik “Yang benar pak Brahim, dengan pejabat tinggi WHO, kok mau pesan cakar ayam”. Jawabnya juga diluar dugaan saya “ Mas, sampeyan jangan berlagak pilon. Yang kita cari di sini ya cakar ayam ini”. Sambil bergurau saya ingatkan peristiwa “Jangan berlagak pilon” di tahun 1976 itu. Dia sudah lupa rupanya. Kami tertawa lebar membicarakan peristiwa itu. “Saya hanya menjalankan keputusan bersama. Nothing is negotiable”. Dokter Uton menyahut ringan, mungkin menyindir “ Apa bahasa Inggrisnya berlagak pilon ya?”. “Tak penting terjemahan bahasa Inggris. Yang penting pesan tersampaikan”. Mungkin karena bahasa Inggris dokter Brahim agak kurang lancar.

Kini mereka berdua telah lama pension. Saya menghargai beliau berdua sebagai senior dan pejabat yang telah banyak berjasa. Tetapi saya tetap saja pilon sampai kini, tak biasa menggunakan kata kata “berlagak pilon”.

Salam damai. Jangan berlagak pilon Bung.
Ki Ageng Similikithi