Monday, May 19, 2008

Sophan Sophiaan - Perlambang cinta dan kesetiaan




Dalam perjalanan udara dari Jakarta ke Yogya di tahun awal sembilan puluhan. Tak ingat persis tanggal dan tahunnya. Saya dalam perjalanan pulang dari Washington, rapat tim ahli di US Pharmacopeia. Seorang pria tampan berjas merah duduk di sebelah saya. Ini pasti salah satu tokoh partai. Tak begitu perhatian saya. Biasanya juga nggak minat berdiskusi dengan para politisi. Ah, mungkin juga karena kesombongan bawah sadar saya. Waktu itu saya di puncak karier profesi. Saya mengetuai komisi untuk negara negara berkembang untuk bidang ilmu saya di perhimpunan sedunia. Juga duduk sebagai penasehat ahli di badan badan internasional, dan penguji luar di banyak perguruan tinggi ternama di luar negeri. Dalam kesan saya waktu itu, para politisi partai hanya mengandalkan dua hal. Pertama kedekatan dengan penguasa, atau kemampuan menghimpun pendukung di lapangan atau di jalan jalan raya. Hanya kesan sepintas.

Menjelang sampai ke Yogya, dia menyapa ramah. "Anda tinggal di Yogya, Bung ?" Saya menatapnya. Dia tersenyum ramah, dengan kumis halus tertata rapi. Tertegun sesaat ketika menyadari siapa dia. Sophan Sophiaan, pemain film kenamaan sejak tahun tujuh puluhan. Idola anak anak muda waktu itu "Anda Bung Sophan Sophiaan kan ?". Saya menjabat tangannya. Bangga sekali bisa bertatap muka secara langsung dengannya. Rasa minir dan kesombongan bawah sadar saya luntur ketika melihat wajahnya yang ramah dan menyejukkan. Sempat bicara sebentar. "Apakah akan kampanye di Yogya ?" Dia tersenyum. " Konsekuensi ikut partai politik". Dia hanya tersipu ramah ketika saya bilang "Saya mengagumi anda sebagai pemain film. Idola anak anak muda, perlambang cinta.". "Kita sudah terlalu tua untuk jatuh cinta lagi Bung". Turun di bandara Yogya, Sophan langsung di kawal rombongan jaket merah. Pendukung fanatiknya nya yang hangar bingar.

Hari hari ini, berita kematiannya sangatlah mengguncang. Karena kecelakaan lalu lintas di Ngawi Jawa Timur. Dia dalam rangka tur merah Putih dengan Harley Davidson. Saya memberitahu NYI yang sedang berendam di kamar mandi Minggu pagi itu. Kami sama sama mengagumi pasangan Sophan Sophiaan dan Widyawati di tahun tujuh puluhan. Anak anak muda yang sedang jatuh cinta selalu menikmati film filmnya waktu itu. Film Pengantin Remaja, bersama Widyawati yang kemudian jadi isteri sampai akhir hayatnya, memperoleh hadiah film terbaik di Festival Film Asia di Taiwan. Namanya merebak harum bersama isterinya Widyawati. Tak hanya di Nusantara. Juga di kalangan anak anak muda di Asia. Saya masih ingat teman teman dari Thailand di tahun delapan puluh sewaktu sama sama ambil program doktor di UK, sangat menggemari film film Sophan Sophiaan dan Widyawati. Melambangkan cinta dan kesetiaan anak anak muda waktu itu.

Perjalanan hidup Sophan penuh warna. Pernah menjadi poliitisi dan anggota DPR,. Dia kemudian mengundurkan diri karena merasa tak bisa mengikuti kemunafikan panggung politik tanah air. Dia orang jujur dan berpegang teguh prinsip hitam putih. Sayang di dunia politik tak semuanya bisa dinilai atas hitam dan putih. Banyak warna abu abu. Salah jadi benar. Benar jadi salah. Jamane jaman edan. Sophan Sophiaan tak asing dengan kehidupan politik memang. Sang ayah, Manai Sophiaan pernah menjabat menjadi duta besar RI di Uni Soviet. Hingar bingar politik tanah air tak membuatnya betah di panggung politik. Sepuluh tahun menjadi anggota DPR mewakili fraksi PDI antara tahun 1992 sampai 2002. Di tahun 2002 dia mengundurkan diri dari DPR. Petikan wawancaranya dengan harian Kompas mengenai pengundurannya adalah sebagai berikut
"Saya pada akhirnya menyadari saya bukan politisi. Saya manusia biasa yang mempunyai sikap hitam putih, sedangkan politik itu sendiri the art of possibilities. Yang salah bisa dibenarkan, yang benar bisa disalahkan. Saya tidak bisa begitu. Salah, ya, salah. Benar, ya, benar," Kompas, Jumat 25 Januari 2002
(http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/05/17/16151245/hitam.putih.sophan.sophiaan.)
Sophan Sophiaan seorang nasionalis. Dia ingin memperjuangkan nasib dan kepentingan anak anak bangsa melalui partai yang diwakilinya dalam parlemen. Sayang mekanisme parlemen belum memungkinkan hal tersebut. Hingga akhirnya dia mengundurkan diri dari forum politik papan atas tersebut. Saya mencoba mencari riwayat hidupnya. Riwayat dia dibesarkan dalam pendidikan di masa mudanya. Tetapi tak sempat menemukannya dengan lengkap. Mungkin ada pembaca Koki yang bisa menuturkannya lebih lengkap.

Pribadi Sophan Sophiaan meninggalkan kesan yang dalam bagi anak anak muda generasi tahun tujuh puluhan. Bersama isteri tersayangnya Widyawati, mereka menjadi perlambang cinta dan kesetiaan. Sophan dan Widyawati bukan hanya perlambang semata. Cinta mereka tidak hanya klise dalam dunia film, tetapi juga di dunia nyata sampai akhir hayatnya.

Selamat jalan Bung Sophan. Anda tetap akan dikenang sepanjang masa. Dikenang oleh mereka yang menikmati cinta dan kesetiaan. Semoga keluarga yang ditinggalkan bisa melepaskannya dengan iklas dan damai.

Ki Ageng Similikithi
Manila, Filipina.
(Di muat di KOKI, Kompas Cyber Community, 19 Mei 2008)

Sunday, May 18, 2008

Mama Mia Mama Loreta

Mama Mia – Mama Loreta

Sabtu pagi yang cerah. Kami berempat main di Philipinne Navy Golf Club. Berjalan tenang menikmati irama permainan masing masing. Angin pagi meniup lembut. Dalam keheningan kami masing masing tenggelam dalam permainan yang mengasyikkan. Tak ada ketawa berkoar ketika bola masuk hole. Hanya desah ringan ketika bola putih itu tak menuju arah yang diharapkan. Dalam suasana hening itu saya bermain tanpa beban. Di hole 15, par 5, pukulan ketiga masuk hole. Eagle ! Ini eagle ketiga dalam perjalanan golf saya selama hampir 20 tahun."Hei whats wrong with you man?", boss saya berteriak. "I am becoming a wise old man now. Nothing about physical skills but emotional maturity ", saya menjawab sekenanya. "That’s not fair", satu teman juga menggumam sekenanya. Mulai ramai berdebat dan berkomentar. Seperti hari hari main biasanya.

Sejenak konsentrasi terganggu. Telpon genggam bergetar. Pesan pendek masuk. Dari Maricel, pelatih/pasangan dansa di ITM. Isinya singkat."Can I give your number to Mom Loreta. I have her number?". Tak sempat berpikir. "OK. Who is she?". Beberapa saat kemudian jawaban masuk. "You met her last Friday at ITM ( In The Mood)". Saya ingat Jum'at kemarin mengantar tiga orang tamu, satu pria dan dua ibu ibu, dari Jakarta. Dansa di ITM, sehabis makan malam. Kami sedang tenggelam dalam tarian foxtraut, dengan lagu indah Rain Drops Keep Falling on My Head, ketika dikenalkan dengan seorang pendatang baru. Baru mulai belajar. "I am Loreta". Tak sempat ngobrol. Saya berucap singkat. "Beatiful name. Enjoy your dance".Seorang wanita pertengahan empat puluhan, kalem, anggun dan semampai. Kami menikmati dansa dengan kelompok masing masing. Tamu tamu dari Jakarta nampaknya begitu menikmati. Dari satu lagu ke lagu yang lain tanpa henti. Dua jam sudah capek. Jam 900 mereka sudah kembali ke hotel.

Seperti biasa, di hari Sabtu itu, selesai main, mandi lalu ramai ramai makan siang di kantin golf club. Ini yang selalu bikin kangen. Selalu bergurau, debat sambil menikmati makan siang. Grilled blue marline. Chopped chilly and soy sauce. Relaks dan bebas dari letih dan panas. Nikmat sekali rasanya. Orang biasanya ngobrol di sini ber jam jam. Jika isteri menjemput, mereka baru datang jam empat sore. Pesan singkat masuk. " Hi Ki. Happy week end. Loreta". Salah satu teman bertanya. "NYI is coming? Its too early". "No, somebody else. Sending happy week end". Jawaban saya ringan. "Come on man. You are too old for that kind of message". Mana mungkin. Lolo (simbah) pun perlu relaks di akhir pekan. Tiga di antara kami memang sudah mempunyai cucu. Jam setengah empat kami pulang. NYI bilang pengin ke spa malam itu. Tak ada acara ballroom. Hari Minggu ballroom tutup.

Hari hari berlalu normal. Saya masih teratur mengikuti acara ballroom. Seminggu sekali paling tidak. Sekalian olah raga. Berat badan saya sempat turun sampai 8 kg sesudah teratur ballroom. Hari Rabu malam, saya booking di Moon Ballroom Pan Pacific. Hanya beberapa puluh meter dri apartemen saya. NYI nggak ikut. Dia hanya kadang kadang saja ikut ball room. Saya lihat Loreta masih menunggu instrukturnya. Sempat ngobrol sebentar. Basa basi formalitas. Sudah berapa lama ikut ballroom ?. Senang enggak ? Dia tak banyak bicara. Kesan saya orangnya pendiam. Tak juga sempat banyak ngobrol. Suara musik nggak memungkinkan ngobrol enak. Saya terhanyut menikmati international tango. Dansa ritmis indah yang tidak saya kuasai dengan bagus. Masing masing instruktur kok punya gaya masing masing. Saya lihat Loreta asyik dengan acara latihannya. Instruktur begitu cermat dan perhatian. Tak pernah sempat ngobrol banyak. Hanya pesan singkat lewat tilpun seluler. Basa basi antar teman. Have a nice day. How are you today?. Seperti kebanyakan orang Filipina, yang sering datang malah lebih banyak pesan keagamaan. Kolega dekat saya, Truls dari Norwegia, sering berkelakar. "These people are thinking we are atheist. Every day I receive a message from my the secretaries. Please open your heart for God's messages".

Kadang bertemu Loreta di ballroom walau tak pernah secara khusus berpasangan dengannya. Dia sering datang dengan ke dua anaknya. Yang pertama gadis yang baru saja lulus dari college, Cornelia. Sering bersama pacarnnya. Pasangan anak muda yang serasi dan dinamis, penuh harapan masa depan. Yang kedua pria umur dua puluh tahun, Tony, masih kuliah mengambil sastra Cina. Ketemu mereka bertiga biasanya di akhir pekan. Hanya saling sapa selamat malam. Kadang cipika cipiki. Sempat ngobrol agak lama dengan Loreta, ketika instrukturnya nggak datang. Kami sempat mencoba Waltz dengan lagu indah Vision. Kemudian makan malam sejenak di rumah makan Jepang di muka ruang ball room. Saya baru tahu siapa Loreta. Dia seorang pengusaha. Single mother. Suaminya katanya kawin lagi sama young Filipina dan pindah ke propinsi. Dia harus bekerja keras untuk kedua anaknya. Hanya akhir akhir ini sempat menikmati social life sesudah menjelang anal anaknya lulus. Wajahnya nampak pendiam dan selalu terkesan sedih.

Kami hanya berteman lewat pesan singkat. Pesan pesan singkatnya selalu datang di akhir pekan. Happy week end. Have a nice week end. NYI pun tahu akan pesan pesan itu. Toh hanya pesan. Bukan dosa, bukan pengkianatan. Beberapa bulan tak pernah lagi ke ball room. Ada rasa malas setelah pulang kantor. Berat badan kembali naik lima kilogram. Pesannya terakhir datang kemarin pagi. "Happy week end. Long time no news. Are you still in Manila Ki ?". Jawaban saya singkat " Happy week end too. I am still in Manila. No more ball room. Always take care".

Mungkin banyak single parent, single mother di sekitar kita. Saya juga mempunyai banyak kenalan dan saudara yang single mother. Kadang masyarakat melihat mereka dengan sinis. Juga di Indonesia. Sebagian besar dari mereka menjadi single parent bukan karena pilihan. Mungkin bencana dalam perjalanan hidup yang tak terelakkan. Tetapi perjuangan mereka sangat berarti buat masa depan putra dan putrinya. Mama Loreta hanyalah salah satu contoh kisah single mother yang penuh perjuangan. Mama mia Mama Loreta dan single mother yang lain. Salam dan penghargaan untuk perjuangan mereka. Mungkin agak terlambat untuk Mother's Day.

Ki Ageng Similikithi
Manila, Filipina.

(Dimuat di Koki Kompas Cyber, 19 Mei 2008)