Friday, May 11, 2007

Anak anak bangsa dari Plaza de Mayo

Saya mengunjungi Buenos Aires, Argentina, di bulan Agustus 1996, dalam rangka mengikuti the World Conference on Clinical Pharmacology and Therapeutics. Diundang untuk memberikan ceramah tamu sekaligus rapat Executive Committee dari Division of Clinical Pharmacology, the International Union of Pharmacology. Kebetulan saya menjadi ketua subkomisi dari Clinical Pharmacology for Developing Countries, sejak konggres sebelumnya di Yokohama di tahun 1992.

Berangkat lewat Kuala Lumpur Malaysia dengan menggunakan Malaysian Airline System (MAS). Tertunda semalam di KL karena listrik padam di seluruh semenanjung, bandara Subang praktis lumpuh. Di beri penginapan hotel di tengah kota yang praktis gelap gulita. Berangkat kesesokan harinya melalui route Johanesburg terus ke Buenos Aires. Tiba pukul 0300, Senin dini hari bersama dengan Edmund Lee dari Singapura. Saya tinggal di Buenos Aires Grand Hotel.

Seharusnya tiba hari Minggu sore jika pesawat tak terlambat. Tak sempat menghadiri upacara pembukaan. Kira kira ada dua ribu peserta konggres kali ini. Di Eropa biasanya pesertanya bisa mencapai hampir empat ribu orang. Mulai ketemu teman2 saat sarapan pagi. Cyrus Kumana, guru besar di University of Hongkong, komentar the hotel is not as grand as its name. Hotelnya memang sederhana walaupun katanya berbintang.

Saya memberikan ceramah tamu sesudah makan siang. Ada beberapa parallel sessions. Lumayan ada beberapa ratus peserta yang menghadiri kuliah saya “ Problems of drug utilization and the role of clinical pharmacology in developing countries”. Saya menggunakan transparan biasa yang dibuat dengan power point. Waktu itu saya lebih merasa yakin dengan transparan dibanding dengan slide. Saya bisa bicara bebas dan berjalan di muka audience dari lembar ke lembar transparan. Kuliah tamu berlangsung sukses.

Diakhiri dengan tepukan meriah. Tony Smith, guru besar dari Newcastle, Australia, dan banyak peserta ingin melanjutkan dengan diskusi, tetapi Ketua sidang tidak memberi kesempatan walau waktu masih tersisa kira15 menit. Saya lupa jika dalam forum kuliah tamu memang tidak ada acara tanya jawab dan diskusi.

Saya menemui ketua penyelenggara, Noberto Terragno, guru besar kepala di University of Buenos Aires. Saya menyampaikan duka sedalam dalamnya atas musibah yang menimpanya. Dia kehilangan anak lelakinya beberapa bulan sebelumnya dalam satu kecelakaan mobil. Saya membawa kenang kenangan ukiran perak. Tidak lupa memberi selamat dan terima kasih atas penyelenggaraan konggres. Dia mengundang saya ke acara sosial melihat tari Tango di hari ke tiga. Jika tak salah acara jamuan makan malam resmi di hari kedua. Kebiasaan seperti di Spanyol, makan malam baru mulai jam 22 30.

Konggres kali ini banyak dihadiri oleh peserta dari bidang ilmu lain, bukan hanya farmakolog. Saya berkenalan dengan seorang dokter dari La Platta yang kemudian cerita banyak mengenai tragedi kemanusiaan yang pernah mengkoyak negeri ini. Banyak anak muda atau mereka yang dicurigai golongan kiri hilang dibunuh militer. Dokter ini kehilangan adiknya yang baru berumur belasan tahun, diambil militer di satu dini hari dan tidak pernah ketahuan lagi dimana dia. Kepedihan yang sangat untuk keluarganya.

Ibu ibu yang kehilangan anaknya d tahun delapan puluhan tergabung dalam Ibu Ibu dari Plaza de Mayo. Mereka selalu berkumpul setiap Rabu siang kalau tidak salah di Plaza itu memperingati dan protes kehilangan putra putri mereka. Puluhan ribu anak2 muda telah hilang. Indonesia juga pernah mengalaminya di pertengahan tahun enam puluhan. Orang2 yang dicurigai komunis atau kiri di masukkan penjara atau di bunuh. Skala angka jauh lebih besar di Indonesia yang mencapai ratusan ribu.

Buenos Aires kota yang cantik dan megah. Plaza de le Republica, taman Recolleta, Plaza de Mayo dan lain lainnya, begitu menakjubkan. Namun juga menyisakan kesedihan tragedi kemanusiaan. Puisi ini saya untai sewaktu saya di sana.


ANAK-ANAK BANGSA DARI PLAZA DE MAYO

Anak-anak bangsa dari Plaza de Mayo
Semangat mereka menggelora menderu bagai prahara
Menggelegar membelah bumi, menembus langit menghentak dunia
Nyanyian-nyanyian kebebasan, nyanyian-nyanyian kebencian
Menatap peluru, menentang kekuasan

Anak-anak muda dari Plaza de Mayo
Teriak mereka bergema menggugah bukit-bukit sepi Patagonia
Membangunkan burung-burung kondor
Mengusik rusa dan llama di padang tundra
Menghimbau peradaban, menggugah keadilan
Bersenandung lagu-lagu cinta tanah tumpah darah
Suara pekak mereka adalah jerit kesedihan anak-anak bangsa.

Di depan mereka,
Hati yang mati, nurani yang membeku, tertutup nafsu terbuai kekuasaan
Mendengar adalah kekalahan, membunuh adalah kemenangan
Gelora kematian adalah irama tango yang mengasyikan
Jerit kesakitan, darah yang memerah adalah pertanda kegagahan

Rintihan pilu menyayat anak-anak muda yang tak berdosa
Angin dan hujan menangis tanpa bisa berbuat apa
Burung-burung flamingo terisak lirih
Bumi pedih terbasah darah dan air mata
Bisikan maut, pesta kematian menggema dari La Platta.

Tulang mereka berserakan
Hening, membisu beku jasad-jasad tak berdosa
Dalam haribaan bumi dan bukti-bukit batu
Bercampur pasir, berkalang tanah pertiwi
Tak ada yang tahu di mana mereka
Tiera del Fuego, La Pampa, Catamarca atau di mana

Dalam keheningan Plaza De Mayo
Ibu-ibu dengan selendang warna kelabu
Berbaris menangis memeluk gambar-gambar tanpa suara
Mencari jawaban kata-kata yang tak pernah ada
Menunggu setia anak-anak tercinta
Letih tanpa ujung, derita tanpa akhir
Penantian sia-sia

Anak-anak bangsa dari Plaza De Mayo
Tidak pernah mati sia-sia
Mereka gugur demi keadilan dan kebebasan
Anak-anak jaman, pahlawan kemanusiaan, pahlawan peradaban
Aku menunduk mengenang mereka.

(Budiono Santoso, Buenos Aires, 8 Agustus 1996)

Thursday, May 10, 2007

Budaya kekerasan itu ada di sekitar kita

Belum lama kita semua terhenyak oleh kisah kematian Clif Muntu di IPDN karena kekerasan. Kini kembali kita dihempas oleh berita kematian siswa kelas dua Sekolah Dasar Santa Maria Immaculata, Pondok Bambu, Duren Sawit, Jakarta Timur, bernama Edo Rinaldi (Kolom Potret, Kompas 5 Mei 2007).

Anak malang itu meninggal secara mengenaskan karena dikeroyok oleh empat siswa/siswi dari sekolah yang sama. Budaya kekerasan seolah telah di institusionalkan dan dilegitimasi dalam lembaga pendidikan.

Ada apa dengan lembaga lembaga pendidikan kita ? Mengapa lembaga pendidikan bisa menerima atau paling tidak membiarkan budaya kekerasan di sela sela kegiatan pendidikan. Moto asih asah dan asuh seolah telah digeser secara sadar atau tak sadar dengan pendekatan yang mengetengahkan penanaman disiplin secara keras bahkan dengan cara kekerasan. Di mana itu petunjuk ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tur wuri handayani ? Hanya tinggal retorika kah?

Lembaga lembaga pendidikan kini seolah tak lagi diasuh oleh para guru yang bijak, yang menanamkan rasa cinta kasih sesama. Tetapi di kuasai oleh para manusia jalang yang menyebarkan atau paling tidak membiarkan rasa kebencian di kalangan anak didik. Orang bisa bilang itu hanya oknum. Tetapi justru kejadian kejadian fatal itu jangan jangan hanya merupakan puncak gunung es yang tak nampak dari luar. Pendekatan kekerasan dengan segala manifestasi. Termasuk memperjual belikan bimbingan atau bahkan soal ujian.

Kita sebagai orang tua merasa terpukul dan mungkin kehilangan kepecayaan. Dimanakah tanggung jawab para guru, para pendidik ? Kekerasan ini berkembang di sekolah, di lembaga pendidikan, di depan mata para guru, para pendidik. Kita sudah bertahun tahun menyaksikan dengan sedih dan putus asa tawuran pelajar sekolah yang tak pernah berkesudahan.

Saya bukan ahli yang mempunyai legitimasi menganalisis masalah kekerasan ini. Bukankah di Indonesia, pertanyaan konyol normatif ini selalu diajukan untuk mengelak. Apakah anda ahli untuk bidang ini kok berani membahas kasus kekerasan tersebut ? Pertanyaan retorik ini sering muncul kalau kita mulai mempertanyakan masalah korupsi, penyimpangan pelayanan publik, ketidak transparanan sistem pelayanan di sektor publik. Bahkan mungkin juga jika kita membahas masalah cinta segitiga atau lebih yang melibatkan pejabat yang mendapat kepercayaan publik.

Sebagai orang tua yang mempunyai anak cucu yang memanfaatkan lembaga pendidikan sekolah dan sebagai warganegara saya mempunyai legitimasi untuk mempertanyakan masalah kekerasan kali ini. Mengapa itu terjadi dan berkembang di lembaga pendidikan ?

Yang membuat saya makin kawatir, jangan jangan kekerasan di lembaga lembaga pendidikan ini hanya merupakan cermin budaya kekerasan yang sedang berkembang subur dalam tata kehidupan masyarakat. Cermatilah pertemuan pertemuan akbar entah itu dalam rangka kampanye politik, acara keagamaan, protes massal dan lain lain, selalu sarat dengan pesan kebencian dan kekerasan. Kita juga tak jarang mendengar tawuran antar warga dalam skala kecil ataupun skala besar genoside dan pembersihan etnis.

Di mana itu filsafat Panca Sila ? Apakah hanya sekedar jadi alat politis untuk menyingkirkan kelompok lawan yang dicap sebagai anti Panca Sila ? Di mana kah ciri masyarakat agamis yang selalu kita banggakan ?

Kekhawatiran saya bukan tak beralasan sama sekali. Instrumen budaya kekerasan itu begitu dekat dengan kehidupan saya, mengintai setiap kesempatan jika kita lalai. Ini contoh yang nyata. Semalam saya menerima pesan email yang menawarkan jasa pembunuh bayaran. Bukan khayalan, bukan impian. Pesan email ini datang ke alamat email resmi di kantor saya. Inilah sebagian bunyinya,

- Kami menawarkan kepada anda sebuah jasa yang istimewa, yakni pembunuh bayaran.

- Mungkin bapak/ibu memiliki dendam terhadap seseorang atau pempunyai saingan bisnis yang ingin dilenyapkan secara singkat (kebanyakan klien kami adalah pengusaha). Maka kami siap untuk membantu bapak/ibu untuk melakukan pembunuhan ini. Kami melayani kota kota besar di Indonesia.

- Metoda pembunuhan terserah bapak/ibu. Bisa langsung ditembak (disamarkan dengan perampokan), kecelakaan lalu lintas (seperti sabotase rem) atau diracun dengan racun yang disamarkan (akan tampak seperti serangan jantung).

Masih banyak informasi yang diberikan dalam iklan ini yang tak bisa ditulis semua. Mungkin ada pembaca yang juga menerima email ini. Kenyataan ini menunjukkan bahwa memang suatu perubahan sedang terjadi dalam masyarakat kita. Seolah budaya kekerasan sampai membunuh seseorang dianggap sebagai usaha pelayanan.

Budaya kekerasan itu tak hanya ditemui di IPDN Jatinangor. Budaya kekerasan itu telah merembet dan berada dekat di sekitar kita. Bukan mengada ada, merebaknya budaya kekerasan juga berkaitan dengan ketidak mampuan sistem hukum kita menyelesaikan kasus kasus kekerasan. Contohnya, kasus pembunuhan Marsinah aktivis perburuhan, kasus penculikan tokoh2 kritis, kasus pembunuhan Udin, pembunuhan Munir dan sebagainya. Setankah yang melakukan ? Akhir kata, pembaca sekalian. Waspadalah dan hindarilah terlibat masalah kekerasan. Rantai alat pembunuh itu atau jasa pembunuhan itu telah berkembang dekat dalam lingkungan kita. Cermatilah anak anak kita sekalian. Jangan sampai menjadi korban sia sia.
Ki Ageng Similikithi
(dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber Media, 8 Mei 2007)

Tuesday, May 8, 2007

Pesan untuk gadis kecil

Kedua puisi ini saya rangkai kira kira enam tahun lalu, di tahun 2001. Saya rangkai setelah melihat potret jasad seorang gadis kecil di internet, yang dipenggal kepalanya dalam kerusuhan etnis di Sampit. Gadis kecil itu kira kira baru berumur 5 tahun.

Peristiwa yang diabadikan oleh gambar itu benar benar telah menusuk rasa kemanusiaan, mengotori peradaban manusia modern Homo Sapiens. Tidak ada kata kata yang sanggup menggambarkan kekejian dan kebiadaban itu, di republik yang konon menerima azas kemanusiaan dalam filsafat dasarnya.

Tak ada akal sehat manusia Homo Sapiens yang mampu merangkai kata untuk membenarkan kebiadaban itu. Tetapi berbagai tokoh panutan etnis dengan bangganya mengarang berbagai dalih yang membenarkan kebiadaban itu. Bahasa politik yang dikemas dengan kebohongan dan kepicikan, telah dengan sengaja menusuk rasa kemanusiaan yang paling dalam dalam budaya manusia beradab.

Para tokoh etnis dan politik sengaja menyebarkan kebohongan dan mengobarkan kebencian. Membenarkan kebiadaban dan kekerasan terjadi seolah korban yang mereka bunuh, bukan lagi spesies manusia Homo Sapiens. Tetapi siapakah sebenarnya yang pantas untuk dikatakan bukan spesies Homo Sapiens itu ?

Ketika saya mengutarakan keresahan saya, orang justru mempertanyakan legalitas saya. Di manakah akal sehat itu ? Yang seharusnya dihujat adalah mereka yang menggerakkan dan melakukan kebiadaban itu. Bukan yang mengungkapkan keresahan. Para pemimpin politik dan aparat, tak mampu berbuat tegas untuk mencegahnya. Inilah awal dari berpudarnya sebuah peradaban yang namanya Indonesia. Nusantara akan tenggelam di ufuk Barat.

Kedua puisi ini juga telah di muat di Kompas Cyber Media, 19 Februari 2007.

PESAN UNTUK GADIS KECIL

Gadis kecil gadis mungil
Matamu terpejam kelam, wajahmu beku
Engkau terserak di antara darah dan debu
Engkau diam membisu.

Gadis kecil gadis mungil, tubuhmu hancur terkoyak
Tanganmu lunglai lepas dari bahumu
Kepalamu terlempar pisah dari tubuhmu
Darahmu kering bercampur debu
Engkau tetap diam membisu, dan akan tetap diam membisu.

Seandainya engkau bisa cerita, walau hanya lewat impian
Ketakutan yang kau alami, kengerian yang kau hadapi
Kesakitan yang kau derita,
Suara-suara lantang yang menghujatmu
Engkaupun tetap tidak akan mengerti mengapa semuanya terjadi.

Engkau memang tidak akan pernah bisa bicara
Tidak akan pernah bisa mengerti
Tidak akan pernah bisa menjelaskan,
Mengapa nasib menerpamu
Terhempas oleh kebiadaban
Yang memang tidak pernah bisa dimengerti
Tidak pernah bisa dijelaskan dalam budaya manusia beradab
Mungkin hanya satu jawaban yang bisa kauberikan
Karena kau adalah pendatang.

Berbahagialah gadis kecil
Tertawalah bermainlah bersama temanmu
Bersama saudara dan orang tuamu di sana
Karena kau tidak sempat lagi
Menikmatinya di dunia ini
Bawalah kebahagiaan dan kedamaianmu
Terimalah dia di sisi MU, ya Tuhanku.
(Manila 2 Maret 2001)



NUSANTARA DI UFUK BARAT

Jika,
jeritan ngeri anak-anak manusia menjadi nyanyian kemenangan
rintihan pilu menjadi tumpuan kegagahan
merah percikan darah menjadi warna keindahan
kepala manusia menjadi lambang kepahlawanan
dan kebiadaban menjadi lambang kebudayaan.

Jika,
manusia-manusia tak berdosa tak berdaya,
terenggut jiwanya secara paksa
anak-anak kehilangan saudara dan orang tua
kehilangan anggota badan
hanya karena mereka manusia pendatang.

Jika,
bumi Nusantara tidak mungkin lagi untuk berpijak
tidak layak lagi untuk berlindung
tidak kuasa lagi memberikan keadilan
keamanan dan kedamaian bagi anak-anak bangsa.

Jika,
para cendekia kehilangan kepekaan peradaban
kecendekiawanan membelenggu kemanusiaan
menjadi sekedar kebanggaan dan kepongahan
membawa mereka jauh dari dunia nyata.

Jika,
para pemimpin hanya bernyanyi tentang kebenaran diri
bersenandung retorika indah ibarat impian
tidak lagi mampu berdiri di depan
menuju kehidupan menurut norma-norma peradaban kemanusiaan.

Inilah akhir perjalanan suatu bangsa
Bencana yang tidak akan lagi tertunda
Ufuk barat menyaput cakrawala
Kita menyongsong kehancuran
Menyambut datangnya kekalahan
Karena yang namanya Indonesia mungkin memang tidak pernah ada
Dalam hati kita
Dalam hati anak-anak manusia di Nusantara
Berpisahlah kita anak-anak bangsa
Berpisah jalan menuju peradaban menggapai kemanusiaan.
(Manila, 28 Februari 2001)

Wednesday, May 2, 2007

Berlari hingga hilang pedih dan peri

Beberapa tulisan tentang pendidikan, sekolah ujian nasional telah mengingatkan masa masa masa saya menempuh pendidikan sekolah, Setiap orang pernah mengalami, tak ada yang istimewa. Namun saya ingin mengungkapkan pengalaman2 emosional yang larut di dalamnya. Guru dan orang tua selalu menanamkan bahwa belajar adalah berjuang, berlari dan berpacu untuk masa depan. Pacuan yang tak kenal lelah. Berpacu dengan semangat, dengan gairah, dengan kecerahan dan keindahan. A thing of beauty is a joy forever. Seburuk apapun fasilitas tempat untuk belajar itu.

Saya selalu ingat untaian kata dalam puisi Chairil Anwar, Aku. Tak hapal semuanya. Sebagian berbunyi seperti ini. “ Tak perlu sedu sedan itu. Aku ini binatang jalang. Dari kumpulannya yang terbuang. Biar peluru menembus kulitku. Aku tetap berlari. Berlari hingga hilang pedih peri.” Saya mengenal puisi ini di kelas dua SMP, di Taman Siswa Ambarawa, kota kecil yang saya cintai.

Binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang. Tak pernah paham maknanya. Di awal tahun enam puluhan itu, saya masih terbiasa memelihara dan menggembala binatang, entah sapi, entah biri biri, entah kuda. Yang paling tak jinakpun selalu setia pada saya. Tak ada satupun yang jalang. Tak ada yang terbuang. Binatang2 itu seperti teman setia di padang gembala yang senyap. Bagian dari lingkungan alam indah di sekitar saya. Yang memberikan semangat, kesejukan dan imaginasi impian masa depan.

Sulit untuk mengerti makna untaian kata dalam puisi itu. Saya telah berusaha keras, tetapi tetap samar samar pengertian saya. Hanya suatu ketika secara tak sengaja kesan datang, sewaktu mengikuti ujian ketangkasan badan. Waktu itu semua siswa dianjurkan ikut ujian ini, dengan berbagai tingkat kesulitan. Ujian dilakukan bersama dengan siswa sekolah lain di lapangan dekat stasiun kereta api. Sayang lapangan tersebut kini sudah banyak surut. Kami harus latihan beberapa minggu menghadapi uiian ini. Ujian berlangsung selama 3 hari. Hanya atletik saja yang diujikan.

Pada hari pertama saya harus ujian lompat tinggi, lompat jauh dan lari cepat 80 meter. Untuk lompat tinggi, loncatan harus 1.20 m untuk dapat lulus. Dalam latihan saya berhasil sekali dua kali. Atlet sungguhan biasanya sampai 1.80 m. Atlit RRC, Nee Che Chin, waktu itu mampu meloncat 2.25 m, di olimpiade Roma. Baru loncatan sampai 110 cm, saya gagal, walau mengulang sampai tiga kali. Bukan mencari alasan. Celana pendek saya begitu panjang (kombor). Celana drill itu begitu berat dan selalu menyangkut. Mangkel saya. Ayah saya selalu melarang saya pakai celana pendek yang agak ketat. Malu dan merasa kecil sekali saat itu, ingin rasanya saya lempar celana kombor itu.

Giliran lompat jauh. Saya nggak tahu berapa jauh loncatan saya. Tetapi di loncatan kedua benik celana lepas dan susahnya saya nggak pakai ikat pinggang. Ini lebih memalukan lagi. Teman saya meminjamkan peniti untuk mengikat kembali celana saya. Pada loncatan ketiga rasanya seperti jatuh tersuruk terjerembab di pasir. Harga diri saya terpuruk berat.

Pas lari cepat kami dipasang bertiga. Dengan semangat yang masih tersisa, saya ambil start dan berlari sprint secepat mungkin. Malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih. Baru setengah jalan, peniti pejepit celana tadi lepas dan menusuk kulit perut saya. Rasanya sakit dan pedih sekali. Saya hanya berpikir ingin lari secepat mungkin menyelesaikan jarak yang tersisa. Batin saya berteriak “Berlari hingga hilang pedih dan peri. Aku bukan binatang jalang. Aku nggak mau terbuang”.

Rasanya jauh dan lama sekali. Saya mencapai finish terakhir. Waktu saya terjelek di antara kami bertiga. Jika tidak salah 12.5 detik. Sedangkan teman2 saya sebelas detik kurang. Saya merasa marah dan merasa kecil. Tetapi tak ada yang dapat saya lakukan. Hanya saya mengerti makna puisi tadi. Saya hanya bergumam, tak dapat sertifikat ketangkasan badan juga nggak apa. Saya genjot pelajaran lain, aljabar, ilmu ukur dan ilmu alam.

Di kemudian hari saya menyadari bahwa di sekolah ini saya mendapat bekal tak ternilai harganya. Saya dididik untuk percaya diri, untuk menghargai sesama, untuk menghargai perbedaan, untuk bangga mencintai profesi dan pekerjaan masing masing. Dan yang paling penting kami belajar mengenai nasionalisme. Ini yang memberikan bekal tak ternilai sewaktu saya berkarya di dunia global. Di salah satu acara reuni lima belas tahun lalu, kami sempat bertemu banyak teman. Ada yang insinyur, dokter, guru, pejabat, pedagang sapi dan lain lain. Hati saya bergetar ketika kami bersama menyanyi lagu perguruan Taman Siswa yang indah itu.

Di tahun ketiga saya lulus dengan rata rata nilai 8. Juga ujian nasional. Tak ada protes dan tak ada kontroversi berkepanjangan, walau semua tahu, salah satu soal ilmu ukur dalam ujian tersebut telah dibuat secara salah, sangat salah. Misi tercapai. Pacuan belum selesai. Perjalanan masih jauh.

Dengan bekal ijazah itu, saya pergi ke Solo. Datang dengan gairah, dengan semangat dan harapan anak muda. Saya belum pernah hidup di kota. Saya datang ke Solo dengan semangat tinggi. Veni, vidi, vici. Saya datang, melihat dan menang. Ini kata kata Romawi yang saya tahu dari pelajaran sejarah. Tetapi Solo yang cantik rupanya tak mau ramah sama saya. Tak ada satu sekolah negri pun yang mau menerima saya dengan berbagai alasan. Ijazah sayapun nggak pernah dilihat sewaktu mendaftar. Saya terpukul berat. Namun tak ada waktu untuk meratap.

Saya diterima di SMA St Josef, salah satu sekolah unggulan di Solo. Gedungnya baru dan megah sekali waktu itu. Angkatan saya adalah yang pertama memasuki sekolah itu. Saya merasa bangga sekali dalam upacara penerimaan. Selamat datang anak muda. Di sinilah kamu berpacu, disinilah kamu berjuang dan belajar. Kepala Sekolah, Bruder Bonifacio selalu menanamkan disiplin dengan ketat. Kadang kami harus berdiri di tengah lapangan, seorang diri atau satu kelas sekaligus jika melanggar disiplin itu.

Di sekolah ini saya mendapat bekal tak ternilai di samping mata pelajaran. Terutama disiplin dan rasa toleransi, entah agama entah etnis. Saya memilih jurusan Ilmu Pengetahuan Alam. . Kami diajar oleh guru guru terbaik yang pernah saya jumpai. Terutama mata pelajaran kimia, pak Sutarso dan mata pelajaran fisika, pak Mudjono. Kami bersahabat erat tetapi kami bersaing ketat dalam belajar.

Di tahun 1968, saya lulus dengan gemilang. Mission accomplished. Nilai ujian saya rata rata 8.8, urutan kedua di antara sekolah sekolah di Solo. Uurutan pertama diraih oleh siswa Muhamad Munawar dri SMA Margoyudan. Ketiga oleh Hwie Swan (Susi Widjayanti) dari SMAWarga. Saat pengumuman ujian, tak ada hiruk pikuk naik motor keliling kota. Tak ada corat coret warna warni.

Saya bersama teman sekelas, Sunoko, makan bakmie di warung yang sangat sederhana di sebelah STM di Manahan. Nikmat sekali. Kami boncengan sepeda sehari suntuk mengelilingi kota Solo. Ingin mengucapkan selamat tinggal untuk kota yang cantik itu. Tak banyak waktu untuk hura hura. Pacuan belum selesai. Masih harus menghadapi ujian masuk perguruan tinggi. Kami mendaftar di empat universitas, UGM, ITB, UNDIP dan IPB. Setelah ujian ujian yang melelahkan, kami diterima di empat2nya. Kami berdua masuk di FK UGM, demikian juga Muhamad Munawar yang kemudian saya kenal dan berteman akrab di UGM.

Kini pacuan itu sudah lama berlalu. Sudah berlalu puluhan tahun lalu. Saya mempersiapkan masa masa pensiun saya, menikmati sisa perjalanan waktu. Dokter Sunoko berdomisili di Yogya, dia ahli bedah pembuluh darah yang tekun. Dr Muhamad Munawar di Jakarta, ahli jantung. Saya tak bisa mengatakan satu per satu teman di SMA dulu, beberapa teman akrab masih sering mendengar kabar beritanya. Daniel Budi Nursentono, teman belajar bersama di SMA memimpin salah satu perusahaan multinasional di Jakarta. Budi Andrianto, dokter, tetapi menjadi pengusaha yang berhasil, juga di Jakarta.

Akhirnya pembaca sekalian. Pesankanlah agar anak anak muda itu belajar dan berpacu dengan semangat dan gairah persahabatan. Berpacu berlari hingga hilang pedih peri, tanpa harus menjadi binatang jalang. Apalagi menjadi manusia jalang seperti koruptor yang pasti kelak akan terbuang. Dan yang penting lagi jangan keliru pilih masuk sekolah jalang seperti di Jatinangor itu. Katanya mencoba menanamkan disiplin dengan cara layaknya binatang jalang, siapa yang kuat siapa yang menang dan kalau perlu pakai uang.

Ki Ageng Similikithi (bs2751950@yahoo.com)

Dimuat di Kompas Cyber Community, 30 April 2007