Sunday, October 26, 2014

Parit Yang Mengering



Tengah hari di musim kering tahun 56. Saya masih duduk di kelas satu Sekolah Rakyat, desa Ngampin Ambarawa. Ramai suasana di dapur, para pekerja yang jumlahnya puluhan itu sedang makan siang. Mereka bekerja untuk peternakan sapi atau kebun kopi. Nggak tahu apa yang mereka bicarakan. Ada yang bersuara keras, ada yang bisik bisik. Suara memberondong dengan irama khas, nada sedikit menghejan, menerocos tanpa henti. Suara modin dukuh Lonjong di belakang rumah. Kami biasa memanggilnya Wa Modin yang sering ikut bekerja di kebun kami.
 “ Ashar sore ini ada ingsinyir (insinyur) dari Semarang mau datang. Mau ninjau pekerjaan saluran parit di depan”. Tak ada yang bersuara, dia tetap saja bicara. Saya tanya sama ibu kemudian, apa itu ingsinyir. Jawabannya ‘Orang pintar. kau harus belajar biar jadi ingsinyir’. 

Habis makan saya buru buru ke luar. Ke rumah Jumadi, teman sekelas di sebelah timur gereja, dan Kamto tetangga Jumadi. “ Ada orang pintar, ingsinyir mau datang, ashar nanti. Meninjau pekerjaan parit di depan”. Kami bersepakat melihatnya. Jam dua kami bertiga bersama Jumadi dan Kamto,  telah duduk di jembatan bambu, atau kreteg, di tepi jalan raya kira kira 100 meter depan  rumah saya. Diseberang selatan jalan terlihat Ratman yang duduk terpekur melihat mobil lewat. Enggan diajak gabung menyeberang jalan. Kami memang jarang main sampai  sampai menyeberang jalan raya Ambarawa Magelang. 

Dibawah kreteg, ada parit kecil dengan aliran air jernih dari bukit di belakang desa. Kami sering mencari ikan di bawah sana, di blumbang blumbang kecil itu. Paling dapatnya  ikan kotes atau wader. Parit kecil itu rimbun ditumbuhi semak belukar, bambu dan pisang di tepinya yang agak terjal. Tidak terlalu dalam, tidak lebih dari 3 meter. Seperti biasanya, anjing anjing saya selalu ikut ketika saya duduk duduk di jembatan itu, tidak tahu mereka mau cari apa. Toh mereka juga tidak paham siapa itu ingsinyir. Ketika salah satu anjing itu dijerumuskan dibawah, dan basah kuyup, dia  naik lagi dan mengibas kan tubuhnya di dekat kami. Tahu cara membalas dendam.

Jam tiga, dua mobil tiba dan berhenti ditepi jalan di seberang sekolah kami. Kira kira 70 meter dari tempat kami duduk. Salah satu mobilnya adalah Suburban warna abu abu. Beberapa orang turun dari mobil dan langsung ke tepi parit, disambut mandor dan para pekerja. Kami bertiga mendekati tempat itu. Saya bisa menebak mana yang ingsinyir diantara rombongan. Orang yang ditengah, sedikit gemuk berwajah tampan, dan paling banyak bicara, perintah ini itu. Celana hitam dan kemeja putih. Dia berdiri di lereng parit yang agak terjal itu. Tangannya menunjuk nunjuk ke berbagai arah, tempat pengerasan tebing parit dan buk yang menghubungkan kedua sisi tebing. Ada yang aneh. Setiap kali dia menunjukkan tangan, kakinya ikut naik, kadang kaki kiri, kadang kanan, badan bergoyang goyang. Kami bertiga heran setengah mati. Kamto berbisik, “ Ingsinyir ki nek nuding kok nganggo tangan karo sikil ya?”.

Tak lama rombongan itu di sana. Jam setengah lima sudah lengang. Rombongan ingsinyir dri Semarang sudah pulang. Para pekerja dan mandor DPU, sudah pulang ke rumah masing masing. Kami mendekati daerah yang ditinjau tadi. Dibawah,  semak semak ditebangi, juga rumpun pisang dan rumpun bambu yang rimbun. Kamto berdiri persis di tepi parit yang agak terjal bekas tempat berdiri sang ingsinyir. Dia mulai menunjuk tempat tempat di dalam parit layaknya seorang ingsinyir. Anehnya, kakinya serentak ikut naik, kiri kanan kiri kanan, disertai goyangan tubuh yang gontai. Batin saya ‘ Aneh bukan ingsinyir kok berlagak nunjuk nunjuk pakai tangan dan kaki”. Tidak berlangsung lama, bukan hanya tubuhnya bergoyang goyang, tetapi tubuh Kamto kemudian terhempas jatuh ke bawah, ke tumpukan dedaunan itu. Jumadi yang mengikuti berdiri di tempat  itu, badannya bergoyang langsung jatuh ke bawah, sebelum kedua tangannya dan kakinya menunjuk nunjuk. Saya berpikir, pantas toh mereka bukan ingsinygir, sehinggak begitu mudah bergoyang dan jatuh ke bawah. Saya tidak minat untuk berdiri di dinding terjal itu. Gambaran tubuh insinyir yang bergoyang, serta kemudian  Kamto dan Jumadi yang terlempar ke dasar parit, sudah cukup memberikan sinyal, sesuatu tidak berjalan normal. Something is not right.

Kami pulang masing masing tanpa kesimpulan apa apa. Jatuh di parit adalah peristiwa biasa yang hampir terjadi tiap hari buat kami bertiga.  Tidak perlu dipikir lebih lanjut. Yang menjadi pikiran saya, ingsinyir itu menunjuk pakai tangan dan kakinya ganti ganti. Apakah karena berdiri ditempat terjal sehingga posisi badan tidak stabil, atau suatu tradisi turun temurun seorang ingsinyir?. Ah tah perlu dipikir.  Habis mandi sore, mau makan, ibu saya bertanya “Wis weruh ingsinyir le?” Dengan lugas saya menjawab. “Wis, ning aneh ingsinyir ki nek tuding tuding nganggo tangan karo sikil”. Ibu saya agak terhenyak, tetapi tidak bertanya apa apa kecuali pesan ‘sing sregep le sinau’. Ibu memang bercita cita anak anaknya jadi ingsinyir kemudian.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Poyek DPU itu sudah rampung. Parit nampak lebih rapi. Dinding arah jalan raya semua di tembok. Di bawah setiap beberapa puluh meter, terutama ditempat yang menurun, dibangun dam kecil, mungkin untuk mengendalikan arus air saat banjir. Tidak ada semak belukar lagi, tidak ada rumpun bamboo atau rumpun pisang lagi. Hanya tersisa rumpun bambu di lahan orang tua kami. Beberapa bulan kami bertiga tersadar, blumbang blumbang kecil itu, dimana kami sering mancing dan mencari ikan, juga ikut hilang bersama normalisasi aliran parit. Kadang terasa aneh, aliran parit alami diganti dengan aliran buatan manusia, kok disebut normalisasi. Alamkah yang abnormal ? Atau proyek proyek  normalisasi itu yang sebenarnya abnormal. Tahun tahun berlalu, aliran air di parit semakin kecil, semakin mengering di musim kering. The drying water. Sebaliknya sering banjir di saat musim hujan. Tak bisa menyalahkan proyek normalisasi yang abnormal itu. Mungkin juga karena ludesnya pepohonan di perbukitan belakang desa kami.

Enam puluh tahun lewat. Saya datang kembali di tepi parit itu suatu sore beberapa waktu lalu. Jembatan bambu sudah ganti dengan jembatan beton yang dibangun tahun 74. Sore itu saya ingin memeriksa bagian mana dari parit itu yang paling pas untuk membuat jembatan kedua. Untuk jalur supplai logistik ternak sapi yang dimulai beberapa tahun lalu. Saya berdiri ditepi parit bersama dengan salah satu pekerja. Tiba tiba saja saya ingin turun ke dasar parit. Di dinding  parit yang agak terjal itu, kaki saya terasa gontai, saya angkat kaki kiri saya untuk mempertahankan keseimbangan. Tetapi tak ayal lagi, saya terjerembab ke dasar parit. Serentak ingat sang manusia pintar insinyir yang mengangkat kaki sambil menunjuk nunjuk dengan tangannya enam puluh tahun lalu. Mungkin peristiwanya hampir sama, hanya dia tidak sampai terjerembab. Ah saya  memang bukan insinyir.
Keinginan ibu saya almarhum tercapai, lima dari sembilan bersaudara menjadi insinyir, dua bersuamikan insinyur, dan hanya saya yang nyebal  tidak jadi insinyir, meski ujian masuk perguruan tinggi di tahun 69, saya diterima di ITB dan IPB. Saya menjadi  dokter dan mencintai profesi ini sampai purna tugas dua tahun lalu.

Semalam dalam acara peringatan kepergian bapak, ibu, kakak,  kakak ipar dan anak saya Moko, saya bertemu Jumadi, Kamto dan Ratman kembali. Jumadi masih bekerja sebagai petani, anaknya meninggal tertabrak mobil di jalan raya itu saat masih taman kanak kanak di tahun delapan puluhan, seperti saya kehilangan anak saya Moko. Kamto masih aktif sebagai kusir andong. Ratman juga bertani, mungkin sambil meneruskan profesi ayahnya pak Dulmuji almarhum, sebagai tukang cukur. Pernah saya ceritakan perihal pak Dulmuji sebelumnya, tukang cukur yang suka berbual, katanya Joko Tingkir itu dulunya tukang cukur di Demak Bintoro, sebelum jadi ratu.  Pertemanan tak lekang oleh perjalanan waktu. Juga ingatan akan insinyir itu. 

Salam damai,