Friday, August 29, 2008

Jalan ke Barat

Januari 1980. Dalam perjalanan ke bandara Halim Perdana Kusuma. Diantar NYI sama anak anak Aryo sama Nunu. Juga kakak sekeluarga bersama ponakan ponakan. Tiga hari terakhir nginap di tempat kakak sulung di Jakarta, bersama NYI dan anak anak. NYI hamil tua anak ke tiga. Dia nampak diam menahan perasaan. Demikian juga saya. Pikiran saya galau akan pisah dengan istri dan anak anak.. Aryo sudah tahu kalau saya mau pergi jauh. Sejak semalam dia sudah diam saja. Umurnya belum genap 4 tahun. Nunu belum tahu apa apa, umurnya baru dua tahun kurang. Selalu sibuk main main. Saya nggak tahu berapa lama akan pisah. Saya akan mengambil program doktor di University Newcastle upon Tyne (UK). Mestinya berangkat bulan Oktober, tiga bulan lalu. Tetapi saya minta diundur oleh karena masih harus menyelesaikan banyak penelitian, juga laporan dari pertemuan Asia Pasifik yang baru saja terselenggara bulan Juni '79.

Keberangkatan ini sebenarnya sudah saya nantikan lama, namun tak menyangka betapa berat pisah dengan isteri dan anak anak. Kebetulan mereka pas sedang aktif aktifnya dan lengket sekali sama saya. Tak begitu lancar awalnya menembus ijin atasan oleh karena ada kebijakan tak resmi harus urut jika mau ke luar negeri. Untung akhirnya Dekan menyetujui. Rockefeller Foundation setuju memberikan beasiswa. Juga ada persetujuan penerimaan dari University of Newcastle Upon Tyne, yang mau menampung topik penelitian saya tentang pengaruh genetik dan gizi dalam kemampuan metabolisme obat.

Sejak dua tahun sebelumnya saya memang giat melakukan konsultasi dan menawarkan topik penelitian saya ke berbagai lembaga di Eropa Barat dan Amerika. Ada beberapa pilihan. Di Karolinska Institutet Swedia, gelar doktor bisa dicapai dengan melakukan penelitian penuh waktu dan publikasi minimal 5 karya penelitian. Biasanya dapat diselesaikan antara 4 – 5 tahun. Di salah satu universitas terkemuka di US, program PhD terdiri atas course work selama dua tahun lalu disambung dengan penelitian selama dua tahun. Minimal empat tahun. Sewaktu menjadi sekretaris penyelenggara pertemuan Asia Pasifik di Yogya, saya konsultasi dengan beberapa tokoh dari Australia dan dianjurkan untuk menulis ke Newcastle UK. Beberapa bulan konsultasi dan kemudian melengkapi syarat2 pendaftaran, akhirnya Wolfson Unit menerima saya untuk program doktor. Bisa diselesaikan dalam waktu tiga tahun, jika penelitian berjalan lancar.

Dalam perjalan ke bandara, lamunan saya melayang ke belakang, ke masa masa kecil saya. Sejak SMP saya selalu memimpikan untuk dapat kesempatan belajar di Eropa Barat. Saya selalu mengikuti membaca majalah majalah dari Uni Soviet waktu itu. Namun ada keraguan untuk mengambil program paska sarjana di sana. Saya nggak tahu sebabnya. Teman bapak saya pernah menjadi duta besar di Hongaria di awal tahun enam puluhan. Beliau pernah berkata " Anak muda, datanglah ke Budapest. Di sanalah banyak yang bisa dipelajari". Saya selalu membayangkan lembaga lembaga pendidikan di Eropa yang mapan dan maju. Saya mengagumi tokoh2 politik dari Uni Soviet, seperti Nikita Kruschev dan Andrei Gromyko, yang begitu lantang bersuara dalam debat diplomatic dengan negara Barat. Namun keinginan untuk belajar dari negara Eropa Timur tak kunjung muncul.

Tahun 1963 kakak sulung saya berangkat program paska sarjana ke Amerika, di Purdue University. Selalu mengirim foto berwarna mengenai Amerika. Belum ada foto berwarna waktu itu di Indonesia. Beberapa foto yang dikirim menunjukkan gambarnya dengan beberapa burung betet hinggap di pundak dan lengannya. Nggak tahu diambil dari mana. Kami lihat foto itu ramai ramai di kelas. Saya masih kelas satu SMP. Teman teman berkomentar macam macam. "Edan di Amerika, burung bisa lengket sama manusia".
"Di Indonesia orang juga lengket sama burungnya sendiri".

Sampai di bandara menjelang petang. Duduk sebentar di ruang tunggu. Nunu asyik main bola di lantai. Tak tahu apa apa. Aryo mulai merengek dan lengket sama saya terus. Tahu jika saya akan pergi jauh. Kemudian menyelesaikan check in sebentar. Nggak ada masalah. Pesawat Garuda masih bisa menghubungkan jalur Jakarta London dengan berhenti di beberapa bandara di Asia dan Timur Tengah. Selesai check in kembali menemui NYI sama anak anak dan saudara2. Aryo nampak girang kembali dikira saya nggak jadi berangkat. Hati saya semakin bergetar. NYI matanya memerah. Kok ya nggak gampang ya pergi jauh pisah sama anak isteri ? Tak pernah terpikir sebelumnya.

Sewaktu kelas tiga Sekolah Rakyat kami pernah membaca cerita berjudul "Dateng Negari Walandi". Mencerikan kisah perjalanan seorang anak muda dari Solo yang mau benagkat belajar ke negeri Belanda. Naik kapal laut dari pelabuhan Semarang. Perjalanan akan berlangsung selama lebih tiga minggu. Dia membawa dua kopor dari logam. Diantar bapak ibu dan saudara saudaranya. Ceritanya sebenarnya mungkin terjadi di jaman penjajahan sebelum perang, lupa nama sang tokoh cerita. Tetapi dia digambarkan begitu gembira di saat keberangkatan. Bayangan saya waktu itu keberangkatan ke luar negeri pasti sangat membahagiakan. Saya harus angon sapi tiap sore pulang sekolah. Belajar ke negeri Belanda, nggak ada kamus angon sapi pulang sekolah.

Aryo menangis berat ketika saya pamit berangkat. Nunu minta dibelikan bola. NYI memeluk saya sambil menangis. Matahari hampir tenggelam, langit memerah di ufuk barat, ketika saya berjalan di tarmac menuju pesawat. Ke arah mata hari tenggelam di ufuk Barat. Keberangkatan ini adalah impian sejak kecil, impian impian saat angon sapi, berangkat belajar ke Eropa. Seperti halnya anak muda dari Solo dalam kisah 'Dateng Negari Walandi".

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, 29 Agustus 2008

Tuesday, August 19, 2008

Aaaaaaaah Sang Dukun

Napasnya berdesah. Dada terasa sesak. Jantung berdebar keras. Pikirannya galau. Sumi tak mampu berpikir jernih. Seumur hidup baru kali ini berdua dengan pria selain Herman suaminya. Berdua sendirian di kamar hotel. Dengan dukun yang sangat dipercayainya. Hatinya di persimpangan jalan. Sementara tatapan mata sang dukun begitu tajam menatapnya. Menembus sanubari, menawarkan keindahan dan kemesraan yang telah lama hilang dari dunianya. Dunia bersama suaminya Herman. " Tak perlu takut Jeng. Pertama kali biasanya merasa takut. Tak apa apa. Ini demi kebahagiaan dan masa depanmu". Sang dukun memegang lembut jari jari tangannya. "Ya demi kebahagiaan saya. Demi keutuhan rumah tangga. Bukan petualangan. Bukan perselingkuhan.". Sumi mencoba mencari kebenaran. Bayangan Herman yang dia cintai mampir sesaat. "Tak akan saya lepaskan dia. Saya mencintainya. Biar perempuan itu merana karenanya. Demi dia saya lakukan ini semua". Namun tak sanggup dia keluar dari impian baur. Antara rasa dosa, takut dan kenikmatan yang memikat.

Sumi dan Herman telah tujuh tahun mengarungi perkawinan. Penuh kebahagiaan mulanya, apa lagi mereka telah dikaruniai dua putrid mungil, Mira 6 tahun dan Tita 4 tahun. Mereka berkenalan di kampus semasa kuliah. Umur mereka hanya terpaut dua tahun. Beda jurusan walau masih satu kampus. Begitu Sumi lulus, mereka langsung mengikat tali perkawinan. Sangat membahagiakan. Herman bekerja di salah satu perusahaan besar di bagian pemasaran. Sedang Sumi memilih karier impiannya sejak muda, menjadi guru. Perjalanan karier mereka lancar, ekonomi stabil untuk ukuran keluarga muda. Sayang perjalanan hidup tak seperti yang selalu yang di inginkan. Seiring dengan meningkatnya karier dan kesejahteraan, prahara rumah tangga perlahan datang tanpa disadari. Herman begitu sibuk dengan kegiatan perusahaan yang berkembang pesat. Sementara Sumi juga sering sibuk sebagai seorang guru yang sedang menanjak bintangnya. Entah yang namanya lokakarya, semiloka, penataran, pelatihan, lomba guru teladan, sebutlah apa saja nggak ada yang ketinggalan. Tak ada masalah, karena ada pembantu yang mengurus Mira sama Tita. Jika Sumi dan Herman sering harus menginap di luar kota, sendiri sendiri tentunya, maka anak anak bisa ke rumah neneknya yang tinggal dekat dengan mereka.

Tak terasa kesibukan masing masing telah menjauhkan jarak di antara mereka. Hanya kecintaan dan kedekatan mereka dengan kedua anaknya yang masih membimbimg mereka untuk tetap hidup bersama. Kadang Sumi terpikir dan merindukan masa masa indah yang pernah dia nikmati bersama dulu. Tetapi gengsi dan malu untuk mengutarakannya. Hanya kebisuan yang meyeret mereka terpisah dalam dunia masing masing. Bulan bulan terakhir Herman mulai jarang pulang ke rumah. Sumi juga tak peduli. "Toh saya bisa berdiri sendiri". Akhirnya seorang teman akrabnya semasa kuliah, Tini, mengingatkannya. " Ada wanita idaman lain. Apakah akan kaubiarkan suamimu terbuai dalam pelukan perempuan lain? Pertahankan dia, jika kau mencintainya. Dia milikmu". Sumi tersadar dari kebisuan. Dia berketetatpan akan mendapatkan kembali kemesraan miliknya. Bukan untuk wanita jalang itu.

Lewat Tini dia berkenalan dengan tokoh spiritual ternama itu. Para selebritis dan anggota DPR konon banyak tergarap oleh tangan dingin dan sesaji sang tokoh. Mana yang keserimpet penyalahgunaan dana APBN, entah yang pengin naik pangkat, entah yang ditinggal pergi kekasih, entah yang mempertahankan jatidiri sebagai pria metropolitan masa kini dan lain sebagainya. Sudah beberapa kali dia konsultasi dengan sang dukun. Namanya terkenal Ki Demang Genthalogedhi. Nama aslinya dulu Satimin. Biasanya ketemu di tempat praktek di Jakarta Selatan. Sumi sangat percaya kemampuan spiritual Ki Demang. Tatapan matanya begitu sejuk dan dalam. Seolah membelah apa yang ada dalam sanubari. Semua nasehat ki Demang sudah dijalani. Puasa mutih tujuh hari tujuh malam. Menyembelih sepasang ayam putih. Telanjang dan kungkum air dingin tengah malam. Hanya satu yang belum terjalani. Berbicara langsung dengan Sang Danyang yang menguasai hal ihwal cinta antar manusia. Harus dilakukan tengah malam di atas bukit yang tinggi. Agar dekat dengan kayangan para Danyang. Ki Demang akan menjadi penghubung spiritualnya. Dalam bahasa Jawa, prewangan. Bahasa kotemporernya mediator spiritual.

Malam Selasa Kiwon itu mereka berencana lelaku di puncak gunung. Selasa Kliwon atau Anggoro Kasih, malam yang tepat untuk menyepi atau mereguk cinta. Berdua naik mobil dengan Ki Demang menelusuri jalan jalan kecil di lereng bukit. Baru setengah perjalanan tiba hujan deras bercampur petir. "Jeng ini alamat tidak baik untuk lelaku. Kita cari saja tempat aman. Nggak perlu dibawah langit terbuka". Sumi diam saja, tak menolak, tak mengiyakan. Apapun kata Ki Demang, itulah yang paling bijak. Apalagi kalau bicara didahului dengan batuk batuk kecil. Eeeeeem. Mereka akhirnya menginap di salah satu hotel melati di sekitar tempat peristirahatan. Kebetulan juga sedang sepi. Tempat peristirahatan tidak menjadi halangan untuk lelaku atau nyepi. Ini jaman modern, lelaku atau nyepi nggak harus ditempat sepi. Di keramaian pun, bahkan di karaoke, bisa saja nyepi. Yang penting niatnya. Mau nyepi sambil karaoke.

Tengah malam Ki Demang member isyarat untuk datang ke kamarnya. Ada sedikit uopacara yang harus dilakukan sebelum wawancara dengan Sang Danyang lewat mediasi Ki Demang. Bau kemeyan menebar suasana mistis dan sedikit membuat Sumi agak pusing. Dia mantap melihat Ki Demang mulai membaca mantera mantera tentang cinta. Napas mereka berdua terdengar teratur berdesah. Sesuai dengan nasehat Ki Demang, Sumi hanya memakai kain sebatas dada (kembenan).

Tiba tiba saja Ki Demang bicara dengan suara beda. "Cucuku anakmas Timin, tanpa pertanda apa apa, kenapa sampeyan datang disaat prahara begini?".
"Nama saya bukan Timin eyang. Saya ini Ki Demang Genthalogedhi". Ki Demang menyahut dengan suara asli. " Saya mengantar Jeng Sumi. Mohon berkah Eyang. Masalah rumah tangga".
" Cucuku dulu sampeyan kan hanya si gembala sapi. Karena lelaku tapabrata kau dapat wahyu. Wahyu untuk membahagiakan banyak orang. Terutama wanita. Bawa kemari Sumi".
" Cucuku cah ayu. Mari dekat ke sini". Saya tahu apa masalahmu. Jangan kecil hati. Semua akan teratasi". Ki Demang bersuara aneh, agak celat.
Walau berdebar takut, Sumi mantap mencermati nasehat Sang Danyang. Kebekuan terasa hangat mengalir. Hatinya berdesir desir seolah melayang di awang awing.
"Turuti semua nasehat dan petunjukku cah ayu. Tidak apa apa. Bukan dosa, bukan apa apa. Ini adalah pengorbanan demi kebahagiaan dan masa depanmu". Tangan Ki Demang yang sedang kerasukan Sang Danyang, dengan halus terus meremas jari jari dan meraba raba bagian bagian tubuhnya. Sumi pasrah. Bercampur rasa berkorban, pasrah dan kenikmatan. Sementara Ki Demang Genthalogedhi, begitu lembut menari nari di dalam kawah wanitanya. Menuntunnya melayang di awang awang. Gerak gerak lembut yang tak pernah dirasakannya. Menghantarnya ke kepuasan tak terhingga.

Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Sumi tetap rajin konsultasi spiritual dengan Ki Demang. Herman juga tetap sibuk dengan dunianya. Hanya bedanya Sumi merasakan kehangatan tak terhingga. Kegiatannya dengan Ki Demang, tak hanya untuk lelaku atau nyepi. Tak perlu lagi lewat mediasi. Sang Danyang. Mereka sudah sama sama tahu. Tak perlu mediasi danyang siapapun. Asyiik booo. Toh Ki Demang juga manusia biasa. Jamane jaman edan.

Salam kasih dan damai. Jangan percaya mulut manis, magis, mistis semata mata.

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community. 19 Agustus 2008

(http://community.kompas.com/read/artikel/978)