Wednesday, December 18, 2013

Kang



Suatu waktu, dalam satu acara pertemuan kedinasan di Salatiga. Samar samar ingatanku. Waktu istirahat, seseorang memanggilku “Kang,  gimana kabarnya? Lama banget nggak pernah ketemu”. Saya terhenyak. Hanya seorang yang pernah memanggilku demikian. Panggilan akrab.  Itupun hanya kadang kala dan sudah lewat 30 tahun yang lalu.  Atie. Wanita yang anggun dan lembut. Dia kemudian bercerita. Tentang perjalanannya  selama ini. Tentang pengaturan obat obatan, tentang anak anak yang mengalami deficit mental, tentang wanita dalam politik. Perjalanan penuh warna. Penuh dinamika.  Tak bisa saya mengikuti semuanya. Lebih banyak  mendengarkan. Kadang bingung karena pertemuan tak terduga itu.

Habis pertemuan sore harinya. Saya menuju parkir mobil. Nginap di Ambarawa. Ada acara keluarga besar di Ngampin, di rumah sebelah gereja tua. Tiba tiba Atie, menjinjing tas warna ungu, menyusul. “Kang, ikut ya. Saya ingin liat rumah di Ambarawa”.  Sebelum saya menjawabnya, dia dengan sigap duduk di samping saya. Kebetulan nyetir sendiri. “Kita lewat Banyubiru saja. Ingin lihat Rawa Pening”. Saya mengikuti saja permintaannya. Dia bercerita terus. Bahkan mengingatkan sewaktu ketemu di satu hotel kecil, di desa di tepian Kota Wiesbaden, tahun 1988. Saya sedang berkunjung di Jerman ke Wiesbaden dan Erlangen waktu itu. Kami bicara sore sore di kebun belakang sambil menikmati kopi dan diskusi tentang penelitiannya. Dia datang khusus dari Bonn waktu itu.

Dia memang sedang menyusun disertasi di salah satu institute farmakologi klinik terkemuka di Eropa, dibawah bimbingan professor Helmut Kewitz. Dalam suatu konperensi internasional di Yogya, di tahun 86, professor Kewits mendadak menderita serangan jantung. Kami panik semua. Belum ada Intensive Care Coronary Unit waktu itu. Untung selamat, meskipun di saat perjalanan pulang menderita serangan ulang di India dan harus  evakuasi emergency.

Suasana mendung. Tetapi rumah sudah ramai penuh kerabat pada kumpul. Nggak tahu acaranya apa. Saya mencari Nyi, kok nggak kelihatan. Katanya di kamar sedang sibuk mempersiapkan pakaian. Bapak saya, duduk tenang di kursi tua itu. Memakai surjan dan blangkon model Yogya. Saya keluar masuk salaman dengan para kerabat. Atie sempat bersalaman dan kenalan dengan kerabat saya dan ngobrol tenang di ruang tengah. Sesaat dia bersalaman dengan Nyi. “ Ki beruntung bisa dapat pendamping  kamu”. Ungkapnya singkat sewaktu ketemu Nyi. Kemudian saya lihat Atie berdiam diri. Di sudut  halaman melihat bunga Desember  yang mulai mekar. Nampak termenung. Mengenakan gaun kekuningan. Agak pucat dalam suasana sore yang redup.  Dia kemudian memetik  bunga  bouginvila warna kuning.

Saya belum sempat bicara dengan Nyi. Para kerabat masih lalu lalang mempersiapkan pertemuan nanti malam. Di luar saya melihat kakak ipar saya menanyi keroncong dengan para pemusik yang akan main nanti malam. Sebagian antre mau mandi sore. Dengan air panas yang disiapkan dari dapur di belakang.  Dua orang gadis kecil, cucu keponakan menjinjing ember bersama sama menuju kamar mandi. Saya mengingatkan “Cepat ya jangan main main di kamar mandi”.  Tiba tiba saya melihat Atie, sudah memakai kimono dan menyandang handuk warna putih. Dia menuju kamar mandi. Wajahnya begitu redup.  Saya menyapanya “Nanti biar diantar sopir ke Salatiga, selesai acara”. Dia terdiam seribu bahasa. Matanya jauh menerawang. Dia tetap berjalan menuju kamar mandi. Ada dua  rumpun bouginvila di kiri kanan kamar mandi.  Sebelum sampai di kamar mandi, disebelah rumpun bouginvila itu, dia menoleh lagi. Wajahnya  nampak pucat. Tetapi dia tersenyum . Sangat anggun.

Tiba tiba saja saya terbangun. Sudah jam 600 lewat. Saya berteriak memanggil Nyi.
“Saya kok mimpi aneh”. “Ah mimpi pagi hari tak ada maknanya” katanya. Dia sedang sarapan dengan cucu saya
. “ Iya saya kok mimpi bertemu dengan mereka yang sudah almarhum ya ?.  Dr. Atie Wagiarti. Juga Bapak “.
Nyi membalas tenang. “ Nanti siang tak buatkan bubur”. 

Dr. Atie Wagiarti Soekandar, seorang dokter, akademisi dan aktifis. Beliau berpulang beberapa tahun lalu. Kami bertemu pertama kali di tahun 79 dalam kongres di Bali. Kemudian di tahun 85 di Yogya, saat mengantar kunjungan almarhum Dr. Midian Sirait, Direktur Jendral Pengawasan Obat masa itu  ke laboratorium saya.  Masih ingat waktu itu saya antarkan dia mencari topeng kayu di Nagan, dan kemudian cerita kalau akan mengambil doktornya di Bonn.

Perjalanan hidupnya  penuh warna, penuh dinamika, banyak aktif di luar bidang akademiknya. Selain sebagai  peneliti dan dosen di Universitas Padjadjaran, dia juga pernah menjabat sebagai salah satu Direktur di badan Pengawasan Obat dan Makanan RI.  Juga aktif diberbagai kegiatan sosial. Aktif di Yayasan Pantara yang bergerak dalam kegiatan untuk menolong anak anak yang menderita gangguan khusus kecerdasan, dibawah ibu Karlina Wirahadikusumah. Juga pernah aktif di Indonesian Centre  for  Women on  Politics.

Kami semua dikejutkan dengan berita mendadak di tahun 2008, yang mengabarkan kepergiannya. Kami semua merasa kehilangan seorang teman, seorang akademisi yang penuh perhatian dengan masalah masalah masyarakat.  Memang lama sekali kami tidak bertemu. Terakhir mungkin di pertengahan tahun sembilan puluhan di Jakarta.  Pagi tadi bertemu dengannya, dia datang hanya dalam mimpi yang samar. Catatan kecil ini untuk mengenangnya  kembali. Seorang teman yang penuh dedikasi untuk bidang ilmu dan masyarakatnya.  Perjalanan panjang penuh warna, karya dan pengabdian.

Selamat jalan Atie, semoga engkau selalu damai di sana. Kami semua selalu mengingatmu dan menyayangimu. My dear Atie, rest in peace and eternity.
Ki Ageng Similikithi

1
https://www.facebook.com/notes/ki-ageng-similikithi/kang/10152051358223467

Saturday, December 14, 2013

Percakapan santun


Wajahnya begitu santun. Pandangannya menatap ke luar lewat jendela yang terbuka lebar. Angin sejuk berembus lembut.  Akhir pekan yang cerah.  Tahun  delapan puluhan awal. Saya mengantar  seorang kerabat bertamu ke Salatiga. Di rumah peristirahatannya. Bapak tersebut, sebut saja namanya bapak Karyo, adalah pejabat Kepala Biro Kepegawaian propinsi salah satu dinas pemerintahan.  Sehari sebelumnya sudah memberikan waktu di akhir pekan untuk  menemuinya.

“ Dimas, berpuluh tahun saya telah mengamati perjalanan karier banyak pejabat di propinsi ini, sejak awal mereka masuk, sampai ke puncak. Perjalanan panjang penuh warna”.

Ucapannya lembut , sambil menarik napas panjang, seolah menggumam terhadap diri sendiri. Saya duduk di kursi seberang. Sementara kerabat saya duduk di kursi di dekat pak Karyo. Kerabat saya terbata menjawab, seperti tidak siap.

“Injiiiiiih pak. Mila kula sowan Bapak, badhe nyuwun pangestu” . Iya pak, makanya saya menghadap mohon restu.
“Tanpa diminta pun saya selalu memberi restu. Saya adalah abdi negara.  Kuajiban saya adalah mengabdi untuk negara”.

Kerabat saya semakin tidak siap memberi response. Kedua tangannya terselip diantara ke dua lutut. Badannya ikut bergoyang saat menganggukkan kepala berulang kali. Dengan gagap dia berkata.

“ Kawula sampun wonten luar Jawa 13 tahun. Nderek nyuwun penempatan wonten mriki”.
Saya sudah bertugas di luar Jawa selama 13 tahun. Mohon penempatan di daerah sini.
Katanya lirih menghiba.  Bahasa tubuhnya semakin menunjukkan jika dia dibawah angin posisinya. Hanya mengangguk angguk. Tidak  Mengangguk Angguk Sambil Berseru tri lili lili lili, seperti dalam lagu anak anak itu. Kedua tangannya semakin tenggelam di antara ke dua lutut.
“Dimas, sudah sampai saatnya sampeyan balik ke sini, lenggah dadi manggalaning praja,  ngayahi tugas narendra gung binathara”.  Duduk sebagai pejabat publik, menjalankan tugas mulia.  Kerabat saya semakin kehabisan perbendaharaan untuk berkata. Hanya bilang “ injih mekaten”, sambil mengangguk angguk pelan.

Pak Karyo memperbaiki posisi duduknya. Bersandar di kursinya. Sambil terus bicara tentang kuajiban dan tugas pegawai negeri. Matanya tetap menatap langit di luar, seolah mencari petuah dari langit. Beberapa kalimatnya masih teringat saya, seperti yang sering diutarakan dalam penataran P4. Kalimat kalimat itu begitu magis, seolah datang dari dunia sakral. Saya ikut terbawa, kedua tangan saya menyilang di dada  dan ikut mengangguk angguk. Tidak sesering kerabat saya.

Hampir setengah jam ritual itu berjalan khidmat. Dalam bahasa yang sangat santun. Penuh ungkapan indah pengabdian abdi negara. Ketika pak Karyo berhenti, dan mempersilahkan kami minum teh, saya menginjak kaki kerabat saya untuk berpamitan.  Dia mempersiapkan sesuatu. Amplop dengan garis  garis merah di tepi, par avion.

Pak Karyo masih menatap langit di luar sana. Sesekali menarik napas.  Tiba tiba setting ritual berubah. Kerabat saya masih dalam posisi duduk. Mendekatkan diri sambil menunduk.  Kedua tangannya bebas dari jepitan lututnya. Tetapi diantara jari tangannya menjepit amplop Par Avion itu.  Pak Karyo  tetap tak mengubah posisinya. Tak membuka kacamatanya.  Tetap memandang langit. Tetap bersandar di kursi. Tetapi jari jari tangannya dengan sigap menjepit amplop dari kerabat saya tadi.

Saya terkesiap. Kejadian berlangsung begitu cepat. Pak Karyo berujar. “Ah mbok nggak usah repot Dimas”, tetapi amplop langsung pindah tangan. Amplop ini biasanya untuk pos udara. Paling tidak butuh waktu seminggu jika untuk kirim surat ke luar Jawa. Tetapi pagi itu perjalanan amplop itu hanya berlangsung dalam detik.

Gratifikasi kadang tidak bisa dipisahkan dari kesantunan Jawa. Mungkin hanya ungkapan terima kasih semata. Tetapi kalau gratifikasinya rumah, itu sudah lain masalahnya. Entahlah apapun namanya, entah itu gratifikasi, glondong pengareng areng, memang produk budaya yang bisa menuju jalan sesat.

Salam damai
Ki Ageng