Sunday, October 26, 2008

Mbak NDHUNG



Tahun 1972. Sore hari, saya naik sepeda lewat jalan Ngabean Yogyakarta. Mau berangkat kursus bahasa Belanda di Karta Pustaka. Dekat daerah Kota Baru di Utara. Jalan sepi, bersih, tak berdebu. Pelan pelan saya mengayuh sepeda torpedo tua. Di muka kantor pemerintahan kota madya, tiba tiba saya menatap dua sejoli yang saya kenal benar. Mbak Ndhung sama pacarnya mas Pari naik becak dari arah berlawanan. Dia teman akrab Emsa, pacar saya (belum tetap) waktu itu. Mas Pari, saya tahu mahasiswa teknik. Mereka ke arah Barat. Ketika dekat, saya melambaikan tangan, memberi salam. Mbak Ndhung mengangkat tangannya. Saya pikir akan membalas lambaian tangan saya. Ternyata malah nyablek paha sang pacar. Kemudian menutup muka dengan kedua belah tangannya. Dia menangis nampaknya. Niat saya mengikuti mereka saya urungkan. Biasa orang kalau dirundung cinta pasti tengkar. Ujung ujungnya sang gadis akan menangis. Walaupun sebenarnya nggak ingin menangis. Seolah sudah menjadi bagian resmi ritual jatuh cinta. Kalau nggak pakai nangis rasanya nggak mendalam cintanya. Ungkapan "Gemes aku" layak jadi ungkapan cinta.

Esok paginya saya bilang ke Emsa, kalau saya ketemu mbak Ndhung. Dikasih salam kok malah menutup muka. Sedang menangis. Jawabnya juga enteng " Biasa panas panasnya pacaran. Sok pengin nangis. Gemes ". Kami tak berdiskusi lebih lanjut tentang peristiwa menutup muka itu. Waktu tersita untuk kuliah dan untuk acara kami berdua. Kami di tingkat empat waktu itu. Saya juga sibuk mengurusi majalah mahasiswa Hygieia. Hubungan saya dengan Emsa kandas di akhir tahun 1972. Kisah menyakitkan. Tak ada yang menangis. Apa lagi nyablek campur gemes. It is not in my vocabulary. Semua berlalu dengan tenang. Tak perlu sedu sedan itu. Tak perlu cablek menyablek itu. Saya ini orang pondokan yang terbuang. Emsa ternyata kawin sama mantan pacarnya.

Praktis sangat jarang ketemu mbak Ndhung. Sampai lulus dokter jarang bertemu dengannya. Kedekatan kami waktu itu karena dia teman akrab Emsa. Hubungan saya putus dengan Emsa. Nggak ada kesempatan ketemu mBak Ndhung. Waktu berjalan terus. Kadang saya membaca berita tentangnya. Pernah membaca dia mendapat penghargaan Asian Young Investigator Award penyakit jantung di tahun delapan puluhan karena penelitiannya tentang minyak ikan lemuru. Di pertengahan 90an pernah mengunjungi pusat studi yang saya pimpin di Yogya. Sekedar tukar pengalaman. Dia menjabat sebagai Kepala Lembaga Penelitian RS Harapan Kita, jabatan bergensi.

Tiga puluh enam tahun kemudian. Tahun 2008 kami bertemu secara tak sengaja di bandara Changi. Mbak Ndung alias Prof DR Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI yang terkenal energetik dan dinamis. Saya dalam perjalanan dari Yogya dengan NYI sehabis lebaran. NYI memberi isyarat, ada Menkes di ruang eksekutif itu. Berdua Dr Fadilah bersama dengan Dr Husniah, Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI. Mereka dalam perjalanan pulang menghadiri pertemuan antar menteri kesehatan negara negara ASEAN. Kaget ketika saya sapa secara formal. Kami kemudian terlibat pembicaraan ramai. "Ki dulu setahun dibawah saya. Pacarnya teman akrab saya" ujarnya ke NYI. Nyi hanya bisa tersenyum. Dia sudah lama paham kisah saya dengan Emsa. Tak lama pertemuan tak sengaja itu. Mungkin tak ada setengah jam. Saya cerita baru saja menghadiri lokakarya yang kami sponsori di Yogya tentang Improving Medicines Supply in Decentralized Environment. Juga saya ungkapkan keberhasilan Sleman dalam desentralisasi kesehatan. Investasi dari anggaran belanja pemerintah untuk sektor kesehatan sampai 8 – 10 % (angka nasional tak mencapai 3 %, angka ideal internasional sebaiknya lebih dari 5 %) . Angka kematian anak dan ibu bisa ditekan rendah, angka harapan hidup meningkat sampai 76 tahun (wanita). Tak kalah dengan negara negara makmur di dunia. Dia cerita tentang tantangan desentralisasi di daerah2 lain. Keterikatan (commitment) pemerintah daerah untuk kesehatan masih harus digenjot. Namun angka kematian ibu telah ditekan turun selama tahun tahun terakhir. Pemerintah akan mengupayakan maksimal agar angka kematian ibu bisa ditekan lebih rendah lagi. Indonesia masih masuk tinggi di Asia untuk angka kematian ibu.

Pembicaraan beralih. Saya ingatkan peristiwa di jalan Ngabean itu. Dia masih ingat. "Saya kok nggak ingat ketemu kamu Ki. Tapi Emsa cerita sama saya". Gimana mau tahu wong sedang pacaran. "Mas Pari masih tetap langsing seperti dulu. Kamu kok gemuk sekali Ki". Saya berseloroh ringan " Jangan jangan beliau makan hati ya". "Wah opo iyo yo. Sing jelas kan luwih sehat ?" Berat badan saya memang lebih 90 kg kini. Dulu sewaktu masih lajang hanya 50 – 55 kg.

Petugas protokol mengingatkan kalau harus ke ruang keberangkatan. Pesawat boarding. Kami berpisah. Tiga puluh enam tahun semenjak saya ketemu dia menutup muka di dalam becak itu, saya belum sempat mengatakan kepadanya. Pertemuan tak sengaja. Hanya beberapa menit. Tetapi saya masih sempat mengingatkan peristiwa papasan saya dengan dia di jalan Ngabean itu. Kini dia menjabat Menteri Kesehatan. Energetik dan dinamis. Banyak mengkritik negara negara adidaya dalam menguasai sumberdaya kesehatan, terutama vaksin dan obat obatan. Juga mengkritik peran organisasi dimana saya bertugas. Bukunya banyak disitir dan diterjemahkan di dunia internasional (http://www.goodreads.com/author/show/1414329.DR_Dr_Siti_Fadilah_Supari_Sp_Jp_K_) . Suaranya lantang berapi api dalam forum forum resmi maupun di televisi. Kekhawatiran saya kalau dia sedang pas berapi api itu, akan nyablek lawan bicaranya. Boleh nyablek sih, asal sama pacar atau suami sendiri.

Pesan untuk anak anak muda yang bercinta. Boleh nyablek pacar. Boleh nangis. Boleh menutup muka. Boleh gemes. Tetapi jangan sekali sekali nylentik sang burung. Bisa kuwalat.

Salam damai untuk Mbak Ndhung. Untuk kokiers dan anak anak muda yang bercinta

Ki Ageng Similikithi

6 comments:

paromo suko said...

kata mas Indro Saswanto, bukunya mbak Ndung bagus sekali ya Ki, bikin kita bersemangat gitu
tapi karena saya lupa judulnya, kalo pas ke toko buku cuman tolah-toleh
(salah sendiri, kenapa gak tanya sama penjualnya!)

seneng ya Ki, ketemu 'seseorang' sebagai teman lama

Ki Ageng Similikithi said...

Bukunya banyak dikutip diluar. Menentang mekanisme internasional yang nggak imbang. tetapi juga menempatkan Indonesia dalam posisi sulit ok kita tak lagi sekuat Brazil, Iran atau Afrika Selatan

Indro Saswanto said...

Mbak nDhung, orangnya memang menonjol dilingkungannya berkat kecantikannya, kecenthilannya, ceplas ceplos, lugas dan berani.
Selamat berjuang mbak Ndhung, yang lebih Soekarno dari putranya Soekarno. Semoga berjaya.

Ki Ageng Similikithi said...

Dia masih saja seperti dulu agak centhil dan ceplas seplos. Cuma dalam dunia diplomasi pendekatannya mungkin nggak begitu pas. Kita banyak tersisih

Yunisa said...

Ki, mungkin ini kena sensor Zevie? Karena Mbak Ndhung sekarang Menkes? hehe, cuma dugaan saya lho

Ki Ageng Similikithi said...

Yunisa. Iya dua artikel terakhir belum upload di Koki. Nggak tahu mungkin harus antre. Saya masih mau bikin web baru untuk cerita bersambungnya. Salam hangat