Sunday, June 22, 2008

Kesetiaan terhadap Sang Guru - antara Palgunadi dan Yono

Saya tertegun membaca keindahan tulisan teman maya Paromosuko yang menggambarkan kesetiaan dan penghormatan Palgunadi terhadap Begawan Durna (http://selagibisa.blogspot.com/2008/06/sang-guru.html). Begitu cinta dan hormat terhadap Guru yang diimpikan, Palgunadi mengorbankan miliknya yang tak ternilai yakni jimat Mustika Ampal Kumbang Ali ali yang menentukan hidup mati. Begitu iklas pengorbanan ksatria Palgunadi terhadap Guru. Inilah petikan kata kata Palgunadi di akhir cerita

Kulolos cincinku dari ibu jari tangan kananku. Kuserahkan ke genggaman guruku yang mulia, yang tangannya baru dapat kusentuh pada saat akhir ini. Harum. Aku terkulai, jatuh tersimpuh. Lemas tepat di hadapan kaki Guruku berdiri. Lalu kulihat pelangi membusur dari arah rubuhku, membubung tinggi ke langit tujuh lapis. Akupun pergi ke arah cahaya-cahaya yang mempesona. Kulihat, di kejauhan sana, Anggrahini menyusulku dengan segenap kejelitaan dan kesetiaannya. Aku teramat bahagia.

Silahkan baca keseluruhan di blognya. Pasti dapat berkah dari Begawan Paromosuko. Cerita Mahabarata penuh dengan filsafat kearifan. Saya selalu mengenang guru saya dengan segala penghargaan. Apapun yang mereka lakukan. Tanpa jasa mereka saya tak akan bisa berjalan ke masa depan mengarungi waktu. Tetapi sulit untuk berkorban seperti Palgunadi di dunia nyata.

Peristiwa lima puluh tahun lalu kembali datang dalam ingatan saya. Antara teman saya Yono dan pak guru NAS di Sekolah Rakyat Masehi Ngampin. Hampir tengah hari. Rasa lapar dan dahaga tak tertahankan. Hawa panas mendera. Sesudah istirahat ke dua, kami di kelas empat duduk terhening. Acara terakhir harus latihan nyanyi bersama sampai waktu pulang jam satu nanti. Rasanya berat dan malas. :Lapar dan dahaga kok harus teriak teriak mengikuti lagu lagu itu. Saya selalu dapat tugas untuk menyanyikan suara 2 melengking tinggi. Kami harus latihan bersama dengan kelas kelas lain. Campur jadi satu. Semakin gerah dan panas.

Saya duduk di bangku ke dua. Pak NAS guru kelas lima yang memimpin latihan nyanyi. Beberapa lagu sudah kami lewati dengan lancar. Tetapi tak membuat pak guru NAS puas. Selalu ada suara satu melengking berkepanjangan diakhir bait. Tak ada dalam acara. Lengkingan itu datang dari bangku seberang. Adik kelas saya Yono duduk bersama teman temannya di sana, Saya nggak tahu siapa yang mengeluarkan bunyi lengkingan itu. "Siapa yang meringkik itu ya ? Awas tak sabet nanti". Pak NAS coba mengingatkan. Lengkingan sedikit berkurang di akhir bait.Tetapi tak hilang juga.

Tiba tiba saya lihat Yono menyandarkan kepalanya di meja. Tertidur dia. Mungkin juga dia yang melengking itu. Saya kenal baik dengan Yono. Bapaknya Pak Kastawi, sering bekerja di kebun saya. Ibunya Mak Pithi sering membantu ibu saya di dapur. Masakannya enak sekali, masakan gunung. Terutama nasi jagung dan urab daun kates. Mak Pithi juga suka cerita dan sabar sekali orangnya.

Pak NAS mendadak berhenti melihat Yono tertidur. Nampaknya dia marah sekali. Dia ambil keset dan serentak dilemparkan ke Yono. Suaranya menghardik lantang. " Anaknya Kastawi tak tahu aturan kamu. Bapakmu suruh sini, tak injek injek. Sudah lama saya nggak bunuh orang Lonjong". Yono memang rumahnya di dukuh Lonjong di atas pekarangan kami. Kasihan Yono. Dia begitu terkejut. Lari pontang panting sambil teriak " Tulung tuluuuuung. Mati aku mak-e".

Kami terus saja bernyanyi. Saya duduk disamping Jumadi sama Slamet. Kami makin mantap menyanyikan suara dua. Lancar nggak ada lengkingan di akir bait lagi. Jam satu lewat sedikit kami pulang. Insiden Yono lewat begitu saja. Peristiwa biasa. Yang kami rasa nggak biasa waktu itu, cuma di lempar keset saja kok teriak teriak mau mati. Pantangan untuk anak laki laki.

Sorenya saya ketemu Pak Kastawi di kebun. Saya beritahu kalau mau di injak injak pak NAS. Jawabnya ringan "Mau nginjak injak, mau nglempar. Silahkan. Saya bisa apa orang kecil". Dia sama sekali tak bergeming. Tak masuk dalam agendanya urusan injak menginjak atau lempar melempar. Paginya Yono nggak masuk sekolah. Mungkin saja masih takut sama pak NAS. Tetapi guru kelasnya bukan pak NAS. Ibu PUR yang sangat sabar. Sorenya saya sama Jumadi pergi ke rumahnya di Lonjong. Di lereng bukit. Kami bertiga duduk duduk dibelakang rumahnya sambil makan singkong bakar. Pemandangan lembah dan sawah terhampar di bawah sana. Gunung Telomoyo berdiri kokoh jauh di depan. "Kenapa nggak sekolah kamu Yono? Takut sama pak NAS ? Jawabnya ringan "Sebenarnya tidak takut. Hanya kaget luar biasa dilempar keset. Rasanya aneh gitu".

Kami memang terbiasa menerima slentikan cubitan guru. Agak terasa aneh cuma dilempar keset kok tulung tulung mau mati. Yono bergumam "Lebih baik di gampar dari pada dilempar keset. Semoga pak guru disamber bledhek"
.Saya sama Jumadi tertawa. Murid kok nyepatani guru, mana bisa ? Nggak majas. Dihadapan malaekat guru pasti lebih benar. Esok harinya Yono ke sekolah lagi. Diantar emaknya, Mak Pithi, yang minta maaf sama pak Guru, kalau anaknya nakal. Dia kembali seperti biasa. Mungkin sudah lupa insiden keset dan sumpahnya mengundang bledhek (halilintar).

Yono seperti kami hanyalah anak biasa. Masih ingin bermain. Bukan seperti ksatria Palgunadi yang mengorbankan nyawa demi sang Guru. Tetapi kami toh mengenang dan menghormati guru guru kami. Nyatanya tak ada bledhek yang mau turun nyambar pak Guru sampai sekarang. Pak Guru Nas juga nggak pernah nginjek injek atau membunuh orang, apalagi orang Lonjong. Istrinya asli dri Lonjong.

Salam damai dan salam untuk Begawan Paromosuko

Ki Ageng Similikithi

Monday, June 16, 2008

Pecel semanggi Mak-i


Salam sejahtera. Agak terusik saya membaca ensiklopedia Wikipedia Indonesia tentang pecel semanggi yang konon khas dan asli Jawa Timur. Inilah kutipannya.

Pecel) Semanggi adalah sejenis makanan khas Jawa Timur, dibuat dari daun semanggi yang dikukus dan kemudian dinikmati dengan sambal pedas yang nikmat. Semanggi juga dapat dihidangkan dengan kecambah, kangkung, kerupuk uli yang terbuat dari beras serta bumbu yang terbuat dari ketela rambat. Ada bermacam-macam versi sambal untuk semanggi. Kalau di Banyuwangi sambal semanggi dibuat dari cabai, serai, belimbing dan sedikit gula jawa. Di tempat lain berbeda lagi, misalnya di Surabaya yang menggunakan sambal yang dibuat dari gula jawa (lebih banyak), terasi, cabai.
(
http://id.wikipedia.org/wiki/Semanggi_(makanan))

Uraian yang hampir sama diberikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Propinsi Jawa Timur, seperti berikut

Pecel semanggi, dari namanya saja kita bisa menebak bahwa didalamnya terdapat rebusan daun semanggi. Daun ini direbus, atau dikukus dan disajikan bersama rebusan kecambah. Sausnya agak berbeda dengan saus pecel pada umumnya. Saus pecel semanggi bukan cuma terdiri dari kacang tanah plus bumbu-bumbunya, tetapi juga lumatan kacang singkong yang direbus. Hingga sausnya betul-betul kental. Dan sebagai bumbu penyedap, dibubuhi petis udang.
(
http://www.balitbangjatim.com/bul_d2.asp?id_subBab=47)

Pecel semanggi yang diuraikan di atas berbeda dengan pecel semanggi yang dulu banyak di konsumsi di Ngampin atau di Ambarawa. Bagi mereka yang pernah dibesarkan di Ngampin, dan ingat akan pecel semanggi model Ngampin di tahun tahun enam puluhan dan mungkin juga di tahun tujuh puluhan. Memang sama sama terbuat dari bahan semanggi. Pecel semanggi dari Ngampin waktu itu sangat sederhana. Dimakan dengan sambel pecel dari kacang tanah dengan rasa manis dan disajikan bersama dengan lonthong bentuk segitiga yang semula terbungkus dengan daun bambu. Tak ada campuran campuran lain. Tak ada kecambah, tak ada petis, tak ada singkong, tak ada kangkung. Mungkin pecel semanggi di atas memang khas Jawa Timur.

Di pasar Ngampin di tahun enampuluhan, , Mak-i seorang wanita dari desa Ngenthak dengan setia akan menjajakan ramuan pecel semanggi ini setiap pagi.Jam tujuh pagi atau kurang dia sudah siap di pasar Ngampin. Jam delapan biasanya jualannya sudah habis. . Dia wanita pekerja keras. Matanya cacat karena mungkin kekurangan vitamin A waktu kecil atau karena penyakit trachoma yang menggerogoti. Pulang dari pasar dia akan ke sawah mencari daun semanggi. Irama hidupnya secara rutin setiap hari.

Adiknya Mak-i ada dua, satu namanya Centhul dan satu Pangat. Mereka bekerja sebagai pekerja di tempat ayah saya, mencari rumput dan memelihara sapi dan kambing. Itu sebelum mereka pindah transmigrasi di akhir tahun enam puluhan. Bagi mereka yang dibesarkan di Ngampin dan pernah menikmati lezatnya pecel semanggi Mak-i, marilah kita kenang bersama dan berterima kasih sama Mak-i. Saya tak tahu mereka di mana sekarang. Dalam tulisan saya yang lain, saya menggambarkan Centhul layaknya tokoh Rusia dalam film Duska yang nampak bloon itu (http://saworo.blogspot.com/)

Sampai kini pecel semanggi masih juga populer di Ngampin dan Ambarawa. Tak hanya di Jawa Timur. Mungkin tak seperti dulu lagi dengan lonthong segitiga terbungkus daun bambu. Dalam web kuliner Ambarawa, nampaknya lonthong segitiga itu telah berubah bentuk (http://ambarawakuliner.multiply.com/photos/album/1/PECEL)

Para warga Ngampin dan Ambarawa. Marilah bersatu dan menikmati kembali pecel lonthong semanggi yang asli. Tak usah dicampur macam macam, mulai ketela rambat, singkong, daun sembukan apa lagi. Bersatu menikmati pecel semanggi yang asli Ngampin, asli Ambarawa.


Salam sejahtera

Ki Ageng Similikithi.

Sunday, June 15, 2008

Duska vs Centhul



Dalam perjalanan Manila – Amsterdam menuju Geneva dengan pesawat KLM bersama Nyi ketika saya menyaksikan film Duska. Karya sutradara Jos Sterling. Telah memperoleh penghargaan Golden Calf Award dalam festival film Netherland bulan Oktober 2007 untuk aktris pendukung terbaik, Sylviia Hoeks. Film dengan irama lambat dan sunyi ini menceritakan kisah Bob (Gene Bervoets), seorang wartawan film, yang tinggal sendirian menjalani kehidupan yang sunyi di seberang sebuah gedung bioskop. Di apartemen yang semrawut, kehidupan rutinnya berkisar sekitar melihat film, menulis di computer, minum, dan makan sambil bermalas malasan. Dia sangat merindukan dan mengagumi gadis cantik (Sylvia Hoeks), si penjaga loket di gedung bioskop itu. Sampai satu saat, kesempatan langka itu datang. Dalam satu percakapan akhirnya si gadis bersedia datang ke apartemen dan menikmati malam bersama. Acara malam yang tentunya akan sangat romantis. Yang sangat diimpikan Bob selama ini.

Namun sebelum acara berkembang lebih romantis, tiba tiba datang teman Bob, seorang Rusia yang bernama Duska (Sergei Matkovestky), mengetuk pintu. Bob sudah kenal Duska lama. Dia lahir dalam bis yang dikemudikan Bob dahulu. Kedatangan Duska menggagalkan segala impian romantis yang telah diperjuangkan Bob selama ini untuk menggaet gadis cantik itu. Duska yang bloon memang sering menjengkelkan.. Namun Bob tak pernah bisa mengindarkan diri dan menyingkirkan dari kehidupannya walaupun sudah berusaha keras. Setiap kali Duska yang dungu itu pergi, Bob selalu berusaha mencarinya kembali.

Ini bukanlah kritik film. Saya bukan ahlinya. Tetapi saya yakin bahwa kita semua pernah bergaul atau bertemu dengan seseorang yang sebenarnya kita benci karena kekonyolannya. Tetapi kita tak pernah bisa melepaskan darinya. Melihat film ini membawa ingatan saya melayang ke peristiwa lebih empat puluh empat tahun lalu. Saya masih kelas tiga SMP. Umur empat belas tahun. Di satu hari Minggu di tahun 1964, saya kedatangan dua orang teman putri. Dari sekolah yang sama cuma kelas yang berbeda. Santi sama sepupunya mbak Narni. Kami sama sama kelas tiga SMP. Hal biasa, murid murid sering datang di akhir pekan ke rumah. Mereka bertamu ke ayah saya. Ayah adalah guru ilmu pasti di SMP Taman Siswa Ambarawa. Datang hanya sekedar bertamu, bukan untuk kursus atau yang lain.

Kedatangan Santi dan Narni, bukan hal biasa. Mereka tahu kalau ayah saya akhir pekan itu tak ada di rumah. Sedang ke luar kota ada acara di Purworejo.. Saya sama Santi sering bertukar surat romantis sejak beberapa bulan lalu. Hanya lewat surat. Tak pernah berani lebih dari itu. Mungkin cinta monyet. Surat surat kami selalu bertukar hampir setiap minggu. Kami tak pernah bertukar kata langsung secara intens. Hanya lewat surat. Santi juga tak pernah datang ke rumah sebelumnya. Tetapi hari itu dia punya alasan pamit orang tuanya bertamu mengunjungi ayah saya. Walaupun ayah saya nggak di rumah.

Rumah sepi walau tak senyap sekali. Suara lenguhan kambing atau sapi kadang terdengar satu dua. Juga dendang para pekerja kadang mengusik kesunyian. Rumah saya di tengah kebun kopi. Banyak hewan piaraan, lembu atau kambing. Kami bertiga semula duduk duduk di pendopo, di ruang depan. Adik saya bertiga tadinya di ruang belakang, tetapi kemudian nggak tahu pada pergi kemana. Hanya para pekerja yang lalu lalang membawa rumput untuk makanan sapi sama kambing. Kami tak banyak bicara. Tak terbiasa. Hanya lewat surat. Mbak Narni yang banyak cerita. Menjelang tengah hari, para pekerja sibuk membersihkan dan memberi makan sapi. Di kandang samping, kira kira lima puluh meter dari pendopo. Mbak Narni tiba tiba saja bangkit " Eh lihat lihat sapi dan kebun saja". Ternyata ketiga adik saya juga sudah berada di kandang. Mereka nampak bicara ramah. Mereka berjalan jalan di kebun. Tinggal saya bersama Santi di ruang itu. Ruang terbuka. Gunung Telomoyo nampak jauh di depan sana.

Saya tak bisa tenang sendirian bersama Santi. Jantung saya berdetak keras. Hati berdebar tak karuan. Bicara juga nggak tenang. Coba bicara tentang pelajaran, nggak bisa asyik. Serba salah. Kami duduk berseberangan di kursi rotan itu. Saya pindah mendekat. Namun tak bisa berdampingan. Kursi kursi itu tertata dalam posisi segi empat. Bicara lebih banyak basa basi semata. Habis ujian nanti rencana kemana? Saya akan meneruskan ke SMA ke Solo." Kau pasti akan melupakan saya Ki. Saya akan meneruskan ke Salatiga atau Ungaran". Saya tak bisa membalas lugas. Pikir saya, bagaimana mungkin melupakannya. Kami lebih banyak diam. Hati saya berdetak semakin keras ketika bisa menggapai dan menggenggam jari jarinya yang lembut. Dia hanya berbisik lirih, 'San'. Seumur umur, hanya Santi yang memanggil nama saya San. Tak ada yang lain.

Wajah jelita itu nampak memerah. Sepasang mata yang indah meredup. Bibir seksi ..merekah indah seolah memberi isyarat siap untuk tahap lebih lanjut. Gemetar tangan saya menggenggam jari jarinya. . Di kejauhan suara sapi dan kambing terdengar ramai berebut makan. Tak ada nyali lebih dari itu. Saya sering menonton film tiga belas tahun. Sebagian film India dengan bintang tenar Raj Kapoor, atau film Indonesia dengan bintang Bambang Hermanto atau Bambang Irawan. . Dalam adegan berciuman umumnya selalu pakai kaca mata hitam. Saya pikir berciuman memang harus memakai kaca mata gelap. Saya hanya terhenti saling menggenggam tangan dan tenggelam dalam perasaan galau. Hanya bisikan bisikan lirih yang kadang keluar tak jelas. Aaah seandainya saja saya punya kaca mata hitam waktu itu. Pasti asyiiik habis.

Tiba tiba saja suara itu datang mengejutkan kami. Seperti suara lenguhan sapi yang akan kawin. Suara si Centhul. Ternyata dia telah duduk merokok di tepi pendopo. Centhul dan Pangat, kakak beradik telah bekerja bertahun tahun. Mencari rumput dan memelihara sapi sama kambing bersama pekerja yang lain. Centhul ini yang paling saya jengkel. Perawakannya kurus tinggi. Rambutnya panjang kotor tak terurus. Pakaiannya tak pernah beres, selalu nampak compang camping. Gerakannya sangat lambat. Bicaranya keras dan sering telmi, telat mikir. Makannya paling banyak di antara yang lain. Tetapi lamban dan dungu, paling susah diajak bicara. "Sudah selesai semua ? Kok nggak terus pulang ?". Jawabnya ringan menjengkelkan "Pengin ngisis dan leyeh leyeh dulu". Padahal biasanya dia sesudah makan siang, paling cepat lari pulang. Mau istirahat kok ya nekat di dekat kami. Saya tahu pasti, dia sengaja mau ngindhik, mencuri mata. Tetap saja dia duduk di pojok tepi pendopo sambil ura ura lagu "Jenang Gula". Bah menjengkelkan.

Saya hanya memendam rasa jengkel dan keki. Kalau punya uang, rasanya pengin menyuruh dia pergi beli gereh (ikan asin) ke pasar berlama lama. Kalau perlu sampai Semarang pulang malam.. Sewaktu SR dulu dia selalu mau mengerjakan pekerjaan prakarya saya, jika saya ambilkan sebatang rokok Tuton milik ayah saya. Sekali ini tak mungkin dia mau pergi.. Dibayar berapapun. Merasa di atas angin dia. Anjing anjing saya lebih dari sepuluh. Mereka biasanya selalu taat dibawah komando saya. Mengusir siapapun. Tetapi kali itupun nggak akan mau mereka mengusir Centhul. Centhul begitu akrab sama anjing anjing kami.

Sehabis makan siang. Mbak Narni sama Santi pamit pulang. Mereka boncengan naik sepeda. Saya mengantarkan sampai di tepi jalan raya. Tak sempat apa apa. Hanya sempat menyentuh kembali jari jarinya yang lentik sewaktu dia mau menaiki sepedanya. Wajahnya tersenyum lembut. Matanya menatap nanar. "Sudah ya San". "Santiiiii", bisik saya lirih.

Empat puluh empat tahun telah berlalu. Ingatan saya kembali ke episode singkat itu. Aaah seandainya saya punya kaca mata hitam waktu itu. Seandainya si Centhul tak datang mengganggu. Adegan asyik itu pasti terjadi. Berciuman pertama kali. Thuuuuuuul Centhul, kamu ternyata seperti Duska.

Ki Ageng Similikithi

Saturday, June 14, 2008

Pesan ulang tahunmu hanya lewat lamunan


Salam dari bandara Wattay, Phnom Penh.

Bumi masih basah. Hawa segar pagi hari sejuk menerpa. Semalam hujan deras mendera. Pagi ini saya dalam perjalanan pulang ke Manila. Terasa ada beban menghimpit. Duka jauh di dalam menutup kecerahan irama pagi hari. Angan saya melayang menyaput lamunan. Merayapi kenangan masa lalu. Tiga belas Juni. Seandainya masih ada, hari ini Moko almarhum, anak bungsu saya mestinya ulang tahun. Ulang tahun yang ke dua puluh delapan. Ingin memeluknya. Ingin menggapainya. Tak ada bisikan yang bisa kusampaikan. Tak ada pesan yang bisa kukatakan. Pesan pesan ulang tahun untuknya hanya terucap lirih dalam lamunan duka yang dalam. Dalam kerinduan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya semasa dia masih ada.

Moko, anak bungsu yang sangat kami sayangi memang telah tiada lebih sepuluh tahun lalu. Saworo Tino Triatmo. Lahir 13 Juni 1980. Saya masih berada di Inggris ketika dia lahir. Tak sempat menunggu dan menyambut kelahirannya. Saya melihat dia pertama kali, setelah berumur enam bulan. Menjelang kelahirannya selalu saya menunggu surat dari Yogya. Sebuah penantian penuh harapan dan teka teki. Akhirnya berita itu datang beberapa hari sesudah kelahirannya. NYI mengirim pesan tilgram singkat bahwa bayi yang kami nantikan telah lahir laki2. Saya memberi nama depan Saworo. Berita, harapan dan cita cita.

Kami hanya diberi waktu oleh Sang Khalik, tujuhbelas tahun untuk bersamanya dan mendampinginya. Waktu yang begitu indah dan membahagiakan. Saya sangat mencintainya. Demikian pula ibunya. Dia sangat dekat dengan ibunya. Pengemudi yang tak bertanggungb jawab itu telah mengakhiri segalanya. Merenggut masa depan dia dan kebahagian kami selamanya.

Di setiap ulang tahunnya saya hanya bisa mengenangnya dan masa masa bahagia bersamanya. Dia anak yang selalu ceria. Dia juga sangat menekuni buku buku pelajarannya. Di kamarnya di depan jendela itu, saya selalu merindukan dia duduk belajar tekun. Saya tak sampai hati melihat kamar itu selalu kosong sesudah kepergiannya. Semuanya memang telah berlalu.

Saya masih ingat ulang tahun terakhirnya kami sempat makan malam bersama. Dia berubah agak pendiam oleh karena sibuk belajar mempersiapkan ujian akhir SMA.. Saya tak pernah membayangkan jika itu adalah ulang tahunnya yang terakhir. Beberapa bulan sebelum meninggal memang dia lebih banyak diam di kamar, belajar dan tak begitu banyak bersuara seperti biasanya.

Di setiap hari ulang tahunnya saya ingin menyapanya walau hanya lewat lamunan. Saya ingin mengenang kembali kebahagiaan bersamanya. Saya ingin menyapanya lewat rembulan. Semoga langit dan bintang mau menyampaikan pesan bahwa kami sangat mencintainya. Saya ingin memeluknya seperti sewaktu dia masih kanak kanak. Tetapi setiap waktu itu datang. Hanya kedukaan yang datang. Tak kuasa saya menahan kerinduan yang begitu menekan.Kenangan indah itu ternyata tak juga mau datang. Hanya duka dan kerinduan yang menekan.

Beberapa hari sebelum kecelakaan itu merenggut jiwanya, saya sempat bicara lewat telepon dri Nepal. Dia minta dibelikan sepatu dan minta diantar potong rambut. Saya katakan kalau 3 hari kemudian saya akan sampai di Yogya. Sewaktu saya datang dia telah terbujur dan pergi selamanya. Tak pernah sempat menemaninya, tak pernah sempat memenuhi permintaannya.

Kami selalu merindukan dan mencintainya. Di ulang tahunnya ini kami hanya ingin mengenangnya kembali, mengenang masa masa indah itu. Tetapi itupun ternyata tak mampu kami gapai. Hanya kerinduan yang dalam yang kami dapatkan. Kerinduan yang hampa. Semoga kerinduan dan kedukaan seperti ini bisa dihindari oleh keluarga keluarga yang berbahagia. Kehilangan anak yang kita cintai meninggalkan kesedihan yang tak akan ada habisnya. Sampai akhir perjalanan kita.

Selamat ulang tahun Moko. Bahagialah disana, suatu saat kita akan bertemu kembali. Terimalah untaian melati kesukaanmu. Kami sangat merindukanmu sayang.
Ah seandaninya saya bisa selalu menjumpaimu dan menyampaikan pesan di setiap ulang tahunmu.

Dari Bapak yang sangat menyayangimu

Ki Ageng Similikithi

Wednesday, June 11, 2008

Cipika cipiki dari masa ke masa

Kapan persisnya saya lupa. Kira kira di tahun tahun akhir lima puluhan. Presiden Uni Soviet waktu itu, Worosilov, datang berkunjung ke Indonesia. Jelas mendapat sambutan hangat dari Bung Karno. Dalam salah satu acara ramah tamah, sesuai dengan kebiasaan Rusia yang hangat, presiden Worosilov mencium pipi Bu Hartini sebagai ungkapan rasa persahabatan. Koran koran Indonesia ramai memberitakan. Saya membacanya di harian Suara Merdeka, "Presiden Worosilov mencium wanita tercantik di Indonesia". Macam macam komentar orang. Isteri pemimpin besar revolusi Indonesia dicium pimpinan tertinggi negara komunis yang tak mengakui Tuhan. Beberapa tokoh agama bahkan mengatakan musysrik, bersahabat dengan syaiton.

Alasan dan beda pendapat bisa macam macam. Kemungkinan juga hanya karena perbedaan budaya dan tidak terbiasa melihat salam dengan cium pipi. Di kala itu cium pipi belum lajim untuk mengungkapkan salam persahabatan. Di sebagian kalangan tradisional Jawa, ciuman pipi juga merupakan ungkapan cinta, erotisme dan seksualitas yang intens di masa lalu. Beda dengan kebiasaan cipika cipiki (cium pipi kiri dan cium pipi kanan) yang kita sering lihat dalam kehidupan masa kini yang kadang sudah jadi kebiasaan dan etika keseharian. Ungkapan keakraban dan persahabatan.

Tak tahu pasti sebab terjadinya pergeseran makna dan lokasi dari cium pipi ke bibir. Mungkin karena perubahan kebiasaan sosiokultural semata mata. Atau mungkin karena evolusi biologis perpindahan titik erotis dari pipi ke bibir ? Saat ini ciuman erotis cinta semua terpusat di bibir. Bisa saja merembet ke area lain, tetapi primer dari bibir. Masih adakah pasangan yang berciuman mesra dan erotis hanya dengan ciuman pipi yang bergelora? Yang jelas, tak ada pasangan yang mulai ciuman erotis mereka dari daerah lain, misalnya bokong. Hanya sapi sama kuda mungkin yang suka mulai ciuman dari bokong. Ini bukan analisis ilmiah sama sekali. Banyak ahli yang bisa mengungkapkan lebih pas. Hanya ungkapan kesan dan pendapat pribadi semata.

Ada kesenjangan dalam pengalaman pengamatan saya di masa adolesen dulu. Dalam film kadangkala terlihat ciuman erotis cinta lewat bibir. Tetapi dalam kehidupan nyata sehari hari sering melihat dan mendengar info selentingan tentang ciuman erotis di pipi. Banyak informasi saya peroleh dari tokoh tua panutan saya di masa kecil, yakni Wa Sura Jaeni dan para pekerja yang memelihara kebun dan sapi sapi ayah saya. Wa Sura Jaeni adalah orang tua di desa kami yang juga sering membantu ayah saya mengawasi para pekerja di kebun kopi. Pria duda umur sekitar tujuh puluh tahun. Gigi tinggal dua. Kebiasaan merokok klembak menyan. Suka cerita. Semangat masih menyala nyala. Termasuk cerita tentang ciuman erotis. Ciuman selalu di pipi. Menurut ceritanya, pipi yang halus seperti mangga podang yang ranum, adalah pipi impian. Para pekerja itu selalu saja berkelakar dengan Wa Sura Jaeni tentang pilus, pipi halus. Tak ada cerita tentang ciuman bibir. Beyond his imagination. " Siapa mau ciuman bibir. Mulut wanita suka ada susurnya". Susur adalah gumpalan tembakau yang sering di kulum di mulut sesudah makan sirih. Kebiasaan lumrah di kalangan wanita Jawa masa lalu.

Bukan hanya info dari Wa Sura Jaeni dan para pekerja kebun pria saja tentang masalah cium erotis pipi ini. Sewaktu disawah menunggu panen padi, seringkali mendengar gurauan wanita wanita pemetik padi. yang kadang nyrempet nyrempet masalah erotisme ciuman. Daerah kebanggaan untuk berciuman dan berkasih mesra adalah pipi bukan bibir. Sebagian besar memang berkebiasaan makan sirih dan mengulum tembakau susur. Kebiasaan yang biasa dijumpai, dengan aroma dan warna merah darah yang sangat khas. Kebiasaan ini meninggalkan pewarnaan gigi geligi yang memang tak sedap dipandang, apa lagi di cium. Sama sekali tak menambah kecantikan mulut atau bibir.

Pengalaman tak pernah terlupakan berkait dengan cium erotis pipi. Di tepi barat kebun kopi ayah saya di desa dibatasi jurang yang dalam dengan parit kecil di dasarnya. Ada satu sumur air yang menjadi tempat mandi beberapa keluarga tetangga seberang jurang. Di satu pagi waktu itu saya bersama Wa Sura Jaeni secara tak sengaja menyaksikan adegan ciuman erotis yang sangat intens. Pasangan prianya seorang tetangga, sopir andong, sudah berkeluarga. Pasangan wanita, juga tetangga yang bersuamikan seorang lelaki renta yang sakit sakitan. Dia adalah isteri muda sambungan karena isteri pertama sudah lama meninggal. Tak sengaja kami menyaksikan dari atas jurang adegan ciuman mereka sesudah mandi. Bukan ciuman bibir. Ciuman pipi yang bergelora. Saking intensnya, kaki sang lelaki naik (bhs Jawa, mlangkring), seperti jika seekor anjing sedang buang air kecil. Saya masih kelas tiga sekolah rakyat, hanya tertarik melihat adegan ciuman pipi yang begitu bergelora. Bukan cium bibir. Wa Jaeni sampai beberapa lama nggak bisa berdiri, hanya jongkok di balik rumpun bambu. Dia pakai celana komprang.

Cium pipi kiri, cium pipi kanan sekarang sudah lajim di mana mana. Ungkapan keakraban dan persahabatan dalam kehidupan sehari hari. Kadang kadang tidak cuma sekali, rangkap beberapa kali. Konon orang Etiopia jika ketemu teman selalu cipika cipiki rangkap paling tidak tiga kali. Dalam acara selebriti apa lagi, penuh aroma cipika cipiki, seolah jadi lambang pergaulan kotemporer. Baik dari kalangan bawah sampai presiden. Mantan presiden Habibi, biasanya yang dapat cipika cipiki malah tamu pria. Tamu wanita cukup salaman saja. Mungkin bisa masuk kategori diskriminasi cipika cipiki.

Ciuman bukan semata mata karena pengaruh faktor biologis. Banyak faktor kultural yang berperan. Konon di kalangan masyarakat yang masih asli dan terisolir kadang ciuman sama sekali tak berkaitan dengan erotisme dan seksualitas. Hanya ungkapan rasa sayang misalnya terhadap anak. Bahkan ada kelompok masyarakat yang belum banyak berinteraksi dengan budaya modern, tak mengenal kebiasaan ciuman sebagai ungkapan erotisme, dan seksualitas. Persentuhan budaya antar bangsa dan kelompok telah banyak berpengaruh terhadap kebiasaan berciuman. Banyak perbedaan dalam kebiasaan cium bibir cium pipi, dikalangan masyarakat dengan latar belakang budaya yang berbeda. Juga banyak perkembangan dalam kebiasaan cium mencium dari masa ke masa. Mana ada sekarang pembaca KOKI yang hanya mau cium pipi dalam bercinta? Mengapa di masa lalu orang lebih banyak suka ciuman erotis hanya dengan cium pipi. Bukan sekedar karena banyak wanita mengunyah sirih dan mengulum tembakau susur. Bukan sekedar karena belum banyak pasta gigi atau lipstick. Masalahnya jauh lebih rumit. Nggak gampang juga buat kita untuk tanya kakek sama nenek, apakah mereka dalam bercinta cium pipi atau bibir.

Dalam kehidupan pergaulan modern saat ini masyarakat umumnya sudah terbiasa menerima kebiasaan cium pipi sebagai ungkapan keakraban dan persahabatan. Bukan lagi ungkapan kemesraan, erotisme dan seksualitas. Tetapi jangan lupa bo, kalau cipika cipiki, kaum pria kakinya nggak usah mlangkring dinaikkan kayak dalam pertunjukan Srimulat, saru sih.

Salam cipika cipiki
Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, 9 Juni2008)

(http://community.kompas.com/read/artikel/360)

Thursday, June 5, 2008

Kenangan potong rambut

Semoga semua menikmati akhir pekan yang tenang dan mengasyikkan. Dalam kesibukan pekerjaan yang kadang begitu menghimpit, akhir pekan seolah seperti oase yang teduh. Di antara perjalanan yang meletihkan dari minggu ke minggu. Saya memanfaatkan Sabtu petang kemarin dengan potong rambut. Di salah satu barber shop di dekat tempat tinggal saya. Ruangannya sejuk dan tenang. Kurang lebih sejam, potong rambut, cuci kaki, pedicure, pijit kaki dan pijt kepala. Sambil mengantuk menikmati musik busanova yang mengalun lambat, membawa kenangan melayang ke masa lalu. Sudah hampir delapan tahun saya mengunjungi tempat ini secara berkala. Namun tidak kunjung ada obrolan pribadi yang intens. Hanya hubungan antara penjual dengan pelanggan semata. Dingin monoton. Demikian juga pelanggan pelanggan lain. Tak ada yang terlibat obrolan asyik dengan tukang cukur atau petugas lainnya.

Ingatan saya melayang ke masa silam. Kenangan peristiwa potong rambut. Terutama kenangan tentang sang pencukur. Kita semua pasti ingat obrolan obrolan tukang cukur di masa silam.Saya punya kesan mendalam beberapa tukang cukur saya di masa lalu. Sebagian dari mereka selalu suka ngobrol, bahkan sering membual. Tukang cukur yang saya kenal pertama lebih lima puluh tahun lalu di desa Ngampin Ambarawa. Sewaktu saya masih di bangku Sekolah Rakyat. Namanya pak Dulmuji. Saya nggak tahu persis nama lengkapnya. Dia satu satunya tukang cukur di desa kami waktu itu. Rumahnya diseberang jalan kira kira dua ratus meter dari rumah saya. Dibelakang rumahnya ada pancuran alami kali Rau. Saya selalu datang ke rumahnya bersama adik saya. Acara cukur di beranda rumah atau dibawah pohon mangga di halaman.

Dia pasti selalu banyak bicara saat mencukur. Apa saja bisa jadi bahan omongan ?"Makanannya apa kok rambutmu begitu kaku'? Rambut saya memang kaku dan selalu berdiri tegak waktu itu. Sedangkan rambut adik saya agak keriting. Tetapi saya merasa pertanyaan ini hanya sekedar excuse karena guntingnya atau alat trimmernya yang tumpul. Selalu saja saya merasa sedikit rasa sakit, karena dia berusaha menarik rambut yang tak terpotong gunting atau trimmer secara tuntas. Dan pada saat yang sama dia akan mengajukan pertanyaan tersebut. Yang lebih gawat kalau dia berusaha mempertajam pisau cukur atau guntingnya dengan olesan ludahnya. Merinding rasanya. Saya tak pernah mengeluh, hanya kadang merasa kaget saja. Sampai satu saat saya bertemu pakdhe saya. "Katanya Dulmuji, rambutmu susah dicukur karena kamu mbeling (nakal). Jangan sok mbeling, rambutnya jadi kaku". Batin saya mulai mempertanyakan etos tukang cukur pak Dulmuji. Membeberkan rahasia jabatan tukang cukur. Belum tentu juga anggapannya benar, bahwa rambut kaku menunjukkan sifat anak mbeling.

Saya tak banyak tergoda obrolan pak Dulmuji. Hanya menjadi pengisi waktu selama bercukur. Tak pernah masuk pikiran secara serius. Sebagian tak masuk akal. Hanya bualan semata. Tetapi ada rasa asyik mendengarnya. Yang paling saya ingat, dan paling tak masuk akal sewaktu dia cerita tentang Joko Tingkir. Ini legenda dari jaman kerajaan Demak. Joko Tingkir pemuda dusun asal desa Tingkir di hulu bengawan Solo. Dalam legenda dia dipercaya menaklukkkan buaya di bengawan Solo sewaktu menaiki rakit menuju Demak, untuk mengabdi Sultan Demak. Menurut cerita pak Dulmuji, sebenarnya Joko Tingkir itu dulunya tukang cukur di desanya. Karena keahliannya maka dia kemudian dipanggil ke Demak untuk jadi tukang cukur Sultan Demak. Bah tak masuk akal tetapi saya diam saja.

Saya dengarkan dan nikmati bualannya. Menurut sejarah, Joko Tingkir memang pernah jadi kepala pasukan pengawal raja di keraton Demak. Kemudian akhirnya menjadi sultan Demak dengan gelar Sultan Hadiwidjojo, jika nggak salah. Mungkin ada pembaca yang bisa cerita lebih rinci. Tetapi Joko Tingkir tak pernah tercatat dalam sejarah sebagai tukang cukur istana Demak. Sewaktu saya tanyakan ke guru saya mengenai ini, guru saya pak Rahmat malah naik pitam. "Kamu ini murid saya atau mau jadi muridnya Dulmuji tukang cukur itu ?'. Saya menjadi tertawaan teman sekelas. Habis itu saya tak pernah berani lagi mengungkit cerita Joko Tingkir jadi tukang cukur versi Dulmuji.

Saya pernah mencoba alternatif ke tukang cukur di dusun sebelah, di desa Sumber. Ada tukang cukur yang buka warung cukur di tepi jalan raya Ambarawa Magelang. Jaraknya kira kira satu kilometer dari rumah saya. Namanya lupa, jika nggak salah Hardjo Budheg, karena memang kurang pendengaran. Orangnya pendiam, tetapi kalau bicara setengah berteriak. Mungkin karena kurang pendengaran. Hanya sekali saya ke sana waktu itu. Saya enggan datang kembali karena dia juga menerima mencukur anak anak yang menderita boroken di kepala. Boroken adalah infeksi kulit kepala karena sejenis parasit kulit. Sekarang mungkin penyakit ini sudah nggak ada lagi. Gunting dan pisau cukurnya jadi bau amis nggak enak sekalipun sudah dibersihkan. Pak Dulmuji selalu menolak mencukur anak dengan kepala boroken. Katanya biar dicukur bapaknya sendiri, karena menurutnya boroken adalah penyakit anak yang ditelantarkan orang tuanya.

Sewaktu SMP, kadang kadang saya cukur di pak Dulmuji, kadang2 juga cukur di Ambarawa. Nama tempat cukurnya di Ambarawa, Coiffeur Fatchoor, di jalan Ambarawa Banyubiru. Nama pencukurnya pak Fatchoor. Orangnya sangat kalem. Bicaranya menunjukkan dia berpengetahuan luas karena banyak baca. Tutur sapanya halus dan sopan. Ayah saya selalu bercukur ke sana. Jika sedang cukur mereka asyik bicara, kadang2 dengan ungkapan bahasa Belanda. Hanya kadang2 saya bercukur ke sana. Rambut saya sudah tak lagi berdiri tegak. Bisa disisir halus, apalagi kalau dengan pomade merk Yaparco. Gambar foto saya sewaktu SMP dengan rambut jambul masih ada sampai sekarang.. Putra putra pak Fatchoor seumur dengan saya dan adik2 saya. Beberapa tahun kemudian ketika saya duduk di bangku kuliah, saya mendengar berita sedih akan bencana tragis keluarga yang menimpa putra pak Fatchoor. Saya tak bisa menceritakannya di sini.

Sewaktu SMA di Solo, saya tak punya cerita khusus tentang potong rambut dan tukang cukur. Saya sering cukur di sekitar lapangan Manahan atau di Sambeng. Saya nggak tahu kenapa nggak ada kenangan yang membekas. Demikian juga sewaktu kuliah di Yogya, saya berganti ganti tempat potong rambut. Kadang2 juga dicukur teman kost. Kenangan khusus potong rambut di Yogya, saya dapat sewaktu sudah berkeluarga dan bertugas sebagai dosen. Saya dan anak anak sering potong rambut di sebelah utara perempatan Sayidan sebelum hotel Melia Purosani sekarang. Saya lupa nama tukang cukur langganan saya. Orangnya juga suka cerita, suka ngobrol. Sewaktu dia tahu saya dosen di UGM, dengan sigap dia cerita, kalau sebagian besar langganannya juga dosen UGM. "Saya sudah memegang kepala banyak dosen UGM jika mereka sedang cukur". Menurutnya, kekuatan seorang tukang cukur, karena dia punya hak legitimate memegang kepala orang banyak. Ini suatu lambang otoritas yang perlu dibanggakan. Jika NYI ikut mengantar cukur, kadang dia kemudian komentar. "Pak tukang cukur itu pantas jadi kakakmu, bilang apa saja kok Ki manut sekali". Bukannya manut, tetapi apa gunanya mendebat obrolan atau bualan seseorang. Biarkan dia bangga dengan bualan bualannya. Asal nggak merugikan saya. Mungkin yang paling nggak mengenakkan NYI, sewaktu dia bilang dengan bangganya . "Jelek jelek tukang cukur gini, saya punya dua isteri. Yang satu di Bandung, satu di Yogya. Semuanya OK OK saja".

Apapun ceritanya, saya selalu mengingat kenangan dengan tukang cukur saya di masa lalu. Ditahun tahun akhir akhir ini, profesi tukang cukur di kota kota besar banyak diambil alih oleh salon. Biasanya dengan petugas potong rambut biasanya wanita (kapster?)i. Bau wangi selalu semerbak menawan. Tetapi saya kehilangan orbolan dan bualan bualan yang mengasyikkan, seperti saat saat potong rambut di masa lalu. Walau potong rambut di salon, mungkin saja bisa menjadi sumber ngrumpi dan desas desus, dengan wewangian semerbak. Tetapi saya merasa masanya sudah berlalu bagi saya..

Salam hangat dan selamat menjalani minggu anda yang sibuk.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber 26 Mei 2008)