Wednesday, September 24, 2008

Ungkapan cinta dari masa ke masa

Menjelang akhir tahun 1975. Kami seangkatan hampir lulus dokter. Beberapa teman sudah mengikat resmi pasangan masing masing. Ada yang sekedar bertunangan. Ada yang langsung kawin. Semua sadar jika lulus nanti akan tugas INPRES. Umumnya di daerah terpencil. Mungkin susah cari pasangan hidup. Pilihan lebih terbatas. Paling tidak di Yogya, bursa pasangan hidup lebih marak. Bursa lewat pilihan pendengar RRI atau radio swasta. Juga dari pada kawin paksa oleh HANSIP, lebih baik cepat cepat resmi. Ada berita simpang siur, seorang dokter baru beberapa angkatan di atas saya, dipaksa kawin karena sering kemalaman apel di daerah pulau terpencil. Tetapi untung dia memang cinta kepayang sama si gadis. Anak kepala suku lagi. Jauh lebih cantik dari target idaman semasa mahasiswa. Di Yogya selalu kalah bersaing dengan para karbol, yang kalau apel gadis idaman pasti lebih gagah, pakai seragam resmi. Teman tadi mau ngajak gadis manis, putrinya penjual bakmi di Mangkubumen, nonton Sekaten pun nggak pernah kesampaian. Nggak pernah kesampaian mau jadi menantunya priyayi Yogya.

Status hubungan saya dan NYI sudah dalam tahap serius. Pacar tetap. Belum sampai ke orang tua secara resmi. Masih sabar. Gunung lari tak perlu dikejar. Petang hari saya sering kumpul di tempat pondokan teman teman. Hanya ngobrol. Toh nanti tak akan sempat lagi, jika sudah lulus. Berpencar masing masing ke segala penjuru tanah air. Saya sedang bertamu ke salah satu pondokan teman, Tono, di Mangkubumen. Dia cerita kalau salah satu teman kami, Toro, baru patah hati. Toro asli Yogya, rumahnya di ujung jalan di Mangkubumen. Tono asal Boyolali ke Timur Laut 20 km.. Orangnya pendiam, tapi kalau ngomong ceplas ceplos, seenaknya. Seperti hari hari sebelumnya, jam 0730 Toro datang. Kami ngobrol ramai. Dia nampak agak diam nggak seperti biasanya. Tono sama Toro terlibat pembicaraan asyik. Sementara saya mendengar dagelan Mataram dari RRI sambil tiduran.

"Piye Ro, sida patah hati?" .
"Bukan masalah patah hati Bung. Ini masalah kehormatan. Sudah saya kenalkan orang tua, tahunya malah mau tunangan sama orang lain".
" Siapa lakinya. Bicara saja empat mata. Sama sama jantan ?"
" Anak teknik, sudah hampir lulus"
"Saingan sama insinyur kok ngacir sampeyan Ro. Ceritanya gimana sih? Sudah ada janji sehidup semati belum sama sampeyan ? Sudah resmi mengatakan cinta ?'
"Ngomong resmi sih belum. Tapi kami selalu saling meremas jari tangan dengan mesra jika duduk berdua".
"Saling remas jari tangan bukan pernyataan cinta Bung. Copet di Malioboro juga latihan meremas jari tangan 3 bulan penuh. Sudah kamu sosor (cium)?
" Ciuman enggak berani sebelum resmi tunangan. Ya kadang kadang kalau berdampingan, napas memburu, deg degan. Hanya hembusan napas menerpa wajah wajah kami".
" Wuah cilaka. Hanya kambing bandot kalau berahi, ngambus ambus ( hembus hembusan). Itupun biasanya hanya di pantat. Homo sapiens tak begitu".

Dalam hati saya tertawa dengar komentar Tono. Orangnya angin anginan, senaknya. Suka berteori kalau di kelas, sampai dikenal sebagai teorator. Sudah punya pacar tetap mahasiswi IKIP. Bangga sekali dia cerita bagaimana menaklukkan pacarnya. Walaupun awalnya diacuhin, dia nggak peduli. Tempel terus asal muka sedikit tebal katanya. Wanita pasti mengalah akhirnya. Sebaliknya Toro, asli Yogya, keturunan ningrat. Selalu disiplin dengan tata cara. Tidak grusa grusu. Semua juga terencana. Termasuk acara ngapelin gadis dan berciuman.

Ungkapan cinta memang sangat beragam dari orang ke orang. Dari generasi ke generasi. Dari waktu ke waktu. Juga berbeda dalam berbagai kultur. Setiap orang punya cara berbeda untuk mengungkap rasa cintanya. Di masa sekarang media komunikasi sudah sangat beragam. Orang bisa mengungkapkan rasa cinta lewat pesan singkat, lewat tilpon atau cara cara lain lewat dunia maya. Di masa lalu di mana alternatif media komunikasi masih terbatas, mungkin pilihannya hanya dua, secara langsung tatap muka dengan ungkapan kata cinta, atau secara tak langsung lewat surat.

Di masa lalu, keindahan untaian kata dalam surat dipakai sebagai cara mengungkapkan gelora asmara seseorang. Ingat kan surat surat cinta Bung Karno ? Juga surat surat dalam cerita roman Siti Nurbaya. Kadang orang bahkan sedikit bercanda mengatakan cara cinta jaman Siti Nurbaya, jika mengomentari orang bercinta dengan cara klasik. Di tahun enam puluhan, entah karena imbas dari gerakan kebebasan anak2 muda di Barat, nampak dengan munculnya generasi hippie dan musik rock , banyak terjadi perubahan besar dalam tata cara mengungkapkan rasa cinta. Tak lagi bertele dengan berbagai ungkapan ritual dan formalitas. Semua serba gampang. Katakan apa adanya kalau anda cinta. Pelukan dan ciuman cinta tak lagi dianggap tabu. Kalau perlu dimuka umum. Jika tabu di muka umum, sembunyi di kebun tebu. Dimana saja kapan saja. Asal sama sama cinta, sama sama suka, sama sama mau. Salah satu tetangga saya sukanya pacaran di kebun tebu. Kebetulan ayahnya seorang sinder tebu. Aman nggak ada yang berani ngintip, apalagi nggropyok.

Di tahun tujuh puluhan tata cara cinta atau pacaran relatif gampang. Tak banyak bicara bertele tele. Langsung to the point. Kalau sudah sama sama suka langsung cium. Istilah popnya waktu itu langsung 'cepok' atau 'sosor". Ungkapan kata baik langsung atau lewat surat diurus belakangan. Kadang kadang berbulan bulan pacaran pun belum tentu keluar proklamasi cinta. Kata kata cinta akan muncul kemudian dengan sendirinya. Dengan EN, yang pernah saya ceritakan di bawah keremangan pohon jambu, belum pernah bertukar kata kata cinta.. Walaupun hubungan dalam intensitas tinggi, dalam keremangan lampu listrik 110 volt.. Dengan EMS intensitas psikologis asmara juga sangat tinggi. Penuh dengan puisi puisi cinta yang begitu romantis. Tetapi belum pernah berpikir atau bicara akan sehidup semati. Terlalu bertele dan masih jauh. Nggak perlu bicara sehidup semati. Bisa memperpendek umur. Jalan masih panjang. Yang penting action dari pada janji dan kata kata. Namun toh ketika kesempatan datang, ketika pintu terbuka lebar di antara desah suara napas yang memburu, saya tak berani berbuat lebih lanjut. Mungkin dipikir pengecut. Tetapi ya memang saya merasa belum mantap. Belum mantap terikat sehidup semati. Hanya kemudian sering teringat, kok kesempatan nggak datang kedua kali. Kok tarikan tangan yang mesra memburu itu tak datang lagi ya?

Sampai beberapa bulan sebelum nikah, saya belum pernah memberitahu orang tua mengenai hubungan saya dengan pacar terakhir NYI. Ibu saya selalu bertanya, apakah saya sudah punya calon ? Mengapa nggak pernah dikenalkan orang tua dan diajak ke Ambarawa? Hubungan saya dengan NYI sudah dalam tahap sangat mantap, dan dalam hati saya berjanji akan mendampinginya seumur hidup. Tetapi untuk menyampaikan ke orang tua kok enggan. Bukan apa apa, bukan karena saya enggak mantap sama dia. Tetapi belum punya pegangan hidup kok sudah memproklamirkan ke orang tua. Ibu saya ketemu dengan NYI secara tak sengaja di rumah sakit sewaktu NYI menengok adik saya di rawat di RS Pugeran. Ibu saya langsung bilang ke saya " Apakah ada hubungan istimewa antara kamu sama gadis itu?. Pandangannya nggak biasa. Jika jadi isterimu,dia pasti sangat menyayangimu". Saya masih belum memastikan, sampai adik saya bilang kalau kami memang sudah lama pacaran. " Ajaklah ke Ambarawa, kenalkan sama bapak ibumu". Gimana mau ngajak pulang, saya sendiri belum memperkenalkan diri secara resmi ke orang tuanya ?

Ungkapan cinta secara verbal lebih sering kami lakukan setelah kawin. Setelah anak anak lahir . Juga setelah anak anak dewasa sampai sekarang. Ketika anak anak kami mulai pacaran, baru beberapa bulan kenal sama pacarnya ( sekarang isterinya), saya terheran heran kok mereka antusias memberi tahu ibunya (NYI) dan mau memperkenalkannya ke kami cepat cepat. "Baru berapa bulan kenal, ngapain dikenalkan orang tua? Apa sudah pasti dan mantap ?". NYI yang kemudian membelan " Jaman sudah berubah. Jangan kayak kita, main belakang bertahun tahun". Kadang saya berpikir, mungkin juga benar dia. Dulu bapak ibu saya almarhum mungkin selalu bertanya tanya, dengan siapa saya berhubungan, walau nggak pernah diungkapkan terang terangan. Bagi saya, hanya jika benar benar mantap, baru diperkenalkan ke orang tua. 

Anak muda. Jika anda sudah mantap mengapa ragu ragu bertindak ? Tak usah menunggu kata kata indah tentang cinta. Tak semua mampu mengungkapkan. Bahasa cinta tak sekedar dari kata kata. Bulan pakai payung

Salam damai. Salam untuk Kokiers yang sedang dirundung cinta.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat dalam Kolom Kita KOmpas Cyber Community 22 September 2008)

http://community.kompas.com/read/artikel/1270

4 comments:

paromo suko said...

jaman roro mendut malah lebih seru:
sedot-sedotan uthis (rokok bekas disedhot nyi roro)

Ki Ageng Similikithi said...

Wah nek niku kok pasemon to Romo. Sing dikarepke kok kula wastani sanes uthis. Ning sing dimaksud mbokmenawi kemawon udut tenanan

Indro Saswanto said...

Nyi roro mendut
Romo begawan udut
Ki Ageng ngen....delong.
Sorry Ki Lahir bathin

Ki Ageng Similikithi said...

Nek udut rokok tenan samangke sampun masuk kampanye anti rokok WHO Convention on Tobacco Free. Nek Roro Mendut kok kula wastani mung sanepa ta ya?