Tuesday, August 19, 2008

Aaaaaaaah Sang Dukun

Napasnya berdesah. Dada terasa sesak. Jantung berdebar keras. Pikirannya galau. Sumi tak mampu berpikir jernih. Seumur hidup baru kali ini berdua dengan pria selain Herman suaminya. Berdua sendirian di kamar hotel. Dengan dukun yang sangat dipercayainya. Hatinya di persimpangan jalan. Sementara tatapan mata sang dukun begitu tajam menatapnya. Menembus sanubari, menawarkan keindahan dan kemesraan yang telah lama hilang dari dunianya. Dunia bersama suaminya Herman. " Tak perlu takut Jeng. Pertama kali biasanya merasa takut. Tak apa apa. Ini demi kebahagiaan dan masa depanmu". Sang dukun memegang lembut jari jari tangannya. "Ya demi kebahagiaan saya. Demi keutuhan rumah tangga. Bukan petualangan. Bukan perselingkuhan.". Sumi mencoba mencari kebenaran. Bayangan Herman yang dia cintai mampir sesaat. "Tak akan saya lepaskan dia. Saya mencintainya. Biar perempuan itu merana karenanya. Demi dia saya lakukan ini semua". Namun tak sanggup dia keluar dari impian baur. Antara rasa dosa, takut dan kenikmatan yang memikat.

Sumi dan Herman telah tujuh tahun mengarungi perkawinan. Penuh kebahagiaan mulanya, apa lagi mereka telah dikaruniai dua putrid mungil, Mira 6 tahun dan Tita 4 tahun. Mereka berkenalan di kampus semasa kuliah. Umur mereka hanya terpaut dua tahun. Beda jurusan walau masih satu kampus. Begitu Sumi lulus, mereka langsung mengikat tali perkawinan. Sangat membahagiakan. Herman bekerja di salah satu perusahaan besar di bagian pemasaran. Sedang Sumi memilih karier impiannya sejak muda, menjadi guru. Perjalanan karier mereka lancar, ekonomi stabil untuk ukuran keluarga muda. Sayang perjalanan hidup tak seperti yang selalu yang di inginkan. Seiring dengan meningkatnya karier dan kesejahteraan, prahara rumah tangga perlahan datang tanpa disadari. Herman begitu sibuk dengan kegiatan perusahaan yang berkembang pesat. Sementara Sumi juga sering sibuk sebagai seorang guru yang sedang menanjak bintangnya. Entah yang namanya lokakarya, semiloka, penataran, pelatihan, lomba guru teladan, sebutlah apa saja nggak ada yang ketinggalan. Tak ada masalah, karena ada pembantu yang mengurus Mira sama Tita. Jika Sumi dan Herman sering harus menginap di luar kota, sendiri sendiri tentunya, maka anak anak bisa ke rumah neneknya yang tinggal dekat dengan mereka.

Tak terasa kesibukan masing masing telah menjauhkan jarak di antara mereka. Hanya kecintaan dan kedekatan mereka dengan kedua anaknya yang masih membimbimg mereka untuk tetap hidup bersama. Kadang Sumi terpikir dan merindukan masa masa indah yang pernah dia nikmati bersama dulu. Tetapi gengsi dan malu untuk mengutarakannya. Hanya kebisuan yang meyeret mereka terpisah dalam dunia masing masing. Bulan bulan terakhir Herman mulai jarang pulang ke rumah. Sumi juga tak peduli. "Toh saya bisa berdiri sendiri". Akhirnya seorang teman akrabnya semasa kuliah, Tini, mengingatkannya. " Ada wanita idaman lain. Apakah akan kaubiarkan suamimu terbuai dalam pelukan perempuan lain? Pertahankan dia, jika kau mencintainya. Dia milikmu". Sumi tersadar dari kebisuan. Dia berketetatpan akan mendapatkan kembali kemesraan miliknya. Bukan untuk wanita jalang itu.

Lewat Tini dia berkenalan dengan tokoh spiritual ternama itu. Para selebritis dan anggota DPR konon banyak tergarap oleh tangan dingin dan sesaji sang tokoh. Mana yang keserimpet penyalahgunaan dana APBN, entah yang pengin naik pangkat, entah yang ditinggal pergi kekasih, entah yang mempertahankan jatidiri sebagai pria metropolitan masa kini dan lain sebagainya. Sudah beberapa kali dia konsultasi dengan sang dukun. Namanya terkenal Ki Demang Genthalogedhi. Nama aslinya dulu Satimin. Biasanya ketemu di tempat praktek di Jakarta Selatan. Sumi sangat percaya kemampuan spiritual Ki Demang. Tatapan matanya begitu sejuk dan dalam. Seolah membelah apa yang ada dalam sanubari. Semua nasehat ki Demang sudah dijalani. Puasa mutih tujuh hari tujuh malam. Menyembelih sepasang ayam putih. Telanjang dan kungkum air dingin tengah malam. Hanya satu yang belum terjalani. Berbicara langsung dengan Sang Danyang yang menguasai hal ihwal cinta antar manusia. Harus dilakukan tengah malam di atas bukit yang tinggi. Agar dekat dengan kayangan para Danyang. Ki Demang akan menjadi penghubung spiritualnya. Dalam bahasa Jawa, prewangan. Bahasa kotemporernya mediator spiritual.

Malam Selasa Kiwon itu mereka berencana lelaku di puncak gunung. Selasa Kliwon atau Anggoro Kasih, malam yang tepat untuk menyepi atau mereguk cinta. Berdua naik mobil dengan Ki Demang menelusuri jalan jalan kecil di lereng bukit. Baru setengah perjalanan tiba hujan deras bercampur petir. "Jeng ini alamat tidak baik untuk lelaku. Kita cari saja tempat aman. Nggak perlu dibawah langit terbuka". Sumi diam saja, tak menolak, tak mengiyakan. Apapun kata Ki Demang, itulah yang paling bijak. Apalagi kalau bicara didahului dengan batuk batuk kecil. Eeeeeem. Mereka akhirnya menginap di salah satu hotel melati di sekitar tempat peristirahatan. Kebetulan juga sedang sepi. Tempat peristirahatan tidak menjadi halangan untuk lelaku atau nyepi. Ini jaman modern, lelaku atau nyepi nggak harus ditempat sepi. Di keramaian pun, bahkan di karaoke, bisa saja nyepi. Yang penting niatnya. Mau nyepi sambil karaoke.

Tengah malam Ki Demang member isyarat untuk datang ke kamarnya. Ada sedikit uopacara yang harus dilakukan sebelum wawancara dengan Sang Danyang lewat mediasi Ki Demang. Bau kemeyan menebar suasana mistis dan sedikit membuat Sumi agak pusing. Dia mantap melihat Ki Demang mulai membaca mantera mantera tentang cinta. Napas mereka berdua terdengar teratur berdesah. Sesuai dengan nasehat Ki Demang, Sumi hanya memakai kain sebatas dada (kembenan).

Tiba tiba saja Ki Demang bicara dengan suara beda. "Cucuku anakmas Timin, tanpa pertanda apa apa, kenapa sampeyan datang disaat prahara begini?".
"Nama saya bukan Timin eyang. Saya ini Ki Demang Genthalogedhi". Ki Demang menyahut dengan suara asli. " Saya mengantar Jeng Sumi. Mohon berkah Eyang. Masalah rumah tangga".
" Cucuku dulu sampeyan kan hanya si gembala sapi. Karena lelaku tapabrata kau dapat wahyu. Wahyu untuk membahagiakan banyak orang. Terutama wanita. Bawa kemari Sumi".
" Cucuku cah ayu. Mari dekat ke sini". Saya tahu apa masalahmu. Jangan kecil hati. Semua akan teratasi". Ki Demang bersuara aneh, agak celat.
Walau berdebar takut, Sumi mantap mencermati nasehat Sang Danyang. Kebekuan terasa hangat mengalir. Hatinya berdesir desir seolah melayang di awang awing.
"Turuti semua nasehat dan petunjukku cah ayu. Tidak apa apa. Bukan dosa, bukan apa apa. Ini adalah pengorbanan demi kebahagiaan dan masa depanmu". Tangan Ki Demang yang sedang kerasukan Sang Danyang, dengan halus terus meremas jari jari dan meraba raba bagian bagian tubuhnya. Sumi pasrah. Bercampur rasa berkorban, pasrah dan kenikmatan. Sementara Ki Demang Genthalogedhi, begitu lembut menari nari di dalam kawah wanitanya. Menuntunnya melayang di awang awang. Gerak gerak lembut yang tak pernah dirasakannya. Menghantarnya ke kepuasan tak terhingga.

Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Sumi tetap rajin konsultasi spiritual dengan Ki Demang. Herman juga tetap sibuk dengan dunianya. Hanya bedanya Sumi merasakan kehangatan tak terhingga. Kegiatannya dengan Ki Demang, tak hanya untuk lelaku atau nyepi. Tak perlu lagi lewat mediasi. Sang Danyang. Mereka sudah sama sama tahu. Tak perlu mediasi danyang siapapun. Asyiik booo. Toh Ki Demang juga manusia biasa. Jamane jaman edan.

Salam kasih dan damai. Jangan percaya mulut manis, magis, mistis semata mata.

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community. 19 Agustus 2008

(http://community.kompas.com/read/artikel/978)

2 comments:

paromo suko said...

ki ....... (bisik-bisik)
njenengan ini nggambar apa motret, to?
di sebelah saya ada yang mbaca sambil tahan nafas, jeee

Ki Ageng Similikithi said...

wah matur nuwun kanjeng. kula mung ngudoroso lho. wong selebriti ayu2 kok sabane nang dukun. marahi pikiran tiyang sepuh kados kulo