Saturday, November 22, 2008

John Travolta (Grease, 1978)


John Travolta adalah lambang budaya kotemporer antara tahun tujuh puluhan dan delapan puluhan. Kharismanya dalam dunia musik dan film menggema di kalangan anak muda di seantero jagad. Saya tak banyak mengikuti gegap gempita musik John Travolta waktu itu. Hanya suatu saat di tahun 1977, dalam acara TV, Bambang Gentholet dari grup Srimulat bergaya seperti John Travolta. Ditanya lawan mainnya waktu itu "Bagaimana kabar di luar negeri mas John Travolta?". Jawabannya kocak " Wah kabarnya rame. Rame rame potong padi". Sesudah itu tak banyak terpapar dengan musik atau film film John Travolta. Terlalu "agitating" buat saya yang menggemari musik musik lembut.
Dua minggu lalu ada kejutan tak terduga. Terkena undian mewakili Divisi kami untuk ikut dalam perlombaan video klip dengan tema musik tahun tujuh puluhan. Dalam rangka acara tutup tahun. Saya harus memperagakan, gaya dan tarian John Travolta dalam film Grease, bersama Olivia Newton Jone. Edan kalau suruh yang lain seperti Rock n Roll, masih lumayan paham. Boss saya dapat pilihan Saturday Night Fever. Dia menunjukkan kualitasnya generasi muda tahun tujuh puluhan. Saya terpaksa harus melihat videonya berulang kali.

Pasangan main kami memang ukuran besar pembom B29 and B25. Saya beratnya 90 kg, dia beratnya hampir 70 kg. Rambut putih saya harus di spray supaya bisa berdiri kaku. Pakai jaket kulit dengan kerah berdiri. Hanya berlangsung beberapa menit. Saya mulai dengan teriak "Sandy". Nggak hapal terusnya. Termasuk copot jaket, putar putar sebentar lalu dilempar ke udara. Kemudian bersama Olivia B25, memperagakan gerakan gerakan pasangan John Travolta dan Olivia Newton Jone asli.
Entah ini perlombaan yang ke berapa kalinya. Beberapa tahun lalu saya sempat ikut menari Asereje. Pertandingan antar delegasi dalam pertemuan antar Menteri Kesehatan di Asia Pasifik Barat. Gegap gempita. Lumayan menang. Setelah tak banyak ikut acara acara ginian, kecuali ball room pribadi. Sayang staf muda kebanyakan nggak berminat acara acara beginian. Orang2 yang menjelang pension seperti saya pun masih harus ikut berlomba. Sekedar ikut meramaikan. Tut Wuri Handayani bo.

Semalam sama NYI nonton pergelaran musik ABBA. Sebagian besar penonton umur setengah baya. Selama pertunjukan mereka semuanya terbawa asyik menari bersama musik ABBA. Termasuk NYI. Saya hanya diam terpukau dengan lagu2nya yang dinamis dan mengentak. The Dancing Queen, Fernando, Super Trouper, Mama Mia dll. Suasana begitu tertib, asyik dan enak dinikmati. Agak beda dengan suasana nonton bioskop di gedung bioskop Garuda atau Madjoe di Ambarawa tahun enampuluhan. Saya mesti sangu oncor dari batang bambu waktu itu. Selain untuk obor kalau pulang, juga untuk alat pertahanan diri jika rebutan kursi, walau karcisnya telah ada nomer kursi masing masing. Jika lampu mulai mati waktu itu (pertanda film akan mulai), riuh sorak sorai penonton, suit suit. Kadang ada yang nglempar sarung ke udara. Terutama penonton di kelas 3 yang selalu riuh. Makanya kelas ini sering dikatakan kelas kambing, karena sepanjang pertunjukan film selalu ramai bersuara.

Musik dan gerakan tari adalah irama jiwa. Sekedar ingin lepas dari beban masalah sehari hari. Irama jiwa mejelang perjalanan menuju ke ufuk Barat.
Ki Ageng Similikithi