Wednesday, July 4, 2007

Sumber air yang menyusut

Minggu ini saya cuti. Ada keponakan yang nikah di Ambarawa. Pesta pernikahan di kebun rumah tua peninggalan orang tua. Kami bersaudara sepakat agar pesta nikahnya dilangsungkan di tempat itu. Sekalian nostalgia, oleh karena kami bersaudara semua sudah meninggalkannya puluhan tahun lalu. Sepuluh tahun lalu ada teman yang meminjam menggunakan rumah tua itu untuk pesta nikah. Kelihatan khas, dekat dengan alam.

Selain menghadiri pesta nikah itu saya punya tiga agenda tambahan. Pertama, nyekar makam anak saya Moko. Kedua, melihat sumber sumber air di sekitar desa kami, Ngampin. Ketiga, merekam riwayat hidup dan kejadian gugurnya adik sepupu saya, Kresno di tahun 1945, dalam pertempuran melawan pasukan Sekutu di Bedono. Kalau mungkin mengunjungi makamnya. Seumur hidup saya belum pernah mengunjungi makamnya. Kisah tragisnya akan saya tulis untuk kenangan generasi muda dalam web keluarga besar kami (http://djojosastro.info/). Saya pun nggak pernah tahu peristiwa itu kejadiannya sebelum saya lahir.

Sewaktu saya masih kecil, saya ingat betul, banyak sumber air di sekitar desa kami. Sumber air Kali Guwo, Kali Gayam, Kali Soca, Penggung, sumber sumber di Seneng dan Glagahombo (http://djojosastro.info/_kisah.php?parameter=3&id=12). Ini belum termasuk sumber sumber air yang dimanfaatkan oleh beberapa kelompok keluarga. Hampir di setiap dusun ada beberapa sumber air alam dengan tempat pemandian umumnya.

Keluarga kami mengalirkan air dari Kali Guwo, kira kira satu kilometer dari bukit di belakang kebun kami. Namun tetap saja saya sering mengunjungi dan memanfaatkan pemandian umum tersebut, terutama Kali Gayam. Ada kenangan tersendiri menggunakan pemandian umum tersebut. Tempat pemandian umum kadang berfungsi sebagai tempat ngrumpi. Siapa yang berbadan bersih, siapa yang bertubuh bahenol. Banyak kisah menarik yang akan saya ceritakan di lain kesempatan sekitar pemandian umum.

Ciri khas situasi sumber air adalah adanya pohon besar dan rindang, entah pohon gayam atau pohon beringin. Mungkin karena akar pohon pohon ini mempunyai kemampuan untuk menahan air. Sehingga tempat tempat sumber air dan pemandian umum ini selalu menarik untuk kumpul terutama di sore hari.

Saya juga ingat betul rumah kakek saya di desa Kalijambe, Bringin, ada pemandian umum di mana sumber airnya dialirkan dari bukit dimuka rumah kakek. Setiap sore pasti ramai di sudut kebun kakek yang luas itu oleh karena para tetangga yang antre mandi. Karena sempitnya waktu, saat ini saya hanya sempat mengunjungi sumber air dan pemandian umum Kali Soca, Kali Gayam dan Kali Guwo.

Pohon pohon rindang di kali Soca sudah nggak terlihat. Katanya sudah lama mati dan nggak pernah ditanami lagi. Sumber air dan pemandian umumnya terawat bagus. Ada semacam usaha kolektif untuk memelihara sumber air dan pemandian ini. Debit air bagus. Saya tak tahu berapa pastinya, tetapi penduduk tak merasakan adanya penyusutan air dalam tahun tahun terakhir. Banyak kolam ikan di sekitar sumber air.Kurang lebih seratus lima puluh meter dari sumber air Kali Soca ada sumber air lain, lebih kecil, Kali Soca Lanang. Namun pohon pohon besar di sekitar Kali Soca sudah tergantikan oleh pemukiman penduduk.

Pemandian umum Kali Gayam di mana saya dulu sering mandi, sudah tidak ada lagi. Saya telusuri sumbernya kira kira dua ratus meter dari bekas pemandian itu. Masih terlihat dua pohon beringin dan pohon gayam. Tetapi sumber airnya sudah sangat menyusut. Airya tak melimpah ruah seperti dulu. Juga kerindangan pohon pohon itu sudah tak seperti dulu. Pohon besar yang dulu ada sudah tergantikan dengan pohon2 baru yang masih kecil. Menyedihkan. The drying water.

Di bawah sumber air ini dulu ada kolam alam yang dalam dan mengalirkan air ke bawah lewat sungai kecil di tepi desa. Kolam alam (blumbang) itu dulu nampak sangat angker. Walaupun kami kadang2 mandi berenang di bagian hulu sungai itu, tetapi tak ada yang berani mandi di kolam itu. Saya masih ingat ada dua kali, gadis bunuh diri terjun ke kolam angker itu. Kolam angker itu sekarang nampak sangat merana. Aliran airnya tak bergemuruh lagi, hanya gemericik lirih dalam kesunyian.

Demikian pula sumber air Kali Guwo nggak seperti dulu lagi. Hutan di sekitarnya sudah banyak tergunduli. Pohon pohon tua sudah tak kelihatan lagi, digantikan dengan jenis pohon produksi seperti albasia. Dasar sungai yang berupa batu hitam nampak jelas, hanya rembesan rembesan kecil air yang mengalir ke bawah. Aliran air bersih di sungai itu sangat deras waktu itu. Suara air yang gemuruh menuruni bukit itu tak terdengar lagi. Air menghilang. Di bagian lain, dasar sungai kering merana.

Sepupu saya mengatakan bahwa di desa kelahirannya, desa Candi di Ungaran, ada sumber air besar di bawah naungan pohon pohon beringin besar. Sumber air itu juga dimanfaatkan untuk sumber air leiding bagi penduduk kota di dekatnya. Sayangnya pemanfaatan dalam skala produksi ini tak dibarengi dengan konservasi memadai. Sesudah pemasangan saluran air minum modern dri sumber ini, pohon pohon beringin mati merana.

Kisah sedih menyusutnya air tawar juga nampak jelas di Rawa Pening. Saya bukan ahli hidrologi, tetapi dapat melihat menyusutnya air rawa ini dari waktu ke waktu. Rawa itu kini sebagian besar dipenuhi oleh eceng gondok. Ada manfaat eceng gondok bagi penduduk sekitar memang. Tetapi menyusutnya air rawa nampak jelas sekali. Di tahun enampuluhan, kedalaman air di pelabuhan perahu mungkin sampai beberapa meter.

Penjaganya dulu selalu menakut nakuti kami jangan main di daerah itu oleh karena kedalaman airnya sampai enam meter. Mungkin tak sedalam itu, tetapi yang jelas perahu masih bisa berlabuh di situ. Sekarang bangunan pelabuhan itu berjarak berpuluh atau beratus meter dari tepian air. Beberapa kilometer di seelah timur Rawa Pening, ada desa Telogo. Ibu saya pernah cerita, di tahun awal kemerdekaan dulu ada telaga indah disitu, di antara kebun karet. Telaga itu hanya tinggal bekasnya saja kini.

Menyusutnya sumber air di pulau Jawa sudah diketahui banyak pihak, walaupun Indonesia belum masuk negara yang mengalami krisis air tawar. Secara global diperkirakan 1.1 milyard penduduk dunia tidak mempunyai akses akan air minum yang aman (http://en.wikipedia.org/wiki/Water_crisis) .

Masalah ketidak cukupan suplai air tawar telah menjadi krisis global. Pengaruhnya sangat serius bagi kesehatan maupun bagi produksi makanan. Ini merupakan salah satu krisis lingkungan yang dihadapi oleh umat manusia. Kita semua bisa ikut menyumbang peran untuk ikut mengatasinya, dalam kapasitas masing masing. Penduduk sekitar sumber air, mungkin perlu diberdayakan bagaimana mempertahankan sumber sumber air itu. Kami pernah bekerjasama menanam pepohonan di lereng bukit di desa saya.

Mungkin ada Kokiers, seperti bung Haryadi, dapat menyumbang tulisan mengenai air, konservasi dan pengelolaan sumber air.

Salam dari Yogya. Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media, 2 Juli 2007)

1 comment:

Anonymous said...

People should read this.