Saturday, July 14, 2007

Melesatlah sang burung prenjak

Sewaktu kecil saya selalu mengagumi burung burung yang bebas di sekitar kebun kami di desa Ngampin Ambarawa. Burung kacer yang suka datang ke kandang lembu di siang hari. Burung podang yang senang hinggap di pohon mangga. Burung kutilang yang sampai pomah (jinak) dan suka mencari kutu di badan anjing tua, Pleki. Burung srigunting yang kicaunya selalu membangunkan kami saat dini hari untuk mulai memerah susu.

Masih banyak lagi. Burung pelatuk yang suara patukannya seperti kenthongan berirama merdu. Nyanyian emprit peking yang selalu berirama sedih, seolah meratap mencari bapak dan ibunya. Konon menurut tetangga saya, Mbah Sem, emprit peking mungkin berasal dari sekitar Champa atau daratan Tiongkok selatan.

Satu yang saya sangat terkesan adalah burung prenjak. Burung ini begitu ramah. Jika ada tamu datang, pasangan prenjak itu menyanyi bersautan dari pohon nangka di halaman, seolah yang datang itu tamu mereka. Burung prenjak sangat ceria, selalu bernyanyi di pagi hari sewaktu mata hari mulai meninggi. Burung prenjak yang ramah dan perkasa menghadapi musim kering yang sulit sekalipun.

Di tahun delapan puluhan suara burung burung itu mulai menghilang. Nyanyian nyanyian ceria itu hilang bersama dengan menyurutnya habitat pepohonan dan merebaknya pemakaian pestisida. Saya kadang memimpikan nyanyian nyanyian burung itu dalam lamunan. Nyanyian burung, nyanyian alam, nyanyian kedamaian di alam bebas. Nyanyian indah yang hilang bersama menurunnya lingkungan alam sekitar.

Di bulan Maret tahun ini saya menerima beberapa pesan yang sangat menyentuh sesudah tulisan saya Rumah Di Atas Bukit tampil di Koki (7 Maret 2007). Salah satu pesan datang dari Tari. Gadis asal Yogya dan berugas di Cirebon. Dia menceritakan kisah sedih kehilangan ayah yang sangat dicintainya karena kecelakaan lalu lintas di Majenang pada bulan November 1994. Selang tiga tahun sebelum meninggalnya anak saya Moko, yang juga karena kecelakaan lalu lintas.

Ayahanda Tari mengajar di SMP 1, dalam perjalanan menuju Jakarta bersama rombongan guru guru yang akan menghadiri suatu acara di Jakarta, ketika kecelakaan itu terjadi. Nyi Ageng kenal ayahanda Tari oleh karena dulu pernah ikut menjadi pengurus BP3 di SMP1. Anak saya almarhum Moko, menempuh pendidikan menengah pertamanya juga di SMP 1.

Tari dan kami sering komunikasi lewat email, sama sama mengenang orang yang sangat kita cintai yang telah meninggalkan kita selamanya. Beberapa tulisan Tari pernah saya baca di Koki, diantaranya yang menggugat kurangnya komunikasi dokter dan pasien.

Minggu kemarin, sewaktu liburan di Yogya, Tari juga kebetulan berada di Yogya. Kami janjian ketemu hari Sabtu siang, setelah dia nyekar makam ayahandanya. “Ki, saya nanti pakai blus putih, celana jin dan rambut dikucir”. Janjian ketemu di muka asrama Syantikara, di sebelah Wisma MM di sebelah timur kampus UGM. Saya datang bersama Nyi Ageng . Sewaktu ada seorang pemuda kekar, dengan celana jin dan rambut dikucir, Nyi Ageng tanya, apa ini orangnya ? Dikiranya mungkin akan bertemu Kokier pria. Mungkin ketularan Bu Dewi dri Kuching yang nyangka Lembayung itu pria. Pesan saya bagi yang menggunakan nama samaran di Koki, mungkin ada baiknya menyebutkan jenis gendernya.

Tak lebih lima menit kemudian seorang gadis lembut semampai datang mendekat. Tersenyum lepas memberi salam. “ Kid an Nyi, saya Tari”. Setelah bersalaman hangat komentar saya pertama “Anda tidak seperti yang anda gambarkan dalam pesan pesan anda”. Dia pernah kirim pesan “Jangan kaget kalau ketemu dengan gadis ginuk ginuk”. Kami bertiga terlibat dalam pembicaraan yang akrab sambil cari tempat makan siang. Sudah jam 1300 lewat. Bertiga kami naik mobil menelusuri ringroad utara.

Sebenarnya anak anak dan cucu cucu saya pengin gabung. Tapi mereka sudah berada di salah satu rumah makan di Seyegan, dari Yogya ke arah barat. Terlalu bising untuk orang seumur saya. Akhirnya kami makan siang bertiga di rumah makan Pecel Wong Solo, di jalan AM Sangaji, sebelah selatan hotel Hyatt. Kami mengobrol akrab. Suaranya lantang dan selalu disertai derai ketawa renyah. Dia banyak cerita tentang pekerjaan, tentang keluarga, tentang alam.

Ingatan saya melayang ke puluhan tahun silam, tentang burung prenjak yang selalu bernyanyi riang dan ramah. Sewaktu dia cerita tentang peristiwa tragis yang menimpa ayahnya, dan perjuangan ibu dan saudara saudaranya sesudah kepergian ayah yang dicintainya, saya hampir tak kuasa mendengarnya. Saya lebih banyak diam mendengar Tari cerita sama Nyi Ageng. Tetapi saya mengagumi kegigihan dan keuletannya.

Dia seorang ahli hukum dan bekerja untuk salah satu BUMN milik negara saat ini. Di balik wajahnya yang ceria dan lembut, pekerjaannya menuntut sikap tegas dan kemampuan negosiasi tinggi. Saya bisa membayangkan tekanan pekerjaan yang sering dia hadapi, sebagai pakar hukum yang mewakili perusahaan publik dalam berhubungan dengan aparat pemerintah daerah dan masyarakat umum di lapangan yang kadang kadang reaksinya berlebihan. Tetapi dia selalu berusaha tenang menghadapi tantangan tersebut dan menyelesaikannya satu persatu.

Kami makan siang dan ngobrol sampai jam tiga siang. Kami antar Tari pulang ke rumahnya. Dia melambaikan tangan dengan ketawa renyahnya. Bagaikan burung prenjak kebanggaan saya, ceria, ramah, hangat tetapi perkasa. Aaah sang burung prenjak itu memang sedang melesat meniti karier yang panjang ke masa depan. Salam dan doa untuk Tari, sang burung prenjak dari Yogya, dari Ki dan Nyi Ageng. Semoga anda menggapai kebahagiaan dan cita cita anda.
Salam


(Dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber Media, 4 Juli 2007)

No comments: