Saturday, July 14, 2007

Sepanjang jalan kenangan

Sepanjang Jalan Kenangan. Lagu indah dan romantis. Penuh kenangan penuh perasaan. Seperti cerita Sekar sesudah pertemuan dengan Lembayung di Solo, naik bis Patas pulang ke Yogya, langsung disambut dengan lagu sentimental itu Lagu tersebut juga lagu kesayangan saya. Ada kisah yang tak bisa terlupakan bersama lagu itu. Menjelang masa perkawinan lebih tiga puluh tahun lalu. Saya selalu coba menyanyikan lagu tersebut. Sekalipun dalam diam, dalam kesunyian. Pada acara pesta kawin keponakan dua minggu lalu di Ambarawa, saya nyanyikan lagu itu kembali. Bersama orkes keroncong Gema Adhiyaksa dari kantor Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. .Pejabat pejabat Kejaksaan Tinggi itu dan ibu kampiun betul bernyanyi dan bermain musik. Terima kasih tak terhingga atas sumbangan musik yang tak terkira nilainya.

Tiga puluh empat tahun lalu, saya sudah berhubungan serius dengan Nyi Ageng. Pacar tetap, walau belum resmi. Saya belum pernah berkunjung ke rumah calon mertua di Pekalongan. Nyi sudah beberapa kali ke Ambarawa. Jadual ko-asistensi di rumah sakit terlalu ketat. Suatu saat ada waktu sedikit sebelum masuk siklus berikutnya. Saya sedang berada di Ambarawa. Hari Sabtu siang mendadak tanpa rencana pengin ke Pekalongan, mengunjunginya. Tepatnya di Pekajangan, 12 kilometer selatan Pekalongan. Tak sempat memberitahu karena belum ada hubungan telepon waktu itu. Hari Senin harus masuk ke rumah sakit, bagian kandungan dan kebidanan.

Sudah jam dua siang ketika saya berangkat naik bis ke Semarang Cuaca mendung. Hawa sejuk tetapi tidak hujan. Di Semarang ganti bis jurusan Pekalongan. Kalau tak salah bis Coyo. Perjalanan lancar lancar saja. Hujan gerimis sewaktu keluar kota Semarang . Seperti biasa, bis sering menaikkan dan menurunkan penumpang sepanjang jalan. Kadang saling berlomba. Selepas alas Roban, hujan semakin keras. Peristiwa naas tiba tiba saja terjadi. Seorang pria yang mau turun jatuh terpelanting ke aspal. Rupanya bis sudah berjalan kembali walau penumpang belum turun betul. Bis berhenti, sebagian penumpang turun. Pria tadi menderita perdarahan di kepala dan tidak sadarkan iri. Saya ikut menaikkannya ke bis. Akhirnya bersama semua penumpang, korban dilarikan ke rumah sakit Batang.

Tiba di rumah sakit, korban langsung mendapat perawatan. Hanya luka di kulit dan langsung mendapatkan jahitan. Dia menderita gegar otak, harus rawat inap. Semua merasa lega. Tetapi cerita belum selesai. Sewaktu bis mau berangkat lagi, ban belakang terperosok lumpur di halaman rumah sakit. Tak bisa bergerak walau didorong ramai ramai. Bersama penumpang lain, saya tertahan di rumah sakit sampai berjam jam. Badan capai dan perut terasa lapar. Saya dan beberapa penumpang lain mulai protes. Kemudian ada beberapa kendaraan menjemput para penumpang. Diantar ke stasiun bis terdekat di Pekalongan.
Saya dengan beberapa penumpan dapat satu pick up terbuka. Duduk dibawah berdesakan. Wajah terlihat suram semua. Kecuali ada seorang pemuda bersebelahan dengan saya. Dia membawa gitar. Mula mula bersiul siul biasa. Kemudian dia mainkan gitarnya dan mulai nyanyi. Semangat betul, kepala dan badan bergerak sesuai irama lagu. Saya masih ingat betul, sewaktu di nyanyi lagu Kelelawar Warnanya Hitam, gerakannya makin aktif tak terkendali. Penumpang penumpang lain nampak mulai terganggu. Saya yang duduk berdampingan langsung kena dampaknya. Bukan cuma gerakannya yang agresif, tetapi juga dari mulutnya. Saya pikir mungkin barusan makan bangkai ular ini orang. Tak enak mau protes. Penderitaan berhenti setelah sampai di pertigaan Ponolawen Pekalongan.

Saya turun dan menunggu kendaraan umum yang ke selatan, ke arah Pekajangan. Hujan renyai dengan suara lirih. Tetapi tak mampu menghilangkan rasa penat dan lapar. Setelah lebih setengah jam menunggu ada Colt umum. Kernetnya teriak “Kajangan Kajangan, Pringgo”. Dia masih kecil, mungkin terlalu muda untuk harus bekerja mencari uang. Pekerjaan yang riskan untuk anak seumur dia, antara 11 - 12 tahun. Dia juga nampak capai. Mungkin karena pulang sekolah harus kerja jadi kernet. Saya bilang mau turun di dekat pasar Pekajangan.

Hanya kebetulan saja, sewaktu kendaraan berhenti, kaset lagu habis. Sopir menggantinya dengan kaset lain. Sepanjang jalan Kenangan mengalun merdu. Begitu syahdu dan indah alunan suaranya. Lupa siapa penyanyinya. Mungkin Tety Kadi. Lamunan saya melayang terbawa oleh lagu itu. Ingat masa masa ketika ketemu Nyi pertama kali hampir dua tahun sebelumnya. Ada cerita lain untuk ini. Saya hampir tertidur mendengar alunan lagu itu. Tiba tiba kernet memberi tahu, pasar ! Saya buru buru turun. Tetapi perasaan saya masih melayang bersama irama Sepanjang Jalan Kenangan. Saya masuk jalan sebelah pasar mencari nomer rumahnya. Seingat saya alamatnya 7/12, tetapi ini gang kok nomer 12. Saya pikir mungkin keliru nulis alamatnya.Jam sudah menunjukkan pukul 800. ketika saya ketuk rumah nomer tujuh, seorang bapak setengah umur membukakan pintu. “Bapak, apakah sini rumahnya Nyi, kuliah di Yogya?’’. “Sampeyan siapa raaa ? “”Ponakan saya sekolah di Yogya, tetapi namanya bukan Nyi”. Setelah saya tunjukkan alamat yang saya cari, katanya masih ada satu pasar lagi kira kira dua kilometer ke arah selatan. Sial.

Terpaksa jalan lagi. Hujan masih rintik rintik. Jalan raya Pekajangan, relatif bagus, di kanan kiri jalan rumah rumah besar. Di tahun enam puluhan daerah ini menjadi salah satu pusat tenun di Indonesia. Presiden Sukarno pernah mengunjungi desa ini. Nampak benar tanda tanda kemakmuran. Setengah jam lewat ketika saya menemukan gang nomer 7. Tak sulit menemukan rumah nomer dua belas. Ada dua buah pohon mangga di halaman. Rumah nampak sepi. Setelah mengetuk pintu berulang kali, jendela depan dibuka. Pertanyaannya hampir sama “”Sampeyan siapa raa””. Setelah saya jelaskan kalau saya temannya Nyi, dari Yogya, calon mertua membuka pintu dan mempersilahkan saya duduk di pavilion

Nyi ternyata nggak ada di rumah, tidur di tempat kakaknya. Calon mertua, waktu itu, suruhan untuk menjemput. Sambil menunggu dia datang, kedua calon mertua berbincang sejenak. Saya agak kikuk. Ada kejutan verbal yang saya alami. Saya baru pertama kali ke Pekalongan, logat bahasanya sangat khas dan terdengar aneh. “Sampeyan masih sekolah atau sudah bekerja ?” “Sudan kawin atau masih bujang?””. “Di mana kenal Nyi ?”” Itu beberapa pertanyaan yang agak interogatif yang saya ingat, dengan logat khas. Selalu berakhiran dengan raaaaa. Tak ada pestol di dinding seperti di rumah Ratri, di Solo dulu. Aman terkendali.

Ketika Nyi datang, nampak gembira sekali. Matanya berbinar mesra. Cuma ngobrol sebentar sesudah mandi. Saya pamit tidur agak awal. Nggak sempat mikir macam macam. Tengah malam, saya terbangun ketika kamar pavilion diketok. Calon ibu mertua bertanya, Nyi Di mana ? Heran kok tanya saya. Ternyata Nyi tidur di kamar sebelah. “”Nggak boleh, harus tidur di dalam””. Wah curiga bener. Esok paginya sempat berkunjung ke rumah kakak kakaknya di Pekajangan. Sorenya kami sama sama naik bis ke Magelang, saya antar ke rumah kakaknya yang dulu mempertemukan kami. Malam itu saya terus ke Ambarawa, dan esoknya pagi pagi sekali berangkat ke Yogya, masuk ko asistensi di rumah sakit.

Kami kawin kira kira hampir setahun kemudian, di penghujung tahun 1975. Tiga puluh empat tahun setelah peristiwa. Saya masih teringat lagu Sepanjang Jalan Kenangan, dari Pekalongan ke Pekajangan. Tak menggebu nggebu. Inilah lirik lagu indah itu. Awas jangan keliru Sepanjang Tidak Konangan.

Sengaja aku datang ke kotamu
Lama nian tidak bertemu
Ingin diriku mengulang kembali
Berjalan jalan bagai tahun lalu

Walau diriku kini tlah berdua
Dirimupun tiada berbeda
Namun kenangan spanjang jalan itu
Tak mungkin lepas dari ingatanku

Sepanjang jalan kenangan
Kita slalu bergandeng tangan
Sepanjang jalan kenangan
Kau peluk diriku mesra
Hujan yang rintik rintik
Di awal bulan itu
Menambah nikmatnya malam syahdu


(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media, 15 Juli 2007)

No comments: