Saturday, July 14, 2007

Patah hati

Ini kelanjutan Cerita Cinta Di bawah Keremangan Pohon Jambu. Perpisahan dengan Eni tak meninggalkan banyak kesedihan. Masing masing sadar kalau banyak yang tak cocok. Ada dinding yang tinggi di antara hati kami, yang kadang sulit terlampaui. Hanya kesepian yang kadang mendera luar biasa, terutama di akhir pekan. Malam malam sunyi, lamunan melayang, mencari bisikan lirih yang mesra menggoda. Saya tak pernah merasa patah hati. Tetapi tak terasa sering melantunkan lagu Patah Hati nyanyian Rahmat Kartolo tahun enam puluhan.

Saya malah menikmati kesunyian itu. Kadang terngiang bisikan mesranya di dalam keheningan. Tak mampu membenci apalagi dendam. Sapaannya selalu datang, senyumannya selalu berkembang, jika bertemu di ruang kuliah. Ki, baik baik saja kan anda ? Belajar terus ya. Dia seperti memendam rasa yang sama. Hidup adalah kenyataan. Tak bisa hanya indah dalam lamunan. Harus realistis. Walaupun berat, ya harus berpisah, tak bisa berjalan bersama. Kadang masih belajar bersama di rumahnya. Hanya sekali sekali. Teringat peristiwa di bawah pohon jambu itu. Tak ada bisik bisik, tak ada cekikikan. Saya tetap menghargainya.

Saya tak bisa mengerti, ada orang yang begitu dendam dan membenci mantan kekasih. Bahkan sampai memasang foto foto panas mantan kekasih di internet. Gila. Itu sisa napsu yang tak sempat terlampiaskan karena putus cinta. Cinta yang tulus akan menghapus semua benci dan dendam, kalau ada. Apa yang didapat dari kebencian itu ? Hanya rasa rindu yang menggila.

Dua tahun berlalu, di tingkat empat saya berkenalan dengan teman wanita sekelas. Namanya Emsa. Dia sebenarnya satu angkatan di atas saya, tetapi ngulang setahun. Asal dari daerah Solo. Lain dengan Eni yang manja, dia kelihatan sangat tenang, lebih dewasa dan sayang (caring). Karena saya ikut ngurusi penerbitan kampus, terpaksa sering mbolos. Tetapi dengan sabar dia selalu memberikan catatan catatan kuliah yang kosong. Dia juga sangat mendorong kegiatan saya.

Kami sadar jika hubungan kami semakin dekat, nggak lagi sekedar teman. Suatu malam pulang dari kampus Mangkubumen, kami berjalan menyusur tembok beteng. Tak banyak bicara. Dia bertanya pelan. Ki, apakah anda merada ada yang aneh dalam hubungan kita selama ini ? Aneh gimana ? Saya berlagak pilon. Saya merasa kita saling mencintai. Benarkah itu ? Jawaban saya lugas. Ya, saya merasa damai bersamamu. Proklamasi cinta sudah terucapkan.

Saya tak mau membandingkannya dengan Eni. Dulu tak pernah ada proklamasi resmi. Kejadiannya seperti berlangsung spontan dan berakhir dengan kejutan di bawah pohon jambu itu. Dengan Emsa, hubungan kami tak meledak ledak. Lebih banyak dengan kata kata indah lewat surat. Setiap minggu coretan coretannya selalu datang di buku harian saya. Kadang sewaktu kuliah, dia nggak ngapa ngapa, hanya menulis sesuatu tentang cinta. Inilah yang saya temukan dalam buku catatan saya. Masih banyak yang lain, disimpan Nyi Ageng. Menjadi classified document sepanjang masa.

Ki, aku akan selalu hadir dalam mimpimu.
Sukmaku akan merasuk di antara desah napas dan detak jantungmu
Aku akan terbang menari di antara bulan dan bintang
Pandanglah daku di sana Ki, di balik awan itu
Engkau akan selalu kutunggu
Kuhadiahkan kau melati warna ungu
Sayangku mari menatap ke depan, di balik cakrawala itu
Kita bersama melanglang maya pada.

Hubungan kami seolah diam tetapi memendam rasa yang dalam. Tak bergelora, tak berdera, tak bergumul napsu. Yang ada hanyalah bisikan lembut, buaian kata kata romantis. Saya masih ingat sewaktu kami sekelas mengunjungi perkebunan tembakau di Jember, di tahun 1972. Dalam acara kesenian malam harinya dia membaca puisi indah yang memukau hadirin Wakil Bupati waktu itu sempat bertanya “ Mbak Emsa sedang jayuh cinta ya ?”. Lupa lupa ingat, untaian kata katanya antara lain “ Di bumi Blambangan ini, aku berjanji menemanimu sampai mati “. Saya hanya terpekur diam terharu. Dia bersandar di bahu dan menggamit erat tanganku dalam perjalanan pulang ke penginapan.

Kemudian study tour dilanjutkan ke Bali. Saya selalu dekat dengan Emsa, selalu ingin mendampingi dan melindunginya. Ada insiden ketika di Bali, seorang teman menderita psikosis akut. Pagi habis mandi, saya mendengar jeritan Emsa keras sekali memanggil saya, Kiiii. Saya berlari ke kamarnya. Ternyata teman yang kumat itu mau mendekap Emsa. Dia berlari ke arah saya. Memeluk dan menangis dalam pelukan saya.

Suatu malam di Bali, lepas makan malam, kami berombongan ke pantai Sanur. Dia sangat menikmati angin dan nyanyian laut. Dia minta saya menemani turun ke air. Saya menurut, walaupun saya tak menikmati pantai dan laut. Sejenak kemudian dia berkata “ Ki, saya mau kita lari lari bersama sepanjang pantai ini. Indah sekali bulan purnama itu “. Saya malas dan ragu. Berkasih sambil berlari lari itu kan hanya dalam filem, seperti Widyawati dan Sophan Sophiaan dalam filem Romi dan Yuli. Saya ini cuma mahasiswa kost kost-an. Dia mengangis, dan saya merasakan kekecewaannya yang dalam.

Hubungan kami selalu baik baik kecuali riak riak kecil,. Ibu saya pernah tanya “ Kamu sudah punya calon isteri, saya dengar. Kok nggak dikenalkan saya “”.Keinginan sih ada Cuma kesempatannya belum pas. Hubungan berjalan hampir satu setengah tahun. Di ujian semester 1973, ada beberapa mata kuliah saya yang harus mengulang oleh karena banyak saya tinggal. Dengan sabar dia menemani dan memberi semangat. Kadang memandangku lama sekali. Aneh, tetapi tak pernah bicara apa apa. Ada sesuatu yang tak terucapkan, Ujian semester selesai. Ada libur 3 minggu, dia akan pulang ke Solo, dan saya ke Ambarawa. Pngumuman ujian keluar, kami sama sama lulus. Habis lihat pengumuman ujian siang itu, dia saya antar ke stasiun Tugu. Dia akan naik kereta Kuda Putih ke Solo.

Kereta sudah hampir berangkat ketika kami tiba. Petugas karcis itu teriak supaya kami cepat. Dengan tas bergelantungan di pundak, saya berlari bergandengan dengan Emsa. Ini betul betul berlari. Nggak seperti dalam filem. Dia memegang kencang tangan saya sambil berlari menuju kereta yang hampir bergerak itu. Perasaan saya seperi Sophan Sophian menggandeng Widyawati. Tetapi ini kan bukan sandiwara dalam filem. Emsa sempat memeluk saya, tetapi tak mengeluarkan kata sepatahpun. Dia menangis. Pikir saya, pisah tiga minggu kok pakai nagis. Cengeng ah.

Tiga minggu di Ambarawa, saya menulis surat sekali saja. Tak terjawaban. Tak ada hubungan telpun waktu itu. Kesibukan saya di desa membuat saya tak begitu merindukan dia. Hidup ini harus realistis nggak boleh cengeng. Waktu kuliah mulai lagi, kami bertemu dalam kelas. Dia agak diam. Mungkin marah oleh karena mestinya saya kemarin ke tempat kost nya dulu. Tetapi saya datang kemalaman di Yogya. Dia nggak banyak cerita. Dia memberikan catatan kecil , tertulis “I do not know what to say baby”.

Selesai kuliah siang, saya asisteren di laboratorium Bulaksumur sampai jam 0500 sore. Pulang saya mampir ke tempat kostnya. Dia nampak sayu dan sedih mau menangis. Akhirnya dia bilang, “ Maaf Ki, saya meninggalkanmu, saya telah resmi kawin “. Saya seperti disambar petir. Rasanya begitu lemah, saya nggak banyak bicara. Hanya bertanya, siapa dia ? Ternyata dia kawin dengan Ismet, mantan pacarnya empat tahun lalu. Mereka bertemu kembali saat liburan itu kemudian kawin. Saya merasa terbanting. Terlempar, helpless. Tetapi saya tak menangis. Laki laki tak boleh menangis karena cinta bo ! Pulang ke Patangpuluhan dengan gontai. Teman teman ternyata sudah mendengar kabar itu. Kami hanya terdiam. Malam itu kami makan bersama keluar. Semuanya pemuda lajang, tak ada yang punya kekasih. Paling tidak untuk sementara.

Saya tak pernah benci dan dendam. Hanya saya tak mengerti mengapa dia begitu gampang memutuskan waktu itu dan tak memberi tahu saya. Sampai sekarang. Beberapa tahun kemudian, saya bersama Nyi Ageng, kebetulan bertemu dia dalam satu acara resmi. Dia nampak tak leluasa, dan cepat menghindar sewaktu saya sapa. Dia sekarang di Jakarta, spesialis oftalmologi. Maaf Emsa, jika ada yang tersisip. Saya juga tak mendesaknya menjelaskan alasannya waktu itu. Semua sudah berlalu.

Pesan untuk anak muda. Janganlah pernah dendam dan benci sama mantan kekasih. Apapun di, dia pernah menyayangimu, dan kamu menyayanginya. Biarkan dia bahagia, pasti kau akan bahagia. Salam damai.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat dalam Kolom Kita Kompas Cyber Media, 28 Juni 2007)

3 comments:

Anonymous said...

Ki, senasib , akupun tidak pernah membecinya , apa lagi mendedamnya tehadap orang yang pernah aku cintainya, walau dia harus meninggalkan ku . Surat terakhir sebagai kenangan indah buatku, diapun meminta maaf dan berharap agar kita tetap bersaudara.
Dia adik kelasku di Mamaconga dia asli Surabaya

Djazuli said...

Cinta yang suci itu abadi, tidak ada dendam dan benci , walau pada akhirnya kita harus berpisah.
Demikian pula kenangan kenangan indah yang pernah terjadi tidak akan lenyap dari benak kita, terekam dalam CD disana

Ki Ageng Similikithi said...

Kadang kadang menarik untuk membaca catatan catatan lama. Terutama di ujung perjalanan. Sebagai kenangan semata