Wednesday, July 11, 2007

Surat dari Yogya

Ada masa masa di mana saya selalu menunggu surat dari Yogya. Sewaktu saya berada di Newscastle Upon Tyne (UK) di tahun 1980. Waktu itu adalah tahun pertama menekuni program doktor dengan beaya Rockefeller Foundation. Masa masa menanti surat yang cerita tentang anak, tentang rumah (ngontrak), tentang saudara dan tetek bengek lain, dari minggu ke minggu. Baru pertama pengalaman pisah isteri sama anak. Karena masa masa itu saya kemudian seneng sekali novel Surat dari Beijing karangan Pearl S Buck. Pernah diterbitkan secara seri oleh harian Kompas. Juga pernah difilemkan. Roman percintaan klasik yang berakhir dengan perpisahan.

Saya meninggalkan Indonesia pertengahan Januari, setelah menunda keberangkatan selama 3 bulan. Sebenarnya harus berangkat bulan Oktober 1979. Tetapi karena masih harus menyelesaikan proyek proyek penelitian di Yogya, saya baru bisa berangkat bulan Januari 1980. Isteri dan kedua anak saya, Aryo dan Wisnu mengantar sampai Jakarta. Anak bungsu, Moko almarhum masih dalam kandungan ketika saya berangkat. Saya masih ingat benar di bandara Halim, Aryo merengek mau pisah dengan ayahnya, sedangkan Wisnu yang belum genap dua tahun masih belum paham apa yang terjadi.

Waktu itu kami nggak punya tilpon, belum ada email atau HP seperti sekarang. Dari minggu ke minggu surat itu pasti dating, biasanya hari Rabu atau Kamis.. Jarang jarang hari Jumat. Surat itu dikirim dri Yogya kalau nggak Jum’at ya Sabtu. Pengirimya Nyi Ageng tercinta, waktu itu panggilannya Imung. Demikian pula saya juga mengirim surat kalau nggak Jum’at ya Sabtu. Selama setahun lancar tak pernah ada masalah. Kadang saya juga heran mengapa banyak keluhan pengguna jasa pos sekarang.

Dengan aerogramme, atau warkatpos, surat itu selalu datang tepat waktu. Hanya pernah kejadian sewaktu saya menggunakan amplop, saya tulis alamat surat di kanan bawah sampul. Alamat pengirim di kiri atas. Petugas pos di Newcastle bingung, surat itu kembali ke alamat saya sampai dua kali. Akhirnya saya putuskan untuk menggunakan aerogramme saja.

Berita singkat jelas dan langsung ke permasalahan. Hanya tak cukup tempat untuk mengungkapkan kata2 mesra. Tak cukup halaman untuk mengungkapkan cinta. Setiap minggu. Kira kira tiga minggu sekali ungkapan ungkapan cinta ini perlu. Terutama jika tanggal sudah tua. Dibuat sedikit lebih puetis dari biasanya. Tak menggebu nggebu tetapi stabil dan sustainable.

Mungkin sedikit lain irama surat dengan waktu pacaran. Pas pacaran kan yang dibicarakan yang indah indah melulu. Membuat perasaan melayang, seolah hidup selalu indah dan manis. Setelah berkeluarga ternyata banyak masalah sehari hari yang harus masuk agenda surat menyurat. Mana yang anak sakit, mana perpanjangan kontrak rumah, masalah keseharian yang umum dihadapi oleh pasangan muda.

Walau tak semesra jaman pacaran isi surat surat tadi, tetap saja saya membutuhkannya. Saya selalu menunggu surat dengan berdebar. Sampai si tukang antar surat selalu bilang jika ketemu " See your pigeon hole". Tak ada yang berubah sama sekali. Dalam lamunan dan imaginasi saya selalu merindukan seolah olah kami masih pacaran. Apa lagi sudah ada anak, kadang kadang rasa rindu itu begitu mendera. Tak bisa tilpon, tak bisa sms atau email. Hanya suratlah satu satunya perantara. Nyi Ageng masih menyimpan surat surat tersebut, termasuk surat surat semasa pacaran. Dokumen sepanjang masa untuk kami.


Setiap saat seolah ada beban rasa rindu yang membayangi. Walau kita kita sering kumpul kumpul dengan banyak teman dari Indonesia, tetapi tetap saja kerinduan akan isteri dan anak tak bisa dihindari. Hanya lewat surat itu yang menjadi andalan komunikasi kami. Sewaktu di Indonesia saya mendengar sinyalemen bahwa orang Indonesia termasuk yang sangat sedikit menulis surat. Mungkin benar. Tetapi setelah mengalami pisah tersebut saya baru benar benar menyadari bahwa menulis dan menerima surat adalah kebutuhan mutlak.

Kadang setiap surat selalu saya baca berulang ulang, sampai hapal isi dan kalimatnya. Surat yang sangat istimewa saya rasakan sewaktu memberitahu kelahiran anak bungsu Moko (almarhum). Saya memberikan pilihan nama anak bungsu saya tersebut lewat surat. Dia lahir 13 Juni. Nyi Ageng selalu cerita perkembangannya dalam setiap suratnya. Saya melihatnya pertama kali sewaktu dia berumur enam bulan. Saya pulang ke Indonesia untuk melakukan penelitian.

Puluhan tahun telah berlalu, tetapi mengenang masa masa menunggu dan membaca surat dari Yogya, dari isteri tercinta, selalu mengingatkan jarak yang begitu dekat walaupun kami berjauhan ribuan kilometer.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media 7 Juli 2007)

No comments: