Thursday, July 12, 2007

Keberingasan di jalan umum

Beberapa minggu terakhir agak tegang karena tekanan pekerjaan. Pulang ke Yogya satu minggu nggak hilang juga. Masalah datang silih berganti, kadang berupa krisis akut yang harus diatasi segera. Ada perubahan sistem manajemen internal. Minggu kemarin terima email, dana yang seharusnya dialokasikan untuk program kami, hilang sampai sepertiganya. Untung teratasi, jika enggak banyak kegiatan harus dipangkas, termasuk dua orang staf andalan.

Paling enak menunggu akhir pekan, bisa lupa sementara. Pelarian yang paling dekat adalah baca berita mengenai tanah air lewat internet, Kompas atau Koki. Ada berita tentang sepak bola Asia dan tentang kampanye pemilihan gubernur DKI. Topiknya sangat berbeda, tetapi dampaknya terhadap ketenangan di jalan umum hampir sama.

Dua tahun lalu, saya mampir di Jakarta dengan dua orang staf putri dan Nyi Ageng. Dalam perjalanan dinas ke Yogya oleh karena ada pertemuan resmi di sana. Di bandara Cengkareng ada waktu 5 jam menunggu pesawat ke Yogya. Saya ajak kedua orang staf tadi keliling Jakarta dan mampir ke tempat anak saya. Kami menuju mall Pondok Indah ketika taksi yang kami tumpangi berbarengan dengan para pendukung salah satu kesebelasan sepak bola yang akan tanding sore itu.

Para pendukung yang attribute warna warni itu nampak begitu sangar dan beringas. Sebagian besar anak anak muda. Tidak lupa membawa penthungan, ada yang bawa batu dan golok segala, seperti berangkat tawuran. Jalanan macet dan suara gaduh bukan kepalang. Perilaku mereka nggak terkendali sama sekali. Mereka mulai memukul mukul mobil yang kami tumpangi, melihat lewat kaca jendela secara sangat demonstratif dan tak berbudaya.

Kebetulan memang salah satu staf putri yang bersama kami, berpenampilan menarik. Jas luarnya dia lepas ok sumuk. Dia berasal dri Asia Tengah. Satunya dari Manila. Anak anak muda itu begitu agresif, teriak teriak dan menggedor gedor jendela kaca mobil. Malu sekali rasanya. Kejadian ini belum pernah mereka alami sebelumnya dalam kunjungan ke negara negara lain. Ada polisi juga nggak bisa berbuat banyak. Di banyak tempat pendukung sepakbola selalu beringas dan kasar. Tetapi apa sih untungnya beringas jika kesebelasan nasional kita di tingkat ASEAN pun selalu kandas ? Masalah bonek bonek pendukung kesebelasan sepak bola perlu dikaji lebih mendalam dan diupayakan tindakan pengatasannya. Banyak perlu intervensi perilaku dan penerapan disiplin keras.

Perilaku beringas di jalan umum juga selalu kita dijumpai sewaktu kampanye pemilihan, entah pemilihan gubernur, DPR atau presiden. Kampanye pemilihan lurah biasanya lebih dingin dan tidak menggebu gebu. Pemilihan ketua RT biasanya senyap ok sebagian peserta dan calon sudah ngantuk, pemilihannya hampir selalu di malam hari. Tetapi mungkin jika jabatan ketua RT ini tunjangan dan fasilitasnya seperti anggota DPR, bisa bisa pemilihannya juga sangat riuh. Mungkin bisa berjalan semalam suntuk sampai pagi.



Pawai kampanye pemilu selalu riuh, panas dan sering beringas. Seluruh badan jalan di penuhi oleh peserta kampanye, sampai sampai pengguna jalan harus mengalah berhenti di pinggir jalan. Masih untung kalau tak ada insiden. Biasanya selalu saja ada yang memukul mukul mobil dengan tangan atau pentungan. Saya pernah mengalami berpapasan dengan segala macam kampanye dari partai apapun. Selalu mengganggu, seolah memang keharusan mengganggu dan membuat onar. Bahkan sering minta secara paksa.

Mereka tak menyadari bahwa yang dipakai adalah jalan umum. Bahwa perilaku beringas itu nggak menimbulkan sikap simpati untuk memilih partainya. Tetapi yang ada adalah keberingasan karena mereka merasa yang paling berkuasa saat itu. Secara kolektif menguasai jalan dan fasilitas umum. Mereka juga nggak pernah berpikir, jika partainya memang, apa mereka yang ikut teriak teriak di jalan itu akan menjadi pejabat, atau hidupnya akan lebih enak. Boro boro jadi pejabat. Kadang2 mereka malah jadi korban sia sia dalam kampanye. Entah karena kecelakaan entah karena bentrok fisik.

Seolah mereka berpikir, bukan hasil menang atau kalah yang penting, tetapi pokoknya berkuasa sementara di jalan umum dan pamer kekuasaan. Ini manifestasi sifat diktator, collective dictatorship, walau hanya sesaat. Peristiwa kampanye adalah sekedar kesempatan melampiaskan napsu untuk unjuk kekuatan dan kekuasaan. " Pokoknya beringas, pokoknya keras. Ini masalah prinsip".

Banyak partai dan organisasi masa yang secara tidak sadar mengedepankan keberingasan ini lewat gaya militerisma atau milisia. Hampir semua partai dan organisasi masa selalu punya anak organisasi kawula muda, yang gampang di pompa dengan pesan pesan indoktrinasi militan yang kadang jauh dari idealisme organisasi. Nama kelompok kelompok ini sih bisa keren keren. Kadang dengan nama nama retorika yang mencerminkan filsafat luhur bangsa atau organisasi, tetapi perilaku sih tetap berputar sekitar keberingasan, kekerasan, kekuasaan. Termasuk organisasi organisasi yang menggunakan simbol simbol agama. Seolah kalau sudah beringas itu akan masuk surga ketujuh.

Para pemimpin partai dan tokoh tokoh politik dan agama, mestinya bisa menghembuskan napas dan suara sejuk. Jangan malah menggunakannya untuk menggapai kekuasaan. Yang dihadapi bukan musuh bangsa. Hanya lawan atau pesaing dalam pemilihan, atau kalau dalam sepak bola, ya hanya lawan main saja. Kalau nggak ada lawan main toh nggak akan ada permainan sepak bola yang perlu ditonton.

Bahkan tak jarang para tokoh yang bertanding dalam pemilu itu begitu gemar saling bersuara keras menjelekkan, saling menghujat, seolah diri sendiri sudah begitu bersih dan bagus. Tetapi ya namanya saja kampanye, nggak mungkin kan mengatakan kalau dirinya jelek. Tetapi paling tidak jangan menghujat dan mengobarkan kebencian dan keberingasan lah. Buat orang yang netral sih sama saja. Orang Jawa bilang, "Padha wae rase karo kuwuk, sok nyolong pitik". Sama saja rase sama kuwuk, suka mencuri ayam.

Biar kaya apa beringasnya dan berkuasanya para pendukung sepakbola itu di jalan umum, saya masih ragu ragu kalau sepak bola kita bisa bicara di tingkat Asia, seperti masa jaya sepak bola Indonesia di tahun lima puluhan. Walau pendukung sepak bola waktu itu tak seberingas sekarang. Seberingas apa pun para peserta kampanye itu, adalah hil yang mustahal, bisa menemukan pemimpin yang mampu membawa bangsa ini dari krisis berkepanjangan. Yang diperlukan adalah kearifan,, kesejukan dan kesungguhan, bukan sekedar bicara besar dan lantang selama kampanye.

Salam sejuk
Ki Ageng

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber media 11 Juli 2007)

No comments: