Monday, July 9, 2007

Sumber air keramat

Banyak dijumpai kepercayaan di kalangan masyarakat tradisional yang mengkeramatkan sumber air. Memang lokasi sumber air umumya selalu teduh dengan pohon pohon besar seperti beringin atau gayam. Memberikan kesan magis dan angker. Namun ada alasan bijak dibalik kepercayaan tadi. Ini mungkin merupakan salah satu bentuk local wisdom (pemikiran bijak) dari masyarakat tradisional. Dengan mensakralkan sumber sumber air sebenarnya bertujuan agar sumber sumber air itu selalu dipelihara, jangan sampai rusak. Air mempunyai peran vital dalam kehidupan umat manusia. Sehingga sumber sumber air selalu harus dipelihara dan di hormati. Bagaimanapun caranya. Ini tidak hanya di kalangan masyarakat tradisional di Indonesia, tetapi juga terjadi di banyak masyarakat Asia.

Kisah ini berkaitan dengan pengkeramatan sumber air. Tetapi sedikit menyimpang dari pemikiran bijak lokal tadi. Tak apalah, kapanpun dan dimanapun, kadang terjadi penyimpangan dari pemikiran bijak turun temurun. Itulah kenakearagaman hidup, keanekaragaman manusia. Seperti yang saya ungkapkan dalam tulisan lain, di desa saya, Ngampin, dulu banyak dijumpai sumber air dan pemandian umum. Beberapa masih bertahan sampai kini. Satu yang telah tiada adalah pemandian umum Kali Gayam, di mana kadang saya juga ikut mandi di sana sewaktu masih kanak kanak. Pemandian ini terbagi menjadi dua, saling bersebelahan, satu untuk pria dan satu untuk wanita. Hanya terpisah oleh dinding yang tak begitu tinggi. Tanpa atap penutup sehingga kadang bisa saling melihat apa yang terjadi di balik dinding.

Ada satu tetua di desa kami, tokoh panutan di lingkungannya, dari dukuh Ngenthak. Namanya Sura Jaini. Orang sering memanggilnya dengan panggilan mBah Jaini atau Wa Jaini. Saya lebih akrab memanggilnya Wa Jaini, dari kata siwa atau pakde. Perawakannya kurus tinggi. Umur sudah lanjut, di atas tujuh puluh tahun. Giginya sudah ompong, tinggal beberapa di baris depan, sehingga selalu kesulitan menyedot rokok klobotnya. Namun nampak jelas sisa kegagahan dan ketampanannya di masa muda. Jalannya juga sudah agak terseok.

Dia selalu pakai celana kombor warna hitam sampai di bawah lutut, dengan sabuk kulit yang lebar. Bajunya juga berwarna hitam tanpa kerah. Khas seperti seragam para petani di pedalaman Asia. Saya pribadi punya hubungan dekat oleh karena dia juga bekerja untuk ayah saya membantu mengawasi pekerja yang memelihara hewan sapi, kambing dan kebun kopi. Wa Jaini tinggal sendirian, isterinya sudah meninggal beberapa tahun silam. Bicaranya masih jelas dan lantang. Dia suka banyak cerita dan suka menasehati anak anak, termasuk kami. Terutama mengenai cerita Bharatayuda. Idolanya adalah sang pendeta Durna, guru dari para ksatria Pandhawa. Bahkan secara tak sadar ia sering mempersonifikasi dirinya seperti sang pendeta.

Nasehatnya selalu kental dengan kata kata dari cerita Mahabharata. Ksatria itu harus teguh menghadapi godaan dan tantangan. Jangan menyerah menghadapi kesulitan. Tegakkan kepala dan pandangan ke depan jika berjalan. Jangan “klelat klelet” atau lamban malas malasan.
Suatu hari dia mengatakan akan mengirim sesaji di Kali Gayam. Ini salah satu tradisi agar mata air itu tetap mengeluarkan air yang cukup. Saya minta ijin untuk ikut. Mungkin harinya Kamis, sepulang sekolah kami bertiga ikut Wa Jaini ke Kali Gayam. Jumadi tetangga sebelah timur kebun kami, dan Yatno yang juga cucu dari Wa Jaini. Kami bertiga satu kelas. Waktu itu kalau tak salah ingat, kami duduk di kelas 3 SR Masehi Ngampin.

Pertama kami ikut meninjau mata air Kali Gayam di tepi desa di kaki lereng berbukit. Mata airnya sangat bagus. Air melimpah dalam kolam dibawah naungan pohon gayam dan pohon beringin. Banyak semak belukar sehingga nyamuknya juga sangat mengganggu. Juga banyak kodok (katak) di sekitar situ. Kodok bangkong yang ukurannya besar dan kulitnya kasar. Orang sering mengenalnya dengan nama kodok brontok. Orang hanya biasa makan katak hijau bukan jenis kodok brontok ini waktu itu.

Rupanya Wa Jaini nggak begitu antusias melakukan sesaji di dekat mata air itu. Terlalu banyak nyamuk dan semak semak. Kemudian dia mengajak pindah turun sekitar dua ratus meter dari mata air. Di dekat pemandiannya. Sewaktu kami bertanya, yang diberi sesaji mata airnya atau pemandiannya, dia menjawab singkat, sama saja. Pokoknya memberi sesaji, toh akhirnya akan diterima di sononya.

Kira kira jam dua siang, pemandian itu sepi. Para lelaki biasanya sudah kembali ke sawah atau ke ladang. Para wanita sibuk di rumah masing masing. Pemandiannya sendiri sangat alami. Ada kolam penampungan berukuran puluhan meter menampung air jernih yang mengalir dari mata air tadi. Empat pancuran mengalir deras dari kolam itu ke masing masing tempat mandi pria dan wanita. Tepian kolam terpelihara bersih, nggak banyak semak belukar, nyamuk ataupun binatang lain seperti kodok.

Wa Jaini mulai memberikan isyarat agar kami duduk tenang di belakang agak jauh dari tempatnya dia sesaji. Kami duduk di lokasi yang agak tinggi di tepi kolam. Pandangan kami bebas melihat ke kolam atau ke pemandian tanpa atap itu. Wa Jaini mulai upacara ritualnya, membakar kemenyan, menyusun bunga bunga mawar dan telasih, sambil menggumam membaca mantera mantera khusus yang kami juga tidak tahu maksudnya.

Pas asyik asyiknya meakukan upacara sesaji, tiba tiba ada seorang wanita mau mandi. Saya agak lupa namanya, mungkin Ginem, wanita muda yang ditinggal suaminya transmigrasi ke Lampung bertahun tahun. Dia tinggal di dekat pemandian itu. Nampaknya dia tak juga merasa terganggu dengan kehadiran Wa Jaini yang sedang sesaji di situ. Sekalian ngalap berkah, mungkin.

Sementara Wa Jaini yang lagi asyik sesaji, dia tahu dan bisa melihat jelas ada wanita mandi disitu. Namun demikian dia makin asyik membaca manteranya sambil kepalanya bergerak geleng2 kiri kanan, semakin cepat. Sekarang mungkin seperti gerakan orang dugem minum ekstasi. Pendeta yang mumpuni tak akan tergoda wanita mandi, walaupun berkulit putih bersih dan berbadan semok. Kami yang melihat dari belakang percaya sekali akan kehandalannya. Kami saja yang kadang tak bisa menghindar melihat wanita mandi itu, dan kadang kadang mendesah “ edaaan”.

Nampaknya wanita itu tak merasa risih sama sekali. Dengan bebas dia bergerak menggosok badannya dengan sabun dan bernyanyi kecil. Mungkin ada semacam sinyal listrik yang keluar dri Ginem yang sedang mandi yang kadang bergerak erotis, yang sampai ke sang pendeta. Oleh karena berkali kali Wa Jaini menoleh ke bawah ke arah Ginem yang sedang mandi.

Kira kira lima belas menit berlalu. Upacara sesaji telah usai. Ginem juga selesai mandi. Tak ada insiden, tak ada gangguan. Mission accomplished. Yang sesaji, upacara selesai dengan lancar. Yang mandi segar kembali. Tetapi Wa Jaini rupanya nggak beranjak berdiri. Dia tetap duduk terpekur di tempat itu. Seperti biasanya dia memakai celana kombor hitam. Tak biasa waktu itu memakai celdam untuk pria seumur dia dengan celana kombor itu. Karena itu maka dia perlu beberapa waktu untuk menenangkan diri, calming down. Kalau saja dia cepat cepat berdiri, bentuk celana kombor itu pasti tidak proporsional lagi karena satu dan lain hal yang tak bisa dikatakan di sini..

Setelah semuanya selesai. Dia berucap singkat. Lancar kan semuanya ? Jangan suka main main di dekat mata air atau di dekat pemandian umum ya, nasehatnya. Pesan normatif saja. Dan kami semua mengiyakannya tanpa pernah menanyakan bagaimana reaksinya sewaktu sesaji dan melihat wanita mandi itu. Dia pasti punya banyak alasan. Dari pada sesaji di dekat mata air, banyak nyamuk, lihat banyak kodok. Mengapa tidak didekat pemandian saja, lebih rapi, lebih bersih. Kalau ada gagguanpun, tubuh semok dan kulit kuning bersih, lebih mengasyikkkan. Wa Jaini memang tetua yang pragmatis.

Pesan dari tulisan ini singkat. Sumber air selalu harus dijaga dirawat dan dihormati seperti halnya pesan pemikiran bijak lokal turun temurun. Orang yang dituakan seperti W Jaini pun hanyalah manusia normal. Kalau toh sedikit melenceng dari petuah pemikiran bijak lokal tadi, jangan sampai meninggalkan misi utamanya, dalam hal ini sesaji.

Salam damai
Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber Media, 4 Juli 2007)

No comments: