Friday, June 29, 2007

Cerita tentang pondokan

Sewaktu kuliah di Yogya, saya selalu mondok atau indekost. Tahun pertama dan kedua di Gerjen. Tahun ke empat sampai selesai di Patangpuluhan. Tahun ke tiga saya tinggal di satu hotel melati di jalan Pajeksan, sekalian kerja ngurusi hotel itu. Tetapi hanya tahan setahun. Susah, ada saja urusan setiap harinya. Malam malam digedor polisi, ada tamu yang mabuk, ada pasangan tuis yang tengkar. Ada saja kejadian yang nggak enak. Nggak pernah tidur enak.

Di Gerjen, bapak kost mempunyai kelompok musik keroncong. Anggotanya sebagian besar sudah manula. Latihan seminggu sekali. Lagunya jarang ganti. Latihan satu lagu, berulangkali berminggu minggu. Sekarang latihan, seminggu kemudian lupa lagi. Kami yang kost kadang ikut menikmati, kadang menderita mendengar lagu yang sama terus menerus.

Bapak kost di Patangpuluhan adalah pensiunan pejabat PU di jaman Belanda. Ceritanya hanya berkisar pengalamannya membuat jalan paling miring di Dieng Wonosobo. Kami mendengar cerita yang sama sampai puluhan kali. Sering bicara bahasa Belanda dengan kami, walau mereka tahu kami nggak ada yang isa bicara Belanda.. Nggak dhong saya.

Ibu kostnya agak keras dan sedikit feodal.. Komentarnya kadang agak miring jika lihat teman kami yang bergaya agak kampung. Ada taktik mengatasi ini. Jika ditanya pekerjaan orang tua oleh ibu kost, informasinya di marked up. Teman dari Bojonegoro, bapaknya pensiunan pegawai kantor pos, bilang pensiunan wedana. Teman dari Nganjuk, Bapaknya guru SD, bilangnya dosen di salah satu universitas ternama di Jawa Timur. Ada yang bapaknya mempunyai usaha penjahit, di mark up jadi dokter bedah. Ada yang Bapaknya menjabat sebagai carik desa, di marked up jadi Sekda. Itu saja kadang komentar ibu kost masih sok sering nylekit. “”Kok nak Ki ini, gayanya nggak seperti dari keluarga priyayi ya ?”” Beliau memang dari kelas priyayi.


Di akhir pekan yang sepi kadang saya main ke tempat kost teman teman dri Solo, di Wirobrajan. Amad, teman kuliah yang pernah saya singgung sebelumnya, bersama 4 orang dari Solo kost bersama di Wirobrajan. Semua lajang belum punya pacar.

Suatu Sabtu malam, saya main ke tempat kostnya. Dia belum tahu kalau saya putus sama pacar, Eni waktu itu. "Kok malam Minggu ke sini ? Traktir Bung, saya baru krisis nggak ada uang". Saya jawab pelan kalau saya juga sedang krisis. 'Bajinguk, nek pas ora duwe duwit dolan nggonku, nek duwe duwit nang nggone wedokane"Saya hanya diam dan membaca buku di kamarnya. Dia kelihatan sedang kesal saat itu.

Ada dua orang yang tinggal di kamar seberang. Satu mahasiswa ekonomi dan satunya di Farmasi. Kami kenal dekat dengan mereka. Yang kuliah di ekonomi, bapaknya pensiunan di PJKA, mantan kondektur kereta api. Rupanya mereka sedang ketamuan seorang teman, juga dari Solo, yang kuliah di biologi. Bicaranya banyak, orangnya supel. Cerita kalau dia sudah punya pacar di Solo, kelas dua SMA. Sudah dikenalkan sama orang tua si pacar, seorang kepala sekolah. Tetapi dia diberi tahu kalau nggak boleh mesra mesraan dulu ok si gadis masih SMA.

Katanya, ibu si gadis begitu bangga waktu diperlihatkan kartu mahasiswanya. Amad nggrundel " Gemblung, duwe kartu mahasiswa nggo golek bojo" "Bilang sama ibunya, boleh nggak nyosor, tetapi mulut ditutupi pakai masker" ? "Punya pacar jarikan gitu aja berkoar kemana mana." Rupanya kami juga keki, ketika mereka manggil bakmi, kita nggak ditawari. 'Orang kok ngurusi wadhuk sendiri. Nggak punya solidaritas kost kost an'. Bau bakmi godog itu memang sedap dan merangsang benar.

Selesai melayani ketiga teman sebelah, tukang bakmi itu kembali memukul wajan menawarkan jualannya sambil teriak nyaring "Miiiiiiiii". Amad, nggak bisa menahan dongkol. Tukang bakmi itu persis di depan jendela kamar. Dia keluar dan teriak. "Ora klonthangan, bengak bengok nggurahi wong turu. Minggat sing adoh ". Tukang bakmi hanya menggerutu, bilang kalau di tidak main main, dia jualan. Tetapi dia keder ok Amad badannya memang besar, berat 95 kg, tinggi 185 cm. Ada sepeda tersandar di bawah jendela. "Ki ini sepedamu ?'' "Bukan, saya tadi jalan kaki". Amad menaruh sepeda itu di belakang dan menutup pintu agar nggak bising.

Saya ketiduran di kamar Amad. Rupanya dia juga tertidur di meja tulis. Tiba tiba bangun jam 1100 malam, ada suara gaduh di luar Seorang polisi dengan senter besar sedang bicara dengan teman teman tadi. Sepeda tamu itu hilang. Yang punya langsung lapor polisi. Amad menjelaskan kalau sepedanya di lempar di loteng, biar aman. Polisi itu marah marah. "Mahasiswa nggak tahu aturan. Main main kebablasen". Amad diam saja, Sesudah polisi itu pergi, dia ngomong sama teman teman itu. "Kamu sudah untung nggak hilang sungguhan. Saya lempar ke loteng kan aman, Harusnya anda terima kasih".

Bergaul dengan teman yang sedikit urakan ini banyak membantu di waktu kesepian. Kami memang bersahabat erat. Kadang kalau ke Solo sama sama mereka di akhir pekan. Saya hanya bayar tiket kereta diskon lewat salah satu teman tadi. Topi kondektur bapaknya selalu dibawa di dalam tas. Setiap naik kereta rupanya dengan modal topi itu dia nggak pernah beli tiket.

Begitu ada pemeriksaan karcis, topi kondektur itu dikeluarkan dari tas. Kemudian memberi beberapa lembaran uang untuk kondektur yang bertugas. Uang tiket yang dia kumpulkan biasanya dipakai beli tahu bacem sewaktu kereta berhenti di Klaten.

Ada beberapa kali saya ikut pulang ke Solo bersama mereka. Saya biasanya akan turun di stasiun Purwosari. Saya nginap di rumah kakak saya di Kota Barat. Di Solo biasanya sudah nggak sempat ketemu lagi. Acaranya lain lain, gengnya sudah lain. Saya bertemu teman teman semasa SMA. Umumnya mereka serius, nggak ada yang bergaya semau gue. Tahun tahun kuliah di Yogya, saya nggak lepas hubungan dengan kota Solo. Perjalanan Yogya Solo dengan kereta Kuda Putih menjadi kenangan tak terlupakan. Masa kost di Yogya memberikan kenangan tersendiri. Gaya hidup pas pasan, jauh dari gaya priyayi gedhongan, terutama menjelang akhir bulan.

Salam sejahtera untuk Kokiers dan mereka mereka yang pernah jadi anak kost.

Ki Ageng Similikith

Dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber Media, 26 Juni 2007)

No comments: