Thursday, July 12, 2007

Kapan kereta itu akan kembali ?

Kira kira selang lima puluh tahun sampai empat puluh tahun silam, kami selalu menunggu jeritan kereta tua itu. Kereta itu dengan setia selalu lewat desa kami tepat kira kira jam empat lewat empat puluh menit sore hari. Dari stasiun Jambu menuju stasiun Ambarawa, lewat bagian selatan desa. Ungakapannya hampir selalu sama bagi mereka yang bekerja di sawah atau di ladang. “Sepure wis ngetan” (Kereta sudah lewat ke timur). Pertanda sudah saatnya pulang dari sawah atau dri tegalan.

Kereta itu akan lewat desa kami paling tidak dua kali di pagi hari dan dua kali di sore hari. Sore hari, menuju ke arah Barat, dari stasiun Ambarawa ke stasiun Jambu, yang berjarak kurang lebih lima atau enam kilometer, kira kira pukul setengah tiga siang. Saya nggak hapal benar jadual pagi hari ok pagi hari harus sekolah. Di hari hari besar seperti akhir tahun dan Lebaran, jadualnya lebih sering

Bagi yang pulang dari sawah kadang ada kegembiraan sendiri menunggu kereta itu lewat. Tangan mereka akan melambai ke para penumpang, yang sebagian mungkin sudah mereka kenal. Ya kereta itu memang menghubungkan antara Ambarawa dengan desa desa di sekitarnya. Jeritan kereta itu begitu akrab terdengar di telinga kami. Saya juga nggak tahu mengapa masinis itu selalu membunyikan sinyal setiap melewati desa kami. Seolah selalu menyapa akrab penduduk.

Jalur kereta ini dibangun di akhir abad sembilan belas dan di awal abad ke dua puluh oleh pemerintah Hindia Belanda. Jalur selatan menghubungkan Ambarawa, Jambu, Bedono, Secang sampai Magelang. Seterusnya dari Magelang nyambung sampai Yogyakarta, lewat Muntilan. Dari Secang juga ada jalur yang menghubungkan dengan Keparakan. Jalur Utara menghubungkan Ambarawa, Tuntang, Telogo, Nggogodalem, sampai stasiun Kedung Jati. Dari Kedung Jati, bercabang ke utara ke arah Semarang dan ke Selatan ke Solo lewat Gundih (http://www.internationalsteam.co.uk/ambarawa/museum.htm) .

Kereta api tua dengan jeritan melengking itu begitu akrab dengan kehidupan sehari hari. Kami selalu memanfaatkannya untuk jika perlu berkunjung ke tempat tempat ditepi jalur kereta itu. Saya masih ingat berulang kali bersama saudara, naik dari stasiun Jambu jika ada keperluan ke Bedono, sambil membawa sepeda. Sepeda ikut naik kereta dari Jambu. Alasannya dari Ambarawa ke Bedono, jalan terus menanjak, terlalu berat naik sepeda. Setelah urusan selesai dari Bedono sepeda dengan mudah melaju turun lewat jalan aspal.

Karena tanjakan ini pula, maka antara stasiun Jambu dan Bedono sengaja dipasang rel bergigi. Hanya ada dua di Indonesia, di jalur Jambu Bedono dan di Sumatra Barat. Jika kami sedang di ladang perbukitan belakang rumah, dengan jelas bisa melihat kereta itu naik tanjakan Jambu Bedono, melengking dengan napas berdesah tersengal sengal, seperti manusia usia lanjut. Ya memang kereta itu sudah tua karena dibuat di awal abad ke sembilan belas .

Di tahun enampuluh, kami melihat ada beberapa lokomotif baru, dengan kapasitas lebih besar. Suaranya nggak lagi melengking nyaring, tetapi besar dan berwibawa. Penduduk desa menamakan loko yang baru datang itu dengan sepur hong, oleh karena jeritannya hooooong.

Saya nggak tahu persis apa loko loko ini betul betul baru. Tetapi menurut catatan di museum kereta api Ambarawa, sebenarnya, loko ini nggak bisa dibilang lagi baru. Saya masih ingat beberapa hari setelah kereta ini beroperasi, bersama sama dengan beberapa teman SR, datang melihatnya ke stasiun Ambarawa. Memang kelihatan lebih gagah dan lebih berwibawa dibanding loko lama sebelumnya, yang sering dinamakan sepur kluthuk itu.

Jalur Utara membawa kenangan tersendiri bagi saya. Setiap kali libur, kami selalu naik kereta ini dari Ambarawa, menuju Beringin ke tempat kakek saya di desa Kali Jambe. Dari stasiun Beringin harus jalan kaki lewat kebun karet dan padang penggembalaan sejauh kurang lebih tujuh kilometer. Saya naik jalur kereta ini sejak sebelum sekolah di pertengahan tahun lima puluhan. Tetapi baru diijinkan oleh orang tua untuk pergi naik kereta api sendirian di kelas tiga SR. Pemandangan indah sekali sewaktu kereta itu melewati pinggir Rawa Pening dan kali Tuntang, di sebelah Timur Ambarawa (http://www.internationalsteam.co.uk/ambarawa/tuntang02.htm) . Nggak tahu sekarang.

Kenangan yang begitu indah datang ke rumah kakek. Nenek saya selalu membuat masakan kesukaan kami setiap hari. Main main di sekitar desa Kalijambe sangat mengasyikkan, banyak sumber air dan kebun karet atau kakao. Kakek saya selalu menggunakan bahasa Jawa sangat halus jika bicara dengan saya dan adik saya. Di rumah depan kakek saya ada dua kelas SR, sebagian lainnya di halaman kelurahan. Yang saya ingat di sekolah itu, nyanyiannya kok selalu pales. Nyanyi lagu Dari Barat Sampai Ke Timur, iramanya bisa meliuk liuk seperti suara loko Jambu Bedono. Kesan saya waktu itu.

Di awal awal tahun enampuluhan memang sudah kelihatan gejala gejala tidak sehatnya kereta itu. Perjalanan sering terlambat, kadang kadang berhenti tanpa alasan berjam jam di tengah sawah. Ayah saya bilang itu mungkin kesengajaan dari serikat buruh. Bahkan sering tetangga yang kenal dengan stoker (yang bertugas menjaga mesin dan memasukkan kayu ke mesin pembakar) dan masinis, pada pesan beli kayu yang seharusnya dipakai untuk pembakaran mesin uap kereta. Sesuai dengan pesanan masing masing, sang stoker akan melempar kayu kayu yang dijual di bawah tangan tersebut di sore hari waktu kereta lewat desa.

Pernah dicoba pembakaran dengan arang stengkul atau batubara. Namun juga tak bertahan lama ternyata. Jalur itu ditutup di pertengahan tahun enampuluhan. Suara loko itu entah seri C (sepur kluthuk ?) atau seri B (sepur hong ?), tak lagi terdengar. Pernah saya dengar pembicaraan ahli eknomi terkenal bahwa tranportasi kereta api memang sudah nggak jaman lagi, nggak ekonomis. Apa benar ? Di tahun delapan puluhan sewaktu saya di Newcastle (UK), saya masih melihat perjalanan kereta yang menghubungkan stasiun2 kecil di pedesaan.
Saya tetap masih merindukan kereta itu lewat desa kami kembali. Kabar burung katanya jalur kereta itu akan dihidupkan lagi, mungkin bukan hanya untuk turis. Bayangkan jika jalur kereta yang menghubungkan Ambarawa –Tuntang – Kedung Jati itu buka kembali. Ambarawa – Secang – Magelang- Yogya. Termasuk Secang Keparakan. Dan Yogya – Bantul – Palbapang. Alangkah indahnya. Mungkin bisa sedikit mengurangi angka kecelakaan di jalan raya, selain hitungan eknomis.
Salam Ki Ageng Similikithi

(Telah dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media, 10 Juli 2007)

No comments: