Thursday, July 5, 2007

Dari Yogya ke Solo

Menjelang tengah malam pengin nulis. Tentang sesuatu yang terkini. Petang tadi sama Nyi Ageng ke Solo. Ketemu Lembayung sambil makan nasi liwet Solo. Habis baca tulisan Awwal, tentang tempe dan sambal balado warna hijau, penasaran saya. Terus pengin merasakan nasi liwet Solo. Berbagai warna warni lombok rebus, tak hanya warna hijau selalu di sajikan bersama dengan nasi liwet itu. Siang tadi saya sms Lembayung, ada waktu nggak, dia bilang siap asal lewat jam setengah enam. Kantornya tutup jam setengah lima.

Saya dan Nyi Ageng sering sore sore seperti ini ke Solo mencari nasi liwet waktu masih muda dulu. Sekarang sudah begitu jarang. Waktu saya ajukan usulan untuk ke Solo, cari nasi liwet, dia masih ragu ragu. Saya tambahkan kalau mau ketemu sama penulis Koki dari Solo, the spirit of Java, Lembayung, dia mantep mau pergi. Sewaktu saya tambahi, sambil membine cinte mase tue, dia langsung pengin.

Berangkat pukul 0415, hujan rintik rintik sepanjang jalan. Mestinya romantis mengenang masa masa pacaran dulu. Nyi Ageng malah tertidur sepanjang jalan. Nggak tahu mimpi apa dia. Sekali dua kali saya bangunkan. Akhirnya saya diamkan, bisa bisa malah salah alamat nanti. Nggak kurang akal, toh saya bisa mbayangin tokoh tokoh imaginer masa lalu dalam lamunan saya. Bukan salah saya bo ! Apa boleh buat, tahi kambing bulat bulat.

Sampai di Solo hampir jam enam. Nyamperin Lembayung di Pajang, di bagian barat laut kota. Kami berempat dengan adik Lembayung, Ayu menuju Keprabon. Nasi liwet Bu Wongso Lemu. Jangan tanya rasanya ya. Makan nasi liwet sementara suara hujan di luar seperti bernyanyi lirih. Sambil ngobrol sama penulis koki yang beken ini, Lembayung. Gadis yang ceria.

Ceritanya mengalir lancar keluar seperti aliran sungai Bengawan Solo. Cerita macam macam, tentang Solo, tentang keluarga, tentang kerjaan, tentang bunga. Nggak tentang pacar. Seperti biasa saya nggak banyak bisa bercerita. Kemampuan saya bercerita agak terbatas. Tetapi saya dan Nyi Ageng sangat menikmati petang bersama Lembayung dan Ayu. Tiba tiba ada sms dari Bu Dewi di Kuching, tanyanya “Lembayung itu pria atau wanita sih?”. Saya jawab “Bu saya tak bekompeten menjawab, silahkan tanya sendiri”. Saya sambungkan langsung bu Dewi dan Lembayung, “Bu saya ini putri Solo asli lho”.

Kami makan sampai kira kira jam delapan, kemudian putar putar selatan kota Solo, lewat keraton dan alun alun selatan. Sewaktu lewat Mloyokusuman, saya cerita. Dulu saya pernah nyambangi putri Solo dari njeron beteng itu, namanya Dewi Sekartaji Galuh Tjandrakirana dan Dewi Saraswati. Tetapi setiap ketemu, saya selalu kalah wibawa. Tangan saya selalu tersilang di depan bila bicara dengan mereka. Sampai mereka pernah tanya “Ki sampeyan itu mau pengin nglamar jadi punakawan pa ?”. Tapi ya gimana, memangnya nyali nggak ada, ya mundur terhormatlah.

Sekilas ingatan saya melayang ke masa lalu. Saya selalu merasa kecil di kota ini. Selalu saya ungkapkan dalam cerita cerita yang lalu. Entah sekolah negeri, entah dhemit di rumah sakit pun kok nggak ada yang mau sedikit ramah sama saya. Saking kecilnya nyali saya waktu itu, si Ratri gadis cantik penari yang pernah saya ceritakan itu, sudah begitu dekat wajahnya di muka ku, saya tak berani bereaksi. Padahal saya masih jomblo waktu itu. Pikiran saya jangan jangan dia kuntilanak jadi jadian. Habis ngasih kode mau gituan kok di samping kuburan dan dia pakai parfum bau kenanga menyengat. Kecewa kemudian nggak ada gunanya. Masa lalu.

Juga sewaktu habis lulus dokter saya melamar ke UNS di Solo. Berjam jam menunggu petugas personalia untuk menyerahkan berkas lamaran, namun yang ditunggu nggak kunjung muncul. Sewaktu ada seseorang datang menemui saya, dengan antusias saya sambut dia, saya pikir petugas personalia. Eh tahunya dia cuma pengun pinjam korek api.

Beberapa tahun kemudian saya pernah diundang untuk menjadi pembicara dalam acara yang diselenggarakan UNS untuk sivitas akademika. Kabarnya pertemuan itu akan dibuka oleh Rektor sendiri. Pikir saya ini kesempatan saya untuk unjuk gigi di muka khalayak Solo. Sokur kalau pegawai yang minta api rokok itu datang, malah mau saya kasih rokok sekalian.

Saya datang datang bersama Dekan dri Yogya. Saking antusiasnya, saya ajak Dekan sama sama dengan mobil saya. Berangkat dengan mantap dan hati berbunga. Kesempatan untuk unjuk gigi bicara lantang di Solo. Dasar sial, begitu masuk kota, mobil yang barusan servis itu kok mogok di batas kota. Kami berdua yang pakai setelan jas lengkap terpaksa nyandra angkot yang lewat supaya diantar ke kampus. Nggak ada lagi nyali untuk unjuk gigi dan bicara lantang. Sewaktu Dekan cerita dalam awal ceramahnya mengenai insiden batas kota itu, semua hadirin tertawa. Saya hanya nyengir.

Tetapi kedatangan saya ke Solo kali ini sangatlah menyenangkan. Jelas karena Lembayung yang ceria dan mungkin juga karena nasi liwet itu. Salam sayang dan terima kasih dari Ki dan nyi Ageng untuk Lembayung dan Ayu. Salam damai untuk kokiers

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media, 30 Juni 2007)

No comments: