Friday, April 20, 2007

Saya ini intel lho

Banyak saran dan nasehat saya terima mengenai rencana saya untuk jadi dukun jika pensiun nanti. Saya menerima semua saran tersebut dengan senang hati. Saya sadar memang nggak ada bakat jadi dukun. Saya tak punya karisma ataupun aura yang bisa menghinopsis orang. Tetapi hidup adalah pilihan. Kita menentukan tujuan dan memilih jalan yang akan kita tempuh dalam hidup ini.
Banyak merenung memikirkan saran tersebut. Sebagian besar menganjurkan lebih baik gunakan waktu untuk menemani cucu. Jelas ini fungsi normatif seorang kakek. Tetapi hidup kadang harus inovatif, walau sudah pensiun. Ini prinsip. Harus tetap mencari alternatif, tidak sekedar business as usual.

Entah mengapa saya tiba tiba terpikir, bagaimana kalau jadi INTEL ? Mungkin saja ada lowongan, walau jaman Orde Baru sudah lewat. Anda semua tahu kan di jaman kemarin, betapa kuatnya wibawa seorang intel? Mereka dengan gesit dan kadang licik mengamati semua segi kehidupan, sejak bangun sampai kita tidur. Hanya dengan satu perintah, amankan stabilitas nasional.

Jika perlu mimpi pun dimonitor, jangan jangan mimpi seseorang bisa mengganggu stabilitas nasional. Bayangkan, seorang pemuda linglung di Jawa Tengah, diseret ke meja hijau dan di vonis 20 hari kurungan karena bermimpi jadi seorang presiden. Dia cerita mengenai mimpinya di rapat kampung, dan ada tetangga yang tak senang lalu lapor Koramil. Ini kisah nyata semata di pertengahan delapan puluhan.

Begitu kuatnya pengaruh intel, menurut kolumnis terkenal almarhum Mahbub Junaedi, sehingga ada keluarga miskin yang menginginkan anaknya supaya kelak jadi orang yang berkuasa dan disegani, kemudian menamakan anaknya yang baru lahir, dengan nama Mat Intel. Tidak seperti bayi kebanyakan yang kalau malam nangis, bayi Mat Intel in kalau malam malah ketawa terbahak bahak, sehingga orang tuanya nggak bisa tidur. Bayi umur enam bulan mungkin baru diberi makanan tambahan pisang atau bubur halus. Tetapi bayi Mat Intel ini justru sudah bisa makan jambu kluthuk. Jika bayi pada umumnya kencing selalu ngompol, maka bayi Mat Intel ini kencingnya bisa nyemprot puluhan meter hingga mengganggu stabilitas para tetangga.

Intel bukan hanya perangkat kekuasaan. Intel adalah lambang keperkasaan dalam masyarakat kita. Jika anda pas antri karcis di stasiun kereta api, dan langsung ke depan loket lalu bilang " Mas saya ini Intel lho", anda akan dilayani dengan sangat hormat. Intel bung, mana ada yang berani main main.

Saya masih ingat ketika akan pulang ke Yogya dri Kupang di pertengahan tahun delapan puluhan. Tiket saya sudah OK. Pada waktu check in diberitahu bahwa saya tak bisa berangkat karena ada rombongan penting yang harus diberangkatkan. Saya protes tidak bisa terima. Saya berdebat dengan seseorang yang mengaku intel dan bertanggung jawab mengatur perjalanan rombongan tadi. Insiden tak berlanjut. Dia tahu saya bukan soft target operasi khusus (opsus). Apa yang terjadi ? Satu keluarga dengan dua orang anak bersedia ditunda keberangkatannya. Itupun masih ada yang sempat nyelethuk. Masih untung dturunkan sebelum terbang, kalau diturunkan sesudah terbang maut kan .

Di awal sembilan pululan dalam perjalanan dri Bukit Tinggi ke Padang, taxi yang saya tumpangi dihentikan di satu pos polisi. Saya panik ok takut ketinggalan pesawat, Padang Jakarta. Saya bilang sopir, katakan kalau saya intel dalam rangka operasi khusus. Kebetulan saya pakai jaket hitam, topi dan kaca mata juga hitam. Polisi muda itu tak ambil pusing. Saya angkat sedikit topi saya, saya buka sedikit kaca mata hitam saya, dan saya lambaikan tangan dri dalam mobil. Nampaknya berhasil, kami dibiarkan terus padahal banyak mobil harus menunggu. Ada pejabat tinggi republik yang akan lewat. Mitos intel begitu kuat hinggap di masyarakat. Begitu menakutkan makhluk yang namanya intel bagi sebagian besar anggota masyarakat.

Di masa lalu doktrin perintelan sangat jelas. Hanya satu perintah, amankan stabilitas nasional. Apapun jika dianggap mengganggu stabilitas orang bisa di litsus dan diamankan. Jika perlu orang yang rambutnya awut-awutan pun bisa di litsus karena mengganggu stabilitas, mengganggu pandangan banyak orang. Ibu ibu atau gadis yang tak berdandan, kalau perlu dilitsus karena bisa mengganggu stabilitas nasional. Para lelaki tak bergairah lagi lirik sana sini. Ini bisa bahaya untuk pembangunan jangka panjang Indonesia. Stabilitas bisa goncang.

Saya masih ingat sewaktu anak anak masih kecil dan harus mengantar mereka ke sekolah tiap pagi. Jika ketemu ibu ibu yang juga ngantar anak ke sekolah, mereka habis bangun tidur, belum sempat mandi, masih acak acakan, rasanya kok risih gitu. Daya imaginasi kabur sesaat. Untung saya bermental baja, dan bisa mengerti situasi. Polusi pandangan seperti ini tak sampai mempengaruhi daya imaginasi dan kreatifitas saya. Bayangkan jika para profesional sampai kehilangan daya imaginasi dan kreatifitas karena polusi pengliatan yang sebenarnya bida dihindari. Stabilitas nasional goncang. Perlu operasi khusus intelijen. Kasih nama sandi operasi Wedhak Gincu Pagi Hari. Ini sama penting dengan operasi2 lain seperti operasi Mandala, operasi Serodja, operasi Ketupat Bangkahulu, operasi pasar Bulog. Kalau perlu orang yang kentut di tempat umum pun bisa diamankan demi stabilitas nasional.

Tantangan intel sekarang lain. Siapa yang dianggap musuh atau target operasi? Teroris? Nanti dulu. Beberapa waktu lalu penguasa kedua di republik ini selalu bilang ‘Di Indonesia tak ada teroris”. Padahal saat itu bom hampir tiap saat meledak. Siapa yang melakukan? Mungkin saja syaiton. Lebih baik kawin lagi terus saja bung dari pada mikir teroris.

Hanya sesudah kejadian bom Bali, dan badan intelijen negara Kanguru ikut turun, barulah para teroris itu ditangkapi. Kadang kadang memang yang namanya dari Australia memang lebih siip. Jika di jaman Orde Baru kita impor sapi pemacek dengan program Banpres (bantuan presiden), sekarang kita juga harus impor intelijen. Apa ya perlu impor pejabat ya biar negara nggak kacau terus terusan?

Kembali ke minat saya ingin jadi intel. Mungkin dengan menjadi intel, karena pengaruh aura, vitalitas fisik saya bisa kembali seperti waktu masih muda dulu? Sakit sendi yang kadang2 datang bisa hilang. Senyum saya bisa menawan. Suara deham saya (orang Jawa bilang dhehem) bisa mempengaruhi nyali lawan bicara. Kalau ada orang ‘ngeyel” (membantah), langsung bisa saya litsus (penelitian khusus) entah di Kodim atau Polres. Imaginasi saya bisa menebak alam pikiran warga yang aneh aneh.

Tak usah membayangkan intel seperti James Bond dengan partner cantik. Itu kan hanya dalam filem. Intel sejati tidak selalu harus berpartner, tetapi kalau ada ya syokur. Tetapi saya pasrah saja. Dikasih partner ya sokur alhamdulalilah. Terlebih kalau yang agak bahenol. Tidak ya tidak apa apa. Yang penting dapat tanda pengenal, yang mengatakan “Saya ini intel lho”. Ini dapat saya tunjukkan tanpa banyak bicara.

Saya akan cerita ke cucu cucu saya kalau saya ini intel. Rio, Laras dan Karin, cucu cucu saya mungkin bangga embahnya seorang intel. Tetapi mereka tentu akan cerita ke teman temannya dan gurunya juga, ‘’Embah saya intel lho”. Ini bisa merusak rencana operasi.

Tetapi saya punya set back serius. Intel di republik ini harus berkumis lebat. Saya pernah jadi pembicara seminar bersama dengan seorang kepala dinas intelijen. Kumisnya begitu angker, menambah aura. Setiap kali matanya menatap saya, otomatis saya bicara sambil membungkuk " Saya orang baik baik lho Pak ".

Saya tak pernah punya kumis. Tetapi ini tak masalah. Kantor intel di manapun selalu menyediakan kumis palsu yang bisa disewa jika akan operasi. Seperti dalam pertunjukan wayang orang atau ketoprak.

Jika anda tahu ada lowongan intel tolong kasih tahu saya ya. Siapa tahu nasib orang. Di pasang sebagai intel di kabinet bayangan ya mau. Dikasih partner sokur, tidak ya nggak apa apa. Pasrah saja, pokoknya intel.

Salam untuk semua. Hati hati, saya ini intel lho!

Ki Ageng Similikithi (bs2751950@yahoo.com)

(Telah dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber Community, 22 Mei 2007)

No comments: