Saturday, April 14, 2007

Lorong gelap jalur hukum di Indonesia


Hari hari ini beberapa media mengabarkan tentang pemeriksaan dan penahanan beberapa tersangka yang dituduh terlibat dalam kematian Munir. Munir adalah salah seorang aktivis yang vokal dan banyak mengkritik kebijakan pemerintah, terutama pemerintahan orde baru dan kelompok militer.

Saya tidak mempunyai pengetahuan, apalagi keahlian, di bidang hukum dan kriminologi. Tetapi setiap kali mendengar berita mengenai kasus pembunuhan Munir, dan kasus kasus kekerasan lain yang menghilangkan nyawa orang, selalu mendapat kesan mendalam betapa tidak lurusnya jalur hukum di Indonesia. Tidak bisa dipercaya, tidak independen, tidak memihak kepada korban. Selalu samar samar dan tak pernah tuntas. Banyak kasus serupa bisa dijadikan contoh dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia, jika itu tercatat baik.

Para aparat hukum selalu mengatakan bahwa orang yang tidak punya keahlian di bidang hukum, tidak perlu bicara masalah hukum. Ini adalah retorika normatif. Hasil akir suatu proses hukum adalah keadilan. Setiap warga masyarakat berhak bicara mengenai keadilan, meskipun dia tak tahu masalah pelik liku liku hukum. Keadilanlah yang dirasakan oleh masyarakat umum.

Orang yang tak punya keahlian di bidang hukum, memang seharusnya tak boleh ikut campur dalam proses hukum. Untuk itulah di banyak negara yang menghormati hak azasi dan demokrasi, proses hukum selalu dibuat transparan dan independen. Anggota masyarakat bisa mengikuti, mengetahui dan menerima. Tetapi kita disini semua selaku warganegara seolah diminta percaya begitu saja, suatu proses hukum yang sama sekali tak transparan, tak independen, dan hasil akhirnya tak mencerminkan keadilan.

Faktanya Munir meninggal karena diracun. Tempat kejadian bisa dilokalisir secara pasti, yakni di dalam pesawat Garuda, dalam perjalanan Jakarta, Singapur dan negeri Belanda. Begitu terbelakangkah kemampuan para kriminolog yang ada di republik ini, sampai tak mampu mengungkap kasus ini secara tuntas ? Ataukah memang ketidak bebasan itu yang membuat hasil penyelidikan selalu kontroversial ? Bisa dua duanya, dan semuanya hanya menambah jelek pamor hukum Indonesia di dunia internasional, menambah ketidakpercayaan masyarakat akan kemampuan dan kemandirian penegak hukum kita.

Sebagian besar aparat penegak hukum selalu berargumentasi, semua prosedur pemeriksaan telah dijalankan dengan benar. Semua dalil hukum telah diterapkan untuk menjaring pelaku. Tetapi nyatanya pelaku tak pernah terjerat hukum. Tetapi faktanya kan sang korban telah meninggal. Lantas siapa yang membunuh ? Apakah setan ? Jalur hukum di republik lebih banyak sifat dogmatisnya dalam mengikuti semua prosedur normatif, tetapi sering bertentangan dengan logika akal sehat dan keadilan.

Prosedur tinggal prosedur, ketentuan hukum tinggal ketentuan hukum, yang lebih penting siapa yang menerapkan. Para aparat hukum yang bertugas menerapkan segala tetek bengek prosedur dan ketentuan hukum tersebut, nyatanya tidak punya kemampuan professional yang diperlukan atau tidak mempunyai kemandirian yang dipersyaratkan. Semua lentur bisa di negosiasi. Sayang, sebagai penegak hukum, mereka tidak punya kebanggaan profesi dengan menjaga kemandirian. Hanya bangga terhadap predikat dan otoritasnya.

Kasus Munir bukan satu satunya contoh terisolir. Lihatlah beberapa kasus lain yag tak pernah terungkap dan tertangani tuntas secara hukum. Kematian tokoh buruh Marsinah, yang nyata nyata tewas dibunuh. Kematian wartawan Udin di Bantul. Kasus perkosaan yang menimpa Sum Kuning, di Yogya di tahun tujuh puluhan. Kasus yang menimpa Sengkon dan Karta di Jawa Barat yang divonis dalam kasus pembunuhan, tetapi yang dikatakan korbannya ternyata hidup sehat wal afiat. Kasus tertembaknya mahasiswa mahasiswa di Semanggi. Kasus penculikan dan penghilangan tokoh tokoh kritis di jaman Orde Baru. Pembunuhan sistematik orang orang yang diangap sebagai dukun santet.

Selama kita tak mampu mengatasi masalah hukum yang selalu melilit ini, mustahil kita akan keluar dari krisis dan melangkah menuju masarakat yang adil dan makmur. Oleh karena hukum dapat menjadi alat bagi yang punya kewenangan atau kekuasaan untuk melegitimasi setiap keputusan, walau itu bertentangan dengan keadilan dan kesejahteraan warga masyarakat

No comments: