Tuesday, April 17, 2007

Lulus SMA



Dalam perjalanan ke Kairo, lewat Dubai. Saya menulis kisah ini di bandara Dubai. Kisah singkat mengenai saat saat lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) di Solo.Tidak sekedar mengenai kenangan saat lulus SMA, tetapi juga menyangkut hubungan batin saya dengan kota Solo. Kota penuh romantisme anak muda. Semua pernah mengalami, saat saat bahagia lulus SMA. Gembira melewati tahap sekolah lanjutan, sebentar lagi akan menyandang predikat mahasiswa/i, bukan lagi siswa/i.

Jaman telah berubah banyak. Kini saat lulus selalu penuh hiruk pikuk kegembiraan, meriah dan penuh warna warni. Kalau perlu baju dicat dengan pilok. Kadang dengan berkendaraan ramai ramai di jalan raya. Lain dengan suasana di jaman saya lulus hampir empat puluh tahun lalu. Pada satu pagi yang cerah di penghujung tahun 1968, di hari pengumuman ujian, saya bersama teman karib, Sunoko, boncengan naik sepeda ke sekolah. SMA St Josef, di tepi barat kota Solo kea rah bandara Adisumarmo. Beberapa teman lain sudah datang duluan, tidak banyak.Singkat saja, nama kami berdua tertulis di papan pengumuman, lulus jurusan ilmu Pengetahuan Alam (PAL). Saling memberi ucapan selamat, dengan penuh kegembiraan. Tak ada hiruk pikuk, tak ada warna warni, baju di cat pilok.

Saya lulus dengan nilai tertinggi di sekolah untuk jurusan PAL dan urutan ke dua untuk SMA di kota Solo. Kemudian saya tahu bahwa nilai tertinggi diraih oleh siswa SMA Margoyudan, bernama Muhamad Munawar. Kalau nggak salah nilai rata rata 9.2, sedangkan saya hanya 8.8. Urutan ketiga diduduki oleh Hwie Swan (Susie Widjayanti) dri SMA Warga. Saya kenal baik ok kami selalu belajar bersama, dengan Souw Tjien (Daniel Budi Nursentono), teman akrab dri St Josef.

Jurusan ilmu pasti (PAS), umumnya angka lebih tinggi. Urutan pertama untuk Solo diraih oleh siswi yang namanya Wiras, juga dari SMA Margoyudan. Nilai rata ratanya kalau nggak salah lebih dri 9.5. Saat itu pengin kenalan sebenarnya, pengin lihat orangnya seperti apa dengan nilai rata2 mencapai hampir sepuluh itu. Maksud tersebut tak pernah kesampaian, hanya saya dengar dia melanjutkan ke ITB. Sampai sekarang saya belum pernah berkenalan dan bertemu muka dengan dia.

Setelah pengumuman itu, saya bersama dengan Noko, putar putar kota Solo. Mampir sebentar di warung kecil di tepi lapangan dekat STM, makan mie. Nikmat sekali. Ingin mampir melihat suasana di SMA Margoyudan. Namur tak jadi, hanya lewat. Kami sekedar ingin mengucapkan selamat tinggal untuk kota Solo. Sebentar lagi harus mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi. Berlaga lagi, pacuan belum selesai.

Bagi saya pribadi lulus SMA, seperti terlepas dari himpitan beban selama lebih dari 3 tahun. Saya datang di Solo tahun 1965, dengan bekal ijazah SMP Taman Siswa di Ambarawa. Datang ke Solo dengan impian, dengan harapan, cita cita dan antusiasme tinggi untuk bejuang dan belajar. Nilai saya rata rata 8 dari SMP. Dengan bekal nilai tersebut saya ingin berlaga di Solo. Saya banyak membaca sejarah Romawi, dan semboyan veni, vedi, vici, membayangi benak saya. Datang, melihat dan menang. Giat belajar, akan saya kalahkan kota Solo yang cantik ini.

Tapi apa lacur, begitu datang di Solo, kenyataan jadi lain. Tidak bersahabat. Semua SMA negeri di Solo, apalagi yang favorit, tidak menganggap ijazah dan nilai SMP saya. Semua sekolah yang saya datangi tak mau dan tak mungkin menerima saya dengan berbagai alasan, entah rayonisasi atau alasan lain. Bahkan ijazah saya pun nggak dilihat sama sekali setiap kali berbincang. Terpukul, tersia sia dan , merasa kecil tak berarti. Solo yang cantik ternyata tak seramah yang saya impikan.

Di SMA St Josef saya diterima dengan hangat. Gedungnya baru dan megah, baru pertama kali dipakai tahun ajaran itu. Seolah mengucap hangat. Selamat datang anak muda. Kemarilah, disini kamu relajar, disini kamu berlaga, di sini kamu berpacu. Saya tahu persis waktu itu sekolah ini termasuk sekolah andalan, setarap dengan De Brito di Yogya dan Loyola di Semarang. Rasa percaya diri saya pulih kembali. Saya akan lakukan yang terbaik, saya akan capai yang terbaik, sesuai kemampuan saya.

Rasa percaya diri ini tak bertahan lama. Kuartal pertama harapan saya hancur. Saya mendapatkan nilai 5 dalam dua mata pelajaran ilmu pasti, salah satunya strereometri. Terpukul lagi. Belum pernah mendapat angka merah di rapor. Ulangan saya memang tak lancar benar, tetapi saya pikir tak akan sejelek itu. Pikir saya, saya harus bangkit, harus perbaiki. Something is going wrong. Saya juga mencoba bertanya ke pak Guru. yang mengajar stereo.. Beliau hanya diam, menggelengkan kepala, dan melihat langit langit. Saya masih ingat, sewaktu saya meninggalkan ruangan, beliau tersenyum sendirian. Afterall, he is a good teacher.

Di kuartal ketiga benar benar saya genjot. Saya seolah menemukan impian saya. Nilai saya untuk kedua ilmu pasti tersebut melonjak jadi 9. Kemudian saya memilih jurusan ilmu pengetahuan alam di tahun kedua. Seterusnya di tahun ke dua dan ketiga, semua berjalan normal. Kami sering belajar bersama dalam kelompok. Bersahabat erat tetapi bersaing dan berpacu ketat. Hidup adalah belajar, berjuang dan berpacu. Sampai akhirnya saya lulus di tahun 1968. Kami diajar dan dididik oleh guru guru terbaik di Solo, excellent teachers, wonderful persons. Terutama guru kimia, bapak Sutarso, guru físika Bapak Mudjono. Masih banyak yang lain.

Tak banyak waktu untuk hura hura sehabis lulus SMA. Pacuan belum selesai. Harus mempersiapkan dan menghadapi ujian masuk pergutuan tinggi. Kami berdua bersama teman Sunoko mendaftar di empat universitas, di UGM, UNDIP, ITB dan IPB. Kami diterima di empat empatnya. Pilihan terakhir masuk Facultas Kedokteran UGM.. Muhamad Munawar ternyata juga memilih ke Fakultas Kedokteran UGM. Saya meninggalkan Solo di tahun 1969 dengan dada lapang dan perasaan ringan. Tak ada rasa kecil hati lagi. Bukan ranking satu, tetaapi saya selesai dengan gemilang. Misión accomplished.

Tetapi nampaknya saya selalu saja mendapat pengalaman yang membuat kecil hati di Solo. Seolah kota ini tak pernah mau ramah sama saya. Juga dalam kehidupan pribadi saya. Di tahun 1974 saya menjalani tugas ko-asistensi atau internship di RS Kadipolo untuk Ilmu Penyakit Dalam. Harus tinggal di rumah sakit ini selama beberapa bulan.

Pada waktu itu saya berkenalan dengan seorang gadis Solo. Cantik khas putri Solo. Dia mahasiswi salah satu sekolah seni di Solo, sebut saja namanya Aniek. Selalu datang berkunjung ke asrama di RS tiap akhir pekan. Dia selalu datang dengan membawa payung. Sangat serasi seperti yang digambarkan dalam lagu Siapa Dia. Belum berpacaran. Hanya berteman, mungkin PDKT (pendekatan).Suatu kali dia minta saya datang ke rumahnya. Di akhir pekan, dengan segala persiapan saya datang ke rumahnya. Nasib memang tidak baik untuk saya. Dia juga didatangi seseorang, dengan mobil, walau mobilnya plat merah dari ayahnya. Katanya sih teman baik. Tetapi cukup membuat saya terbanting. Mundur teratur. Dalam strategi militer namanya 'tactically withdraw". Saya selalu merasa kecil di kota ini.

Kadang ada kisah menyeramkan di rumah sakit. Para ko as tinggal di ruang paling belakang. Ada lapangan luas di belakang dan diujung selatan dibawah pohon ada satu makam, entah makam siapa. Dipisahkan oleh tembok tinggi di luar kompleks ada asrama siswa perawat. Satu malam lewat jam 1100, saya tidak jaga. Duduk duduk di muka kamar saya menghadap ke lapangan. Ada tiga siswi perawat putri berjalan ditengah lapangan ke arah selatan menuju ke asrama. Biasanya mereka pulang lewat depan memutar lewat kampung. Ini agak aneh.

Ada pikiran jelek untuk menakuti mereka. Saya berputar lewat belakang gudang2 tua, dan akan saya sapa mereka sesudah lewat gedung itu. Mereka pasti akan ketakutan. Saya berjalan dengan yakin, saya tunggu di sebelah selatan gedung tua itu. Apa yang terjadi ? Lorong itu kosong, lapangan juga kosong. Mereka tak muncul dan tak terlihat. Hati saya bergetar takut. Kisah kisah seram itu bukan hanya cerita kosong rupanya. Cepat lari kembali kekamar. Makhluk halus, demit pun kok nggak mau ramah sama saya di kota yang cantik ini. Demit itu ponakannya gendruwo.

Saat lulus dari UGM, kebetulan waktu itu di Solo dibuka Universitas Sebelas Maret. Saya mencoba mendaftar. Saya buat lamaran dan datang ke kampus sementara UNS di kraton menyampaikan lamaran tersebut. Saya datang di ruang administrasi, ruang besar dengan puluhan mesin ketik. Suara mesin ketik itu begitu ramai, serentak bersamaan seperti ada dirigen yang memimpin. Suara ketukan spasi itu selalu terdengar bersamaan. Memekakkan dan saya nggak tahu apa yang diketik dengan mesin sebanyak itu. Mungkin daftar nama seluruh penduduk Solo. Di luar suasana bising, latihan menari untuk pembukaan resmi yang akan dihadiri presiden beberapa hari lagi.

Saya terabaikan dalam suasana hiruk pikuk itu. Diminta menunggu untuk menyerahkan berkas lamaran. Staf yang menangani baru ada kesibukan di tempat lain. Sesudah menunggu lebih dua jam, seorang staff nampak ramah mendekati saya. Saya pikir dia ini yang akan menerima berkas saya. Ternyata dia datang ke saya hanya pinjam korek api, mau merokok. . Kesal. Kemudian saya tinggalkan berkas lamaran ke salah satu pegawai yang ada. Saya tak banyak mengharap dan memang tak pernah mendapat jawaban dari lamaran tadi. Tak apa memang banyak hal yang sering tak terjawab dalam hidup ini. Selalu saja saya merasa terbanting telak di kota ini.

Hampir empat puluh tahun berlalu dari waktu pengumuman ujian itu. Solo tetap cantiik menawan. Tetap romantis, saya ingin selalu mengenangnya. Saya tetap ingin kembali ke Solo, dengan kenangan yang indah. Saya tetap bersahabat akrab dengan teman teman dari SMA dulu. Tak semua bisa saya sebutkan. Dr Sunoko sekarang di Yogya, dia ahli bedah pembuluh darah. Dr Munawar ahli jantung di Jakarta. Daniel di Jakarta memimpin salah satu perusahaan multi nasional. Budi Andrianto teman baik sejak kelas satu, menjadi pengusaha swasta yang sukses dan kaya. Tak ada lagi istilah berpacu. Pacuan itu sudah lama selesai, puluhan tahun lalu. Kini hanya menikmati sisa waktu.

Terima kasih Solo. Terima kasih St Josef. Dari merekalah saya mendapat bekal untuk berjuang dalam hidup ini.

Ki Ageng Similikithi (bs2751950@yahoo.com)

NB

"Pacuan belum selesai" adalah kata2 yang diucapkan oleh Mésalla saat kalah berpacu kuda dengan Ben Hur dalam filem Ben Hur
.

3 comments:

. said...

Wow, That's great story boss, i was solo-ensis either,the munawar grand-child junior maybe...heheheh...

Ki Ageng Similikithi said...

Salam hangat nasi liwet Solo mas Said. Sukses selalu ya

Anonymous said...

[url=http://sapresodas.net/][img]http://vioperdosas.net/img-add/euro2.jpg[/img][/url]
[b]software downloads com, [url=http://sapresodas.net/]cheapest antivirus software[/url]
[url=http://vioperdosas.net/]Master Collection Retail Price[/url] student discount on software software office originale
software purchases [url=http://vioperdosas.net/]store and go software[/url] of oem software
[url=http://sapresodas.net/]adobe software programs[/url] sell phone software
[url=http://sapresodas.net/]places to buy software[/url] discount software ms
my office software [url=http://vioperdosas.net/]free microsoft office enterprise 2007 product key[/url][/b]