Wednesday, April 11, 2007

Budaya kekerasan, perploncoan dan premanisme


Kematian mahasiswa IPDN karena kekerasan di dalam kampus kembali terjadi untuk kesekian kalinya. Kembali menggoncang perasaan warga masyarakat yang cinta damai. Sesaat berita ini menjadi pokok berita banyak media masa dan sorotan tokoh masyarakat. Entah itu tokoh politik yang memang murni tergerak untuk memberi kritik atau sekedar mencari popularitas.

Dikabarkan bahwa selama 14 tahun terakhir telah terjadi tiga puluh lima kematian mahasiswa karena kekerasan di kampus. Saya tidak tahu apa itu yang namanya IPDN. Lembaga ini jelas bertugas mencetak dan mendidik para pamong praja seperti camat, lurah dan lainnya. Lulusan lembaga ini sebenarnya yang harus menjadi ujung terdepan sistem pelayanan publik di Republik ini.
Semestinya lembaga ini membekali anak didik dengan paradigma pelayanan masyarakat. Melayani masyarakat dengan disiplin dan kasih sayang untuk ketertiban dan kesejahteraan. Nampaknya paradigma kesejahteraan dan ketertiban masyarakat ini tak banyak menyentuh hati mereka. Mereka lebih banyak dibekali dengan dogma, indoktrinasi doktrin politik untuk mengendalikan dan menguasai masyarakat. Walaupun dengan nama Pancasila dan UUD 45 sekalipun.

Mereka dididik dengan doktrin untuk menjadi penguasa, bukan melayani dan memimpin masyarakat. Retorikanya memang begitu indah. Abdi masyarakat. Abdi Negara. Bahkan di Yogya ada yang secara berkelakar menambah, abdi dalem. Apapun istilahnya tak penting. Yang penting adalah paradigma pendidikannya. Mau dirancang dan dididik menjadi pamong praja yang melayani atau akan dididik menjadi penguasa.

Para pengelola lembaga pendidikan IPDN jelas banyak mengeluarkan jurus bela diri. Kejadian fatal seperti ini dianggap hanya kasus terisolir. Hanya sekian per sen dari jumlah seluruh mahasiswa IPDN. Bahwa pelakunya memang mempunyai kelainan psikologi dan sebagainya. Perlu dicatat bahwa berapapun angkanya secara statistik, kejadian ini adalah kejadian fatal yang menimpa warganegara. Kejadian ini bisa dicegah.

Kejadian ini terjadi karena budaya kekerasan yang dibiarkan berkembang dalam lembaga pendidikan. Entah itu melalui kebiasaan perploncoan atau melalui kebiasaan atau tradisi sehari hari yang diterapkan. Hak melakukan perploncoan oleh kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah, secara syah diberikan oleh lembaga yang bersangkutan. Apapun yang dikatakan bahwa perploncoan sudah diberi pengarahan. Ini hanya silat lidah. Selama hak melakukan perploncoan itu diberikan secara legal selama itu pula penyalahgunaan akan terjadi.

Tata sosial politik kita memang penuh dengan budaya kekerasan. Lihatlah maraknya apa yang disebut kelompok kawula muda. Entah itu dalam bentuk angkatan muda partai politik, kelompok agama, supporter sepak bola dan lain sebagainya. Mereka sarat dengan budaya kekerasan dan ingin menang sendiri. Kalau merasa kalah dalam permainan yang telah disepakati aturan mainnya, mereka ngamuk di jalan raya. Inilah gambaran tingkat disiplin yang ada dalam masyarakat. Belum lagi jika kita lihat tawuran pelajar, tawuran antar warga yang sering makan banyak korban.

Dengan pamong praja yang memang dirancang untuk menguasai dan mengendalikan dengan doktrin kekerasan, ya semua sudah klop. Budaya kekerasanlah yang akan terus dominan. Bukan disiplin dan ketertiban. Premanisme yang berkembang. Hanya pemimpin yang bisa mengendalikan, atau yang bersahabat dengan para preman ini yang mempunyai kans untuk terpilih, entah sebagai gubernur atau bupati.

IPDN sebagai lembaga pendidikan pencetak pamong yang melayani masyarakat dalam sistem publik telah gagal. Jika dibiarkan terus maka korban korban berikutnya akan terus berjatuhan. lebih baik dicari lembaga alternatif.

No comments: