Sunday, June 22, 2008

Kesetiaan terhadap Sang Guru - antara Palgunadi dan Yono

Saya tertegun membaca keindahan tulisan teman maya Paromosuko yang menggambarkan kesetiaan dan penghormatan Palgunadi terhadap Begawan Durna (http://selagibisa.blogspot.com/2008/06/sang-guru.html). Begitu cinta dan hormat terhadap Guru yang diimpikan, Palgunadi mengorbankan miliknya yang tak ternilai yakni jimat Mustika Ampal Kumbang Ali ali yang menentukan hidup mati. Begitu iklas pengorbanan ksatria Palgunadi terhadap Guru. Inilah petikan kata kata Palgunadi di akhir cerita

Kulolos cincinku dari ibu jari tangan kananku. Kuserahkan ke genggaman guruku yang mulia, yang tangannya baru dapat kusentuh pada saat akhir ini. Harum. Aku terkulai, jatuh tersimpuh. Lemas tepat di hadapan kaki Guruku berdiri. Lalu kulihat pelangi membusur dari arah rubuhku, membubung tinggi ke langit tujuh lapis. Akupun pergi ke arah cahaya-cahaya yang mempesona. Kulihat, di kejauhan sana, Anggrahini menyusulku dengan segenap kejelitaan dan kesetiaannya. Aku teramat bahagia.

Silahkan baca keseluruhan di blognya. Pasti dapat berkah dari Begawan Paromosuko. Cerita Mahabarata penuh dengan filsafat kearifan. Saya selalu mengenang guru saya dengan segala penghargaan. Apapun yang mereka lakukan. Tanpa jasa mereka saya tak akan bisa berjalan ke masa depan mengarungi waktu. Tetapi sulit untuk berkorban seperti Palgunadi di dunia nyata.

Peristiwa lima puluh tahun lalu kembali datang dalam ingatan saya. Antara teman saya Yono dan pak guru NAS di Sekolah Rakyat Masehi Ngampin. Hampir tengah hari. Rasa lapar dan dahaga tak tertahankan. Hawa panas mendera. Sesudah istirahat ke dua, kami di kelas empat duduk terhening. Acara terakhir harus latihan nyanyi bersama sampai waktu pulang jam satu nanti. Rasanya berat dan malas. :Lapar dan dahaga kok harus teriak teriak mengikuti lagu lagu itu. Saya selalu dapat tugas untuk menyanyikan suara 2 melengking tinggi. Kami harus latihan bersama dengan kelas kelas lain. Campur jadi satu. Semakin gerah dan panas.

Saya duduk di bangku ke dua. Pak NAS guru kelas lima yang memimpin latihan nyanyi. Beberapa lagu sudah kami lewati dengan lancar. Tetapi tak membuat pak guru NAS puas. Selalu ada suara satu melengking berkepanjangan diakhir bait. Tak ada dalam acara. Lengkingan itu datang dari bangku seberang. Adik kelas saya Yono duduk bersama teman temannya di sana, Saya nggak tahu siapa yang mengeluarkan bunyi lengkingan itu. "Siapa yang meringkik itu ya ? Awas tak sabet nanti". Pak NAS coba mengingatkan. Lengkingan sedikit berkurang di akhir bait.Tetapi tak hilang juga.

Tiba tiba saya lihat Yono menyandarkan kepalanya di meja. Tertidur dia. Mungkin juga dia yang melengking itu. Saya kenal baik dengan Yono. Bapaknya Pak Kastawi, sering bekerja di kebun saya. Ibunya Mak Pithi sering membantu ibu saya di dapur. Masakannya enak sekali, masakan gunung. Terutama nasi jagung dan urab daun kates. Mak Pithi juga suka cerita dan sabar sekali orangnya.

Pak NAS mendadak berhenti melihat Yono tertidur. Nampaknya dia marah sekali. Dia ambil keset dan serentak dilemparkan ke Yono. Suaranya menghardik lantang. " Anaknya Kastawi tak tahu aturan kamu. Bapakmu suruh sini, tak injek injek. Sudah lama saya nggak bunuh orang Lonjong". Yono memang rumahnya di dukuh Lonjong di atas pekarangan kami. Kasihan Yono. Dia begitu terkejut. Lari pontang panting sambil teriak " Tulung tuluuuuung. Mati aku mak-e".

Kami terus saja bernyanyi. Saya duduk disamping Jumadi sama Slamet. Kami makin mantap menyanyikan suara dua. Lancar nggak ada lengkingan di akir bait lagi. Jam satu lewat sedikit kami pulang. Insiden Yono lewat begitu saja. Peristiwa biasa. Yang kami rasa nggak biasa waktu itu, cuma di lempar keset saja kok teriak teriak mau mati. Pantangan untuk anak laki laki.

Sorenya saya ketemu Pak Kastawi di kebun. Saya beritahu kalau mau di injak injak pak NAS. Jawabnya ringan "Mau nginjak injak, mau nglempar. Silahkan. Saya bisa apa orang kecil". Dia sama sekali tak bergeming. Tak masuk dalam agendanya urusan injak menginjak atau lempar melempar. Paginya Yono nggak masuk sekolah. Mungkin saja masih takut sama pak NAS. Tetapi guru kelasnya bukan pak NAS. Ibu PUR yang sangat sabar. Sorenya saya sama Jumadi pergi ke rumahnya di Lonjong. Di lereng bukit. Kami bertiga duduk duduk dibelakang rumahnya sambil makan singkong bakar. Pemandangan lembah dan sawah terhampar di bawah sana. Gunung Telomoyo berdiri kokoh jauh di depan. "Kenapa nggak sekolah kamu Yono? Takut sama pak NAS ? Jawabnya ringan "Sebenarnya tidak takut. Hanya kaget luar biasa dilempar keset. Rasanya aneh gitu".

Kami memang terbiasa menerima slentikan cubitan guru. Agak terasa aneh cuma dilempar keset kok tulung tulung mau mati. Yono bergumam "Lebih baik di gampar dari pada dilempar keset. Semoga pak guru disamber bledhek"
.Saya sama Jumadi tertawa. Murid kok nyepatani guru, mana bisa ? Nggak majas. Dihadapan malaekat guru pasti lebih benar. Esok harinya Yono ke sekolah lagi. Diantar emaknya, Mak Pithi, yang minta maaf sama pak Guru, kalau anaknya nakal. Dia kembali seperti biasa. Mungkin sudah lupa insiden keset dan sumpahnya mengundang bledhek (halilintar).

Yono seperti kami hanyalah anak biasa. Masih ingin bermain. Bukan seperti ksatria Palgunadi yang mengorbankan nyawa demi sang Guru. Tetapi kami toh mengenang dan menghormati guru guru kami. Nyatanya tak ada bledhek yang mau turun nyambar pak Guru sampai sekarang. Pak Guru Nas juga nggak pernah nginjek injek atau membunuh orang, apalagi orang Lonjong. Istrinya asli dri Lonjong.

Salam damai dan salam untuk Begawan Paromosuko

Ki Ageng Similikithi

5 comments:

Indro Saswanto said...

Nah betul kan kata juri bethoro Indro.
Kiranya perlu penghargaan 'Pena mas' untuk dua tulisan yang sangat indah.
'Kutunggu dikau dikaki bukit' karya Ki ageng Similikithi dan 'Sang Guru' hasil coretan Begawan Paromo Suko.
Selamat, Hadiah babi bens segera dikirim.

Ki Ageng Similikithi said...

Terima kasih. Tulisan Begawan Paromosuko memang hebat tentang Sang Guru.

paromo suko said...

mimpi apa saya mendapat sanjung berlebihan seperti ini dari para Penyelam Mutiara Hati?
terima kasih,
saya ingin tetap beriring di belakang Andika berdua, menyertai perjalanan ini

Ki Ageng Similikithi said...

Salam hangat Begawan. Hidup adalah perjalanan menyusur waktu. Banyak hal yang indah dalam perjalanan itu. Salam damai dan bahagia

Cewek Emo said...

wah potonya bener-bener jadul iwg...