Sunday, June 15, 2008

Duska vs Centhul



Dalam perjalanan Manila – Amsterdam menuju Geneva dengan pesawat KLM bersama Nyi ketika saya menyaksikan film Duska. Karya sutradara Jos Sterling. Telah memperoleh penghargaan Golden Calf Award dalam festival film Netherland bulan Oktober 2007 untuk aktris pendukung terbaik, Sylviia Hoeks. Film dengan irama lambat dan sunyi ini menceritakan kisah Bob (Gene Bervoets), seorang wartawan film, yang tinggal sendirian menjalani kehidupan yang sunyi di seberang sebuah gedung bioskop. Di apartemen yang semrawut, kehidupan rutinnya berkisar sekitar melihat film, menulis di computer, minum, dan makan sambil bermalas malasan. Dia sangat merindukan dan mengagumi gadis cantik (Sylvia Hoeks), si penjaga loket di gedung bioskop itu. Sampai satu saat, kesempatan langka itu datang. Dalam satu percakapan akhirnya si gadis bersedia datang ke apartemen dan menikmati malam bersama. Acara malam yang tentunya akan sangat romantis. Yang sangat diimpikan Bob selama ini.

Namun sebelum acara berkembang lebih romantis, tiba tiba datang teman Bob, seorang Rusia yang bernama Duska (Sergei Matkovestky), mengetuk pintu. Bob sudah kenal Duska lama. Dia lahir dalam bis yang dikemudikan Bob dahulu. Kedatangan Duska menggagalkan segala impian romantis yang telah diperjuangkan Bob selama ini untuk menggaet gadis cantik itu. Duska yang bloon memang sering menjengkelkan.. Namun Bob tak pernah bisa mengindarkan diri dan menyingkirkan dari kehidupannya walaupun sudah berusaha keras. Setiap kali Duska yang dungu itu pergi, Bob selalu berusaha mencarinya kembali.

Ini bukanlah kritik film. Saya bukan ahlinya. Tetapi saya yakin bahwa kita semua pernah bergaul atau bertemu dengan seseorang yang sebenarnya kita benci karena kekonyolannya. Tetapi kita tak pernah bisa melepaskan darinya. Melihat film ini membawa ingatan saya melayang ke peristiwa lebih empat puluh empat tahun lalu. Saya masih kelas tiga SMP. Umur empat belas tahun. Di satu hari Minggu di tahun 1964, saya kedatangan dua orang teman putri. Dari sekolah yang sama cuma kelas yang berbeda. Santi sama sepupunya mbak Narni. Kami sama sama kelas tiga SMP. Hal biasa, murid murid sering datang di akhir pekan ke rumah. Mereka bertamu ke ayah saya. Ayah adalah guru ilmu pasti di SMP Taman Siswa Ambarawa. Datang hanya sekedar bertamu, bukan untuk kursus atau yang lain.

Kedatangan Santi dan Narni, bukan hal biasa. Mereka tahu kalau ayah saya akhir pekan itu tak ada di rumah. Sedang ke luar kota ada acara di Purworejo.. Saya sama Santi sering bertukar surat romantis sejak beberapa bulan lalu. Hanya lewat surat. Tak pernah berani lebih dari itu. Mungkin cinta monyet. Surat surat kami selalu bertukar hampir setiap minggu. Kami tak pernah bertukar kata langsung secara intens. Hanya lewat surat. Santi juga tak pernah datang ke rumah sebelumnya. Tetapi hari itu dia punya alasan pamit orang tuanya bertamu mengunjungi ayah saya. Walaupun ayah saya nggak di rumah.

Rumah sepi walau tak senyap sekali. Suara lenguhan kambing atau sapi kadang terdengar satu dua. Juga dendang para pekerja kadang mengusik kesunyian. Rumah saya di tengah kebun kopi. Banyak hewan piaraan, lembu atau kambing. Kami bertiga semula duduk duduk di pendopo, di ruang depan. Adik saya bertiga tadinya di ruang belakang, tetapi kemudian nggak tahu pada pergi kemana. Hanya para pekerja yang lalu lalang membawa rumput untuk makanan sapi sama kambing. Kami tak banyak bicara. Tak terbiasa. Hanya lewat surat. Mbak Narni yang banyak cerita. Menjelang tengah hari, para pekerja sibuk membersihkan dan memberi makan sapi. Di kandang samping, kira kira lima puluh meter dari pendopo. Mbak Narni tiba tiba saja bangkit " Eh lihat lihat sapi dan kebun saja". Ternyata ketiga adik saya juga sudah berada di kandang. Mereka nampak bicara ramah. Mereka berjalan jalan di kebun. Tinggal saya bersama Santi di ruang itu. Ruang terbuka. Gunung Telomoyo nampak jauh di depan sana.

Saya tak bisa tenang sendirian bersama Santi. Jantung saya berdetak keras. Hati berdebar tak karuan. Bicara juga nggak tenang. Coba bicara tentang pelajaran, nggak bisa asyik. Serba salah. Kami duduk berseberangan di kursi rotan itu. Saya pindah mendekat. Namun tak bisa berdampingan. Kursi kursi itu tertata dalam posisi segi empat. Bicara lebih banyak basa basi semata. Habis ujian nanti rencana kemana? Saya akan meneruskan ke SMA ke Solo." Kau pasti akan melupakan saya Ki. Saya akan meneruskan ke Salatiga atau Ungaran". Saya tak bisa membalas lugas. Pikir saya, bagaimana mungkin melupakannya. Kami lebih banyak diam. Hati saya berdetak semakin keras ketika bisa menggapai dan menggenggam jari jarinya yang lembut. Dia hanya berbisik lirih, 'San'. Seumur umur, hanya Santi yang memanggil nama saya San. Tak ada yang lain.

Wajah jelita itu nampak memerah. Sepasang mata yang indah meredup. Bibir seksi ..merekah indah seolah memberi isyarat siap untuk tahap lebih lanjut. Gemetar tangan saya menggenggam jari jarinya. . Di kejauhan suara sapi dan kambing terdengar ramai berebut makan. Tak ada nyali lebih dari itu. Saya sering menonton film tiga belas tahun. Sebagian film India dengan bintang tenar Raj Kapoor, atau film Indonesia dengan bintang Bambang Hermanto atau Bambang Irawan. . Dalam adegan berciuman umumnya selalu pakai kaca mata hitam. Saya pikir berciuman memang harus memakai kaca mata gelap. Saya hanya terhenti saling menggenggam tangan dan tenggelam dalam perasaan galau. Hanya bisikan bisikan lirih yang kadang keluar tak jelas. Aaah seandainya saja saya punya kaca mata hitam waktu itu. Pasti asyiiik habis.

Tiba tiba saja suara itu datang mengejutkan kami. Seperti suara lenguhan sapi yang akan kawin. Suara si Centhul. Ternyata dia telah duduk merokok di tepi pendopo. Centhul dan Pangat, kakak beradik telah bekerja bertahun tahun. Mencari rumput dan memelihara sapi sama kambing bersama pekerja yang lain. Centhul ini yang paling saya jengkel. Perawakannya kurus tinggi. Rambutnya panjang kotor tak terurus. Pakaiannya tak pernah beres, selalu nampak compang camping. Gerakannya sangat lambat. Bicaranya keras dan sering telmi, telat mikir. Makannya paling banyak di antara yang lain. Tetapi lamban dan dungu, paling susah diajak bicara. "Sudah selesai semua ? Kok nggak terus pulang ?". Jawabnya ringan menjengkelkan "Pengin ngisis dan leyeh leyeh dulu". Padahal biasanya dia sesudah makan siang, paling cepat lari pulang. Mau istirahat kok ya nekat di dekat kami. Saya tahu pasti, dia sengaja mau ngindhik, mencuri mata. Tetap saja dia duduk di pojok tepi pendopo sambil ura ura lagu "Jenang Gula". Bah menjengkelkan.

Saya hanya memendam rasa jengkel dan keki. Kalau punya uang, rasanya pengin menyuruh dia pergi beli gereh (ikan asin) ke pasar berlama lama. Kalau perlu sampai Semarang pulang malam.. Sewaktu SR dulu dia selalu mau mengerjakan pekerjaan prakarya saya, jika saya ambilkan sebatang rokok Tuton milik ayah saya. Sekali ini tak mungkin dia mau pergi.. Dibayar berapapun. Merasa di atas angin dia. Anjing anjing saya lebih dari sepuluh. Mereka biasanya selalu taat dibawah komando saya. Mengusir siapapun. Tetapi kali itupun nggak akan mau mereka mengusir Centhul. Centhul begitu akrab sama anjing anjing kami.

Sehabis makan siang. Mbak Narni sama Santi pamit pulang. Mereka boncengan naik sepeda. Saya mengantarkan sampai di tepi jalan raya. Tak sempat apa apa. Hanya sempat menyentuh kembali jari jarinya yang lentik sewaktu dia mau menaiki sepedanya. Wajahnya tersenyum lembut. Matanya menatap nanar. "Sudah ya San". "Santiiiii", bisik saya lirih.

Empat puluh empat tahun telah berlalu. Ingatan saya kembali ke episode singkat itu. Aaah seandainya saya punya kaca mata hitam waktu itu. Seandainya si Centhul tak datang mengganggu. Adegan asyik itu pasti terjadi. Berciuman pertama kali. Thuuuuuuul Centhul, kamu ternyata seperti Duska.

Ki Ageng Similikithi

4 comments:

Indro Saswanto said...

Ihik ihik... cinta monyet memang selalu berkesan Ki.
Soal cium mencium tebakan saya mulai dari tangan. Saya yakin seandainya gak ada Centhul pasti aki hanya akan mencium punggung tangan neng Santi... ngak brani cipi cibir n cici lainnya apalagi c180.
Monyet methangkring diatas punggung tangan saja erotisnya bukan main. Tul Ki?

Ki Ageng Similikithi said...

Terima kasih. Bisa pegang tangan saja rasanya sudah melayang layang. Biasanya di sekolah cuma lihat dia jalan dari pintu masuk sampai ke kelas saja sudah seperti menuntun tangan di awang2.

paromo suko said...

stadium awal, pak
sekarang stadium berapa?

Ki Ageng Similikithi said...

Sekarang stadium pensiun. Mikir hidup alam sana. Hal hal duniawi seperti cipika cipiki hanya untuk bahan cerita dan lamunan. He he