Friday, July 4, 2008

Pindah kerja - perjalanan menyusur waktu

Saya sedang di Kuala Lumpur minggu lalu ketika sebuah pesan singkat masuk. Dari anak saya kedua, Nunu. Sangat jarang dia kirim pesan singkat. Isinya ringkas "Hi pak, saya sudah resign dan pasti berangkat dua minggu lagi". Saya agak gagap. Beberapa waktu memang sering bilang pengin pindah kerja, tetapi saya pikir tidak serius. Selama enam tahun terakhir ini dia bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi terkemuka di tanah air. Karier bagus. Penghasilan mantap. Kebutuhan keluarga tercukupi. Namun dia toh memutuskan untuk bergabung dengan satu perusahaan internasional untuk meniti karier. Ditempatkan di salah satu negara di Timur Tengah. Sebenarnya berat dia meninggalkan pekerjaan sekarang. Yang membuat dia memutuskan meninggalkan pekerjaan sekarang karena dia diterima langsung sebagai staf tetap senior engineer..Tak merayap lagi dari bawah. Ini kesempatan terakhir karena dua kali sebelumnya dia telah membatalkan keputusan di tahap akhir. Kesempatan itu tak mungkin datang lagi.

Lain dengan saya yang gagap akan keputusan secepat itu, NYI malah mendukung sepenuhnya. Kapan lagi, mumpung masih muda katanya. Jangan membuat keputusan terlambat. Nunu memang masih muda. Umurnya baru menginjak tiga puluh tahun. Anak dua masih kecil kecil. Perjalanan kariernya masih panjang. Bagi saya memutuskan untuk memilih dan berganti pekerjaan, adalah keputusan besar dalam hidup. Mungkin seperti membuat keputusan untuk kawin. Pekerjaan adalah bagian dari perjalanan hidup. Sesuatu yang sakral dan harus terencana sejak awal. Perjalanan panjang menyusur waktu

Saya ingat sewaktu teman teman lulusan seangkatan di pertengahan tahun tujuh puluhan semuanya sudah mantap dengan pekerjaan tetap masing masing, sebagian besar berkarya sebagai dokter di Puskesmas, saya masih sabar menunggu pengangkatan sebagai asisten dosen di perguruan tinggi. Waktu itu profesi dokter Puskesmas sangat populer dan dibanggakan masyarakat. Namun saya sejak awal pengin jadi peneliti dan pengajar. Walaupun harus menunggu sampai dua tahun untuk pengangkatan sebagai asisten dengan gaji sangat minim. Namun itu tak pernah mengecilkan semangat saya untuk berkarya. Meskipun harus lari kesana kemari dengan praktek pribadi untuk menutup kebutuhan hidup sehari hari.

Ketika saya memperoleh peluang beasiswa Rockefeller untuk menempuh program doktor, tak bisa saya gambarkan kebahagiaan waktu itu. Meskipun awalnya harus pisah dengan isteri dan anak anak yang masih kecil. Inilah Jalan ke Barat yang saya impikan sejak kecil. Juga ketika lulus doktor, saya cepat cepat pengin kembali ke alma mater dan mengembangkan laboratorium yang saya impikan. Walaupun NYI masih ingin kami tinggal lebih lama di UK oleh karena bea siswanya masih sisa dua tahun. Saya tak pernah tergiur dan mimpi pindah ke lembaga penelitian atau ke luar negeri, walaupun sarana penelitian waktu itu sangatlah minim. Harus mengembangkan dari nol. Tetapi saya tak berkecil hati karena sebelumnya menyadari memang itulah kondisinya. Tak bisa menuntut lebih. Naif untuk mengharapkan semua sarana penelitian lengkap seperti di Eropa. Toh akhirnya saya berhasil mengembangkan laboratorium saya dengan grant dan kerja sama penelitian, dan akhirnya bisa diakui menjadi Collaborating Centre untuk lembaga UN terkemuka. Satu satunya di tanah air dan di Asia untuk bidang saya.
Kesempatan emas untuk pindah kerjaan dengan sistem karier dan sistem insentif lebih baik batang beberapa kali. Tetapi mantap keinginan untuk bekerja di bidang yang saya tekuni di tanah air dan berkecimpung di di skala global, tak pernah terlintas keinginan untuk pindah. Dalam berbagai forum ilmiah global saya sering diminta memberikan perspektif dan pengalaman di negara berkembang. Sebagai orang Indonesia, ini adalah sesuatu yang membanggakan buat saya waktu itu.

Namun di pertengahan umur empat puluhan saya menyadari ada sesuatu yang tak benar dalam perjalanan saya. Ternyata selama enam belas tahun saya tak pernah naik pangkat. Tak enak sebenarnya mengeluarkan keluhan atau uneg uneg di sini. Ada kekecewaan yang dalam oleh karena apa yang saya lakukan untuk alma mater dan tanah air sama sekali tidak mendapat pengakuan wajar. Saya tak mengharap sesuatu yang istimewa. Tetapi kalau kenaikan pangkat terganjal selama enam belas tahun, ini sudah merupakan kekagalan sistem. Akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan lembaga yang saya cintai dengan sangat berat. Tawaran yang saya terima sangatlah menyentuh. Bukan tawaran insentif bagi saya. Tetapi tantangan baru untuk mengembangkan strategi meningkatkan keterjangkauan dan ketersediaan obat untuk kalangan segmen bawah, dengan bekerja sama dengan pemerintah dan lembaga lembaga partner. Cakupan daerah kerja saya sangatlah luas dan sangat menantang. Mulai dari daerah daerah terpencil di gurun Asia Tengah, pulau pulau kecil di Pasifik dan pedalaman terpencil di Mekong.

Anak saya Nunu mengambil keputusan cepat. Dia merasa kariernya tak berjalan seperti yang diharapkan. Mungkin ada ganjalan dalam dinamika kelompok di tempatnya bekerja. Bukan semata mata karena insentip dan penghasilan. Dia mungkin mengambil pelajaran dari saya. Menunggu keadaan membaik dengan sendirinya. Menunggu sesuatu yang tak akan datang. Enam belas tahun lembaga saya gagal menilai apa yang telah saya lakukan. Terjebak dalam mekanisme kelompok yang emosional. Kepercayaan publik yang diberikan kepada lembaga penelitian dan pendidikan tinggi, banyak disalah manfaatkan oleh mereka mereka yang berpangkat tinggi dan mendapat hak untuk menilai. Wewenang hampir tanpa batas, tanpa kendali dan tanpa pembanding. Ini adalah contoh kegagalan intelektual lembaga lembaga ilmiah di tanah air, yang harus diperbaiki jika ingin bersaing di skala global.

Ada banyak alsan mengapa orang meninggalkan pekerjaan yang dicintai. Mungkin karena insentip, mungkin karena perjalanan karier profesi, mungkin karena dinamika dan lingkungan kerja yang tak kondusif lagi. Semua orang punya alasan masing masing. Sah sah saja. Tetapi saya tak pernah kecewa meninggalkan pekerjaan saya dulu di lembaga pendidikan tinggi, juga tak kecewa akan keterlambatan saya mengambil keputusan. Tak ada alasan untuk menyesal. Hanya suatu saat saya terkejut menerima pertanyaan seorang rekan, apakah ditempat baru anda, anda nggak merasa seperti menjadi orang buangan? Dia salah seorang staf lain fakultas dimana saya bekerja dulu. Pertanyaan bodoh yang tak perlu ditanggapi. Hanya mencerminkan keterbatasan jangkauan pikirannya semata.

Di tempat baru, kita bisa menilai secara arif sampai di mana perjalanan kita. Arah kedepan mana yang akan ditempuh. Bukan kembali lagi ke awal perjalanan. Kita hanya berjalan menyusur waktu ke arah depan.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

4 comments:

Indro Saswanto said...

Keberanian ''hijrah'' memang tidak dimiliki setiap orang.
Apalagi kalau sedang dalam kemapanan........
Kungkungan dan jeratan ada didalam diri sendiri.
Berbahagialah orang yang telah berhasil memutus belenggu itu.
Hijrah adalah salah satu kunci kesuksesan.
Tentu hijrah yang dibarengi perhitungan matang.
Wassalam.

Ki Ageng Similikithi said...

Terima kasih pak Indro. Saya juga kaget sewaktu menrima sms=nya. Saya butuh bertahun tahun memutuskannya. Bagi saya pindah kerja seperti memilih jodoh. Orang memang harus mengambil keputusan tepat di saat yang tepat

paromo suko said...

di sebuah tempat di suatu waktu
ada sebuah pertanyaan kepada saya:

- sudah berapa lama kerja di sana?
+ sekian likur tahun
- terus-menerus?
+ ya
- GUUUWOBBLOGGGGG !!!

lhahh!!
saya mau tanya balik:
+ sudah berapa tahun beristri?
- sekian belas tahun
+ dengan isteri yang sama ?
- o, iya dong
+ BIANG-MOYANG GOBLOG

urusannya barangkali ada sesuatu yang bernama cinta kepada pekerjaan dan lingkungannya

cinta memang harus disertai pengorbanan

(katanya, sih)

Ki Ageng Similikithi said...

Terima kasih pak Paromosuko. Kita dulu selalu ditanamkan agar kerja dengan penuh dedikasi dan pengorbanan. Mencintai pekerjaan yang kita hadapi apapun yang terjadi. Mungkin jaman memang berubah. Saya juga tidak pernah membayangkan kalau akan pindah kerja.
Salam