Thursday, June 5, 2008

Kenangan potong rambut

Semoga semua menikmati akhir pekan yang tenang dan mengasyikkan. Dalam kesibukan pekerjaan yang kadang begitu menghimpit, akhir pekan seolah seperti oase yang teduh. Di antara perjalanan yang meletihkan dari minggu ke minggu. Saya memanfaatkan Sabtu petang kemarin dengan potong rambut. Di salah satu barber shop di dekat tempat tinggal saya. Ruangannya sejuk dan tenang. Kurang lebih sejam, potong rambut, cuci kaki, pedicure, pijit kaki dan pijt kepala. Sambil mengantuk menikmati musik busanova yang mengalun lambat, membawa kenangan melayang ke masa lalu. Sudah hampir delapan tahun saya mengunjungi tempat ini secara berkala. Namun tidak kunjung ada obrolan pribadi yang intens. Hanya hubungan antara penjual dengan pelanggan semata. Dingin monoton. Demikian juga pelanggan pelanggan lain. Tak ada yang terlibat obrolan asyik dengan tukang cukur atau petugas lainnya.

Ingatan saya melayang ke masa silam. Kenangan peristiwa potong rambut. Terutama kenangan tentang sang pencukur. Kita semua pasti ingat obrolan obrolan tukang cukur di masa silam.Saya punya kesan mendalam beberapa tukang cukur saya di masa lalu. Sebagian dari mereka selalu suka ngobrol, bahkan sering membual. Tukang cukur yang saya kenal pertama lebih lima puluh tahun lalu di desa Ngampin Ambarawa. Sewaktu saya masih di bangku Sekolah Rakyat. Namanya pak Dulmuji. Saya nggak tahu persis nama lengkapnya. Dia satu satunya tukang cukur di desa kami waktu itu. Rumahnya diseberang jalan kira kira dua ratus meter dari rumah saya. Dibelakang rumahnya ada pancuran alami kali Rau. Saya selalu datang ke rumahnya bersama adik saya. Acara cukur di beranda rumah atau dibawah pohon mangga di halaman.

Dia pasti selalu banyak bicara saat mencukur. Apa saja bisa jadi bahan omongan ?"Makanannya apa kok rambutmu begitu kaku'? Rambut saya memang kaku dan selalu berdiri tegak waktu itu. Sedangkan rambut adik saya agak keriting. Tetapi saya merasa pertanyaan ini hanya sekedar excuse karena guntingnya atau alat trimmernya yang tumpul. Selalu saja saya merasa sedikit rasa sakit, karena dia berusaha menarik rambut yang tak terpotong gunting atau trimmer secara tuntas. Dan pada saat yang sama dia akan mengajukan pertanyaan tersebut. Yang lebih gawat kalau dia berusaha mempertajam pisau cukur atau guntingnya dengan olesan ludahnya. Merinding rasanya. Saya tak pernah mengeluh, hanya kadang merasa kaget saja. Sampai satu saat saya bertemu pakdhe saya. "Katanya Dulmuji, rambutmu susah dicukur karena kamu mbeling (nakal). Jangan sok mbeling, rambutnya jadi kaku". Batin saya mulai mempertanyakan etos tukang cukur pak Dulmuji. Membeberkan rahasia jabatan tukang cukur. Belum tentu juga anggapannya benar, bahwa rambut kaku menunjukkan sifat anak mbeling.

Saya tak banyak tergoda obrolan pak Dulmuji. Hanya menjadi pengisi waktu selama bercukur. Tak pernah masuk pikiran secara serius. Sebagian tak masuk akal. Hanya bualan semata. Tetapi ada rasa asyik mendengarnya. Yang paling saya ingat, dan paling tak masuk akal sewaktu dia cerita tentang Joko Tingkir. Ini legenda dari jaman kerajaan Demak. Joko Tingkir pemuda dusun asal desa Tingkir di hulu bengawan Solo. Dalam legenda dia dipercaya menaklukkkan buaya di bengawan Solo sewaktu menaiki rakit menuju Demak, untuk mengabdi Sultan Demak. Menurut cerita pak Dulmuji, sebenarnya Joko Tingkir itu dulunya tukang cukur di desanya. Karena keahliannya maka dia kemudian dipanggil ke Demak untuk jadi tukang cukur Sultan Demak. Bah tak masuk akal tetapi saya diam saja.

Saya dengarkan dan nikmati bualannya. Menurut sejarah, Joko Tingkir memang pernah jadi kepala pasukan pengawal raja di keraton Demak. Kemudian akhirnya menjadi sultan Demak dengan gelar Sultan Hadiwidjojo, jika nggak salah. Mungkin ada pembaca yang bisa cerita lebih rinci. Tetapi Joko Tingkir tak pernah tercatat dalam sejarah sebagai tukang cukur istana Demak. Sewaktu saya tanyakan ke guru saya mengenai ini, guru saya pak Rahmat malah naik pitam. "Kamu ini murid saya atau mau jadi muridnya Dulmuji tukang cukur itu ?'. Saya menjadi tertawaan teman sekelas. Habis itu saya tak pernah berani lagi mengungkit cerita Joko Tingkir jadi tukang cukur versi Dulmuji.

Saya pernah mencoba alternatif ke tukang cukur di dusun sebelah, di desa Sumber. Ada tukang cukur yang buka warung cukur di tepi jalan raya Ambarawa Magelang. Jaraknya kira kira satu kilometer dari rumah saya. Namanya lupa, jika nggak salah Hardjo Budheg, karena memang kurang pendengaran. Orangnya pendiam, tetapi kalau bicara setengah berteriak. Mungkin karena kurang pendengaran. Hanya sekali saya ke sana waktu itu. Saya enggan datang kembali karena dia juga menerima mencukur anak anak yang menderita boroken di kepala. Boroken adalah infeksi kulit kepala karena sejenis parasit kulit. Sekarang mungkin penyakit ini sudah nggak ada lagi. Gunting dan pisau cukurnya jadi bau amis nggak enak sekalipun sudah dibersihkan. Pak Dulmuji selalu menolak mencukur anak dengan kepala boroken. Katanya biar dicukur bapaknya sendiri, karena menurutnya boroken adalah penyakit anak yang ditelantarkan orang tuanya.

Sewaktu SMP, kadang kadang saya cukur di pak Dulmuji, kadang2 juga cukur di Ambarawa. Nama tempat cukurnya di Ambarawa, Coiffeur Fatchoor, di jalan Ambarawa Banyubiru. Nama pencukurnya pak Fatchoor. Orangnya sangat kalem. Bicaranya menunjukkan dia berpengetahuan luas karena banyak baca. Tutur sapanya halus dan sopan. Ayah saya selalu bercukur ke sana. Jika sedang cukur mereka asyik bicara, kadang2 dengan ungkapan bahasa Belanda. Hanya kadang2 saya bercukur ke sana. Rambut saya sudah tak lagi berdiri tegak. Bisa disisir halus, apalagi kalau dengan pomade merk Yaparco. Gambar foto saya sewaktu SMP dengan rambut jambul masih ada sampai sekarang.. Putra putra pak Fatchoor seumur dengan saya dan adik2 saya. Beberapa tahun kemudian ketika saya duduk di bangku kuliah, saya mendengar berita sedih akan bencana tragis keluarga yang menimpa putra pak Fatchoor. Saya tak bisa menceritakannya di sini.

Sewaktu SMA di Solo, saya tak punya cerita khusus tentang potong rambut dan tukang cukur. Saya sering cukur di sekitar lapangan Manahan atau di Sambeng. Saya nggak tahu kenapa nggak ada kenangan yang membekas. Demikian juga sewaktu kuliah di Yogya, saya berganti ganti tempat potong rambut. Kadang2 juga dicukur teman kost. Kenangan khusus potong rambut di Yogya, saya dapat sewaktu sudah berkeluarga dan bertugas sebagai dosen. Saya dan anak anak sering potong rambut di sebelah utara perempatan Sayidan sebelum hotel Melia Purosani sekarang. Saya lupa nama tukang cukur langganan saya. Orangnya juga suka cerita, suka ngobrol. Sewaktu dia tahu saya dosen di UGM, dengan sigap dia cerita, kalau sebagian besar langganannya juga dosen UGM. "Saya sudah memegang kepala banyak dosen UGM jika mereka sedang cukur". Menurutnya, kekuatan seorang tukang cukur, karena dia punya hak legitimate memegang kepala orang banyak. Ini suatu lambang otoritas yang perlu dibanggakan. Jika NYI ikut mengantar cukur, kadang dia kemudian komentar. "Pak tukang cukur itu pantas jadi kakakmu, bilang apa saja kok Ki manut sekali". Bukannya manut, tetapi apa gunanya mendebat obrolan atau bualan seseorang. Biarkan dia bangga dengan bualan bualannya. Asal nggak merugikan saya. Mungkin yang paling nggak mengenakkan NYI, sewaktu dia bilang dengan bangganya . "Jelek jelek tukang cukur gini, saya punya dua isteri. Yang satu di Bandung, satu di Yogya. Semuanya OK OK saja".

Apapun ceritanya, saya selalu mengingat kenangan dengan tukang cukur saya di masa lalu. Ditahun tahun akhir akhir ini, profesi tukang cukur di kota kota besar banyak diambil alih oleh salon. Biasanya dengan petugas potong rambut biasanya wanita (kapster?)i. Bau wangi selalu semerbak menawan. Tetapi saya kehilangan orbolan dan bualan bualan yang mengasyikkan, seperti saat saat potong rambut di masa lalu. Walau potong rambut di salon, mungkin saja bisa menjadi sumber ngrumpi dan desas desus, dengan wewangian semerbak. Tetapi saya merasa masanya sudah berlalu bagi saya..

Salam hangat dan selamat menjalani minggu anda yang sibuk.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber 26 Mei 2008)

7 comments:

paromo suko said...

wah Ki, rasanya njenengan cukurnya kok lamaaa banget, sejam terasa delapan tahun ....
di Pak Dulmuji disediakan bacaan majalah Panjebar Semangat, Ki? komiknya Phantom, lho !

Ki Ageng Similikithi said...

Wah iya. Panyebar Semangat, Kumandanging Katresnan, Phantom Mungsuh Tikus Rawa (di PS juga), Mas Klombrot (di PS)dll. Pak Dulmuji saya nggak tahu apa dia baca tulis. Saya nggak lihat koran atau PS. Yang lengganan koran sama PS di desa bisa dihitung waktu itu.

Anonymous said...

Kalau malem jemuwah kliwon hyang bethoro nyukur pubes (tapi nyukur sendiri lo ya, sambil ngumpet2) Nek konangan cak Dul bisa dipronggol.......☺

paromo suko said...

hm hmm
dehem lagi,
di blakangnya ada ustad amir veishol, lagi 'potong'

Ki Ageng Similikithi said...

Saya juga dehem panjang. Cukur pubes sendiri harus ngumpet di kamar mandi. Jamannya jaman keterbukaan, ada nggak ya cukur pubes di barber atau salon ? Amit amit

paromo suko said...

nyimpang dikit, agak dekat..
bbrp tahun lalu di pinggir jl sulawesi surabaya, ada org jual helm motor yg pasang tulisan gede:
TERIMA CERVIC HELEM
maunya iklan servis malah horor
sekarang tulisannya sudah dicopot

Ki Ageng Similikithi said...

Dalam perjalanan Banda Aceh Medan ada penjahit. Iklannya benar2 agresif. Ditulis besar besar OXFORD Tailor. LONDON Diploma. Saya benar2 melihat penjahit itu di akhir delapan puluhan. Tetapi tahunya karena baca di salah satu koran Inggris sewaktu masih di sana