Wednesday, June 11, 2008

Cipika cipiki dari masa ke masa

Kapan persisnya saya lupa. Kira kira di tahun tahun akhir lima puluhan. Presiden Uni Soviet waktu itu, Worosilov, datang berkunjung ke Indonesia. Jelas mendapat sambutan hangat dari Bung Karno. Dalam salah satu acara ramah tamah, sesuai dengan kebiasaan Rusia yang hangat, presiden Worosilov mencium pipi Bu Hartini sebagai ungkapan rasa persahabatan. Koran koran Indonesia ramai memberitakan. Saya membacanya di harian Suara Merdeka, "Presiden Worosilov mencium wanita tercantik di Indonesia". Macam macam komentar orang. Isteri pemimpin besar revolusi Indonesia dicium pimpinan tertinggi negara komunis yang tak mengakui Tuhan. Beberapa tokoh agama bahkan mengatakan musysrik, bersahabat dengan syaiton.

Alasan dan beda pendapat bisa macam macam. Kemungkinan juga hanya karena perbedaan budaya dan tidak terbiasa melihat salam dengan cium pipi. Di kala itu cium pipi belum lajim untuk mengungkapkan salam persahabatan. Di sebagian kalangan tradisional Jawa, ciuman pipi juga merupakan ungkapan cinta, erotisme dan seksualitas yang intens di masa lalu. Beda dengan kebiasaan cipika cipiki (cium pipi kiri dan cium pipi kanan) yang kita sering lihat dalam kehidupan masa kini yang kadang sudah jadi kebiasaan dan etika keseharian. Ungkapan keakraban dan persahabatan.

Tak tahu pasti sebab terjadinya pergeseran makna dan lokasi dari cium pipi ke bibir. Mungkin karena perubahan kebiasaan sosiokultural semata mata. Atau mungkin karena evolusi biologis perpindahan titik erotis dari pipi ke bibir ? Saat ini ciuman erotis cinta semua terpusat di bibir. Bisa saja merembet ke area lain, tetapi primer dari bibir. Masih adakah pasangan yang berciuman mesra dan erotis hanya dengan ciuman pipi yang bergelora? Yang jelas, tak ada pasangan yang mulai ciuman erotis mereka dari daerah lain, misalnya bokong. Hanya sapi sama kuda mungkin yang suka mulai ciuman dari bokong. Ini bukan analisis ilmiah sama sekali. Banyak ahli yang bisa mengungkapkan lebih pas. Hanya ungkapan kesan dan pendapat pribadi semata.

Ada kesenjangan dalam pengalaman pengamatan saya di masa adolesen dulu. Dalam film kadangkala terlihat ciuman erotis cinta lewat bibir. Tetapi dalam kehidupan nyata sehari hari sering melihat dan mendengar info selentingan tentang ciuman erotis di pipi. Banyak informasi saya peroleh dari tokoh tua panutan saya di masa kecil, yakni Wa Sura Jaeni dan para pekerja yang memelihara kebun dan sapi sapi ayah saya. Wa Sura Jaeni adalah orang tua di desa kami yang juga sering membantu ayah saya mengawasi para pekerja di kebun kopi. Pria duda umur sekitar tujuh puluh tahun. Gigi tinggal dua. Kebiasaan merokok klembak menyan. Suka cerita. Semangat masih menyala nyala. Termasuk cerita tentang ciuman erotis. Ciuman selalu di pipi. Menurut ceritanya, pipi yang halus seperti mangga podang yang ranum, adalah pipi impian. Para pekerja itu selalu saja berkelakar dengan Wa Sura Jaeni tentang pilus, pipi halus. Tak ada cerita tentang ciuman bibir. Beyond his imagination. " Siapa mau ciuman bibir. Mulut wanita suka ada susurnya". Susur adalah gumpalan tembakau yang sering di kulum di mulut sesudah makan sirih. Kebiasaan lumrah di kalangan wanita Jawa masa lalu.

Bukan hanya info dari Wa Sura Jaeni dan para pekerja kebun pria saja tentang masalah cium erotis pipi ini. Sewaktu disawah menunggu panen padi, seringkali mendengar gurauan wanita wanita pemetik padi. yang kadang nyrempet nyrempet masalah erotisme ciuman. Daerah kebanggaan untuk berciuman dan berkasih mesra adalah pipi bukan bibir. Sebagian besar memang berkebiasaan makan sirih dan mengulum tembakau susur. Kebiasaan yang biasa dijumpai, dengan aroma dan warna merah darah yang sangat khas. Kebiasaan ini meninggalkan pewarnaan gigi geligi yang memang tak sedap dipandang, apa lagi di cium. Sama sekali tak menambah kecantikan mulut atau bibir.

Pengalaman tak pernah terlupakan berkait dengan cium erotis pipi. Di tepi barat kebun kopi ayah saya di desa dibatasi jurang yang dalam dengan parit kecil di dasarnya. Ada satu sumur air yang menjadi tempat mandi beberapa keluarga tetangga seberang jurang. Di satu pagi waktu itu saya bersama Wa Sura Jaeni secara tak sengaja menyaksikan adegan ciuman erotis yang sangat intens. Pasangan prianya seorang tetangga, sopir andong, sudah berkeluarga. Pasangan wanita, juga tetangga yang bersuamikan seorang lelaki renta yang sakit sakitan. Dia adalah isteri muda sambungan karena isteri pertama sudah lama meninggal. Tak sengaja kami menyaksikan dari atas jurang adegan ciuman mereka sesudah mandi. Bukan ciuman bibir. Ciuman pipi yang bergelora. Saking intensnya, kaki sang lelaki naik (bhs Jawa, mlangkring), seperti jika seekor anjing sedang buang air kecil. Saya masih kelas tiga sekolah rakyat, hanya tertarik melihat adegan ciuman pipi yang begitu bergelora. Bukan cium bibir. Wa Jaeni sampai beberapa lama nggak bisa berdiri, hanya jongkok di balik rumpun bambu. Dia pakai celana komprang.

Cium pipi kiri, cium pipi kanan sekarang sudah lajim di mana mana. Ungkapan keakraban dan persahabatan dalam kehidupan sehari hari. Kadang kadang tidak cuma sekali, rangkap beberapa kali. Konon orang Etiopia jika ketemu teman selalu cipika cipiki rangkap paling tidak tiga kali. Dalam acara selebriti apa lagi, penuh aroma cipika cipiki, seolah jadi lambang pergaulan kotemporer. Baik dari kalangan bawah sampai presiden. Mantan presiden Habibi, biasanya yang dapat cipika cipiki malah tamu pria. Tamu wanita cukup salaman saja. Mungkin bisa masuk kategori diskriminasi cipika cipiki.

Ciuman bukan semata mata karena pengaruh faktor biologis. Banyak faktor kultural yang berperan. Konon di kalangan masyarakat yang masih asli dan terisolir kadang ciuman sama sekali tak berkaitan dengan erotisme dan seksualitas. Hanya ungkapan rasa sayang misalnya terhadap anak. Bahkan ada kelompok masyarakat yang belum banyak berinteraksi dengan budaya modern, tak mengenal kebiasaan ciuman sebagai ungkapan erotisme, dan seksualitas. Persentuhan budaya antar bangsa dan kelompok telah banyak berpengaruh terhadap kebiasaan berciuman. Banyak perbedaan dalam kebiasaan cium bibir cium pipi, dikalangan masyarakat dengan latar belakang budaya yang berbeda. Juga banyak perkembangan dalam kebiasaan cium mencium dari masa ke masa. Mana ada sekarang pembaca KOKI yang hanya mau cium pipi dalam bercinta? Mengapa di masa lalu orang lebih banyak suka ciuman erotis hanya dengan cium pipi. Bukan sekedar karena banyak wanita mengunyah sirih dan mengulum tembakau susur. Bukan sekedar karena belum banyak pasta gigi atau lipstick. Masalahnya jauh lebih rumit. Nggak gampang juga buat kita untuk tanya kakek sama nenek, apakah mereka dalam bercinta cium pipi atau bibir.

Dalam kehidupan pergaulan modern saat ini masyarakat umumnya sudah terbiasa menerima kebiasaan cium pipi sebagai ungkapan keakraban dan persahabatan. Bukan lagi ungkapan kemesraan, erotisme dan seksualitas. Tetapi jangan lupa bo, kalau cipika cipiki, kaum pria kakinya nggak usah mlangkring dinaikkan kayak dalam pertunjukan Srimulat, saru sih.

Salam cipika cipiki
Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, 9 Juni2008)

(http://community.kompas.com/read/artikel/360)

2 comments:

paromo suko said...

bagaimana yang mukanya penuh tindikan? mulai pipi-hidung-leher-telinga-bibir sampai selidah-lidahnya?
brkl jadinya cibikaki=cium bingung kanan-kiri

Ki Ageng Similikithi said...

Mungkin cium pipi malah lebih sehat lho. Jika iseng iseng sempat bertanya pada mereka yang tak banyak terekspose kehidupan modern, mungkin ciuman bibir juga jarang sebagai eskpresi cinta dan keinginan seksual.