Monday, February 4, 2008

Penggundulan hutan tropika basah

Bumi makin panas. Hutan tropika basah hancur dibabat habis. Ulah sebagian manusia. Yang sakit, yang suka membabat dan mengunduli hutan. Perusakan lingkungan sudah berjalan puluhan tahun. Tetapi hanya di tahun tahun terakhir ini saja manusia menyadari kemungkinan dampaknya yang sangat serius. Pemanasan global. Mantan wakil presiden Amerika, Al Gore menerima hadiah Nobel karena dianggap telah mampu menyampaikan pesan secara meyakinkan krisis lingkungan dalam masyarakat global ini. Sekarang hampir semua orang di dunia menyadari makna pemasanasan global. Mungkin terkecuali beberapa tokoh partai Republik di Amerika, kelompok vested interest dari industri dan para pembabat hutan. Jika anda belum sempat melihat film dokumenter Incovenient Truth, sempatkan untuk menontonnya. Sangat mudah diterima dan dimengerti oleh awam sekalipun.

Pengertian manusia sudah demikian meluas tentang fenomena pemanasan global, emisi karbon ke atmosfir, penggundulan hutan tropika basah dan akibat buruk lain di dunia makro kosmos. Namun sebagai pengamat spiritual perilaku manusia, saya masih merasa khawatir karena kesadaran manusia terhadap pemanasan lokal, akibat penggundulan hutan setengah basah (nyemek, seperti istilah bakmi Jawa) belumlah memadai. Jika dibiarkan berlanjut masalah ini juga akan berdampak serius dalam skala mikro kosmos, microenvironment. Tak ada maksud untuk menyebar-luaskan kebohongan publik dengan tulisan ini. Saya hanya mengajak anda semua merenung kejadian kejadian dalam lingkungan mikro sekitar kita..

Saya bercerita kisah yang telah lama berlalu. Di pertengahan tujuh puluhan, sebuah tim dokter bedah dari salah satu rumah sakit ternama di Jakarta, digugat oleh bekas pasien. Seorang pasien wanita. Gara garanya sederhana, tetapi bukan masalah sepele. Pasien itu adalah seorang wanita eksekutif, umur pertengahan tiga puluhan, dengan karier gemilang di bidangnya.Seorang professional murni. Dia menjalani operasi usus buntu. Sebenarnya secara teknis medis tergolong operasi sederhana. Operasi berjalan lancar tanpa komplikasi. Pasien pulang beberapa hari kemudian dengan sehat. Mission accomplished.

Tetapi selang seminggu kemudian pasien melalui penasehat hukumnya menggugat tim dokter, melalui majelis kode etik. Dia merasa dilecehkan sesaat sebelum operasi. Ceritanya begini. Sebelum memasuki kamar operasi sebenanrya pasien sudah ditidurkan dengan injeksi obat tidur. Dengan tubuh tanpa busana tetapi tertutup selimut, siap menjalani operasi pasien diletakkan di meja operasi. Ternyata dia belum tertidur benar, obat anestesi belum sepenuhnya menidurkannya. Dia bisa mendengar seloroh anggota tim operasi sebelum operasi dimulai.

"Lho kok gondrong, apa nggak dicukur?" . "Hutan tropika basah di Kalimantan saja digunduli, kok hutan lokal setengah basah nggak digunduli sebelum operasi ?.

Dalam sidang, pembela tim dokter menjawab gugatan tersebut dengan menyatakan bahwa seharusnya rambut kemaluan (pubes) memang harus dicukur bersih semalam sebelum operasi. Kemungkinan ada anggota tim yang mengeluh kok rambutnya nggak dicukur dulu oleh karena katanya bisa mengganggu jalannya operasi. Masih untung operasi berjalan lancar, nggak ada komplikasi. Bahkan sang pembela tim dokter menambahkan, kemungkinan pasien mengalami halusinasi suara karena obat yang diberikan. Pembelaan ini sih terlalu jauh. Secara teori bisa saja. Nggak tahu bagaimana akhirnya kasus itu oleh karena dimuat di harian Kompas juga. Mungkin mereka damai, biasanya dokter adalah manusia cinta damai. Minta maaf secara resmi, sambil membuat alibi kemungkinan juga karena halusinasi pasien karena pengaruh anestesi.

Sewaktu menjalani kepaniteraan klinik di rumah sakit di pertengahan tujuhpuluhan, saya ingat memang waktu itu setiap kasus operasi, rambut kemaluan (pubes) harus dicukur dan dibersihkan. Kadang saya juga heran, operasinya di leher, kok rambut di bawah nggak berdosa apa apa, harus dibabat, alasannya apa ?. Sering melihat perawat mencukur rambut kemaluan pasien ini dengan semangat luar biasa, seperti perilaku perambah hutan tropika basah. Bahkan banyak teman dokter muda yang juga ikut persiapan operasi dengan penggundulan hutan lokal ini. Teman saya Anto, sering melakukan pencukuran rambut sebelum operasi pernah mengatakan bahwa mencukur rambut pubes pasien pria biasanya lebih gampang dan cepat. Karena ada pegangannya. Di banyak rumah sakit kemudian kebiasaan ini tak dilanjutkan. Saya nggak tahu sekarang situasinya, apakah kebiasaan ini masih berlaku, walaupun kampanye illegal logging sudah demikian luas.

Yang saya tidak bisa membayangkan, bagaimana mungkin tim operasi yang saya ceritakan tadi bisa berseloroh ? Saya sering menghadapi situasi serupa, tetapi keadaanya selalu sangat serius. Jangankan ketawa, berpikir jelek tentang hutan lokal rambut kemaluan pun rasanya nggak berani. Suasana selalu sangat professional. Di tahun tahun 1973 sampai 1975, saya menjalani kepaniteraan klinik di beberapa rumah sakit pendidikan di Yogya dan Solo. Kami diharuskan hati hati sekali menghadapi pasien. Harus menangani pasien dengan penuh rasa hormat dan perhatian (care). Termasuk jika menghadapi pasien yang sampai rambut kemaluannya harus terpapar/terlihat. Ini bagian dari etika profesi.

Suatu pagi di RS Mangkuyudan Yogyakarta, kami bertiga sedang tugas di poliklinik ginekologi. Kira kira jam sepuluh pagi mendapat instruksi untuk mengikuti pemeriksaan ginekologi yang dilakukan oleh seorang dokter senior yang sangat kami segani, Dr A. . Pasien seorang wanita muda asal Magelang. Umur sekitar awal tiga puluhan. Istri seroang pengusaha muda. Nampak sangat tenang dan luwes. Dr. A memperkenalkan kami dan minta ijin bahwa kami akan diajak melihat pemeriksaan ginekologi, pemeriksaan dalam melalui vagina. Jika keberatan pasien diminta bilang. Pasien menyatakan persetujuannya tanpa ragu. Kami semua sangat serius, mengangguk hormat menyalami pasien dan kemudian mengikuti ke kamar khusus pemeriksaan ginekologi.

Suasana begitu hening.Hanya suara denting alat pemeriksaan saja yang terdengar. "Ibu tenang ya, tidak apa apa. Lemas saja jangan tegang", pesan Dr A berulang kali. Kami para dokter muda melihat jalannya pemeriksaan dengan seksama. Sesaat sempat terhenyak melihat pubes pasien yang begitu subur, sehat dan terawat rapih bersih. Bagaikan gumpalan semut hitam, mengkilat dalam bentangan kulit yang halus bersih. Tak ada satu pun yang berani menarik napas dalam. Semua terdiam mengikuti jalannya pemeriksaan. Harus menjunjung tinggi kehormatan pasien yang sudah mempercayakan dirinya untuk menjalani pemeriksaan. Pemeriksaan selesai dalam waktu singkat. Ada kista di uterus. Perlu tindakan operasi. Bukan operasi berat. Dijadualkan minggu depannya. Saya tak mengikuti operasi ok pindah tugas di bangsal.

Seminggu kemudian, saya berjumpa pasien tersebut di bangsal. Saya bertugas melakukan pemeriksaan rutin sesudah operasi dan melaporkannya ke dokter senior. Semua berjalan normal seperti sedia kala. Hanya satu saat, pasien itu bertanya

"Katanya kalau operasi rambut kemaluan harus dicukur bersih, kok saya tidak kenapa "?

Saya mencoba menjelaskan bahwa di rumah sakit ini ada kebijakan untuk tidak mencukur rambut kemaluan sebelum operasi, asal tindakan antiseptic dilakukan secara seksama. Saya memang tidak sempat membaca literature apakah pencukuran rambut kemaluan, ini terbukti secara ilmiah mengurangi resiko infeksi. Seingat saya waktu kecil dulu, penggundulan rambut kepala salah satu indikasinya kalau kulit kepala terinfeksi dengan kutu dan mengeluarkan nanah. Orang Jawa bilang 'boroken'.

Ibu itu masih bertanya lebih lanjut " Apakah rambut kemaluan saya harus dicukur ya Dok? Katanya suami kok harus dicukur secara rutin biar sehat". Tidak ada indikasi medis untuk mencukur rambut kemaluan yang begitu nampak sehat.

"Tergantunng Ibu lah. Tak ada indikasi medis untuk mencukurnya".

Dalam hati saya berpikir, kok sampai hati sang suami minta rambut yang demikian indah dan sehat di cukur. Saya kemudian ingat, jangan jangan sang suami adalah pengusaha kayu yang suka menampung kayu kayu sengon yang ditebang dari bukit bukit sekitar Ambarawa dan Magelang? Sah sah saja sih memotong pohon yang memang ditanam untuk dimanfaatkan kayunya. Tetapi kok terus merembet juga mau membabat rambut kemaluan isteri tercinta. Apa nggak termasuk perusakan lingkungan dalam ? Ini bisa mengakibatkan pemanasan lokal.

Pengalaman melihat berbagai bentuk rambut kemaluan selama menjalani kepaniteraan klinik memberikan kesan bahwa penampilan rambut juga sangat dipengaruhi oleh kesehatan umum pasien. Pasien pasien dengan kesehatan umum dan status gizi yang jelek, umumnya penampilan rambutnya juga nampak merana. Tak anggun dan indah sama sekali. Terurai lemah satu persatu, kadang kadang dengan warna pucat kemerahan. Apapun saya selalu menjaga kehormatan pasien pasien yang saya hadapi. Tak pernah saya berpikir, apalagi berkata " Rambut pubes sampeyan kok aneh seperti rambut landak, tak iye"

Mohon jangan lupa selalu menjaga kesehatan anda dan juga penampilan rambut pubes anda. Jangan terpengaruh napsu membabat hutan tropika basah, kemudian rambut anda dicukur habis tanpa alasan. Tetapi selera orang memang berlainan.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber, 4 Februari 2008)

4 comments:

Indro Saswanto said...

Memotong pubes, vibrissae, bulu keteak dan kuku termasuk amalan yang baek Boss...

Ki Ageng Similikithi said...

He he he neh plonthos kabeh. Ada yang bangga punya katiak babolo, jambuat babolo lebat, ganthalio manulang tinggi ke angkaso

Indro Saswanto said...

monggo.... mompong valentine
bisa dicooba
sekali2 bergaya plonthos
koyo telly savalas
noemani lho ☺

Anonymous said...

Sebegitu gundulkah ...?????