Friday, February 29, 2008

Madame Halimah

Wajahnya nampak sedikit tegang. Menunggu mobil di depan gerbang. Sementara para wartawan yang mencoba mencecar pertayaan, tak dia hiraukan. Berusaha tersenyum ramah. Namun hati tetap galau. Madame Halimah baru saja menghadiri sidang gugatan cerai di pengadilan. Gugatan yang diajukan sang suami yang telah menemani hidupnya selama lebih dari seperempat abad. Tak pernah terbayangkan sebelumnya. Suaminya yang gantheng dengan kumis menawan itu sampai hati menggugatnya cerai. Saya hanya mengamati dari jauh. Tak berusaha mendekat. Ya memang tak ada alasan mendekat. Saya bukan siapa siapa. Wartawan bukan, pengamat bukan, dukun bukan, intel juga bukan. Saya hanya pengembara dunia maya.

Tak bisa disembunyikan wajahnya yang rupawan. Anggun dan menawan. Umur tak bisa dikatakan muda lagi. Namun tak ada perubahan yang nampak karena umur di wajahnya. Masih saja wajah itu menebar pesona. Sinar matanya masih seperti dulu. Menatap lembut ke depan. Saya mengagumi bukan karena kecantikannya. Saya mengagumi karena karyanya. Program anak asuh yang telah banyak menolong mereka yang tak mampu memperoleh pendidikan. Tak bisa dipungkiri jika pengaruh keluarga suami juga sangat berperan dalam keberhasilan program anak asuh. Penguasa tertinggi di republik penuh mimpi ini. Namun gagasan dan pelaksanaan program anak asuh itu tetap saja merupakan karya sosial yang pantas dipuji dan dikagumi. Sayang ikut surut bersama surutnya kekuasaan.

Merasa terhina. Tersisih dan terbuang ketika suaminya diberitakan jatuh ke pangkuan wanita lain. Sakit rasanya tetapi apa yang bisa dia lakukan ? Hatinya terisak ketika anak perempuannya berkata sebagai saksi “ Pak Hakim, jangan biarkan orang tua kami berpisah”. Hakim kan bisanya hanya memukul palu. Palu adalah lambang kekuasan hakim. Manusia memang bisa berubah. Hidup bisa berubah. Tak ada yang bisa menjamin jika pasangan yang paling bahagia akan bertahan selamanya. Pak Hakim hanya mendengar kesaksian para saksi. Hakim tak punya kemampuan menghidupkan cinta yang telah surut. Hanya punya wewenang memutuskan cerai atau tidak. Penghulu yang mengawinkan dulu juga hanya bisa berharap lewat doa. Tak punya kemampuan atau kewenangan hukum untuk menjamin perkawinan bisa langgeng. Hakim dan penghulu hanyalah manusia biasa. Mereka juga kadang bisa berselingkuh dan bercerai. Bahkan juga ada yang kawin lagi, poligami.

Sore hari yang tenang. Saya menikmati udara cerah di beranda padepokan, di Yogya. Di bawah bayangan pohon pohon nangka. Ada beringin satu tetapi belum keramat benar. Sering menjadi tempat kencing anak anak. Setan dan roh halus juga males sama bau pesing. Suara arus kali Boyong mulai mengeras pertanda air mulai mengalir dri lereng Merapi. Tiba tiba ada pesan sms masuk. “Bapak Ki, panjenengan belum kenal saya. Tetapi saya kadang2 membaca tulisan tulisan Ki. Nanti malam jam 0830 saya tilpon apa bisa leluasa ? Saya ingin sedikit konsultasi”. “ Silahkan tilpon jam 0830. Jangan sebut namaku. Saya bukan siapa siapa. Panggil saya Ki Ageng”. Jawaban saya singkat. Saya selalu lugas dan tuntas menjawab pesan masuk. Apa lagi jika belum kenal siapa dia. Naluri intel dan naluri spiritual kadang bersatu dalam jiwa di dunia maya ini.

Jam delapan lewat saya duduk di ruang depan. NYI tahu jika saya ingin menyepi atau semedi saya biasa duduk menyendiri di ruang depan. Kali ini akan menerima tilpon. Dari sesorang yang belum saya kenal. Misterius. Akan konsultasi katanya. Secara harafiah ini bukan masuk golongan menyepi atau semedi. Tetapi dalam dunia spiritualpun kadang masih dibolehkan menerima sedikit goda. Begawan Tjiptaning dalam hikayat pernah digoda para bidadari yang mandi tanpa busana. Jika Begawan saja boleh digoda bidadari tanpa busana, saya yang bukan siapa siapa ini sih sah sah saja menerima pesan tilpon saat nyepi. Jaman memang sudah berubah. Tilpon genggam saya set ke silent mode. Biar nggak mengejutkan orang ketika datang tilpon. Tepat jam delapan tiga puluh tilpon genggam bergetar. “Bapak Ki Ageng. Ini saya dari Jakarta” Suaranya halus dari seberang. “Ehmmmm. Panggil saya Ki Ageng. Menghadaplah ke arah mata hari terbit jika bicara dengan saya”. “”Ki Ageng saya pengin sekali bertemu panjenengan. Penting sekali buat hidup saya Ki”. Saya tak segera mengiyakan. Dalam dunia spiritual, ada prinsip tahan harga. Jangan terlalu gampangan menerima permintaan client. Supaya mereka betul betul merasa butuh kepayang. “ Sampeyan siapa jeng? Dari mana tahu saya dan nomer saya”. “”Itu cerita tak penting Ki. Seseorang dengan kode Golf_d_s di Jakarta selatan memberikan nomer penjenengan”. Pikiran saya mulai berputar siapa Golf_d_s di Jakarta Selatan? Teman maya, mengembara di dunia tanpa batas. “Silahkan temui saya hari Selasa Kliwon. Menjelang maghrib. Di padepokan tepi Kali Boyong. Jangan bawa siapa siapa” . Saya selalu berpesan agar client tak membawa teman, apalagi wartawan. Bisa mengurangi makna konsultasi.

Hari Selasa sore saya sudah siap. Kembang setaman di ruang depan. Kordijn dan lampu khusus dibuat agar suasana kamar sedikit temaram. Aspritual (asisten pribadi spiritual) telah menyiapkan segalanya sejak jam 200. Dia pakai seragam pakaian Jawa model Yogya, blangkon dengan mondholan. Sementara saya juga berpakaian Jawa gaya Solo. Dengan kain parangrusak. Saya selalu menjaga jarak minimal satu meter dengan client. Terutama client wanita. Jangan terlalu dekat. Jangan terlalu jauh. Kalau terlalu dekat, bau parfum mengganggu konsentrasi semedi. Kalau terlalu jauh, tak bisa melihat secara seksama wajah client, yang biasanya sedikit malu malu penuh pesona. Para dukun spiritual Jakarta yang melayani selebriti umumnya duduk sebangku dengan client. Entah apa alasannya. Kadang kadang hanya pakai sarung tanpa dukungan pakaian dalam dan blangkon. Katanya biar isis, tidak sumuk. Ini pantangan buat saya. Dunia spiritual adalah dunia sakral dan penuh rahasia. Rahasia client harus dijaga. Burung perkutut pun tak boleh mendengar apa lagi mengintip.

Lewat jam lima, saya diberitahu asisten kalau tamu istimewa sudah datang. Saya menguak tabir ruang konsultasi. Seorang wanita duduk gelisah di ruang konsultasi. Berpakaian serasi, celana panjang warna putih, baju lengan panjang warna kuning dan scarf menutup kepala. Dia memakai kaca mata warna buram. Saya terkejut luar biasa. Jantung berdebar keras. Wajahnya sering terlihat di TV atau koran. Madame Halimah, wanita papan atas yang sedang tertimpa bencana rumah tangga. Sebagai professional spiritual saya mencoba tenang tak bergeming. “ Jeng Halimah. Selamat datang di padepokan saya” Saya mendahului menyapa sebagai taktik menguasai medan psikologi. “Bapak kok tahu nama saya? Mohon maaf jika saya mengganggu”” Jawabannya pelan gemetar. Saya di atas angin. “Panggil saya Ki Ageng. Jangan panggil namaku. Apalah arti sebuah nama”. Dia lantas mulai bercerita tentang masalah yang dihadapi. Tentang musibah yang dialami. Tentang suami yang jatuh ke pangkuan wanita lain. Tentang gugatan cerai yang diajukan suaminya.

“Kok Ki Ageng bisa menulis bahwa saya suka nylentik burung cocakrawa piaraan suami saya sih? Dari mana sumbernya?” Saya agak terbata menghadapi pertanyaan bertubi ini. “Semua atas informasi intelijen yang layak dipercaya Jeng”.
“”Tetapi saya tak pernah melakukannya. Yang sering saya belai belai agar mau bernyanyi lantang. Tak hanya tidur terkulai. Waktu penganten baru dulu sekali saya slentik, gemes saya karena pengin nyanyi terus”.
“Dalam dunia spiritual Jawa, burung cocak rawa atau perkutut pantang dislentik. Bisa kualat membawa sial di masa datang”.
“ Ki Ageng kok sering kirim pesan ke kangmas Prabowo, apa pasalnya?””
“”Kami berteman maya. Beliau ketua organisasi petani. Saya anak petani. Hanya ketemu sekali di tahun 1971. Tetapi pesan pesannya tak pernah menyatakan disclaimer Saya Asli Lho. Kadang saya ragu apa betul beliau.“
“” Ki saya pengin bertemu dia. Pengin belajar nyopir””
“”Hubungi saja di Friendsternya. Tetapi di Jakarta banyak kursus nyetir kan Jeng ? Dan sampeyan kemana mana punya sopir dan pengawal””
“”Saya pengin belajar nyopir bulldozer Ki. Minimal traktor. Gemes saya. Rumah maru saya biar tak bulldozer. Ditabrak pakai mobil biasa dindingnya tak mempan””.
“”Mbuldozer rumah orang, sekalipun maru, itu hukumnya musyrik Jeng. Bersahabat dengan syaiton””
“”Ki saya merasa sangat kehilangan. Bukan kehilangan apa apa. Hanya kumisnya yang bikin saya sangat kangen. Lain tidak ””
“”Jaman sekarang banyak kumis palsu. Nggak usah takut lah. Coba saja pasang di kontak jodoh kalau ada yang sreg. Bisa dipasangi kumis buatan””

Tiba tiba wanita anggun itu nampak emosi. Dadanya turun naik. Asisten spiritual memberikan air putih yang sudah saya kasih mantra. Saya mencoba mendekat. Tangan halus menutup wajah. Dia menangis. Saya mendekat melewati garis demarkasi, jarak satu meter yang saya jaga selama ini. Mencoba menenangkannya. Mencoba menggapai tangannya. Tiba tiba di luar gaduh luar biasa. Ada tiga buldoser siap di muka pintu. Salah satunya mulai menabrak jendela kamar semedi. Saya terdorong jatuh.

“”Tuluuuuuung”’. Terbangun saya jatuh ke lantai. Cucu saya Rio terbangun berteriak. “”Mbah kalau tidur jangan teriak teriak. Kayak orang gila saja””. Nyi datang membangunkan “”Mimpi apa ?“”Dikejar mbok Alimah”” . “Wong edan”” gumam Nyi. Ada tetangga saya mbok Alimah memang agak kurang waras. Sering datang ke muka rumah dan teriak marah marah. Tetangga yang kurang waras pun masih berguna untuk pelarian mimpi. Tetap ada hikmahnya. Hanya mimpi. Apalah arti mimpi? Tak ada makna apa apa.

Yang penting Madame Halimah tetap saja sosok wanita papan atas yang penuh pesona dan pengabdian. Anggun dan menawan. Pernah membantu anak anak kurang mampu. Program anak asuh. Memberikan harapan bagi mereka yang kesulitan sekolah. Dalam saat saat sulit menghadapi musibah rumah tangga seperti ini orang hanya bisa berdoa dan berharap agar semuanya cepat selesai dan damai. Siapa sih yang mau dimaru?

Ki Ageng Similikithi (asli lhoooo)

3 comments:

Indro Saswanto said...

Nuwun sewu mbah Dokon, kulo ngantre riyin mompong dereng kedhisikan client sanes. Bade nyuwun konsultasi obate del bodonge mas Sarimin sik teng kokie 22 pebr enake dinapake??

paromo suko said...

ketika sembadra sakit hati karena arjuna mau mengambil srikandi sebagai isteri, sri kresna yang bijak cuma tertawa, katanya : gitu aja kok repot.

ketika kemudian srikandi muring-benggolo karena janaka mau mengambil larasati sebagai isteri, sembadra dengan tenangnya berkata: wis rapopo

ketika mimpi pupus karena terbangun nanti, semua akan berkata:
ah,
dunia ....

Ki Ageng Similikithi said...

Matur nuwun. Hanya lamunan belaka. Ning tak intip nag kontak jodoh kok ora metu metu ya ? Wis ora opo opo. Salam hangat