Thursday, February 28, 2008

Jeritan pilu di ambang petang

Musim kering tahun 1966. Saya mengunjungi nenek saya di desa Kalijambe Beringin Salatiga. Di masa lalu kami selalu naik kereta api dari Ambarawa ke Beringin, disambung jalan kaki sejauh tujuh kilometer. Tahun tahun terakhir itu perjalanan kereta sudah semakin tersendat. Harus naik bis dari Salatiga. Hanya ada bis tua menjalani route Salatiga Bringin, bis Estoe. Tak ada jalan aspal dari Beringin ke Kalijambe. Jalan kaki lewat jalan berbatu naik turun bukit melewati kebun karet dan tanah tandus berkapur. Kakek dan nenek saya selalu bercerita bahwa nantinya akan ada jalan aspal menembus desa itu. Cerita sejak jaman Belanda. Sampai kakek saya meninggal di tahun 1964, nenek saya tahun 1981, jalan aspal impian itu belum juga muncul. Jalan aspal selebar kira kira 4 meter baru jadi sesudah tahun sembilan puluhan. Bukan jalan yang luar biasa. Hanya jalan aspal tanpa kelas. Penantian sia sia sampai ajal menjemput mereka.

Saya datang sendirian lepas lohor waktu itu. Terik matahari terasa kering membakar. Tak nyaman sama sekali. Di musim kering kehidupan terasa sulit. Wajah wajah kuyu dan letih. Nenek saya selalu begitu gembira jika kami mengunjunginya. Mulai cerita tentang perkembangan terakhir. Peristiwa peristiwa yang terjadi selama bulan bulan terakhir di desa sepi itu. Tak begitu penting bagi saya. Hanya satu yang terasa menyentak.

“Datanglah ke pak likmu Darmo. Dia sakit sesek berminggu minggu ini. Adikmu Tri juga nggak begitu baik keadaannya. Sejak peristiwa mengerikan di atas bukit bulan lalu””.

Sepert biasanya setiap datang ke desa itu yang saya lakukan pertama kali adalah mandi di pancuran di samping rumah. Airnya begitu jernih dialirkan dari tepi hutan di muka rumah. Ada lereng terjal sejauh kurang lebih dua ratus meter dimuka rumah. Di atas ada kebun karet yang luas. Air memang selalu melimpah di sana. Meskipun musim kering. Tetapi ternyata air berlimpah tak juga membawa berkah yang bisa mengangkat sebagian besar penduduk dari kemiskinan dan kesulitan. Selepas azar saya ke rumah sebelah. Bau metana kotoran sapi bercampur dengan bau rumput terbakar di sore hari mulai terasa. Ke rumah pak Darmo, kemenakan kakek saya. Dia seorang pensiunan guru. Rumahnya persis di sebelah rumah nenek saya. Dua rumah tua dari kayu jati berdampingan. Kakek dan nenek saya mungkin merasa aman hidup berdampingan dengan kemenakan. Orang tua selalu mengharapkan ada keluarga dekat yang bisa dimintai tolong sewaktu waktu. Saudara saudara lain hidup jauh tersebar. Pak Darmo mestinya gagah di masa muda. Tinggi semampai dan berkulit kuning seperti kakek saya. Keluarga ibu saya selalu langsing semampai. Tak seperti cucu cucunya yang kebanyakan berperawakan besar dengan tinggi sedang.

“ Asma saya kumat Ki. Sudah ke mantri di Beringin kok nggak membaik. Sejak mendengar suara rentetan tembakan itu saya tak pernah bisa tidur. Takut. Ngeri, Jeritan mereka seolah menggema menuruni lereng lereng terjal itu“”.

Dia kemudian bercerita. Ada dua rombongan tahanan PKI yang ditembak di atas bukit di belakang desa. Tepatnya di tepi hutan karet itu. Pertama kabarnya 13 orang. Selang beberapa hari kemudian rombongan ke dua 11 orang. Laki perempuan. Suara truk itu menggelora melewati jalan jalan berbatu membawa orang orang yang hidupnya dipastikan harus berakhir sore itu. Penduduk desa diharuskan membantu menggali lubang. Tak semua punya nyali menyaksikan eksekusi itu. Hanya beberapa yang berani ikut menonton.

“ Begitu saya mendengar rentetan tembakan itu, saya cari Tri adikmu. Dia baru pulang menjelang magrib. Ikut menyaksikan eksekusi. Sesudah itu ia selalu diam melamun. Tidur selalu mengigau. Tolong lihat adikmu”.

Saya lupa nama lengkapnya. Sejak kecil saya hanya tahu dan memanggilnya dik Tri. Dia anak ke 3 dari empat bersaudara. Kadang kadang nampak manja. Dia seharusnya nggak boleh melihat peristiwa ngeri eksekusi itu. Jiwanya tak tegar. Jiwanya terguncang hebat.

“ Mas aku ngeri kalau ingat. Melihat mereka turun diseret dri truk dengan tangan terikat ke belakang. Semua pucat dan sikap pasrah. Beberapa tak mampu berjalan lagi. Seorang ibu, mungkin sedang hamil, diseret karena sudah tak sadarkan diri sejak di truk. Mengapa mereka dibunuh ?”. Dia menceritakan dengan rinci peristiwa itu. Kadang kadang nampak gemetar ketakutan.

Tak banyak yang bisa saya lakukan. Hanya minta mereka berdoa. Kita nggak ikut ikut. Ternyata susah melupakan ketika kejadian ngeri itu begitu dekat dari tempat mereka tinggal. Bulik saya hanya menangis meratapi perubahan dik Tri. “”Doakan moga moga adikmu bisa lupa dan kembali normal”. Nampak beban kesedihan begitu membekas. Dia berpesan agar saya jangan sekali sekali ke atas bukit. Nenek saya juga mengatakan jangan kemana mana. Tak seperti biasanya, nenek saya minta agar saya cepat cepat pulang. Biasanya selalu minta saya menambah satu dua malam di sana. Jaman memang tidak enak. Saya pulang dua hari kemudian dengan diantar dua orang suruhan nenek sampai ke Beringin. Dalam perjalanan pulang saya diberi tahu letak kuburan massal diatas tebing. Persis di atas jalan yang kami lalui. Dibawah naungan pepohonan bamboo liar. Ada sebatang pohon besar di atas tebing itu. Saya nggak tahu pohon apa. Mungkin randu alas.

Hari hari berlalu. Saya sudah di Solo sekolah SMA waktu itu. Tak sering lagi ke Kalijambe. Yang saya ingat pak Darmo meninggal beberapa bulan kemudian. Sesak napasnya tak pernah membaik. Masih sering mengeluhkan dan bercerita tentang eksekusi sore itu. Tentang jeritan jeritan pilu. Tentang rentetan tembakan menjelang petang. Dik TRI semakin parah. Sering mengigau dan menjerit histeris. Cerita tentang orang2 yang diseret dari truk. Sesaat mereka menunggu galian selesai. Tentang wanita yang menjerit lemah minta ampun. Ada beberapa kali bertemu kembali dengan Tri. Pernah menjalani pengobatan di RS Jiwa Magelang. Pernah berkunjung ke Ambarawa beberapa hari. Tetapi kondisinya tak pernah normal kembali. Di tahun 70 saya bertemu beberapa hari di Ambarawa. Sore sore makan jeruk ramai ramai dari pohon yang tumbuh di halaman samping. Tiba tiba salah satu dari kami, saya lupa siapa, melempar jeruk yang terasa kecut sambil teriak main main “dorrr”. Tiba tiba wajah dik TRI berubah pucat. Gemetar sambil mengeluarkan kata kata yang nggak jelas.

Kabarnya dia pernah ngamuk di desa. Sampai di pasung beberapa waktu. Saya bertemu terakhir kali di tahun 1975 sewaktu dengan NYI mengunjungi desa itu kembali. Kami belum kawin waktu itu. Dik Tri menangis ingin ikut ke Ambarawa. Dia terkurung di ruang dapur. Saya tak sampai hati melihatnya. Dan tak mampu berbuat apa apa. Dia meninggal tiga bulan sesudah kunjungan saya yang terakhir. Ibu dik TRI, adalah wanita tegar. Dalam kesedihannya sering mengucap. “Eksekusi itu telah membawa banyak korban. Orang orang desa yang hanya mendengar dan tak tahu apa apa pun harus ikut menderita seumur hidup”.

Kuburan massal itu masih di sana. Di atas lereng terjal di tepi hutan karet. Menjadi tempat peristirahatan mereka yang menjadi korban. Membawa penderitaan bukan hanya mereka yang jadi korban. Juga orang orang di sekitarnya. Tak pernah terjamah. Tak ada keberanian untuk mengungkap kekejaman. Tak ada rasa iba untuk mengungkap bencana kemanusiaan. Semua tertutup kemunafikan ideologi. Perbedaan ideologi itu telah menghilangkan kemampuan manusia untuk menghargai nilai kemanusiaan.

Salam kemanusiaan

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber 27 Februari 2008)

7 comments:

paromo suko said...

sementara
ketika waktu sudah jauh berlalu
sesama mahasiswa saling lempar batu
polisi dan tentara saling lempar peluru

tidakkah para saudaraku pernah belajar
tentang masa kelabu yang pernah dilalui bangsa ini?

yang bekas lukanya bahkan masih nyeri?

Ki Ageng Similikithi said...

Juga pembantaian yang terjadi di Kalimantan. setiap kejahatan massal kita selal reseptif dan mudah memaafkan. Siapa yang akan menyuarakan mereka yang jadi korban? Saya akan tetap menulis kisah kekejaman ini untuk mereka yang sudah tak lagi mampu bersuara

paromo suko said...

dan saya akan tetap membaca serta mencernanya
karena saya sadar tak bisa-apa-apa
selain sekedar mendukung upaya Anda.
Salam.

Ki Ageng Similikithi said...

Di arsip blog ini ada puisi saya lebih lima tahun lalu. Pesan Untuk Gadis Kecil. Saya melihat foto tubuh gadis kecil yang sdh jadi mayat di internet. Kira2 berumur 5 tahun. Kepalanya dipenggal. Dia korban di Sampit. Perikebinatangan apakah yang mengatasnamakan tradisi dan budaya itu. Tak ada kamus kemanusiaan bisa diterapkan. Salam hangat Pak Paromo

paromo suko said...

ndak tau ya, ini tulisan kok bikin saya ndak brenti mikir,
mbringin itu kan deket dengan kalitaman to?

deket dengan kalimantan, di mana ada gadis kecil yang .....
saya titip naruh bunga di sana ki, perkenankan

Ki Ageng Similikithi said...

Pak Paromosuko.
Beringin terletak di dekat Salatiga. Kalijambe kira2 6 - 7 km dari Beringin. Itu tempat eksekusi para tawanan G30s dulu yang saya ceritakan dalam artikel.

Sedangkan puisi tentang Pesan Untuk Gadis Kecil, adalah puisi untuk korban di Sampit Kalimantan, yang kejadiaanya di tahun 2001 mungkin.

Mohon maaf jika mixed up. Kalitaman (Salatiga) sama Kalimantan
Salam

paromo suko said...

inggih ki, pangapunten